21 research outputs found

    Implementasi Model Pembelajaran Visualization Auditory Kinestetic (VAK) Dapat Meningkatkan Prestasi Matematika Materi Fungsi Kuadrat Pada Siswa Kelas IX B Di SMP Negeri 5 Ngawi Kabupaten Ngawi Tahun Pelajaran 2019/2020

    Get PDF
    Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan Model Pembelajaran Visualization Auditory Kinestetic (VAK) dapat meningkatkan  prestasi belajar Matematika materi fungsi kuadrat pada Siswa  Kelas IX B, SMP Negeri 5 Ngawi Kabupaten Ngawi, Tahun Pelajaran 2019/2020? Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: mengetahui penerapan Model Pembelajaran Visualization Auditory Kinestetic (VAK) dapat meningkatkan  prestasi belajar Matematika materi fungsi kuadrat pada Siswa Kelas IX B, SMP Negeri 5 Ngawi Kabupaten Ngawi, Tahun Pelajaran 2019/2020. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan (action research) sebanyak tiga putaran. Setiap putaran terdiri dari empat tahap. Sasaran penelitian ini adalah siswa Kelas IX B di Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Ngawi, Kabupaten Ngawi. Data yang diperoleh berupa hasil tes formatif, lembar observasi kegiatan belajar mengajar. Penggunaan Model Pembelajaran Visualization Auditory Kinestetic (VAK) dapat meningkatkan  prestasi belajar Matematika materi fungsi kuadrat pada Siswa  Kelas IX B, SMP Negeri 5 Ngawi, Kabupaten Ngawi, Tahun Pelajaran 2019/2020, hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya rata-rata hasil belajar siswa terhadap materi yang disampaikan guru (rata-rata hasil evaluasi belajar siswa meningkat dari siklus I, II, dan III) yaitu masing-masing (70,31), (81,41), dan (87,97), sedangkan prosentase ketuntasan secara klasikal belajar siswa meningkat dari siklus I, II, dan III) yaitu masing-masing (68,75 %), (81,25 %), dan (90,63 %). Pada siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal tercapai

    PELATIHAN PEMETAAN STATUS GIZI BALITA BAGI KADER POSYANDU BALITA DI KECAMATAN NGALIYAN KOTA SEMARANG

    Get PDF
    Abstrak: Kasus gizi kurang dan gizi buruk balita pada bulan Januari sampai Mei 2017 dijumpai di Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang dengan kasus gizi kurang sebanyak 174 balita dan kasus gizi buruk sebanyak 10 balita. Peranan kader posyandu balita dalam peningkatan program gizi bagi Puskesmas Ngaliyan sangat penting, dalam pencatatan kegiatan di posyandu dan melaporkan setiap bulannya ke Puskesmas Ngaliyan. Adanya pencatatan dan pelaporan secara manual menjadikan kendala dalam pengelolaan data status gizi karena pihak Puskesmas Ngaliyan belum bisa secara langsung memantau status gizi balita di wilayah kerjanya khususnya di Kelurahan Podorejo dan Kelurahan Wates, sehingga masih terjadinya kasus balita gizi kurang dan balita gizi buruk. Adapun metode pelaksanaan dalam pelatihan secara sistematis meliputi Analisis masalah dari kader posyandu, Identifikasi karakteristik kader posyandu balita, pengetahuan, kemampuan dalam pencatatan dan pelaporan status gizi balita berbasis wilayah, Analisis kebutuhan dan keputusan sistem, dan Pelatihan sistem informasi geografis status gizi balita dan pelaporan kasus gizi balita. Kegiatan ini sudah dilakukan pelatihan pemetaaan status gizi balita bagi kader posyandu sebanyak 9 orang dari Kelurahan Podorejo dan Kelurahan Wates Kecamatan Ngaliyan. Hasil dari kegiatan pelatihan kader posyandu balita didapatkan para kader posyandu antusias untuk mengikuti pelatihan dan memberikan masukan untuk perbaikan aplikasinya dengan menambahkan pilihan lokasi posyandu. Abstract:  Cases of malnutrition and malnutrition of children under five from January to May 2017 were found in Ngaliyan District, Semarang City with 174 cases of malnutrition and 10 cases of malnutrition. The role of posyandu cadres for toddlers in improving the nutrition program for Puskesmas Ngaliyan is very important, in recording activities at the posyandu and reporting monthly to Puskesmas Ngaliyan. The existence of manual recording and reporting creates obstacles in the management of nutritional status data because the Ngaliyan Community Health Center cannot directly monitor the nutritional status of children under five in its working area, especially in Podorejo and Wates sub-districts, so there are still cases of under-nutrition and malnutrition under five. The method of implementing the training systematically includes problem analysis of posyandu cadres, identification of posyandu cadre characteristics for toddlers, knowledge, ability to record and report regional-based nutritional status of children under five, analysis of needs and system decisions, and training in geographic information systems of toddler nutrition status and reporting of cases. toddler nutrition. This activity has been carried out by training on mapping the nutritional status of toddlers for posyandu cadres as many as 9 people from Podorejo Village and Wates Village, Ngaliyan District. The results of the posyandu cadre training activities were found that posyandu cadres were enthusiastic about participating in the training and provided input for improving the application by adding posyandu location option

    Perubahan Tutupan Hutan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur: Penjelasan dari Pendekatan Kelembagaan

    Full text link
    Menggunakan pendekatan kelembagaan, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari Perubahan tutupan hutan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Jenis data yang digunakan terdiri dari: data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif digunakan untuk menganalisis Perubahan tutupan hutan di areal kawasan hutan dan areal penggunaan lain. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara dengan metode snowballing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan hutan di Kabupaten Paser baik yang berada di areal kawasan hutan maupun di areal penggunaan lain telah berubah menjadi bentang lahan dengan beragam jenis tutupan : semak belukar, pemukiman, rawa, tambak, perkebunan, pertanian, tanah kosong, dan pertambangan. Tiga faktor menyebabkan Perubahan tutupan hutan tersebut, yaitu : (1) berkembangnya investasi berbasis sumberdaya lahan, (2) adanya politik transaksional yang menjadikan hutan sebagai barang transaksi berbagai kepentingan, dan (3) situasi kaotik pengelolaan hutan dengan terbukanya jejaring organisasi di masyarakat. Guna mengurangi konversi hutan yang sedang berlangsung secara berlebihan, hasil studi menyarankan pemerintah pusat dan daerah secara bersama-sama perlu secepatnya melakukan penegakan hak kepemilikan atas sumberdaya hutan yang tersisa

    Pengaruh Dinamika Spasial Sosial Ekonomi pada suatu Lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS) terhadap Keberadaan Lanskap Hutan (Studi Kasus pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel, Jawa Barat)

    Full text link
    Kelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan sekitarnya, baik yang bersifat ekologis, ekonomis maupun sosial. Pengelolaan sumberdaya hutan perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan. Oleh karenanya, rencana penataan tata guna hutan perlu pengelolaan di tingkat lanskap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan timbal Balik antara kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di dalam wilayah suatu DAS dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhi terjadinya dinamika lanskap hutan. Metode untuk menentukan keeratan masing-masing karakteristik (lingkungan dan sosial-ekonomi) dengan keberadaan hutan, menggunakan model (GWR) dengan melihat nilai korelasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor biofisik dan sosial ekonomi yang mempunyai korelasi yang kuat terhadap keberadaan lanskap hutan pada DAS Citanduy Hulu dan DAS Ciseel adalah (i) curah hujan, (ii) kelerengan, (iii) kepekaan tanah terhadap erosi, (iv) kerapatan drainase, (v) rata-rata lereng, (vi) kepadatan agraris dan (vii) ketegantungan terhadap lahan

    STAKEHOLDERS' PERCEPTION ON MANAGEMENT OF UPSTREAM CILIWUNG WATERSHED: IMPLICATIONS FOR FOREST LANDSCAPE PLANNING

    Get PDF
    Forests play a vital role for the livelihoods of rural and urban communities. Addressing perception of forest users regarding forest practices is one of the most important aspects of forest management. This paper aims to elaborate stakeholders’ perception on the biophysical, socio-economic and institutional aspects of forest landscape management in upstream Ciliwung watershed. Data were collected through survey, by highlighting preferences, perceptions, and expectations of actors who are interested in the impacts of watershed management. This study indicates that communities at upstream Ciliwung watershed area perceived that the socio-economic aspect is the most important factor in managing upstream Ciliwung watershed. The governments (central and local), however, pay more attention to the biophysical and institutional aspects. The result of the overall perception analysis shows that institutional aspects need to be addressed first, followed by socio-economic aspects and biophysical aspects to improve the management of upstream Ciliwung watershed. Addressing institutional aspects is needed to enhance awareness and coordination among stakeholders, to enforce law and to develop a monitoring system to support the preservation of the forest at the upstream watershed areas. In terms of socio-economic aspects, improving community livelihoods is needed through payments for environmental services. Regarding biophysical aspects, afforestation and conservation of soil and water need to be prioritised. Thus, there should be programs that could provide solutions based on the three main aspects to improve the management of the forest resources in the upstream watershed area

    Karakteristik Ekologi dan Sosial Ekonomi Lanskap Hutan pada DAS Kritis dan Tidak Kritis: Studi Kasus di DAS Baturusa dan DAS Cidanau

    Full text link
    Hutan memiliki peran penting baik dalam pembangunan lingkungan dan pembangunan ekonomi. Untuk mewujudkan kelestarian tersebut, sistem pengelolaan hutan harus memperhatikan karakteristik lanskap hutan itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik ekologi dan sosial ekonomi DAS kritis dan tidak kritis. Pengetahuan tentang karakteristisk tersebut sangat penting untuk menentukan kebijakan sistem pengelolaan lanskap hutan yang lestari pada suatu wilayah DAS. DAS Cidanau dan DAS Baturusa dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan keduanya mewakili DAS tidak kritis dan kritis. Data yang dianalisa adalah data tahun 2009 dengan menggunakan metode analisa GIS dan deskriptif kualitatif. Hasil analisis menunjukan bahwa karakteristik ekologi DAS Cidanau lebih baik dibandingkan DAS Baturusa. Sebaliknya, karakteristik ekonomi DAS Baturusa lebih baik dibandingkan DAS Cidanau. Berdasarkan karakteristik sosial, kedua DAS tersebut menunjukan kondisi yang hampir sama. Kegiatan yang dapat memberikan dampak positif terhadap karakteristik lanskap hutan adalah mekanisme jasa lingkungan hulu hilir serta sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya konservasi hutan kepada masyarakat secara intensif

    Penggunaan Delta C-Reactive Protein dan SOFA Score Sebagai Prediktor Kematian Pasien Sepsis

    Get PDF
    Penelitian ini berfokus pada penggunaan skor DELTA CRP dan SOFA dalam memprediksi prognosis pada pasien ICU. Penelitian observasional kohort digunakan sebagai desain. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito periode Februari–Juli 2019. Sampel dipilih menggunakan teknik pengambilan sampel berturut-turut. Para peneliti mengumpulkan 32 responden dengan sepsis dan syok sepsis yang dirawat di ICU berdasarkan kondisi ini. Skor area under curve (AUC) delta CRP menunjukkan >0,7 (0,780;CI 95%: 0,58–0,97) dengan cut-off 3 (sensitivitas=53,8%, spesifisitas=91%), menyiratkan bahwa CRP delta dapat menunjukkan keadaan pasien sepsis dan syok septik yang memburuk, tetapi kurang sensitif untuk memprediksi kematian. Sementara itu, skor AUC of SOFA >0,7 (0,787; 95% CI: 0,58–0,98) pada hari ke-0 dengan cut-off 8,5 (sensitivitas=76,9%, spesifisitas=81,8%), dan 0,836 (CI 95%: 0,67–0,99) pada hari ke-2 dengan cut-off 6 (sensitivitas=84,6%, spesifisitas=72,7%). Hal ini menunjukkan bahwa skor SOFA dapat memprediksi tingkat kematian prognostik pada pasien yang didiagnosis sepsis dan syok septik di ICU. Baik skor delta CRP dan SOFA memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,7, tetapi hanya delta CRP yang memiliki sensitivitas rendah sebagai prognostik kematian.Penelitian ini berfokus pada penggunaan skor DELTA CRP dan SOFA dalam memprediksi prognosis pada pasien ICU. Penelitian observasional kohort digunakan sebagai desain. Sampel dipilih menggunakan teknik pengambilan sampel berturut-turut. Para peneliti mengumpulkan 32 responden dengan sepsis dan syok septik yang dirawat di ICU berdasarkan kondisi ini. Skor AUC delta CRP menunjukkan > 0,7 (0,780) (CI 95%: 0,58-0,97) dengan cut off 3 (sensitivitas= 53,8%, spesifisitas= 91%), menyiratkan bahwa CRP delta dapat menunjukkan keadaan pasien sepsis dan syok septik yang memburuk, tetapi kurang sensitif untuk memprediksi kematian. Sementara itu, skor AUC of SOFA > 0,7 (0,787) (95% CI: 0,58-0,98) pada hari ke-0 dengan cut off 8,5 (sensitivitas=76,9%, spesifisitas= 81,8%), dan 0,836 (CI 95%: 0,67-0,99) pada hari ke-2 dengan cut off 6 (sensitivity=84,6%, spesifisitas=72,7%). Hal ini menunjukkan bahwa skor SOFA dapat memprediksi tingkat kematian prognostik pada pasien yang didiagnosis sepsis dan syok septik di ICU. Baik skor delta CRP dan SOFA memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,7, tetapi hanya delta CRP yang memiliki sensitivitas rendah sebagai prognostik kematian.

    Kebijakan Penetapan Harga Dasar Penjualan Kayu Hutan Tanaman Rakyat dalam Rangka Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat

    Full text link
    Harga dasar penjualan kayu hutan tanaman rakyat (HTR) perlu ditetapkan oleh menteri kehutanan untuk melindungi hak petani kayu HTR. Penetapan harga dasar tersebut perlu dikaji melalui penelusuran praktek penjualan kayu HTR yang dilakukan di lapangan. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan penetapan harga dasar penjualan kayu HTR dengan mengambil lokasi penelitian di Jambi dan Riau. Dengan menerapkan metode Policy Analysis Matrix (PAM), penetapan harga dasar didekati dengan menghitung harga pasar, harga tunggak atau tegakan dan harga sosial atau paritas. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis kayu, Peruntukan kayu serta daur tanaman mempengaruhi harga dasar penjualan kayu. Sedangkan harga penjualan, jumlah produksi dan jarak lahan tanam ke pabrik serta faktor produksi mempengaruhi penghasilan petani. Di Jambi, selain jenis kayu acacia mangium petani HTR juga menjual kayu karet. Sedangkan di Riau, petani HTR hanya menjual kayu acacia mangium. Harga kayu di kedua lokasi kajian berbeda, dimana harga di Jambi lebih tinggi dari pada harga di Riau. Kayu karet rakyat di Jambi dijual di tingkat petani dengan harga Rp 220.000 s/d Rp 250.000 per m3 , sedangkan di Riau Rp 132.000 s/d Rp 148.000/ton. Harga tunggak kayu Acacia mangium di Propinsi Jambi sekitar Rp 208.073,84 s/d 226.471,10 per ton. Harga tunggak kayu Acacia mangium di Propinsi Riau sekitar Rp 106.218,76 s/d Rp 118.580,91 per ton. Harga sosial di Jambi 245.000 s/d 270.000, sedangkan di Riau 150.500 per m3 . Tampak bahwa harga pasar/aktual berbeda dari harga sosial/efisiensi, artinya ada divergensi. Hal ini diakibatkan oleh adanya kegagalan pasar atau distorsi kebijakan. Pasar dikatakan gagal bila tidak mampu menciptakan harga kompetitif yang mencerminkan social opportunity cost atau alokasi sumberdaya/produk yang efisien. Penyebab kegagalan pasar adalah (1) monopoli atau monopsoni, (2) negative externalities atau positive externalities, (3) pasar faktor domestik yang tidak sempurna

    Stakeholders\u27 Perception on Management of Upstream Ciliwung Watershed: Implications for Forest Landscape Planning

    Get PDF
    Forests play a vital role for the livelihoods of rural and urban communities. Addressing perception of forest users regarding forest practices is one of the most important aspects of forest management. This paper aims to elaborate stakeholders\u27 perception on the biophysical, socio-economic and institutional aspects of forest landscape management in upstream Ciliwung watershed. Data were collected through survey, by highlighting preferences, perceptions, and expectations of actors who are interested in the impacts of watershed management. This study indicates that communities at upstream Ciliwung watershed area perceived that the socio-economic aspect is the most important factor in managing upstream Ciliwung watershed. The governments (central and local), however, pay more attention to the biophysical and institutional aspects. The result of the overall perception analysis shows that institutional aspects need to be addressed first, followed by socio-economic aspects and biophysical aspects to improve the management of upstream Ciliwung watershed. Addressing institutional aspects is needed to enhance awareness and coordination among stakeholders, to enforce law and to develop a monitoring system to support the preservation of the forest at the upstream watershed areas. In terms of socio-economic aspects, improving community livelihoods is needed through payments for environmental services. Regarding biophysical aspects, afforestation and conservation of soil and water need to be prioritised. Thus, there should be programs that could provide solutions based on the three main aspects to improve the management of the forest resources in the upstream watershed area
    corecore