44 research outputs found
Transformasi Visual Lambang-Lambang Partai Politik Islam (1955 – 2004)
The existence of Islamic political parties in the field of Indonesian politics has a very long history. The Islamic political parties had actually been found before the independence. Their quantitatively significant development, however, takes place after the era of independence. Throughout the development, there have been many researches on the existence of Indonesian political parties. Among those researches, however, it seems that there has never been a research carried out by employing visual sources such as symbols of political parties. These symbols are often neglected. They are as if something which cannot be explored and tend to be merely a complement for a political party. In fact without any symbols, it is impossible for a political party to follow election. Therefore, a symbol plays a very important role since it is not only to show the identity of a political party but also to fulfill the provisions of legislation. For the above reasons I am interested in carrying out this research. In relation to that, the research employs both political and cultural approaches in order to produce interesting findings about political parties’ symbols. Based on the study upon the symbols of Islamic political parties participating in 1955 – 2004 elections, it is found that the visualization of the symbols undergoes an incredibly dynamic development in both element and sense of form. There are several factors which cause the coming out of visual dynamics on political parties’ symbols such as the experience of national history, cultures built up in the society, and the improvement of design technology. The dynamics of the element of form shows a visual reality that the moon and the star, which are usually regarded as the representation of Islamic political parties, are not always used by Islamic political parties and they are not only used by them as their symbols as well. Furthermore, the dynamics of the sense of form also show interesting finding that the star as the element of form does not constantly produce the same sense of form
Dinamika Penggunaan Banteng dalam Lambang Partai-partai Politik (1955-1999): Kajian Sejarah Visual
Kajian ini bertujuan untuk merekonstruksi penggunaan Banteng sebagai elemen visual dalam lambang partai-partai politik yang berhasil meraih kursi DPR dalam Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. Berbagai permasalahan berkaitan dengan keberadaan Banteng dalam lambang partai-partai politik diungkap, seperti dinamika visualisasi Banteng, eksplanasi sejarah dan budaya, serta pengaruh sistem politik terhadap visualisasi Banteng dalam lambang. Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode sejarah, yang di dalamnya meliputi tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sebagai sebuah kajian sejarah visual, sumber utama yang digunakan adalah lambang partai-partai politik. Selanjutnya, untuk menganalisispenggunaan Banteng dalam lambang partai-partai politik digunakan pendekatan seni dan disain, pendekatan politik dan pendekatan kebudayaan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengunaaan Banteng sebagai elemen visual dalam lambang memiliki akar sejarah yang panjang. Secara budaya Banteng pun merupakan binatang yang akrab dzengan banyak suku bangsa di tanah air. Sebagai elemen visual, penggunaan Banteng dalam lambang partai politik pada umumnya hanya digunakan oleh partai-partai politik beraliran nasionalis. Namun demikian, representasi visual Banteng dalam lambang mengalami dinamika yang menarik, tidak hanya karena kebutuhan partai politik tetapi juga disebabkan pengaruh sistem politik yang berlaku
Rekonstruksi Sejarah Seni Dalam Konstruk Sejarah Visual
ABSTRACTArt History is a category of history writing that is rich with research object. This is along withthe width of art definition scope. In the most current development, the work of art history iseasier to find in the form of scientific work at university, either essay of undergraduate (skripsi),thesis, or dissertation. Observing the encouraging development, some efforts to make the arthistory work either more qualified or more interesting to be enjoyed are needed. One of theefforts can be taken is by reconstructing art history in the visual history construct.Reconstruction of art history in visual art construct requires the using of visual source as themain source of writing and visual history research method as the chosen method. By using themethod, the produced art history will be rich with visual fact, either moving pictures or staticones.Keywords: art history, visual history, visual sourceABSTRAKSejarah seni adalah sebuah kategori penulisan sejarah yang kaya dengan obyekpenelitian. Hal ini seiring dengan luasnya ruang lingkup definisi seni. Dalamperkembangan terbaru, karya sejarah seni lebih mudah ditemukan dalam bentukkarya ilmiah di universitas, baik tulisan para sarjana (skripsi), tesis, ataupun disertasi. Dalam mencermati perkembangan yang menggembirakan tersebut, diperlukan upaya- upaya untuk membuat karya sejarah seni yang lebih berkualitas dan lebih menarikuntuk dinikmati. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah denganmerekonstruksi sejarah seni dalam konstruk sejarah visual. Rekonstruksi sejarah senidalam konstruk sejarah visual memerlukan penggunaan sumber visual sebagai sumberutama penulisan sejarah dan metode penelitian visual sebagai metode yang dipilih. Dengan menggunakan metode ini, sejarah seni yang dihasilkan menjadi kaya akanfakta visual, baik gambar-gambar bergerak maupun gambar-gambar statis. Kata kunci: sejarah seni, sejarah visual, sumber visua
Perubahan gunung kunci dari fungsi benteng pertahanan menjadi taman hutan raya, 1917-2023
Penelitian ini bertujuan menelusuri perkembangan fungsi benteng gunung kunci di Kabupaten Sumedang. Selama ini dikenal masyarakat karena unsur mistis, sehingga belum banyak yang mengetahui sisi historis maupun upaya konservasi alam. Diperlukan kajian ilmiah yang membahas gunung kunci dari segi sejarah maupun konservasi alam. Fokus penelitian adalah perkembangan gunung kunci mulai benteng pertahanan pada masa kolonial hingga menjadi taman hutan raya pada masa kemerdekaan. Metode sejarah digunakan dalam penelitian ini dengan empat tahap yakni heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Penulis mendapatkan data sejarah dari perpustakaan, lembaga kearsipan, sumber daring, lokasi benteng dan koleksi pribadi. Sumber penelitian dari dokumen, buku, jurnal, laporan penelitian, prasasti dan sumber lisan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gunung kunci bermula sebagai benteng pertahanan pada 1917. Hal ini dilakukan sebagai bentuk preventif pemerintah kolonial untuk menghindari serangan dari luar atau pemberontakan. Perubahan fungsi benteng dari infrastruktur pertahanan. Di mulai sejak tahun 1960-an dengan utilisasi gunung kunci sebagai kawasan hutan produksi pinus. Sejak tahun 1977 menjadi objek wisata yang dibuka bebas untuk pengunjung. Pada tahun 2004, beserta Gunung Palasari ditetapkan statusnya menjadi taman hutan raya di Indonesia
INVENTARISASI POTENSI OBJEK PEMAJUAN KEBUDAYAAN DI JAWA BARAT
Abstrak: Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) menjadi kata kunci yang dapat digunakan untuk mengukur pemajuan kebudayaan. Hal tersebut secara tegas dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dengan demikian, pemajuan kebudayaan suatu daerah pada kabupaten, kota, provinsi, atau pada wilayah administratif lainnya yang berada di bawah kabupaten dan kota, baik itu kecamatan, desa atau kelurahan, dapat diukur atau didekati dari profil OPK yang dimilikinya, termasuk jenis aktivitas pemajuan kebudayaan yang dimilikinya, baik itu berkenaan dengan pelestarian, pengembangan, pemanfaatan maupun pembinaan. Pengabdian kepada Masyarakat ini bertujuan untuk inventarisasi Objek Pemajuan Kebudayaan di Desa Cimekar Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung. Metode dilakukan mulai tahap persiapan, inventarisasi kemudian dilakukan pendokumentasian, dan evaluasi atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Mitra kegiatan ini adalah Desa Cimekar. Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang tergabung di dalam sanggar kesenian, orang-orang yang perduli pada OPK di daerahnya. Hasil dari kegiatan inventarisasi tersebut tidak saja memberi penjelasan tentang kekayaan Objek Pemajuan Kebudayaan Desa Cimekar, tetapi yang jauh lebih penting dari itu, mampu mendorong tampilnya Desa Cimekar sebagai Desa Pemajuan Kebudayaan, tidak hanya di Kecamatan Cileunyi akan tetapi juga pada tingkat Kabupaten dan Provinsi. Peluang ini cukup terbuka luas bila mengingat kekayaan Objek Pemajuan Kebudayaan yang dimiliki Kecamatan Cimekar. Dari 10 Objek Pemajuan Kebudayaan, Desa Cimekar memiliki kekayaan berupa delapan Objek Pemajuan Kebudayaan ditambah dengan cagar budaya.Abstract: The Object for the Advancement of Culture (OPK) is a keyword that can be used to measure the advancement of culture. This is explicitly explained in Law number 5 of 2017 concerning the Advancement of Culture. Thus, the promotion of the culture of an area in the district, city, province, or in other administrative areas that are under the regency and city, be it sub-districts, villages or sub-districts, can be measured or approached from the OPK profile they have, including the types of cultural promotion activities. owned, both with regard to preservation, development, utilization and development. This Community Service aims to inventory objects for the Advancement of Culture in Cimekar Village, Cileunyi District, Bandung Regency. The method is carried out from the preparation and inventory stages. The partner of this activity is Cimekar Village. The results of the inventory activity not only provides an explanation of the wealth of Cimekar Village Culture Advancement Objects, but far more important than that, it is able to encourage the appearance of Cimekar Village as a Cultural Advancement Village, not only in Cileunyi District but also at the District and Provincial levels. This opportunity is quite wide open when considering the wealth of Cultural Advancement Objects owned by the Cimekar District. Of the 10 objects for the promotion of culture, Cimekar Village has wealth in the form of eight objects for the promotion of culture plus cultural heritage
Diskriminasi Ras dalam Novel Sunda Sripanggung Karya Tjaraka: Analisis Dekonstruksi Derrida
Novel “Sripanggung” karya Tjaraka memuat rekaan gambaran kehidupan masyarakat etnis Sunda di perkebunan teh yang hidup sebagai buruh kontrak dan hidup di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana gambaran perlakuan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda terhadap pribumi, khususnya etnis Sunda yang saat itu dipandang sebagai masyarakat kelas bawah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pembacaan dekonstruksi, di mana teks sastra berupa ujaran yang ada di dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka dianalisis untuk mengungkapkan tindakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap etnis Sunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ujaran-ujaran teks sastra dalam novel “Sripanggung” karya Tjaraka memuat representasi tindakan diskriminasi berdasarkan ras yang dilakukan pihak kolonial Belanda terhadap kaum pribumi etnis Sunda sehingga memengaruhi perkembangan struktur sosial masyarakat Sunda kala itu. Tjaraka's “Sripanggung” novel portrays of Sundanese familie's daily life as labor contract of tea plantation that owned the Dutch colonial government. This article purpose is to reveal the discriminatory treatment of the Dutch colonial goverment against indigenous people, especially Sundanese who were seen as a lower class society. By using deconstruction reading method. “Sripanggung” by Tjaraka's is in a form of literary works and inside of it contain of speech that analyzed to reveal the discriminatory action of Dutch Colonial government against Sundanese people. The result showed, the speeches in the novel accomodate representation of discrimination act based racial by the Dutch Colonial government against indigenous Sundanese people that affected the development of social structure of sundanese at that time
Dinamika konflik panembahan dan residen: Kebijakan sistem irigasi dan implikasinya terhadap masyarakat Madura (1850-1907)
Penelitian ini bertujuan menganalisis politik lingkungan hidup yang terdapat di Madura. Fokus utamanya yaitu permasalahan sistem irigasi yang dikelola Panembahan dan Residen yang pada akhirnya menjadi konflik tersendiri dalam pusaran pemerintahan di Madura. Konflik ini sebenarnya akibat pengambilalihan kekuasaan penguasa lokal seperti kerajaan Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep yang oleh Belanda sejak 1850-an terjadi sebuah peralihan sistem pemerintahan yang mengelola hajat hidup masyarakat di Madura. Dalam perkembangannya banyak terjadi berbagai perlawanan yang diinisiasi para Panembahan bersama dengan rakyat Madura dengan melakukan perlawanan dalam pembangunan irigasi yang dibangun oleh Residen di Madura. Hal ini tentu menjadi fenomena yang langka pada masa kolonial. Di satu sisi mereka membutuhkan irigasi untuk kebutuhan pokok serta mengairi sawah. Di sisi lain, sebagian dari masyarakat Madura mencoba untuk menghancurkannya. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Beberapa data di dapatkan dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan media online yang terpercaya seperti delpher.nl dan Gahetna. Sumber yang didapatkan berupa arsip dan manuskrip. Hasil penelitian menunjukkan dinamika konflik antara Panembahan dan Residen diawali oleh pengambilalihan kekuasaan lokal oleh pemerintah kolonial sehingga menimbulkan kepentingan kekuasaan yang cukup berlawanan antara keduanya. Adapun konflik tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan di Madura
DESTINATION BRANDING BUMI PERKEMAHAN RANCA CANGKUANG PPTK GAMBUNG DESA MEKARSARI KECAMATAN PASIRJAMBU KABUPATEN BANDUNG
 Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung memiliki aktivitas berkemah yang merupakan aktivitas wisata di yang berada desa Mekarsari yang cukup populer di kalangan wisatawan, karena memiliki core porduct seperti reguler camping, glamping dan aktivitas camping dimobil. Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung belum memaksimalkan identitas merek yang dimiliki seperti belum ada ikon dan tagline destinasi untuk meningkatkan branding-nya. Tujuan penelitian adalah merumuskan strategi prioritas destination branding di Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung. Metode penelitian yang digunakan adalah adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yang memfokuskan pada studi kasus. Hasil dari penelitian ini menunjukan faktor kekuatan yang paling dominan dimiliki oleh Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung yaitu terbagi menjadi 3 blok, dimana blok atas adalah bukit rumput dilengkapi dengan rawa kering, blok tengah bukit rerumputan yang datar, dan blok bawah pelataran rumput datar samping area sungai sejauh 700 meter. Faktor peluang tertinggi adalah Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung diantaranya menjadi wisata favorit pada masa pandemi karena dapat berwisata sambil melakukan aktivitas fisik di luar ruangan atau “back to nature” dan dengan kegiatan wisata salah satunya camping. Alternatif strategi yang diformulasikan untuk destination branding di Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung diantaranya mengoptimalkan potensi yang ada dengan selalu memberikan pengalaman untuk wisatawan, mekanisme untuk penerapan kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan dalam menghadapi era new normal, memasang billboard dengan tagline yang menarik di lokasi yang strategis serta membuat tanda (sign) agar terlihat ada Bumi Perkemahan Ranca Cangkuang PPTK Gambung
Visual-Auditive Aspects of Lisung as a relic of Indigenous Community of Kasepuhan Ciptagelar
Lisung, the traditional rice pounder is a cultural product of paddy fields of Sundanese community in Indonesia. This research aims to describe the factual condition of visual-auditive aspects of lisung in Kasepuhan Ciptagelar, Banten South, West Java-Indonesia, based on the theory of sensory phenomena. The research focused on how the logic of relationship will built between the visual and auditive aspects of lisung. The relation between the two is suspected to be an aspects that constructed the meaning of lisung culture as the relic of the indigenous community of Kasepuhan Ciptagelar. The research was conducted using the ethnographic method with tracking strategy. The indigenous people of Kasepuhan Ciptagelar were determined as research subjects because they are a group of Sundanese people who still carry on the life of farming in the fields based on the their ancestral heritage called tatali paranti karuhun which are believed as mandatory to be carried out. Lisung is a paddy field cultural relic that accommodates the needs of their domestic rituals, festivals and domestic practices . The results of the research are (1) space as one of the elements of the visual aspects of lisung which results in the presence of new elements, the user element (women) (2) elaboration between the space element and the female element, forming the auditive aspect of lisung (3) visual aspects and auditive aspects of lisung is a unityKeywords: Visual-auditive aspects, Traditional rice pounder, Sensory phenomena, Indigenous community of Kasepuhan Ciptagelar, Paddy fields cultureDOI: 10.7176/ADS/84-04Publication date:August 31st 202