14 research outputs found
SISTEM VERBA BAHASA SASAK DIALEK BAYAN DARI DASAR VERBA DAN NOMINA
This research conducted the sistem of verb formatioan deriving from verb
and noun in Bayan dialect of Sasak language created from the nominal and verb
as the result of affixation process. The study explains the verbal development
pattern from the class I, class II verbal and nominal bases encompassing the
function and meaning of affix creating such patterns. In addition, the study also
explains the productivity of pattern and the morphophonemic process occurring.
This study used a structuralism model design, that is, by studying and
providing as well as explaining certain aspects of language structure based on the
given fact. The data collection was conducted in one area of Bayan dialect users,
namely village Tanjung Sub district Labuan Haji, Regency Lombok Timur.
Technique of collecting data employed was recording, cooperation with
informant, and observation and documentation technique. The data collected was
then tested for its validity using the data triangulation, method triangulation and
informant review. In analyzing data, the method employed was distributional one
including the smallest element elaboration, two by two opposition, substitution,
and expansion techniques.
The first step conducted in analyzing data was to determine the affix
morphemes creating the Sasak language verb. Then, the verbal patterns were
created by distributing such affix to the class I, class II verbs, and nominal base.
After conducting the analysis it can be concluded that there are 11 patterns of
verbal creation from first class verb, including: N-DV1
, te- DV1
, be- DV1
, DV1
-
ang, DV1
-in, ke-DV1
-an, be-DV1
-an, N-DV1
-ang, N-DV1
-in, te- DV1
-ang, and te-
DV1
-in. There 8 patterns from the second-class verb including: N- DV2
, DV2
-ang,
ke- DV2
-an, N-DV2
-ang, N- DV2
-in, te-DV2
-ang, and te-DV2
-in. There are 8
patterns of verbal creation from nominal including: N-DN, be-DN, DN-ang, DN-
in, N-DN-ang, N-DN-in, te-DN-ang, and te-DN-in. Each pattern has different
function and meaning. The morphophonemic changes occurring in such patterns
are varied according to the root of word behavior attached by the affix creating
such verb
Analisis Penanda Pasif Bahasa Sumbawa Dialek Sumbawa Besar
Penelitian ini bertujuan menguji tesis pada penelitian sebelumnya mengenai penanda pasif bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar. Tesis tersebut adalah (a) pemasifan dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar bergantung pada bentuk morfologi kata kerja dibandingkan dengan susunan kalimatnya, (b) morfem ka-, ya-, dan kaya- merupakan penanda pasif dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar, dan (c) preposisi ling ââ¬Ëolehââ¬â¢ merupakan penanda pasif yang opsional kehadirannya dalam konstuksi pasif bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar. Pada tahapan pengumpulan data, digunakan metode Cakap dan Metode Simak. Metode Cakap menggunakan teknik dasar Pancing, teknik lanjutan Cakap Semuka, dan teknik lanjutan bawahan Lesap dan Ganti. Metode Simak menggunakan teknik dasar Sadap dengan teknik lanjutan Simak Bebas Cakap, Simak Bebas Libat Cakap, Rekam, dan Catat. Untuk memperkuat keabsahan data, digunakan juga metode Introspektif yaitu metode pemunculan data oleh peneliti sebagai penutur bahasa yang diteliti. Pada tahapan penganalisisan data, digunakan Metode Padan Intralingual dengan teknik hubung banding menyamakan (HBS) dan teknik hubung banding membedakan (HBB). Pada tahapan penyajian hasil penganalisisan data, digunakan metode formal dan metode informal. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, pemasifan dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar tergolong perifrastis dan bukan bergantung pada morfologi kata kerja. Kedua, morfem ka-, ya-, dan kaya- terbukti konsisten sebagai aspekyang bercirikan kala atau kewaktuan dalam kalimat pasif bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar. Dalam pada itu, preposisi ling ââ¬Ëolehââ¬â¢ terbukti merupakan unsur wajib pemasifan kalimat dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar
Klausa Pemerlengkapan Bahasa Sasak: Ke Arah Penyusunan Bahasa Sasak Standar
Artikel ini bertujuan untuk memaparkan hasil kajian tentang sistem klausa pemerlengkapan bahasa Sasak. Hasilnya diharapkan dapat dikembangkan ke arah penyusunan bahan ajar muatan lokal bahasa Sasak. Teori yang dipakai untuk mengkaji klausa pemerlengkapan ini adalah teori Linguistik Struktural yang dikemukakan para ahli seperti Harimurti Kridalaksana, 1982; Hans Lapoliwa, Crystal, 1991 dan lainnya. Data dikumpulkan dengan metode simak. Metode tersebut dilaksanakan dengan teknik SLC, SLBC dengan bantuan informan yang merupakan penutur asli bahasa Sasak. Selain itu, data diperoleh dari buku dan data introspeksi. Data dianalisis dengan metode padan dengan teknik “bagi unsur langsung”. Hasilnya adalah sebagai berikut: verba transitif klausa pemerlengkapan dalam bahasa Sasak berbentuk verba berafiks: 1) (N-D / Ø -D), 2) (N-D-ang, Ø-D-an), 3) (N-D-in, pe-D) 4), (N-D-in, pe-D, Ø-D), 5) (be-D-an); dan, verba (kata kerja) aus. Verba aktif dengan penanda afiks tersebut akan berubah menjadi verba pasif dengan afiks 1) te-D, 2) te-D-ang, 3) te-D-an, 4) te-D-in. Verba intransitif adalah verba yang tidak membolehkan kehadiran objek. Konstituen yang hadir sesudah verba ini merupakan pelengkap. Konstituen pelengkap ini tidak dapat menduduki fungsi subjek dan tidak dapat pula diubah menjadi konstruksi pasif. Verba intransitif dalam bahasa Sasak dimarkahi dengan afiks: 1) (N-D, Ø-D); 2) (be-D). Bentuk klausa pemerlengkapan dalam bahasa Sasak menggunakan konjungsi: kata agen, adeq-n, ade-n, kanjeq, mun, lamun, dan lainnya.
PENYULUHAN TENTANG PENULISAN KARANGAN ILMIAH BAGI GURU-GURU SEKOLAH DASAR DI KECAMATANGERUNG LOMBOK BARAT
Dalam rangka peningkatan keprofesionalan guru, maka penyuluhan ini sangat perlu dilakukan untuk memberikan bekal wawasan yang lebih luas dan pengetahuan praktis mengenai karangan ilmiah, yang selama ini mereka rasakan sangat sulit. Materi penyuluhan ini meliputi ikhwal karangan ilmiah, sistematika karangan ilmiah, bahasa dalam karangan ilmiah, dan langkah-langkah karangan ilmiah. Materi penyuluhan disajikan dengan menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan partisipasi. Untuk memperdalam pemahaman materi, para peserta diberikan tugas membuat sebuah karangan ilmiah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kegiatan itu dapat dikatakan cukup berhasil. Hal ini terlihat dari tanggapan para peserta yang menyatakan bahwa dengan kegiatan ini mereka telah memperoleh wawasan pengetahuan tentang seluk beluk penulisan karangan ilmiah. Berbekal pengetahuan itu mereka lebih termotivasi untuk menulis karangan ilmiah dalam rangka peningkatan keprofesionalan guru. Keberhasilan kegiatan ini berkat kerja sama yang baik semua anggota tim dengan Kepala SDN 1 Gapuk Kecamatan Gerung, Lombok Barat
Asal Mula Bahasa Menurut Perspektif Dialektika Hegel: Pendekatan Filsafat Sejarah
This article outlines a view of the origins of language according to Hegel's dialectical perspective. This stems from the author's understanding of Hegel's concept which states that the substance of the mind originates from the spirit. This article explains that history originates from a spirit that introduces itself through thought and intuition. In this context, the activity of speaking has higher value than the written word; and listening activities have higher meaning than reading activities. Therefore, intelligence-linguistics crosses historical and cultural periods, developing from the free movement and power of the mind. Researchers use four stages of the historical method, namely heuristics, verification, interpretation and historiography. This article uses Hegel's dialectical theory with a historical philosophy approach. This research aims to interpret Hegel's dialectical logic and philosophical ideas in understanding the emergence of language, as a linguistic interaction. The results of this research show that, by utilizing dialectical and intuitive logic, one can hear the intuitive phenomenon of the existence of language features such as utterances, words and abstract phonemes. On that basis, someone is able to explain and express verbal or linguistic expressions flexibly in a concrete discourse event. On this basis, someone is able to think epistemologically and linguistically.
Artikel ini menguraikan pandangan tentang asal mula munculnya bahasa menurut perspektif dialektika Hegel. Hal ini bermula dari pemahaman penulis tentang konsep Hegel yang menyatakan bahwa substansi pikiran bersumber dari roh. Artikel ini menjelaskan bahwa sejarah bersumber dari roh yang mengenalkan dirinya melalui pikiran dan intuisi. Dalam konteks ini, aktivitas berbicara lebih tinggi nilainya daripada kata-kata yang tertulis; dan aktivitas mendengar lebih tinggi maknanya daripada aktivitas membaca. Oleh karena itu, inteligensi-linguistik melintasi periode sejarah dan budaya, yang berkembang dari gerakan dan kekuatan pikiran yang bebas. Peneliti menggunakan empat tahapan metode sejarah (historical method), yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini bertujuan menginterpretasikan logika dialektis Hegel dan ide-ide filosofisnya dalam memahami munculnya bahasa, sebagai suatu interaksi linguistik. Artikel ini menggunakan teori dialektika Hegel dengan pendekatan filsafat sejarah. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa, dengan memanfaatkan logika dialektis dan intuitif, seseorang dapat mendengarkan fenomena intuitif keberadaan fitur-fitur bahasa seperti ucapan, kata, dan fonem abstrak. Atas dasar itu, seseorang mampu menjelaskan dan mengekspresikan ungkapan verbal atau kebahasan secara fleksibel dalam suatu peristiwa wacana yang konkret. Atas dasar itu pula seseorang mampu berpikir secara epistemologis dan linguistik
A research of semantic field Semantic Field of Oral Activity in Sasak Language in The Ampenan District
This research is entitled Semantic Field of Oral Activity in Sasak Language at Ampenan District. The aim of this research is to classify and analyze the components of the oral activities in Ampenan District. This is qualitative research that uses a descriptive approach. To collect data, this research uses the introspection method; listening method with tapping techniques, uninvolved listening techniques, note-taking techniques; and cakap (speak) method. Furthermore, to analyze the data, this research used the intralingual matching method to classify lexemes of the semantic field and the extra-lingual matching method to analyze the components of each lexeme. Meanwhile, to present the results of the analysis, both formal and informal methods are used. The data of this research include lexemes of the semantic field of oral activity and the components of each lexeme in the Sasak language. A total of 30 oral activity lexemes were found to occupy the semantic field with the classification: (1) the oral activity, to eat, (2) to drink, (3) to speak, (4) to make sounds, and (5) to produce something (besides sound) from the mouth
Form and Meaning of Mosque Naming in Mataram City: Morphosemantic Study
Research on the Form and Meaning of Mosque Naming in Mataram City: This Morphosemantic Study aims to describe the form of mosque names morphologically and examine their meaning semantically. This research is a type of research with a descriptive qualitative approach. The data in this research are the names of mosques in Mataram City, while the data sources in this research include mosque administrators, the public, articles and other media. The data collection method in this research uses the Listening method with advanced techniques, the Listening Involvement Cakap technique, the Free Listening Involvement Cakap technique, the Note taking technique and the Recording technique. Apart from that, the Listening method is strengthened by the Interview method with the Cakap Semuka advanced technique. Furthermore, it is also strengthened by the Documentation method. The data analysis methods used include the Intralingual Matching method, the Extra Lingual Matching method and the Distributional method. The method for presenting data analysis in this research uses informal methods. The results of this research include the morphological forms of mosque names which are classified into words and phrases. Based on their meaning, mosque names are divided into lexical meaning and contextual (socio-cultural) meaning
Homografi dalam Bahasa Sasak di Kelurahan Tanjung Kabupaten Lombok Timur: Homography in Sasak Language in Tanjung Village East Lombok District
Abstrak: Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Bagaimanakah wujud homografi dalam bahasa Sasak di Kelurahan Tanjung Kabupaten Lombok Timur? (2) Bagaimanakah distribusi homografi dalam pembentukan kalimat ? (3) Bagaimanakah makna leksem homografi ? Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengidentifikasi wujud homografi dalam bahasa Sasak di Kelurahan Tanjung Kabupaten Lombok Timur, (2) mengidentifikasi distribusi homografi dalam pembentukan kalimat, (3) mendeskripsikan makna leksem homografi. Dalam pengumpulan data digunakan beberapa metode, yaitu: 1) metode introspeksi, 2) metode cakap, dan 3) metode simak. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan intralingual dan metode padan ekstralingual. Hasil penelitian ini adalah (1) wujud leksem berhomografi walaupun memiliki wujud yang sama tetapi lafal dan maknanya berbeda, sehingga dikategorikan sebagai homografi. Contohnya, leksem lekaq [lEka?] yang bermakna ‘jalan’ dan leksem lekaq [l?ka?] yang bermakna ‘lepas’, (2) distribusi leksem homografi dalam pembentukan kalimat yaitu secara umum leksem homografi dapat menempati posisi di awal kalimat, di tengah kalimat, dan di akhir kalimat. Namun, ada beberapa leksem homografi yang tidak berdistribusi lengkap, (3) makna masing-masing leksem homografi berbeda-beda dan mengacu pada makna leksikalnya. Akan tetapi, berdasarkan distribusi leksem homografi dalam kalimat, makna leksem tersebut tidak selalu sama dengan makna leksikalnya. Selain itu, makna leksem homografi ini mengalami perubahan saat berada di dalam konteks kalimat yang berbeda.
Abstract: The problems in this study, namely (1) How is the form of homography in Sasak in Tanjung subdistrict, East Lombok Regency ? (2) What is the distribution of homography in sentence formation ? (3) What is the meaning of homographic lexeme ? The purpose of this study was to (1) identify homogeneous forms in Sasak in Tanjung Subdistrict, East Lombok Regency, (2) identify homographic distributions in sentence formation, (3) describe the meaning of homographic lexemes. In collecting data, several methods are used, namely: 1) the introspection method, 2) the competent method, and 3) the listening method. Data analysis methods used are the intralingual equivalent method and the extralingual equivalent method. The results of this study are (1) the shape of the lexeme having a homograph even though it has the same form but the pronunciation and meaning are different, so they are categorized as homography. For example, leksem lekaq [lEka?] which means 'path' and leksem lekaq [l?ka?] Which means 'loose', (2) the distribution of homographic lexemes in sentence formation that is generally homographic lexemes can occupy positions at the beginning of a sentence, in the middle of a sentence , and at the end of the sentence. However, there are some homographical lexemes that are not fully distributed, (3) the meanings of each homographic lexeme are different and refer to the lexical meaning. However, based on the distribution of homographic lexemes in sentences, the meaning of the lexeme is not always the same as the lexical meaning. In addition, the meaning of this homographic lexeme changes when it is in the context of different sentences
Leksikon Gender Bahasa Sasak sebagai Pengungkap Nilai-Nilai Kearifan Lokal Kesantunan: The Gender Lexicon Study of the Sasak Language as a Disclosure of the Values of Principles' Local Wisdom
Abstrak: Tujuan penelitian ini mendeskripsikan satuan lingual leksikon gender bahasa Sasak dan menelaah pemaknaannya sebagai pengungkap nilai-nilai kearifan lokal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa Sasak memiliki leksikon gender yang direalisasikan melalui seperangkat dyad leksem yang pemakaiannya ditemukan pada ranah-ranah sosial-budaya kehidupan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Sasak. Leksikon gender yang ditemukan digunakan sebagai penanda gender pada ranah (1) sistem nama diri, (2) sistem kekerabatan, (3) pronomina persona kedua, dan pada (4) fase siklus kehidupan. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Sasak, ranah-ranah penanda gender ini biasa dipakai sebagai sapaan. Dalam pemaknaan, nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya merealisasikan tentang pentingnya menjaga kesantunan yaitu sikap/perilaku saling menghormati dan menghargai antarlaki-laki dan perempuan. Pada hakikatnya, nilai-nilai kearifan lokal tentang kesantunan leksikon gender bahasa Sasak mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang alamiah yang telah ada dalam konteks kehidupan laki-laki dan perempuan sebagai bagian anggota masyarakat Sasak. Nilai- nilai kearifan lokal tersebut telah menjadi suatu konvensi dalam kehidupan laki-laki dan perempuan Sasak, sehingga nilai-nilai kesantunan yang ada akan senantiasa diterapkan dan terus berlangsung dalam kehidupan laki-laki dan perempuan Sasak.
Abstract: The goal of this study is to explain the Sasak gender lexicon's linguistic unit and investigate its meaning as a manifestation of local wisdom values. The descriptive qualitative method was used in this study. The findings show that the Sasak language has a gender lexicon, which is realized through a collection of dyad lexemes that are used in the socio-cultural spheres of men and women's lives in Sasak culture. The discovered gender lexicon was employed as a gender marker in the realms of (1) self-name system, (2) kinship system, (3) second personal pronouns, and (4) life cycle phases. These gender identifiers are often. Local wisdom values have established a convention in the lives of Sasak men and women, ensuring that existing politeness values are always applied and continue to occur in Sasak men and women's lives. Used as greetings by the Sasak people in their daily lives. In other words, the values of local knowledge inherent in it recognize the necessity of sustaining civility, i.e., men and women's mutual respect and appreciation attitude/behavior. In essence, the gender lexicon of the Sasak language reflects the principles of natural local wisdom that already exist in the context of men and women's lives as members of the Sasak community. Local wisdom values have established a norm in the lives of Sasak men and women, ensuring that existing politeness values are always applied and continue to occur in Sasak men's lives.Tujuan penelitian ini mendeskripsikan satuan lingual leksikon gender bahasa Sasak dan menelaah pemaknaannya sebagai pengungkap nilai-nilai kearifan lokal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa Sasak memiliki leksikon gender yang direalisasikan melalui seperangkat dyad leksem yang pemakaiannya ditemukan pada ranah-ranah sosial-budaya kehidupan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Sasak. Leksikon gender yang ditemukan, digunakan sebagai penanda gender pada ranah (1) sistem nama diri, (2) sistem kekerabatan, (3) pronomina persona kedua dan pada (4) fase siklus kehidupan. Dalam kehidupan keseharian masyarakat Sasak, ranah-ranah penanda gender ini biasa digunakan sebagai sapaan. Dalam pemaknaan, nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya merealisasikan tentang pentingnya menjaga kesantunan yaitu sikap/perilaku saling menghormati dan menghargai antarlaki-laki dan perempuan. Pada hakikatnya, nilai-nilai kearifan lokal tentang kesantunan dalam leksikon gender bahasa Sasak mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang alamiah yang telah ada dalam konteks kehidupan laki-laki dan perempuan sebagai bagian anggota masyarakat Sasak. Nilai- nilai kearifan lokal tersebut telah menjadi suatu konvensi dalam kehidupan laki-laki dan perempuan Sasak, sehingga nilai-nilai kesantunan yang ada akan senantiasa diterapkan dan terus berlangsung dalam kehidupan laki-laki dan perempuan Sasak