Syafa’at merupakan salah satu isu yang sering menjadi perdebatan dikalangan ulama. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini dilatar belakang oleh kenyataan literature bahwa adanya distingsi (perbedaan) interpretasi syafa’at antara dua aliran teologis terbesar yaitu ahlu sunnah wa al-Jama’ah yang diwakili oleh Fakhrudin al-Razi dan Mu’tazilah yang diwakili oleh Al-Zamakhsayri. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Muqarran (komparasi). Secara sederhana penelitian ini diarahkan untuk melihat hal-hal yang menjadikan dua ulama tersebut berbeda dalam melakukan interpretasi terhadap tema syafa’at.
Hasilnya dari diskusi yang dihadirkan dalam penelitian ini, penulis sampai pada kesimpulan bahwa dalam mendiskusikan term syafat bahwa antara ahlu Sunnah dan Mu’tazilah memang memiliki perbedaan. Pertama, dalam pandangan ahlu sunnah wa al-Jama’ah, setiap orang kecuali kafir dijamin akan mendapatkan syafa’at pada hari kiamat. Kedua, dalam pandangan Mu’tazilah bahwa setiap orang (kecuali kafir) akan mendapatkan syafa’at dihari kiamat. Al-Zamakhsyair menambahkan bahwa menurutnya orang mukmin yang dimaksud di atas adalah mereka yang tidak pernah melakukan dosa besar. Artinya orang-orang mukmin yang pernah melakukan dosa besar maka ia tidak akan mendapatkan syafa’at di hari kiamat. Ketiga, perbedaan antara ahlu sunnah wa al-Jama’ah dan Mu’tazilah dalam menafsirkan tema syafa’at ini terlihat pada penekanan keduanya. Jika ahlu sunnah wa al-Jama’ah terkesan mengenalisir semua mukmin tanpa pengecualian sedikitpun, maka Mu’tazilah mengecualikan syafa’at bagi setiap mukmin yang melakukan dosa besar. Pada akhirnya pemahaman seseorang terhadap syafa’at akan berimplikasi pada afiliasi aliran teologis yang dianutnya. Jika seseorang menafikan syafa’at bagi orang mukmin yang berdosa besar, maka dapat dipastikan menganut kepercayaan teologis Mu’tazilah. Tetapi jika mengenalisir semua mukmin mendapatkan syafa’at, maka afiliasi mereka adalah kepada ahlu sunnah wa al-Jama’ah