37 research outputs found

    Perbandingan Pemberian Metoprolol Tartrat dengan Lidokain secara Intravena terhadap Perubahan Tekanan Darah dan Laju Nadi Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi

    Get PDF
    Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menyebabkan tekanan darah dan laju nadi naik secara mendadak akibat rangsangan terhadap sistem simpatis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian metoprolol 5 mg intravena dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB untuk mengurangi lonjakan hemodinamik akibat laringoskopi intubasi. Penelitian ini dilakukan secara uji klinis acak terkontrol buta ganda terhadap 40 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani operasi dengan teknik anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Juli−Agustus 2013. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberikan metoprolol 5 mg intravena atau lidokain 1,5 mg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Data penelitian dianalisis dengan uji-t, dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa pada 2 menit dan 3 menit setelah intubasi antara kedua kelompok didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh  parameter hemodinamik dengan nilai  p<0,05. Simpulan dari penelitian ini adalah metoprolol 5 mg secara intravena memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan lidokain 1,5 mg/kgBB dalam hal mengurangi lonjakan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi intubasi.Kata kunci: Intubasi, laringoskopi, lidokain, metoprololComparison of Intravenous Metoprolol Tartrate and Lidocaine on Changes of Blood Pressure and Heart Rate During Laryngoscopy and IntubationLaryngoscopy and endotracheal intubation associated with a sudden rise in blood pressure and pulse rate due to stimulation of sympathetic activity. The aim of this study was to compare effectiveness of metoprolol 5 mg intavenously and lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and intubation. This was an experimental randomized double blind controlled trial study was conducted in 40 patients with American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I or II who will have surgery with general anesthesia techniques in Hasan Sadikin Hospital Bandung from July−August 2013. Subjects were divided into two groups wich received metoprolol 5 mg intravenously or lidocaine 1.5 mg/kgBW 3 minutes before laryngoscopy and intubation. All data were analysed using t-test, with  p value < 0.05 considered significant. Statistical analysis showed that on second and third minutes after intubation and laryngoscopy showed a significant differences on hemodynamic parameter between two groups with  p value <0.05. The conclusions of this study are intravenous 5 mg of metoprolol found to be better than lidocaine 1.5 mg/kgBW to attenuate hemodynamic response evoked by laryngoscopy and  intubation.Key words: Intubation, laryngoscopy, lidocaine, metoprolol DOI: 10.15851/jap.v2n2.30

    Efek Pemberian Magnesium Sulfat Intravena Perioperatif terhadap Nilai Visual Analog Scale (VAS) dan Kebutuhan Analgetik Pascabedah pada Pasien yang Menjalani Pembedahan Abdominal Ginekologi dengan Anestesi Umum

    Get PDF
    Magnesium sulfat sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan penghambat saluran kalsium, memiliki efek antinosiseptif dan antihiperalgesia. Penelitian dilakukan secara acak, terkontrol, buta ganda bertujuan untuk menilai efek pemberian bolus magnesium sulfat intravena terhadap nilai visual analog scale (VAS) dan jumlah kebutuhan analgetik petidin pada 30 pasien wanita dengan status fisik ASA I–II, usia 18–60 tahun, yang akan menjalani operasi abdominal ginekologi elektif dengan anestesi umum di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Juni–September 2011. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yang akan mendapat bolus dan rumatan MgSO4 intravena (grup M) atau NaCl 0,9% (grup S). Hasil penelitian menunjukkan nilai VAS dan jumlah pemberian analgetik petidin pada grup M secara statistik lebih rendah dibandingkan dengan grup S (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian bolus magnesium sulfat intravena perioperatif mampu menunjukkan nilai VAS saat mobilisasi pascabedah yang lebih rendah serta mengurangi kebutuhan analgetik pertolongan petidin pada pasien pascabedah abdominal ginekologi dalam anestesi umum.Kata kunci: Analgetik pascabedah, magnesium sulfat, nilai VAS saat mobilisasi, operasi abdominal ginekologiThe Effect of Perioperative Magnesium Sulphate Infusion on VAS (Visual Analog Scale) Scores and Postoperative Analgesic Requirements in Patients Undergoing Gynaecological Abdominal Surgery with General AnaesthesiaMagnesium sulphate is N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptor antagonist and calcium channel blocker with antinociceptive and antihyperalgesia effects. A randomized, double blind, controlled study was conducted to evaluate the effect of perioperative magnesium sulphate infusion on visual analog scale (VAS) scores and cumulative rescue analgesic petidin consumption in 30 ASA physical status I–II female patients, aged 18– 60 years, scheduled for gynaecological surgery under general anaesthesia in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung within June–September 2011. Subjects were divided into two groups that received either intravenous bolus and maintenance of MgSO4 (M group) or 0.9% normal saline (S group). The results showed that postoperative VAS score during movement and the number of analgesic pethidin were significantly lower in M group compared to S group (p<0.05). In conclusions, intravenous bolus of magnesium sulphate perioperative are able to demonstrate the lower value of VAS during mobilization and reducing the amount of analgesic rescue petidin postoperative abdominal gynaecological surgery. Key words: Abdominal gynaecological surgery, magnesium sulphate, VAS scores during movement DOI: 10.15851/jap.v1n2.12

    Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

    Get PDF
    Pemberian asam amino intravena merangsang metabolisme oksidatif sekitar 20% dan mengurangi komplikasi hipotermia pascaoperasi. Tujuan penelitian ini mengetahui efek penggunaan asam amino preoperatif terhadap suhu inti tubuh. Penelitian menggunakan metode kuantitatif intervensi dengan rancangan uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 orang pasien berusia 18−57 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparotomi ginekologi di Rumah Sakir Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Febuari–Mei 2014. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapat asam amino 2 mL/kgBB/jam selama 2 jam preoperasi dan kelompok kontrol yang mendapat infus Ringer laktat. Pencatatan suhu timpani dilakukan setiap 10 menit dari awal induksi hingga akhir anestesi. Data hasil penelitian diuji dengan Uji Mann-Whitney. Hasil penghitungan statistika, didapatkan suhu inti rata-rata selama anestesi pada kelompok asam amino bermakna lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Penurunan suhu rata-rata pada kelompok kontrol (0,11C) bermakna, lebih besar dibanding dengan kelompok asam amino (0,08C; p<0,05). Simpulan, pemberian cairan asam amino dua jam preoperasi dapat mencegah penurunan suhu yang lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol selama operasi ginekologi laparotomi.Kata kunci: Asam amino, hipotermia, suhu inti tubuh Comparison between Amino Acids and Ringer Lactate Infusion on Body Core Temperature Decline in Patients Undergo Gynaecological Laparotomy Surgery under General AnesthesiaIntravenous administration of amino acids stimulates about 20% oxidative metabolism and reduces postoperative complications of hypothermia. The aim of this study was to determine the effects of preoperative amino acid infusion to core temperature. This was an observational analytic study with cross-sectional design to compare the reliability using the inter-rater reliability method. Subjects were 40 patients aged 18−57 years old with physical status ASA I and II who underwent gynaecological laparotomy at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–May 2014. Subjects were devided randomly into 2 groups; one group was given 2 mL/kgBW/hour amino acid infusion for 2 hours before laparotomy and another group was the control group given ringer lactate infusion. Tympani membrane temperature was taken every 10 minutes throughout the anesthetic procedure. Data were statistically analyzed using Mann-Whitney test.The result of this study was the average of core temperature during anesthesia in amino acid group was significantly higher than control group (p<0.05). The average of temperature decline in the control group (0.11oC) was significantly higher (p<0.05) than the amino acid group (0.08oC). This study concludes that amino acid infusion two hours before surgery will prevent greater decrease in temperature compared to the control group during gynecological laparotomy surgery.Key words: Amino acids, body core temperature, hypothermia DOI: 10.15851/jap.v3n3.60

    Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

    Get PDF
    Pemberian asam amino intravena merangsang metabolisme oksidatif sekitar 20% dan mengurangi komplikasi hipotermia pascaoperasi. Tujuan penelitian ini mengetahui efek penggunaan asam amino preoperatif terhadap suhu inti tubuh. Penelitian menggunakan metode kuantitatif intervensi dengan rancangan uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 orang pasien berusia 18−57 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparotomi ginekologi di Rumah Sakir Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Febuari–Mei 2014. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapat asam amino 2 mL/kgBB/jam selama 2 jam preoperasi dan kelompok kontrol yang mendapat infus Ringer laktat. Pencatatan suhu timpani dilakukan setiap 10 menit dari awal induksi hingga akhir anestesi. Data hasil penelitian diuji dengan Uji Mann-Whitney. Hasil penghitungan statistika, didapatkan suhu inti rata-rata selama anestesi pada kelompok asam amino bermakna lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Penurunan suhu rata-rata pada kelompok kontrol (0,11C) bermakna, lebih besar dibanding dengan kelompok asam amino (0,08C; p<0,05). Simpulan, pemberian cairan asam amino dua jam preoperasi dapat mencegah penurunan suhu yang lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol selama operasi ginekologi laparotomi.Kata kunci: Asam amino, hipotermia, suhu inti tubuh Comparison between Amino Acids and Ringer Lactate Infusion on Body Core Temperature Decline in Patients Undergo Gynaecological Laparotomy Surgery under General AnesthesiaIntravenous administration of amino acids stimulates about 20% oxidative metabolism and reduces postoperative complications of hypothermia. The aim of this study was to determine the effects of preoperative amino acid infusion to core temperature. This was an observational analytic study with cross-sectional design to compare the reliability using the inter-rater reliability method. Subjects were 40 patients aged 18−57 years old with physical status ASA I and II who underwent gynaecological laparotomy at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–May 2014. Subjects were devided randomly into 2 groups; one group was given 2 mL/kgBW/hour amino acid infusion for 2 hours before laparotomy and another group was the control group given ringer lactate infusion. Tympani membrane temperature was taken every 10 minutes throughout the anesthetic procedure. Data were statistically analyzed using Mann-Whitney test.The result of this study was the average of core temperature during anesthesia in amino acid group was significantly higher than control group (p<0.05). The average of temperature decline in the control group (0.11oC) was significantly higher (p<0.05) than the amino acid group (0.08oC). This study concludes that amino acid infusion two hours before surgery will prevent greater decrease in temperature compared to the control group during gynecological laparotomy surgery.Key words: Amino acids, body core temperature, hypothermia DOI: 10.15851/jap.v3n3.60

    Gambaran Pola Kuman pada Bilah Laringoskop di Ruang Operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Get PDF
    Kebiasaan cara membersihkan bilah laringoskop dapat menyebabkan komplikasi karena potensial kontak dengan mikro-organisme patogen dan dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Tujuan penelitian adalah mengetahui gambaran kuman pada bilah laringoskop dengan metode pembersihan yang dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif observasional dengan cara melakukan pemeriksaan kultur kuman pada 19 bilah laringoskop sebelum digunakan dan yang sudah dibersihkan sesudah tindakan laringoskopi, serta 14 sumber air untuk membersihkan bilah laringoskop di ruang operasi RSHS Bandung pada tanggal Desember 2014–Januari 2015. Hasil penelitian ini ditemukan gambaran pola kuman komensal pada bilah laringoskop yang digunakan sebelum tindakan laringoskopi, yaitu Bacillus spp. 10 dari 19. Ditemukan gambaran pola kuman patogen pada bilah laringoskop yang sudah dibersihkan setelah tindakan laringoskopi di ruang operasi, yaitu Candida non albicans 1 dari 19, Acinobacter baumanii dan Staphylococcus haemolyticus 1 dari 19, serta Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa 1 dari 19. Simpulan, ditemukan kuman patogen pada bilah laringoskop yang sudah dibersihkan sesudah tindakan laringoskopi dan air yang digunakan untuk membersihkan bilah laringoskop di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Kata kunci: Bilah laringoskop, infeksi nosokomial, laringoskopi, pola kumanBacterial Mapping of Laryngoscope Blade at the Operating Theater of Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungAbstractThe habit of cleaning laryngoscope blades can cause complications due to potential contact with patogenic microorganisms that may cause nosocomial infections. The aim this study was to determine the microbial patterns on the laryngoscope blades cleaned using the cleaning methods applied in Dr. Hasan Sadikin General Hospital (RSHS) Bandung. This study was conducted using the descriptive observational method by taking samples of bacterial culture from 19 laryngoscope blades before laryngoscopy procedures and 19 cleaned laryngoscope after laryngoscopy, as well as from the 14 water sources that were used for cleaning laryngoscope blades in the operating theaters of RSHS Bandung in December 2014–January 2015. The results of this study revealed a commensal microbial pattern of Bacillus spp. on 10 of 19 laryngoscope blades before they were used in laryngoscopy precedures. It was revealed that among the laryngoscopes blade that had been cleaned after laryngoscopy in the operating room. 1 of 19 was found to have a non-Candida albicans pattern, 1 of 19 had Acinobacter baumannii and Staphylococcus haemolyticus pattern, and 1 of 19 had Klebsiella pneumoniae and Pseudomonas aeruginosa pattern. Hence, it can be concluded that pathogenic germs are found in laryngoscope bplades that have been cleaded after laryngoscopy and water that is used to clean them in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.Key words: Bacterial mapping, direct laryngoscopy, laryngoscope blades, nosocomial infections DOI: 10.15851/jap.v4n3.89

    Waktu Pulih Sadar pada Pasien Pediatrik yang Menjalani Anestesi Umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Get PDF
    Salah satu komplikasi utama pasca-anestesia pada pediatrik adalah keterlambatan pulih sadar. Penyebab keterlambatan pulih sadar pasca-anestesia adalah efek residual dari obat anestetik, sedatif, analgesik, durasi anestesi, dan hipotermia. Penelitian ini bertujuan mengetahui waktu pulih sadar pada pasien pediatrik yang menjalani anestesia umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan metode penelitian adalah observasional prospektif. Penelitian dilakukan pada bulan Mei–Agustus 2014 dengan sampel sebanyak 456 pasien pediatrik yang menjalani anestesia umum terdiri atas 3,9% neonatus, 24,6% infant, 17,3% batita, dan 54,2% anak. Parameter yang dicatat pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, berat badan, jenis anestesia inhalasi, dosis fentanil, durasi anestesia, dan suhu inti tubuh pasca-anestesia. Data penelitian dianalisis secara deskriptif dalam ukuran jumlah dan persentase. Hasil penelitian ini adalah angka kejadian keterlambatan pulih sadar pada pasien pediatrik sebanyak 96 kasus (neonatus 16 kasus, infant 51 kasus, batita 12 kasus, dan anak 12 kasus). Faktor yang memengaruhi waktu pulih sadar pada neonatus adalah hipotermia, pada infant adalah dosis fentanil >3 mg/kgBB, pada durasi anestesia >210 menit dan hipotermia, pada batita adalah hipotermia, dan pada anak adalah dosis fentanil >5 µg/kgBB dan hipotermia.  Simpulan, hipotermia merupakan faktor penyebab keterlambatan waktu pulih sadar pada semua kelompok usia.Kata kunci: Pasca-anestesi, pediatrik, waktu pulih sadar Recovery Time in Pediatric Patients Undergoing General Anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung    The most common causes of prolong awakening are residual effects of drugs either anesthetics, sedatives or analgesics, length of anesthesia, and hypothermia. This study aimed to determine the recovery time to consciousness in pediatric patients undergoing general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was an observational prospective study conducted in May until August 2014 on 456 patients consisting of 3.9% neonates, 24.6% infants, 17.3% toddlers and 54.2% children. Parameters recorded in this study were age, sex, weight, type of inhalation anesthetics, fentanyl dose, duration of anesthesia, and post-anesthesia temperature. Data were analyzed descriptively in number and percentage. The results showed that the average recovery time to consciousness in  neonatal patients was 50 minutes 40 seconds in which 88.3% of the neonatal age group suffered from post anesthesia hypothermia (core body temperature below 36⁰C). Factors that influenced recovery time in infants were fentanyl dose above 3 µg/kgBW, duration of anesthesia over 210 minutes, and hypothermia. The factors that caused delayed recovery were hypothermia in toddlers group and fentanyl doses above 5 µg/kgBW and hypothermia in children. Incidence of prolong awakening in pediatric patients undergoing general anesthesia in this study was 96 cases, consisting of 16 cases of neonates, 51 cases of infants, 12 cases of toddlers, and 17 cases of  children. In conclusion, the common factor causing delay in recovery in all age groups is hypothermia.Key words: Post-anesthesia, pediatric, recovery time DOI: 10.15851/jap.v3n2.57
    corecore