21 research outputs found
DINAMIKA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PERKARA JUDICIAL REVIEW
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dalam memutus perkara judicial review berperan sebagai negatif legislator untuk membatalkan norma yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun seiring perkembangan waktu, Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan norma, tetapi juga berperan sebagai positif legislator dengan mengubah frasa dalam undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang positif legislator serta bagaimana pandangan hukum Islam terkait permasalahan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan (conceptual and statute approach). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif-analitis kemudian disimpulkan. Hasil penelitian disimpulkan bahwa, Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara judicial review dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan, sehingga dituntut tidak hanya memosisikan diri sebagai negatif legislator, tetapi juga sebagai positif legislator. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positif legislator tidak menimbulkan kerugian bagi pembuat undang-undang, sepanjang tujuan dari putusan yang bersifat positif legislator adalah untuk mengisi kekosongan hukum. Kedepan, diharapkan adanya penguatan kelembagaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menerapkan positif legislator, sehingga akan lebih berkepastian hukum sekaligus menghindari polemik ditengah-tengah masyarakat. Kata Kunci: Judicial Review; Mahkamah Konstitusi; Positif Legislato
PENERAPAN SISTEM E-COURT DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MAKASSAR PERSPEKTIF SIYASAH SYAR’IYYAH
Mahkamah Agung telah berupaya melakukan inovasi melalui digitalisasi pelayanan administrasi perkara dengan sistem electronic court (e-court), yang secara regulatif diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem e-court khususnya di Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Makassar dan implikasinya terhadap penerapan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan perspektif Siyasah Syar’iyyah. Jenis penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan yuridis normatif, data berupa data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan pustaka, data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) PTUN Makassar secara efektif telah menerapkan sistem e-court sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, tetapi penerapannya masih terbatas pada tahap jawab-menjawab (gugatan, jawaban, replik, dan duplik), kesimpulan dan putusan; 2) sistem e-court berdampak pada proses berperkara yang lebih efisien dan efektif serta lebih murah dari segi biaya, karena para pihak tidak perlu datang dan mengantre diloket pelayanan, melainkan cukup mengakses aplikasi e-court; 3) pada prinsipnya, Islam tidak alergi ataupun menolak modernisasi, sehingga sepanjang tujuan dari penerapan e-court adalah untuk memudahkan pencari keadilan, maka keberadaan dan pelaksanaannya harus diapresiasi.Kata Kunci: Administrasi Peradilan; E-court; Siyasah Syar’iyyah; PTUN Makassa
PERAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN SINJAI
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah merupakan momentum pergantian tampuk kepemimpinan di daerah yang diselenggarakan secara demokratis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Sinjai pada tahun 2018. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kedudukan KPU dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah, dan apa kendala serta bagaimana pandangan masyarakat terkait proses pelaksanaannya. Keseluruhahan tahapan penelitian ini menggunakan konsep penelitian kualitatif. Adapun hasil penelitian menujukkan bahwa dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepada Daerah, KPU Kabupaten Sinjai berkedudukan sebagai pelaksana dari ketentuan peraturan perundang-undangan, yang mengacu pada tahapan-tahapan pemilihan yang telah ditetapkan. Secara garis besar, kendala yang dihadapi ada dua, yaitu kendala yang bersifat teknis seperti pendistribusian surat suara ke daerah-daerah yang lokasinya jauh dan sulit dijangkau, dan keterbatasan personil. Sementara kendala non teknis seperti tingkat partipasi pemilih, khususnya pemilih pemula dan lansia. Masyarakat menilai kinerja KPU Kabupaten Sinjai masih perlu ditingkatkan, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan sosialisasi yang harusnya dilakukan secara menyeluruh kesemua daerah, termasuk untuk daerah-daerah pelosok yang sangat potensial terjadi pelbagai bentuk kecurangan karena rendahnya pengetahuan masyarakat
Dinamika Perkembangan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
The Constitutional Court as the guardian of the constitution has a central role in a constitutional-democratic state. This study aims to reveal the extent of the development of the authority of the Constitutional Court in the constitutional system using a normative juridical approach. The results showed that the Constitutional Court experienced a "growth" of authority born from interpretations as an effort to renew and complement its constitutional authority. There are some powers that are not explicitly attributed to the 1945 NRI Constitution, but in practice, judges of the Constitutional Court interpret them to legitimize the basis of their authority. as in Perppu testing (formal and material), settlement of authority disputes between state institutions whose authority is delegative and settlement of disputes over regional head elections. The move confirms the inclusiveness of Constitutional Court judges on the dynamics of developments and legal needs in resolving every constitutional issue even though it is not stipulated in the Constitution and also as an effort and commitment to protect the constitutional rights of citizens.Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of the constitution memiliki peran yang sentral dalam negara demokrasi-konstitusional. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejauh mana perkembangan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi mengalami “pertumbuhan” kewenangan yang lahir dari penafsiran-penafsiran sebagai upaya memperbaharui dan melengkapi kewenangan konstitusionalnya. Terdapat beberapa kewenangan yang secara eksplisit tidak diatribusikan dalam UUD NRI 1945, tetapi dalam praktiknya, hakim Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran untuk melegitimasi dasar kewenangannya, seperti dalam pengujian Perppu (formil dan materil), penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya bersifat delegatif dan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Langkah tersebut mengonfirmasi inklusifitas hakim Mahkamah Konstitusi terhadap dinamika perkembangan dan kebutuhan hukum dalam menyelesaikan setiap persoalan ketatanegaraan sekalipun tidak diatur dalam UUD dan juga sebagai upaya dan komitmen untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara
Analisa Klausul Bersyarat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/Puu/Xviii/2020 dalam Pengujian Formil Undang-Undang
ABSTRAK
Pemaknaan dan penerapan klausul bersyarat yang dilakukan oleh mahkamah konstitusi yang dalam penggunaannya dimana klausul bersyarat sebagai bagian dalam putusan inkonstitusional bersyarat, klausul bersyarat juga menunjukkan sejatinya tidak terdapat perbedaan yang substansial terhadap putusan penggunaan klausul konstitusional bersyarat dengan klausul inkonstitusional bersyarat sehingga menyebabkan terdapat bias dalam pengujian formil Undang-Undang yang dilakukan oleh mahkamah konstitusi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisa klausul bersyarat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian formil Undang-Undang persfektif Siyasah Dusturiyyah, mengemukakan implementasi putusan klausul bersyarat terhadap kekuatan hukum yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, dan menganalisis tantangan yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam proses penentuan konsep penggunaan klausul bersyarat serta merumuskan solusinya,dalam menjawab permasalahan tersebut penulis menggunakan pendekatan deskriptif analitis, penelitian ini tergolong library research, data dikumpulkan dengan mengutip, menyadur, dan menganalisis dengan menggunakan analisis isi putusan (content analysis) terhadap literatur yang repsentatif dan mempunyai relevansi dengan masalah yang dibahas, kemudian mengulas, dan menyimpulkan. Lahirnya putusan bersyarat yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah saat penggugat melakukan gugatan dengan landasan suatu kekeliruan hukum tertentu baik itu materil maupun formil, namun gugatan tersebut berpotensi melahirkan kekosongan kekuasaan, maka Mahkamah Konstitusi menimbulkan tafsir sendiri pada batas koridor norma hukum yang ada guna mengisi potensi kekosongan hukum tersebut. Rumusan konstitusional putusan bersyarat yang baku atau tertulis dalam struktur perundang undangan saat ini belum ditemukan, akan tetapi rumusan putusan bersyarat ini juga belum ditemukan pelarangannya, maka dengan perbandingan tersebut hal itu menjadi berguna dalam mengisi kekosongan hukum.
Kata Kunci: Klausul Bersyarat; Putusan Mahkamah Konstitusi; Undang-Undan
PASAL IMUNITAS UNDANG-UNDANG ‘CORONA’ DAN KEWENANGAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM MENETAPKAN KERUGIAN NEGARA
AbstractArticle 27 paragraph (1) of Law No. 2 of 2020 (Corona Law) in particular the phrase "is not a state financial loss", is regarded as an article of immunity and its existence is deemed to be able to enforce the authority of the BPK as an authoritative state institution in assessing or establishing a financial loss of state. Provisions governing the authority of the BPK and the financial losses of the State, not including part of the provisions which are expressly revoked and/or otherwise void in the provisions of Article 28 of the Corona Law, which specifically contains and confirms the invalidity of the clauses of the various laws. While the phrase "is not a state financial loss" can not be justifying, because the formulation is still common, it tends to potentially cause disharmony between regulations. So in a juridical, the existence of Article 27 paragraph (1) of Corona Law, cannot enforce the authority of the BPK in assessing or establishing financial losses of state. Keywords: Corona law; BPK; State losses; Covid-19AbstrakPasal 27 Ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 (Undang-undang Corona) khususnya frasa “bukan merupakan kerugian negara”, diperspektifkan sebagai pasal imunitas dan keberadaannya dianggap dapat menegasikan kewenangan BPK sebagai lembaga Negara yang otoritatif dalam menilai atau menetapkan kerugian Negara. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan BPK maupun kerugian Negara, tidak termasuk bagian dari ketentuan-ketentuan yang secara tegas dicabut dan/atau dinyatakan tidak berlaku dalam ketentuan Pasal 28 Undang-undang Corona, yang secara khusus memuat dan menegaskan ketidakberlakuan pasal-pasal dari pelbagai Undang-undang. Sementara frasa “bukan merupakan kerugian negara” tidak dapat dijadikan justifikasi, karena rumusannya masih bersifat umum, bahkan cenderung berpotensi menimbulkan disharmonisasi antar peraturan perundangan-undangan. Sehingga secara yuridis, keberadaan Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Corona, tidak dapat menegasikan kewenangan BPK dalam menilai atau menetapkan kerugian Negara.Kata Kunci: Undang-Undang, BPK, Kerugian Negara, Covid-19
KONSEP PEMERINTAHAN DALAM ISLAM MENURUT ABU AL-A’LA AL-MAUDUDI SERTA KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DI INDONESIA
Differences in views regarding governance in Islam have caused debate among the people, for that al-Maududi tries to answer this problem by returning to the Qur'an, the sunnah, and the example given by Khulafa al-Rasyidun. This study aims to determine the system of government in Islam and the division of power according to Abu al-A'la al-Maududi and the possibility of its application in Indonesia. The research method used is library research, with a normative syar'i and philosophical approach. The results show that the Islamic government system according to Abu al-A'la al-Maududi can be grouped as a caliphate Islamic government system based on shura. Power is divided into legislative (ahl al-hal wa al-aqd), executive (ulu al-amr) and judicial (qadha). The application of the concept of Islamic government according to Abu al-A'la al-Maududi in Indonesia is faced with opportunities in the form of the existence of Islamic law in Indonesia, the view of Indonesia as an Islamic state and Islamic values in line with the nation's goals. The obstacles faced are the plurality of Indonesia, the view that there is no need to establish an Islamic state and the rejection of women's groups. The challenge is in the form of nationalist Islamic intellectual groups and secularization.Perbedaan pandangan mengenai pemerintahan dalam Islam menimbulkan perdebatan dikalangan umat, untuk itu al-Maududi mencoba menjawab permasalahan ini dengan kembali kepada al-Qur’an, sunah, serta contoh yang diberikan Khulafa al-Rasyidun. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pemerintahan dalam Islam dan pembagian kekuasaan menurut Abu al-A’la al-Maududi serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Metode penilitian yang digunakan adalah library research, dengan pendekataan normatif syar’i dan filosofis. Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem pemerintahan Islam menurut Abu al-A’la al-Maududi dapat dikelompokkan sebagai sistem pemerintahan Islam khilafah berdasarkan syura. Kekuasaan dibagi menjadi legislatif (ahl al-hal wa al-aqd), eksekutif (ulu al-amr) dan yudikatif (qadha). Penerapan konsep pemerintahan Islam menurut Abu al-A’la al-Maududi di Indonesia dihadapkan pada peluang berupa eksistensi hukum Islam di Indonesia, pandangan mengenai Indonesia sebagai negara Islam dan nilai-nilai Islam sejalan dengan tujuan bangsa. Hambatan yang dihadapi berupa pluralitas Indonesia, adanya pandangan bahwa tidak ada keharusan mendirikan negara Islam serta penolakan dari kelompok wanita. Tantangan berupa kelompok intelektual Islam nasionalis dan sekulerisasi
NILAI-NILAI KEADILAN DALAM KETETAPAN MPR-RI PERSPEKTIF SIYASAH SYAR’IYYAH
Nilai keadilan telah menjadi bahan kajian baik dikalangan ahli filsafat, agamawan, politikus, maupun para pemikir atau ahli hukum. Keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang dalam diskursus hukum dan negara. Selain itu, negara merupakan figur sentral dalam perwujudan keadilan. Studi ini membahas tentang nilai-nilai keadilan dalam Keputusan MPR RI dalam perspektif Siyasah Syar’iyyah. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Sebagai bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang perumusannya terikat dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, maka perumusan Ketetapan MPR wajib mengandung dan mencerminkan nilai-nilai keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa terkecuali, meskipun perwujudan dari nilai keadilan tersebut dalam kehidupan bernegara tidak mudah dioperasionalkan. Keadilan dalam Islam bersifat komprehensif, asas keadilan dalam Islam merupakan pola kehidupan yang memperlihatkan keberpihakan kepada kebenaran, tidak sewenang-wenang, istiqamah, bertanggungjawab baik dalam relasi sosial maupun politik. Keharusan setiap bentuk peraturan, termasuk Ketetapan MPR untuk mengadopsi dan mencerminkan nilai keadilan dapat diartikan bahwa Ketetapan MPR telah sejalan dengan pandangan siyasah syar’iyyah.Kata Kunci: Keadilan; Ketetapan MPR; Siyasah Syar’iyya
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEANGGOTAAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA: Studi Desa Tabbinjai Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa
Women's representation in the Badan Permusyawaratan Desa is mandated by the Village Law to encourage women's involvement in policy formulation at the village level. This study aims to analyze women's representation in the Badan Permusyawaratan Desa in Tabbinjai Village, Tombolo Pao District, Gowa Regency in the perspective of Islamic law. This research is a qualitative field research with a legislative and theological approach to syar'i. Data is sourced from primary and secondary data obtained through observation, interviews, and literature studies. Women's representation in the structure of the Badan Permusyawaratan Desa in Tabbinjai Village has fulfilled the provisions of laws and regulations, even though the quota does not reach 30%. The lack of interest and representation of women is influenced by various factors, such as lack of socialization about the role and function of the Badan Permusyawaratan Desa, an election system that seems closed, education level and the choice to focus on other professions. The involvement of women in the public sphere caused dissent among scholars, some expressly forbidding on the basis of hadith narrated by Abu Abkrah. Other scholars, however, argue that the hadith does not apply in general, but only applies to the Persian empire. Because historically, there are examples of women's leadership, both those described in the Qur'an and those that occurred during the time of the Holy Prophetsa and his companions.
Women's representation in the Badan Permusyawaratan Desa is mandated by the Village Law to encourage women's involvement in policy formulation at the village level. This study aims to analyze women's representation in the Badan Permusyawaratan Desa in Tabbinjai Village, Tombolo Pao District, Gowa Regency in the perspective of Islamic law. This research is a qualitative field research with a legislative and theological approach to syar'i. Data is sourced from primary and secondary data obtained through observation, interviews, and literature studies. Women's representation in the structure of the Badan Permusyawaratan Desa in Tabbinjai Village has fulfilled the provisions of laws and regulations, even though the quota does not reach 30%. The lack of interest and representation of women is influenced by various factors, such as lack of socialization about the role and function of the Badan Permusyawaratan Desa, an election system that seems closed, education level and the choice to focus on other professions. The involvement of women in the public sphere caused dissent among scholars, some expressly forbidding on the basis of hadith narrated by Abu Abkrah. Other scholars, however, argue that the hadith does not apply in general, but only applies to the Persian empire. Because historically, there are examples of women's leadership, both those described in the Qur'an and those that occurred during the time of the Holy Prophetsa and his companions