3 research outputs found

    Sindrom Patau dengan genotipe 47,xy,+13,t(13:18)

    Get PDF
    Trisomy 13 (Patau syndrome) is cytogenetically classified as a 47,XY,+13 or 47,XX,+13, due to nondisjunction at meiosis I or II, or at mitosis (mosaicism), and partial trisomy due to translocation. Patau syndrome is one of the most common chromosomal anomalies with an estimated incidence of about 1/10,000 births characterized by the presence of cleft lip and/or palate, post axial polydactyly, low set ears, rocker-bottom feet, cryptorchidism, and congenital heart disease. This was a case report of a newborn baby in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in January 2016 with translocation of chromosome 13 segment to chromosome 18 or 47,XY,+13,t(13:18). Sindrom Patau dengan Genotype 47,XY,+13,t(13:18)Trisomi 13 (sindrom Patau) secara sitogenetik diklasifikasikan 47,XY,+13 atau 47,XX,+13, disebabkan oleh kegagalan pemisahan pada meiosis I atau II, atau pada mitosis (mosaicism) dan trisomi parsial yang disebabkan oleh translokasi. Sindrom Patau merupakan salah satu anomali kromosom yang paling sering dengan insidensi sekitar 1/10.000 kelahiran, dengan karakteristik fenotipe seperti celah bibir dan atau celah langit-langit, postaxial polydactyly, low set ears, rocker bottom feet, kriptokismus, serta kelainan jantung kongenital. Dilaporkan kasus sindrom Patau pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2016 yang menunjukkan segmen dari kromosom 13 translokasi ke kromosom 18 atau 47,XY,+13,t(13:18).Trisomi 13 (sindrom Patau) secara sitogenetik diklasifikasikan 47,XY,+13 atau 47,XX,+13, disebabkan oleh gagalnya pemisahan pada meiosis I atau II, atau pada mitosis (mosaicism) dan trisomi parsial yang disebabkan oleh translokasi. Sindrom Patau merupakan salah satu anomali kromosom yang paling sering dengan insidensi sekitar 1/10.000 kelahiran, dengan karakteristik fenotipe seperti celah bibir dan atau celah langit-langit, postaxial polydactyly, low set ears, rocker bottom feet, kriptokismus dan kelainan jantung kongenital. Laporan kasus ini menunjukkan segmen dari kromosom 13 translokasi ke kromosom 18 atau 47,XY,+13,t(13:18)

    Perbedaan Status Gizi dan Perawakan Pendek pada Anak Sakit Perut Berulang dengan Helicobacter Pylori Positif dan Negatif

    Get PDF
    Latar belakang. Sakit perut berulang (SPB) merupakan keluhan yang paling sering pada anak. Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) saat ini merupakan salah satu penyebab organik terbanyak pada anak SPB. Infeksi H. pylori dapat menyebabkan malnutrisi dan perawakan pendek, tetapi hal ini masih kontroversial. Tujuan. Mengetahui perbedaan status gizi dan perawakan pendek antara anak SPB dengan infeksi H. pylori positif dan negatif. Metode Penelitian potong lintang analitik dilakukan pada anak SMP dan SMA di Bandung yang mengalami SPB. Infeksi H. pylori berdasarkan pemeriksaan serologis menggunakan kit BioM pylori. Analisis perbedaan status gizi dan perawakan pendek antara anak SPB dengan infeksi H. pylori positif dan negatif menggunakan uji chi square. Hasil. Terdapat 224 subjek mengalami SPB dari 1658 subjek yang disurvey. Sebanyak 99 subjek memenuhi kriteria inklusi. H. pylori positif pada 45 subjek. Uji beda memperlihatkan perbedaan proporsi pada status gizi kurang dan infeksi H. pylori positif, namun belum bermakna secara statistik. Pada uji beda perawakan pendek dengan infeksi H. pylori positif tidak didapatkan perbedaan bermakna. Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan bermakna status gizi dan perawakan pendek pada anak SPB dengan infeksi H. pylori positif dan infeksi H. pylori negatif

    Necrotizing pneumonia pada anak

    No full text
    Pneumonia merupakan penyakit dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi pada anak usia di bawah 5 tahun, terutama negara berkembang. Necrotizing pneumonia (NP)  merupakan komplikasi yang jarang dan berat dari community acquired pneumonia (CAP). Destruksi parenkim paru normal disertai nekrosis multipel, abses, kavitas atau pneumatokel sebagai akibat oklusi trombotik kapiler alveolus di area konsolidasi terjadi pada NP. Pneumonia yang dalam perjalanannya terlihat lebih sesak, respon yang tidak adekuat dengan antibiotik konvensional, demam yang menetap dapat diperkirakan terjadi NP. Diagnosis ditegakkan dengan CT-scan toraks dengan kontras. Komplikasi berupa fistula bronkopleura, empiema, dan abses paru
    corecore