221 research outputs found
Analisis Struktur Gending Tangis (Bagian Kawitan sampai Pangipuk)
Gambelan Palegongan mempunyai bentuk dan struktur gending yang biasanya diintikan oleh tiga bagian penting, yaitu ; pangawak, pangecet, dan pakaad. Setelah adanya ketiga bagian inti tersebut kemudian dilengkapi dengan beberapa bagian lain sebagai perbendaharaan susunan tari yang diiringi. Bagian-bagian gending yang dimaksud seperti ; pengalihan atau gineman, pangawit, gabor bapang, lalonggoran, pangipuk, batel, batel maya, pangetog, pamalpal dan tangis (Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali, 1974/1975 : 37).
Berdasarkan uraian di atas, dapat memberikan gambaran yang jelas untuk menganalisa Gending Tangis secara lengkap. Menurut komposisinya, bagian-bagian yang menyusun Gending Tangis terdiri dari : 1) kawitan, 2) pangawak, 3) pangecet, 4) pangrangrang, 5) pangipuk, 6) gabor, 7) batel, 8) bapang, 9) pakaad, dan 10) bapang pesiat. Untuk lebih jelasnya, lihat pada lampiran notasi gending.
1) Kawitan
Kawitan (pangawit) adalah melodi awal untuk memulai gending yang dilakukan oleh permainan gender rambat. Apabila dilihat dari nada-nada yang menyusunnya, kawitan Gending Tangis terdiri dari 16 matra, masing-masing matra terdiri dari empat ketukan atau empat peniti penyacah. Keseluruhan dari kawitannya terdiri dari 14 ketukan, empat peniti jegogan, sekali gong dan belum ada peniti jublag. Pukulan kendang baik lanang maupun wadon turun pada akhir matra ke-12 dan selesai pada akhir matra ke-16.
2) Pangawak
Pangawak berasal dari kata awak (bahasa Bali), dalam bahasa Indonesia sama dengan badan, merupakan bagian utama atau inti dari sebuah gending. Melalui pangawak orang dapat mengetahui ukuran dari sebuah gending, baik yang disebut tabuh pisan, tabuh dua maupun tabuh telu. Dilihat dari melodi yang menyusunnya, pangawak Gending Tangis memiliki melodi yang terpanjang dibandingkan dengan bentuk-bentuk melodi yang menyusunnya. Dalam satu palet atau satu gong, terdiri dari ; 16 baris atau 16 pada, meliputi ; 256 peniti panyacah, 64 peniti jublag, 16 peniti jegogan dan tiga kali pukulan kemong. Pukulan kemong jatuh pada setiap 64 peniti panyacah, atau setiap 16 kali pukulan jublag atau setiap empat kali pukulan jegogan, sampai pada finalis satu gongan. Berdasarkan analisa pangawak ini, maka dapat diketahui bahwa Gending Tangis memiliki ukuran tabuh telu, karena terdapatnya tiga kali pukulan kemong dalam satu gong.
3) Pangecet
Pangecet biasanya dirangkaikan dengan pangawak mempergunakan pupuh kekendangan asta windu. Untuk dapat disebut pangecet tabuh telu, paling tidak memiliki ukuran lagu 64 ketukan dalam satu gong, atau terdiri dari empat baris melodi. Akan tetapi gending ini, melodi pangecetnya hanya terdiri dari satu baris melodi, diberikan nama pengecet karena mempergunakan pola kendang ecet-ecetan yang dalam hal ini pengecet tabuh pisan menyesuaikan melodi yang ada. Pangecet tabuh pisan biasanya terdiri dari dua baris melodi (32 ketukan), satu baris adalah peluang untuk pukulan kemong, dan satu baris lagi sebagai finalis (gong).
Seperti diuraikan di atas bahwa pangawak gending ini memiliki ukuran tabuh telu. Paling tidak pengecetnya juga harus memiliki ukuran tabuh telu, karena pangawak dan pengecet merupakan ukuran dari gending Palegongan untuk menyebutkan nama tabuh. Akan tetapi demikian kenyataannya, pangecet gending ini hanya setengah dari pengecet tabuh pisan yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengecet tidak selalu dipakai ukuran untuk menentukan nama tabuh seperti ukuran pada melodi pangawak.
4) Pangrangrang
Pangrangrang adalah permainan bebas yang dilakukan oleh gender rambat yang biasanya terdapat pada awal gending untuk memperkenalkan nada-nada sebelum mengalih kepada permainan pokok. Atau pangrangrang juga terdapat ditengah-tengah gending sebagai transisi bagian gending yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kebutuhan. Sistem permainan pangrangrang tidak terikat oleh tempo, bersifat improvisasi dalam batas permainan yang ada. Tempo permainan dari satu nada ke nada yang lainnya terutama setelah jatuhnya pukulan jegogan, agak sulit ditebak karena sifat permainannya lebih mengutamakan rasa. Sehingga mengalami kesulitan untuk menotasi secara tepat, dan yang berhasil ditulis disini adalah berdasarkan perasaan penulis saja. Bentuk pangrangrang di dalam Palegongan, sudah umum dikenal bahwa motif dan jenisnya hampir sama satu dengan yang lain, boleh dikatakan jenis pangrangrang dalam Palegongan klasik bentuknya sudah dianggap baku biasanya dimulai dengan nada ndung kecil (tinggi). Menurut notasi yang penulis catat bahwa pangrangrang gending Palegongan ini terdiri dari 14 baris atau 58 matra yang berakhir pada nada ndong. Permainannya dodominir oleh gender rambat dilengkapi dengan suling dan rebab. Untuk memperjelas melodinya pada bagian-bagian tertentu diberi pukulan jegogan, dalam hal ini terdiri dari lima peniti jegogan sampai akhir sebagai finalis jatuhnya pukulan gong.
5) Pangipuk
Pangipuk merupakan istilah yang dipinjam dari istilah tari, sebagai bagian dari struktur lagu, gending tidak memiliki bagian yang disebut pangipuk. Disebut pangipuk disesuaikan dengan bentuk tari dan pola melodi yang menyusunnya. Melodinya terdiri dari dua baris atau 32 ketukan, sedangkan 32 ketukan merupakan ukuran melodi pakaad. Akan tetapi kalau dikatakan pakaad, pupuh kekendangannya adalah kendang ipuk-ipukan dengan pola sejenis bebaturan. Kendang bebaturan adalah jenis pupuh yang dimainkan oleh kendang yang telah memiliki pola tertentu. Pola ini dapat dibuat pendek maupun panjang sesuai kebutuhan gending. Kalau melodinya dalam ukuran tabuh pisan, maka pupuh kekendangannya dimainkan singkat dalam arti pada bagian-bagian tertentu tidak ada pengulangan, demikian seterusnya dapat diulang sampai dua kali hingga tiga kali sesuai dengan panjangnya melodi. Dengan demikian jenis kendang bebaturan dapat dipergunakan untuk menentukkan ukuran tabuh. Berdasarkan bentuk analisa di atas bagian gending ini dapat disebut pangipuk yang berpola bebaturan
The Characteristic of Soil Developed From Felsic Sediments in West Kalimantan Province and Its Implication to Land Manageme
Reconnaisance soil survey at 1:250.000 scale in West Kalimantan Province has been done covering 5.5 billion hectare. Result show that parent material governs formed soil properties. This research aimed to discuss soil properties developed from felsic sediment parent material in West Kalimantan Province and its implication to land management. As much as 100 pedons from felsic sediment parent material has been investigate in the field and in the laboratory for particle size distribution and chemical properties. Results show that particle size distribution or soil texture depend on parent material (sandstone, siltstone or claystone). Developed soil show acid soil reaction, ion organic material, ion P and K, ion exchangeable bases, ion base saturation, variable cation exchange capacity. Meanwhile, Al saturation is high and correlate positively with clay content. Soil properties that influence land management are particle size distribution and chemical properties. Land management showed be directed to increase soil pH, to decrease Al reactivity, to increase soil P and K, organic matter and exchangeable bases
Gending Klasik Palegongan
Bertitik tolak dari ciri tradisi seperti diuraikan di atas, Palegongan merupakan salah satu barungan klasik yang mampu bertahan dan masih terpelihara sampai sekarang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “klasik” diartikan mempunyai nilai atau posisi yang diakui dan tidak diragukan, yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak ukur, bersifat sederhana, serasi dan tidak berlebihan (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 445).
Istilah klasik tidak sekedar menggolongkan sekelompok bentuk seni menurut tempat atau kelompok orang, akan tetapi sebagai sebutan bentuk kesenian yang mengandung konotasi penting tentang sifat bentuk-bentuk kesenian karena keindahan dan standarnya yang tinggi, dipeliharan sampai ke anak cucu, mengacu kepada suatu gaya dari suatu masa khusus, suatu gaya karena ciri-ciri bentuk yang dapat digambarkan secara jelas. Lebih lanjut istilah klasik menunjukan sifat antik atau tua, sifat mapan dari bentuk-bentuk kesenian yang sudah mencapai suatu keadaan ideal (Jennifer Lindsay, 1989 : 50).
Berbicara tentang Palegongan sebagai bentuk kesenian yang tergolong klasik punya konotasi yang sama dengan kerumitan, bentuk dan standar yang tinggi. Bagaimanapun juga, istilah klasik masih mempunyai hubungan etimologis khusus, jika digunakan utnuk menggambarkan kesenian tradisional. istilah klasik tidak mempunyai petunjuk acuan yang dapat dibandingkan dengan perkembangan selanjutnya. Jika istilah tersebut dipakai untuk mengacu kepada salah satu kesenian yang mencapai puncaknya, sehingga berkaitan dengan gagasan tentang identitas, masa lalu, dan suatu pandangan tentang bentuk yang ideal atau yang optimal, maka istilah klasik selalu menunjuk kepada bentuk terbaru yang dicapai pada masa sebelumnya.
Suatu gagasan bahwa tahap perkembangan yang dicapai oleh Palegongan sebagai kesenian klasik, merupakan tahap yang ideal atau “puncak” dan bukan tahap menengah atau paling rendah, menunjukkan bahwa artistik masa lalu itu sendiri sekarang lebih dihargai. Tetapi implikasi pandangan semacam itu adalah bahwa bentuk kesenian klasik yang telah mencapai puncaknya tidak dapat dikembangkan lebih lanjut, kecuali dilepaskan dari keadaan optimum tersebut, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa setiap perubahan dan bentuk yang ideal dapat berarti kemunduran atau penurunan.
Dalam pendekatan klasik kesenian merupakan pernyataan dari pada idealisme intelektual, didasari oleh seperangkat sistem perlambangan yang menetap, yang dapat berbeda-beda menurut kemampuan setiap seniman dalam cara menyatakan dan cara menyajikannya, serta identitas penghayatannya (Jennifer Lindsay, 1989: 52).
Melalui acuannya kepada sifat mapan dari kesenian klasik, dan gagasan tentang suatu puncak yang telah dicapai, berarti bahwa bentuk-bentuk kesenian yang telah mencapai puncaknya harus dapat dikenali, dan bahwa bentuk puncak juga harus tidak hanya dapat dikenali, tetapi paling tidak dalam teori harus dapat direproduksi. Menekankan identifikasi batasan-batasan formal sebagai ciri pokok kesenian klasik punya implikasi penting bagi cara bagaimana bentuk-bentuk kesenian semacam itu dihargai, dan bagi keputusan-keputusan yang dibuat sebagai usaha mempertahankan bahkan menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian tersebut
Attitudes Towards Sexuality in Males and Females with Intellectual Disabilities: Indonesia Setting
Introduction: sexual and reproductive rights in individuals with intellectual disabilities (ID), particularly in developing countries, are often neglected. Although affected individuals never complained, the problems were found augmented from the affected families. Over the last two decades, parents and professionals acknowledged sexual and reproductive right and try to accommodate these needs. Indonesia, a developing country with a strong religious and culture beliefs may has different perspectives on attitudes towards sexuality in individuals with ID which respect the sexual and reproductive right augmented from the affected family. The aimed of this study was to explore the attitudes towards sexuality on individuals with ID. The findings are expected to contribute to the movement in recognizing sexual and reproductive health and rights (SRHR) in individuals with ID.Methods: thirty participants were included in this study consisted of supporting staffs of rehabilitation center for disabled individual, parents, religious leaders and community. Participants fulfilled the two sets of Attitude to Sexuality Questionnaires towards individuals with ID (ASQ-ID).Results: the attitudes towards sexuality in males were found similar with females with ID, age did not play a role in the attitude towards sexuality in ID. Indonesian attitudes towards sexuality in individuals with ID was found the most conservative compared to other countries with the mean of sexual right was 3.7±0.22, parenting was 3.5±0.30, non-reproductive sexual behavior was 3.4±0.49, and self-control was 3.4±0.73.Conclusion: the attitudes towards sexuality in individual with ID is somewhat negative, strong culture and religious beliefs /and values may have strong influence
Berbagai Briket Sampah Alam Untuk Bahan Bakar Tungku Hemat Energi (the) S1 Dan S2
Kesulitan mendapatkan minyak tanah dan gas menyebabkan banyak ibu rumah tangga beralih ke kayu bakar. Makalah ini menguraikan hasil penelitian alternatif bahan bakar yang lebih hemat, mudah didapat/dibuat, serta menampilkan hasil percobaan penggunaan bahan bakar tersebut dalam Tungku Hemat Energi (THE) untuk merebus air. Beberapa tungku hemat energi dibahas secara singkat. Bentuk THE S1 dan THE S2 mungil dan ringan sehingga mudah dibawa-bawa untuk promosi ke daerah yang jauh. Perhitungan produksi massal diberikan sebagai masukan dalam menghitung harga unit menyesuaikan kemampuan dan fasilitas di suatu industri lokal. Perhitungan pendanaan ini mencakup upaya penyebar-luasannya melalui pendidikan masyarakat dan training for trainers. Diharapkan THE hasil riset ini akan teraplikasikan dan menyebar dengan cepat menampilkan aksi nyata menghemat penggunaan kayu di alam agar pohon-pohon di sekitar hunian tidak cepat habis dan menghindarkan daerah yang luas agar tidak cepat menjadi tandus
Model Pembelajaran Bola Basket melalui Permainan Basket Drum dalam Pendidikan Jasmani pada Siswa Kelas VIII SMP
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengembangan dari model pembelajaran bola basket melalui permainan basket drum dalam penjas untuk kelas VIII SMP N 1 Pujut kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Metode penelitian menggunakan penelitian pengembangan termasuk observasi lapangan, wawancara dan kajian pustaka, Data berupa hasil penilaian mengenai kualitas produk, dan hasil pengisian kuisioner oleh siswa. Data uji coba diperoleh data evaluasi ahli yaitu ahli penjas 81,3 % (baik), ahli pembelajaran I 93,3 % (sangat baik), ahli pembelajaran II 84,4 % (baik), uji coba kelompok kecil 79,1 % ( baik), dan uji lapangan 81,4 % (baik).
Dari hasil di atas, maka dapat disimpulkan model pembelajaran permainan basket drum dalam penjas untuk siswa kelas VIII SMP N 1 Pujut Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah dapat digunakan. Model pembelajaran permainan bola basket yang dimodifikasi dapat diterima dan dilaksanakan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmanai pada siswa kelas VIII SMPN 1 Puju
Future Prospect of Cdm Solar Cooker Project Aceh 1, Indonesia
Firewood in almost all rural areas uses firewood for cooking. Smoke exposure from firewood seriously affects the children's growth and the health of women, increasing woman burden and poverty. Its greenhouse gas (GHG) emissions contribute to global climate change. This is one of the greatest challenges of humanity. The CDM (Clean Development Mechanism) Solar Cooker Project in Sabang Islands and Badar city in South East Aceh was arranged to lay down a better energy path scenario for the future. Solar concentrator cookers "K14" and heat retaining containers named "Wonder box" will be transferred to the people. This project avoids 3.5 tonnes CO2 emissions per year per K14 and applies for a renewable crediting CER (carbon emission reduction) for 7 years period. The CER verification is described. Some views as a societal research finding within the CDM Solar Cooker Project Aceh 1 are described briefly
- …