Sertifikasi (akan) Terlahir Kembali: Sisi Lain Ekspor Produk Kayu Tanpa V-Legal

Abstract

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia baru-baru ini menerbitkan Permendag No.15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, yang tidak lagi menyebutkan V-Legal sebagai dokumen persyaratan ekspor. Peraturan yang akan diberlakukan pada 25 Mei 2020 tersebut dimaksudkan guna memberikan kepastian berusaha, untuk menggenjot ekspor produk industri kehutanan melalui penyederhanaan perijinan. Permendag No.15 Tahun 2020 telah menuai banyak kritik, semisal: pelemahan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), pelanggaran perjanjian kemitraan sukarela dengan Uni Eropa, hilangnya jalur hijau ke pasar Uni Eropa, dan potensi penurunan kinerja ekspor. Namun ada sisi lain yang tidak banyak disorot. Jika diterapkan, peraturan tersebut akan memberi angin segar bagi pelaku sertifikasi hutan/ lacak balak, seperti skema sukarela Forest Stewardship Council (FSC) dan Programme for Endorsement of Forest Certification (PEFC). Rival lamaIni menarik. Dari desain pranata dan tata kuasa, sertifikasi (khususnya FSC), sebenarnya adalah rival lama institusi negara. Ya, sistem pranata sertifikasi didesain oleh lembaga non-pemerintah (pegiat lingkungan internasional) untuk “menyingkirkan” negara/pemerintah. “Kalau institusi pemerintah tidak mampu lagi mendorong pengelolaan hutan yang baik, biar kami yang urus”, mungkin demikian muasal genesis sertifikasi. Selain itu, sertifikasi menggunakan mekanisme pasar (lagi-lagi bukan institusi negara) untuk mendorong adopsi sistem pranata yang telah mereka bangun (Maryudi 2015). Itulah mengapa sertifikasi sering disebut sebagai instrumen kebijakan “non-state market driven” (Cashore et al. 2004). Sangat berbeda dengan verifikasi legalitas yang merupakan instrumen kebijakan yang diluncurkan institusi pemerintah, walaupun sama-sama menggunakan mekanisme pasar.Legalitas “bunuh” sertifikasiOptimisme terhadap sertifikasi sempat membuncah sampai akhir dekade 1990an. Namun perkembanganannya ternyata tidak terlalu menggembirakan, salah satunya diduga karena problematika pengelolaan hutan yang sangat kompleks untuk dapat segera diurai (Cashore & Stone 2012). Sampai awal milenium baru, hanya sekitar 10% hutan dunia yang telah tersertifikasi. Inilah yang mendorong dimunculkannya isu legalitas, yang diwacanakan bisa menjadi kunci dan batu loncatan bagi pengelolaan berkelanjutan (Cashore & Stone 2012). Entah sengaja atau tidak, desain pranata verifikasi legalitas ternyata mengarah kembali pada peran institusi negara. Di Indonesia, SVLK merupakan instrumen kebijakan pemerintah. Melalui Permendag No.25/M-DAG/PER/10/2016, pemerintah mewajibkan pemenuhan dokumen sertifikat V-Legal untuk ekspor produk kehutanan. Peraturan ini mengunci rapat pintu ekspor; hanya dengan V-Legal sajalah produk kayu bisa meninggalkan Indonesia. Tak peduli produk kayu tersebut telah mendapatkan sertifikasi lain. Tak peduli jika end users di pasar internasional lebih bereaksi positif terhadap sertifikasi sukarela.Pintu akan dibukaDengan V-Legal produk kayu Indonesia bisa “lenggang kangkung” masuk pasar Uni Eropa. Hal ini dikarenakan V-Legal telah disetarakan dengan Lisensi FLEGT yang merupakan satu-satunya tiket untuk lewat jalur hijau ke sana. Tanpa Lisensi FLEGT (V-Legal untuk produk Indonesia), menurut European Union Timber Regulation (EUTR), produk kayu harus melewati proses uji tuntas (due diligence) terhadap asal-usulnya. Disinilah sertifikasi sukarela (FSC atau PEFC) dapat mengkapitalasi aturan ekspor yang tidak lagi mewajibkan V-Legal. Pintu yang tadinya dikunci rapat, mulai akan terbuka. Apalagi EUTR merekonignisi potensi sertifikasi sukarela sebagai alat uji tuntas. European Comission (2013) menyatakan bahwa perusahaan pelaku perdagangan “may rate credibly certified products as having negligible risk of being illegal, i.e. suitable for placing on the market with no further risk mitigation measures, provided that the rest of the information gathered and the replies to the risk assessment questions do not contradict such a conclusion.” Secara umum, skema sertifikasi sukarela telah mengimplementasikan prosedur uji asal usul yang dipersyaratkan dalam EUTR, yang mencakup: pengumpulan informasi, penilaian resiko, dan mitigasi resiko (Trishkin et al. 2015; Saunders 2014). Sertifikasi sukarela juga berpotensi untuk diakui di beberapa pasar sensitif lainnya. Beberapa negara tujuan ekspor utama produk kayu Indonesia (Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang dan China), juga telah menerapkan berbagai peraturan yang melarang masuknya produk ilegal. Seperti halnya di Uni Eropa, satu inti dari regulasi legalitas kayu mereka adalah skema uji dan penelusuran secara tuntas atas asal usul kayu.Siapa yang beruntung?Di Indonesia, sampai April 2020, FSC telah mengeluarkan 38 sertifikat pengelolaan hutan (sekitar 3 juta hektar, mayoritas hutan alam), dan 317 sertifikat lacak balak industri perkayuan di Indonesia. Sedangkan PEFC memberikan sertifikat pengelolaan ke 70 perusahaan (termasuk 2 perusahaan hutan tanaman terbesar) dan 47 sertifikat lacak balak, mayoritas industri pulp dan kertas (PEFC 2020). Merekalah yang berpotensi mengakapitalisasi Permendag No.15/ 2020, jika diimplementasikan

    Similar works