71 research outputs found
Perlindungan Hukum terhadap Korban Kecelakaan Joy Flight Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Konvensi Chicago 1944 (Studi Kasus Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 pada Tanggal 9 Mei 2012)
SIRIZWAN ZAUHAR, Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,Januari 2012, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kecelakaan Joy Flight Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Dan Konvensi Chicago 1944 (Studi Kasus kecelakaan Sukhoi Superjet 100 pada tanggal 9 Mei 2012), Ikaningtyas, SH.LLM ; Nurdin, SH. MHum.Skripsi ini membahas tentang perlindungan hukum bagi korban kecelakaan Joy Flight berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2009 dan konvensi chicago 1949. Hal ini dilatar belakangi oleh tiap tahunnya pengguna jasa angkutan udara terus meningkat, yang mana peningkatan jumlah penumpang juga harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan dan keselamatan angkutan udara itu sendiri. Di Indonesia sendiri tercatat telah terjadi 252 kecelakaan pesawat sejak 1943 sampai 2012. kecelakaan terbaru adalah kecelakaan pesawat Sukhoi superjet 100 di gunung salak pada tanggal 9 mei 2012. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi korban kecelakaan Joy Flight, hambatan dalam pemenuhan perlindungan hukum terkait dengan masalah pemberian ganti rugi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Yuridis Normatif, dengan pendekatan case approach dan statuta approach. Dari hasil analisis yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa, bentuk perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan adalah terkait dengan masalah keselamatan, pelayanan, tarif, Kenyamanan dan ganti rugi. bentuk perlindungan tersebut telah diatur baik dalam Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan maupun Konvensi Chicago, hanya dalam hal ganti rugi konvensi Chicago 1944 tidak mengatur. Hambatan yang dihadapi dalam kaitannya pemberian ganti rugi terhadap korban adalah, baik ketentuan dalam Undang-undang No 1 Tahun 2009, Konvensi Chicago maupun konvensi Internasional tentang tanggung jawab pengangkut angkutan udara tidak bisa diaplikasikan dalam kasus ini. Hal ini dikarenakan ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut merupakan ketentuan bagi angkutan udara niaga, sedangkan Joy Flight sendiri merupakan angkutan udara bukan niaga. Oleh karena itu, terkait dengan peraturan ganti rugi bagi angkutan udara bukanniaga mengalami kekosongan hukum baik dalam tatanan hukum nasional maupun hukum Internasional Kesimpulan dari skripsi ini adalah terdapat kekosongan hukum terhadap perlindungan hukum bagi korban kecelakaan Joy Flight, dalam hal pemberian ganti rugi. Saran dari penulis adalah perlu dibuatnya sebuah peraturan terkait dengan tanggung jawab pengangkut bagi angkutan udara bukan niaga. Peraturan terkait dengan hal tersebut tidak hanya dalam tatanan nasional saja melainkan dalam tatanan Internasional juga
Workplace Spirituality Tenaga Kependidikan Universitas Brawijaya (Studi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika Serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik)
Konsep pengembangan manusia secara menyeluruh merupakan solusi atas Perubahan fenomena sosial saat ini yang menyebabkan kehidupan seseorang tidak menyatu karena lingkungan pekerjaan atau tempat kerja hanya menjadi tempat untuk mencari hal-hal profan (duniawi) dan tidak mempunyai ruang untuk sesuatu yang sakral atau suci. Akibat dari adanya pemisahan ini, seseorang lebih terfokus hidupnya untuk menggeluti dunia karir tanpa memperhatikan kehidupan batinnya. Fenomena tersebut menumbuhkan kesadaran untuk menghubungkan aspek spiritualitas individu dengan pengelolaan pekerjaan atau lingkungan kerja, melalui konsep workplace spirituality,. Dalam studi akademis, workplace spirituality merupakan bidang yang masih baru dan masih terus dikembangkan, namun sebagian besar studi masih dilakukan di Amerika Serikat dan Kanada, dan sangat sedikit sekali yang dilakukan di luar kedua negara tersebut. Berdasarkan hal itu, penelitian ini bermaksud untuk memperkaya topik workplace spirituality dari sudut pandang administrator publik di Indonesia melalui pendekatan fenomenologi, dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini menghasilkan dua sudut pandang terkait workplace spirituality, pertama adalah sudut pandang agama dan yang kedua adalah sudut pandang intrinsik - alamiah, kedua sudut pandang tersebut sama β sama bertujan untuk memberikan makna dalam bentuk ekspresi positif dalam lingkungan kerja. Penelitian lebih jauh juga dibutuhkan untuk memperkokoh konsep ini, baik melalui metode kualitatif maupun kuantitatif
Prioritas dan Strategi Perencanaan Kerjasama Antar Daerah dalam Pengembangan Sarana dan Prasarana Wilayah (Studi di Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu)
Fenomena urban sprawl, suatu proses perluasan kegiatan perkotaan yang tidak teratur ke wilayah pinggiran saat ini dialami oleh kawasan perkotaan Malang, menyebabkan ketidakefisienan dalam penyediaan sarana dan prasarana wilayah. Studi ini mengkaji pemecahan masalah di atas dari perspektif kerjasama antar daerah, dilatarbelakangi oleh kekuatan politik desentralistik sebagai pendorong penyelesaian masalah pembangunan daerah. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi objek kerjasama dan bentuk kerjasama prioritas dalam pengembangan sarana dan prasarana wilayah serta merumuskan strategi perencanaan berdasarkan faktor pendukung dan penghambat. Jenis penelitian deskriptif dengan metode penelitian campuran (mixed methods). Pengolahan data menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat). Hasil penelitian menempatkan objek pelayanan air bersih, jaringan jalan dan transportasi umum sebagai objek prioritas. Sedangkan kriteria yang dinilai paling menentukan pemilihan objek kerjasama adalah kebutuhan tinggi/mendesak dan komitmen tinggi. Bentuk kerjasama action network berada pada rangking pertama. Sedangkan aspek yang dinilai paling menentukan bentuk kerjasama adalah aspek peraturan. Sesuai perhitungan SWOT, strategi yang harus diambil adalah : memperkuat komitmen kerjasama untuk kesejahteraan masyarakat, memperkuat segala kemampuan untuk mengatasi tekanan global, perencanaan berdasar kebutuhan melalui penyusunan Master Plan Kerjasama Daerah, meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar sektor, memperjelas kewenangan antara pusat, propinsi, kabupaten/kota, mengkomunikasikan perbedaan prioritas kerjasama serta proaktif memperluas jaringan/networking
Pemberdayaan Masyarakat dalam Mengurangi Angka Pengangguran di Kabupaten Sampang
Pengangguran di negara Indonesia merupakan permasahan yang sulit dihilangkan dari kehidupan manusia, akan tetapi permasalahan pengangguran tidak dibiarkan begitu saja. Tingginya tingkat pengangguran disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya besarnya angkatan kerja yang tidak seimbang dengan kesempatan kerja serta tingkat pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki masyarakat Indonesia sangat rendah. Penelitian ini memberikan gambaran tentang pemberdayaan masyarakat dalam mengurangi angka pengangguran di Kabupaten Sampang sekaligus menemukan faktor pendukung dan faktor penghambat. Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian dapat disimpulkan bahwa program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui pelayanan publik dengan anggaran APBN dimana jenis kegiatan meliputi Teknologi Tepat Guna (TTG), Padat Karya dan Tenaga Kerja Mandiri(TKM) yang bertujuan untuk mengupayakan ketersediaan kesempatan kerja disektor informal bagi para pencari kerja melalui pembentukan kelompok USAha kecil dengan memanfaatkan potensi lokal yang tersedia. Fokus kegiatan ini adalah memfasilitasi pelayanan program kegiatan pemberdayaan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat ini dilaksanakan dengan beberapa tahapan yaitu tahap seleksi lokasi, sosialisasi pemberdayaan masyarakat, proses pemberdayaan masyarakat, pemandirian masyarakat, monitoring dan evaluasi. Hasil yang dicapai dari keseluruhan program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasimampu mengurangi angka pengangguran di Kabupaten Sampang lebih kurang 3%. Faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan masyarakat dalam mengurangi angka pengangguran adalah : faktor pendukung meliputi ketersediaan anggaran APBN, adanya komitmen Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, adanya semangat kebersamaan dan gotong royong, adanya pihak lain seperti UPT BLK Kabupaten Sumenep. Sedangkan faktor penghambat meliputi lemahnya koordinasii kerja, kurang optimalnya sosialisasi dan kurangnya tenaga pendamping/fasilitator
Using diffusion distances for flexible molecular shape comparison
<p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>Many molecules are flexible and undergo significant shape deformation as part of their function, and yet most existing molecular shape comparison (MSC) methods treat them as rigid bodies, which may lead to incorrect shape recognition.</p> <p>Results</p> <p>In this paper, we present a new shape descriptor, named Diffusion Distance Shape Descriptor (DDSD), for comparing 3D shapes of flexible molecules. The diffusion distance in our work is considered as an average length of paths connecting two landmark points on the molecular shape in a sense of inner distances. The diffusion distance is robust to flexible shape deformation, in particular to topological changes, and it reflects well the molecular structure and deformation without explicit decomposition. Our DDSD is stored as a histogram which is a probability distribution of diffusion distances between all sample point pairs on the molecular surface. Finally, the problem of flexible MSC is reduced to comparison of DDSD histograms.</p> <p>Conclusions</p> <p>We illustrate that DDSD is insensitive to shape deformation of flexible molecules and more effective at capturing molecular structures than traditional shape descriptors. The presented algorithm is robust and does not require any prior knowledge of the flexible regions.</p
IDSS: deformation invariant signatures for molecular shape comparison
<p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>Many molecules of interest are flexible and undergo significant shape deformation as part of their function, but most existing methods of molecular shape comparison (MSC) treat them as rigid bodies, which may lead to incorrect measure of the shape similarity of flexible molecules.</p> <p>Results</p> <p>To address the issue we introduce a new shape descriptor, called Inner Distance Shape Signature (IDSS), for describing the 3D shapes of flexible molecules. The inner distance is defined as the length of the shortest path between landmark points within the molecular shape, and it reflects well the molecular structure and deformation without explicit decomposition. Our IDSS is stored as a histogram which is a probability distribution of inner distances between all sample point pairs on the molecular surface. We show that IDSS is insensitive to shape deformation of flexible molecules and more effective at capturing molecular structures than traditional shape descriptors. Our approach reduces the 3D shape comparison problem of flexible molecules to the comparison of IDSS histograms.</p> <p>Conclusion</p> <p>The proposed algorithm is robust and does not require any prior knowledge of the flexible regions. We demonstrate the effectiveness of IDSS within a molecular search engine application for a benchmark containing abundant conformational changes of molecules. Such comparisons in several thousands per second can be carried out. The presented IDSS method can be considered as an alternative and complementary tool for the existing methods for rigid MSC. The binary executable program for Windows platform and database are available from <url>https://engineering.purdue.edu/PRECISE/IDSS</url>.</p
Investigation of Atomic Level Patterns in ProteinβSmall Ligand Interactions
BACKGROUND: Shape complementarity and non-covalent interactions are believed to drive protein-ligand interaction. To date protein-protein, protein-DNA, and protein-RNA interactions were systematically investigated, which is in contrast to interactions with small ligands. We investigate the role of covalent and non-covalent bonds in protein-small ligand interactions using a comprehensive dataset of 2,320 complexes. METHODOLOGY AND PRINCIPAL FINDINGS: We show that protein-ligand interactions are governed by different forces for different ligand types, i.e., protein-organic compound interactions are governed by hydrogen bonds, van der Waals contacts, and covalent bonds; protein-metal ion interactions are dominated by electrostatic force and coordination bonds; protein-anion interactions are established with electrostatic force, hydrogen bonds, and van der Waals contacts; and protein-inorganic cluster interactions are driven by coordination bonds. We extracted several frequently occurring atomic-level patterns concerning these interactions. For instance, 73% of investigated covalent bonds were summarized with just three patterns in which bonds are formed between thiol of Cys and carbon or sulfur atoms of ligands, and nitrogen of Lys and carbon of ligands. Similar patterns were found for the coordination bonds. Hydrogen bonds occur in 67% of protein-organic compound complexes and 66% of them are formed between NH- group of protein residues and oxygen atom of ligands. We quantify relative abundance of specific interaction types and discuss their characteristic features. The extracted protein-organic compound patterns are shown to complement and improve a geometric approach for prediction of binding sites. CONCLUSIONS AND SIGNIFICANCE: We show that for a given type (group) of ligands and type of the interaction force, majority of protein-ligand interactions are repetitive and could be summarized with several simple atomic-level patterns. We summarize and analyze 10 frequently occurring interaction patterns that cover 56% of all considered complexes and we show a practical application for the patterns that concerns interactions with organic compounds
APBSmem: A Graphical Interface for Electrostatic Calculations at the Membrane
Electrostatic forces are one of the primary determinants of molecular interactions. They help guide the folding of proteins, increase the binding of one protein to another and facilitate protein-DNA and protein-ligand binding. A popular method for computing the electrostatic properties of biological systems is to numerically solve the Poisson-Boltzmann (PB) equation, and there are several easy-to-use software packages available that solve the PB equation for soluble proteins. Here we present a freely available program, called APBSmem, for carrying out these calculations in the presence of a membrane. The Adaptive Poisson-Boltzmann Solver (APBS) is used as a back-end for solving the PB equation, and a Java-based graphical user interface (GUI) coordinates a set of routines that introduce the influence of the membrane, determine its placement relative to the protein, and set the membrane potential. The software Jmol is embedded in the GUI to visualize the protein inserted in the membrane before the calculation and the electrostatic potential after completing the computation. We expect that the ease with which the GUI allows one to carry out these calculations will make this software a useful resource for experimenters and computational researchers alike. Three examples of membrane protein electrostatic calculations are carried out to illustrate how to use APBSmem and to highlight the different quantities of interest that can be calculated
- β¦