10 research outputs found
Emboli Air Ketuban
Emboli cairan amnion (EAK) adalah komplikasi kehamilan yang jarang namun membawa angka mortalitas yang tinggi. Patogenesis yang tepat dari kondisi ini masih belum diketahui. Emboli air ketuban (EAK) atau amniotic fluid embolism (AFE) atau anaphylactoid syndrome of pregnancy adalah salah satu komplikasi kehamilan yang paling membahayakan. Cairan ketuban, debris fetal diduga menyebabkan kolaps kardiovaskular dengan cara memicu reaksi imun/anafilaktoid maternal. Patofisiologi EAK hingga kini masih belum jelas tetapi diduga melibatkan kaskade immunologis. Kematian maternal bisa terjadi karena cardiac arrest mendadak, perdarahan karena koagulopati, dan kegagalan organ multipel dengan acute respiratory distess syndrome (ARDS). Gejala dan tanda EAK antara lain dispnea akut, batuk, hipotensi, sianosis, bradikardia fetal, ensefalopati, hipertensi pulmoner akut, koagulopati, dan sebagainya. Diagnosis EAK adalah bersifat klinis dan ditegakkan setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Penatalaksanaan bersifat suportif dan memerlukan persalinan janin jika diperlukan, support respiratorik, dan support hemodinamik. Prognosis maternal setelah EAK masih sangat buruk meski tingkat survival janin sekitar 70%. Pasien dengan EAK paling baik dikelola di unit perawatan kritis oleh tim multidisiplin dan dengan manajemen supportif.
Â
Amniotic Fluid Embolism
Abstract
Amniotic fluid embolism (AFE) is a rare complication of pregnancy carrying a high mortality rate. The exact pathogenesis of the condition is still not known. Amniotic fluid embolism (AFE) or anaphylactoid syndrome of pregnancy is one of the most dangerous pregnancy complications. Amniotic fluid, fetal debris is thought to cause cardiovascular collapse by triggering a maternal immune / maternal anaphylactoid reaction. The pathophysiology of AFE remains unclear but is thought to involve an immunological cascade. Maternal deaths may occur due to sudden cardiac arrest, bleeding due to coagulopathy, and multiple organ failure with ARDS. AFE symptoms and signs include acute dyspnea, cough, hypotension, cyanosis, fetal bradycardia, encephalopathy, acute pulmonary hypertension, coagulopathy. Management is supportive, respiratory support, and haemodynamic support. The maternal prognosis is very poor even though the survival rate of the fetus is about 70%. Patients with AFE are best managed in a critical care unit by a multidisciplinary team and management is largely supportiv
Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) Target Controlled Infusion (TCI) Propofol Remifentanil untuk Seksio Sesarea Emergensi pada Pasien Meningioma dengan Peningkatan Tekanan Intrakranial
Meningioma sangat jarang ditemukan pada kehamilan, tapi kehamilan dapat memicu pertumbuhan meningioma. Ibu hamil yang menjalani seksio sesarea dengan penyulit tumor otak merupakan indikasi anestesi umum dengan kombinasi Target Controlled Infusion (TCI) propofol dan remifentanil. Propofol pada seksio sesarea dapat mengatasi respons simpatis akibat laringoskopi. Remifentanil berhubungan dengan hasil luaran lebih baik pada neonatus dari opioid lainnya. Perempuan 34 tahun, hamil 37 minggu datang dengan keluhan utama nyeri perut hilang timbul disertai kebutaan dan tanda peningkatan tekanan intrakranial tanpa penurunan kesadaran. Tidak dilakukan CT-Scan kepala karena direncanakan seksio sesarea emergensi. Dilakukan seksio sesarea dengan teknik anestesi umum menggunakan TCI propofol mode Marsh dengan target efek 3–4 mcg/ml dan TCI remifentanil dengan target 2–3 ng/ml, dan rocuronium dengan dosis 0,7 mg/kgBB. Pada menit kesepuluh, lahir bayi laki-laki, dengan berat badan 2000 gram dan skor APGAR 7–8. Selama operasi hemodinamik stabil dan tidak ada komplikasi. pascabedah dilakukaan pemeriksaan CT-scan dan ditemukan meningioma yang besar. Teknik ini memberikan hasil luaran pada neonatal dan ibu yang baik.
Â
Total Intra Venous Anethesia (TIVA) Target Controlled Infusion (TCI) with Propofol Remifentanil for Emergency Caesarean Section in Meningioma Patient with Increase Intracranial Pressure
Abstract
Meningiomas are very rare in pregnancy, but pregnancy triggers the growth of meningiomas. Pregnant women who undergo cesarean section complicated with brain tumor are an indication of general anesthesia with Target Controlled Infusion (TCI) propofol and remifentanil. Propofol can blunt sympathetic response due to laryngoscopy. Remifentanil has a better outcomes in neonates than other opioids. A 34-year-old woman, 37-weeks pregnant presented with uterine contractions accompanied with blindness and signs of increased intracranial pressure without decreased consciousness. Head CT scan was not performed because an emergency cesarean section was planned. Caesarean section was performed with general anesthesia using Target Controlled Infusion (TCI) Marsh mode propofol with a target effect of 3-4 mcg/ml and remifentanil TCI with a target of 2-3 ng/ml, and rocuronium 0.7 mg/kg. At the tenth minute, a male baby was born, weighing 2000 grams and an APGAR score of 7-8. During surgery, the hemodynamic was stable without complications. Postoperatively, a CT scan was performed and a large meningioma was found. This technique provided good neonatal and maternal outcome outcomes
Manajemen anestesi pada pasien Seksio Sesarea Primigravida dengan Glioblastoma Multiforme
Tumor otak pada kehamilan jarang terjadi, Glioblastoma multiforme adalah tumor otak primer yang paling agresif dan biasanya membawa prognosis yang buruk. Tumor otak pada kehamilan berkorelasi dengan terjadinya peningkatan mortalitas maternal, kelahiran premature dan intra uterine growth restriction (IUGR). Adanya tumor otak pada kehamilan akan mempengaruhi penentuan waktu persalinan, jenis dan tehnik anestesi yang akan digunakan. Kasus: Dilaporkan pasien dengan G1P0A0 Hamil 33 minggu, mengeluh sakit kepala hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Sakit kepala berdenyut terutama sebelah kanan, tidak disertai mual, muntah, pandangan kabur dan kejang. Sakit kepala berkurang dengan obat paracetamol. Awal Mei 2017 pasien merasakan sakit kepala hebat disertai muntah proyektil, dilakukan pemeriksaan MRI kepala, curiga glioblastoma multiforme regio temporoparietal dextra. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien telah dilakukan SC dengan tehnik regional anestesi epidural obat Levobupivacain 0.5% isobaric 11 ml, janin cukup viable dilahirkan dan mencegah peningkatan tekanan intracranial lebih lanjut. Pasien pulang ke rumah setelah perawatan 5 hari dalam kondisi baik. Pembahasan: Pada wanita hamil dengan tumor otak yang akan dilakukan SC, selama tidak ada kontraindikasi neuroaxial anestesi dapat dilakukan. Tehnik ini pun dilakukan dengan menjaga hemodinamik tetap stabil, mencegah peningkatan tekanan intracranial, seperti saat dilakukan dengan general anestesi. Simpulan: Selama tidak didapati kontraindikasi untuk anestesi neuroaxial, wanita hamil dengan SOL yang tidak mempunyai efek massa, hidrosefalus, atau klinis kearah peningkatan TIK, dapat dilakukan tindakan dengan neuroaxial anestesi.
Â
Anesthesia Management for Cesarean Section in Patient with Glioblastoma Multiforme
Abstract
A brain tumor in pregnancy is rare. Glioblastoma mutltiforme is the most aggressive tumor primary brain and usually have poor prognosis. A brain tumor in pregnancy are associated with increased mortalitas maternal, prematurity and intra uterine growth restriction. The presence of a brain tumor in pregnancy may affect the decision for timing of delivery, type and technique an anesthesia to be used. Case: Patients with G1P0A0 pregnant 33 weeks, complaining of recurrent headaches since 6 months ago. Headache pulsate especially on the right side, without nausea, vomiting, blurred vision or seizures. Headache is relieved with paracetamol. Patients felt a severe headache accompanied by projectile vomiting on May 2017. And performed head examination MRI, suspected glioblastoma multiforme temporoparietal dextra region based on anamnesis, physical examination and brain MRI. Patient has been performed caesarea section with regional anesthesia technique with epidural drug Levobupivacain 0.5% isobaric 11 ml. Patient returns home after 5 days in good condition. Discussion: A pregnant women with a brain tumor to be performed caesarea section procedure, neuroaxial anesthesia can be successfully applied as long as the patients do not have any contraindications. This technique is keeping the hemodynamics stable, preventing an increase in intracranial pressure as when performed with general anesthesia. Conclusion: As long as there is no contraindications are found for neuroaxial anesthesia, pregnant woment with space occupying lesion without mass effect, hydrocephalus or clinical evidence of increasing ICP can be treated with neuroaxial anesthesia
Manajemen Anestesi Perioperatif pada Acute Fatty Liver of Pregnancy
Acute fatty liver of pregnancy (AFLP) adalah salah satu penyakit hati yang muncul pada kehamilan (terutama pada trimester ketiga) yang jarang namun termasuk ke dalam salah satu kegawataruratan obstetri yang berpotensi terjadinya komplikasi yang fatal yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Kelainan ini ditandai dengan akumulasi lemak mikrovesikuler dalam hepatosit. Ciri khas penyakit ini adalah ikterik, koagulopati dan ensefalopati yang disebabkan karena gagal hati akut. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun dicurigai karena adanya defisiensi rantai panjang 3-hydroxyacyl CoA dehydrogenase (LCHAD) pada ibu. Kriteria klinis Swansea sangat berguna dalam mengenali dan mendiagnosis dini AFLP. Pentingnya pengenalan dini dan manajemen multidisipilin untuk menurunkan mortalitas. Persalinanan segera merupakan kunci untuk mencegah terjadinya perburukan ibu dan kematian intrauterin. Tatalaksana mendasar pada pasien dengan AFLP meliputi persalinan segera, antisipasi dan penanganan suportif terhadap komplikasi gagal hati akut di unit perawatan intensif (ICU), serta pertimbangan untuk melakukan transplantasi hati sebagai opsi terakhir pada kasus gagal hati fulminan. Oleh karena itu, penanganan kondisi ini memerlukan tim medis multidisiplin yang terdiri dari berbagai spesialis di rumah sakit tingkat lanjutan (tersier).
Manajemen Anestesi pada Wanita Hamil dengan Eklampsia dan Asma Akut Berat yang Menjalani Seksio Sesarea
Eklampsia dengan asma merupakan kondisi medis yang paling sering terjadi dalam kehamilan. Eklampsia dengan asma akut berat dalam kehamilan merupakan problem yang sulit. Kejadian eklampsia sekitar 2–8% diseluruh dunia dan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah perdarahan. Prevalensi terjadinya 0,3%–0,7% pada negara berkembang. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan terjadinya hiperresponsif jalan nafas yang dapat menimbulkan gejala episodik berulang berupa wheezing, sesak nafas, dada berat dan batuk. Di Indonesia prevalensi berkisar 5-6% dari populasi penduduk, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24–36 minggu. Seorang wanita 28 tahun G1P0A0 datang hamil 35 minggu dengan keluhan sesak, nyeri kepala, kejang tiga kali, kaki bengkak. Dilakukan seksio sesarea dengan anestesi umum. Ventilator mekanik selama seksio sesarea harus disesuaikan untuk menjaga PCO2 30–32 mmHg. Intubasi dilakukan dengan rapid sequence induction dan setelah pipa endotrakheal masuk dijaga tekanan darah supaya tidak meningkat. Setelah operasi selesai dilakukan ekstubasi dalam untuk mencegah gejolak hemodinamik dan mengurangi iritasi saluran nafas. Pasca operasi pasien masuk intensive care unit untuk pemantauan lebih lanjut. Penanganan anestesi yang efektif pada pasien ini akan meningkatkan survival serta memberikan prognosis yang lebih baik
Management of Anesthesia in Caesarean Section for Patient with Eclampsia and Severe
Acute Asthma
Abstract
Eclampsia with asthma is the most common medical condition in pregnancy. Eclampsia with severe acute asthma in pregnancy is a difficult problem. The incidence of eckampsia is around 2–8% worldwide and is the second highest cause of death after bleeding. The prevalence of occurrence is 0.3% –0.7% in developing countries. Asthma is a chronic inflammatory airway disease that involves many cells and cellular elements that cause airway hyperresponsiveness which can cause recurrent episodic symptoms such as wheezing, shortness of breath, heavy chest and coughing. In Indonesia the prevalence ranges from 5–6% of the population, where asthma attacks usually occur at 24–36 weeks' gestation. A 28-year-old woman G1P0A0 comes 35 weeks pregnant with complaints of tightness, headache, seizures three times, swollen feet. Caesarean section was performed under general anesthesia. Mechanical ventilator during cesarean section must be adjusted to maintain PCO2 30–32 mmHg. Intubation was done by rapid sequence induction and after the endotracheal tube has been entered, the intracranial pressure is maintained so it did not increase. After the operation was complete, extubation was done to prevent hemodynamic fluctuations and reduce airway irritation. Postoperatively the patient was admitted to the intensive care unit for further monitoring. Effective anesthetic treatment in these patients will increase survival and provide a better prognosis
Perbandingan Keberhasilan Pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA) ProSeal antara Tehnik Head Extension dan Tehnik Digital Standard
Introduction : Head extension maneuvers in opening airway is well understood
in anesthesia field and emergency case , but the effect of insertion LMA Proseal is
not understood. Insertion of the LMA requires deep anesthesia to suppress airway
reflexes. Modification of the technique is mostly done to improve the success of
LMA insertion. The purpose of study is to evaluate the hypothesis that the first
attempt success rate of LMA Proseal insertion is higher in Head Extension
methode compared to Digital Standard methode.
Method : A prospective, Randomized Controlled Trial parallel design study in 86
healthy patients ,male and female patients of 18-50 years old, ASA I or II
undergoing general anesthesia. Subjects are patients undergoing elective surgery
with general anesthesia in Dr Sardjito Hospital Yogyakarta. Patient were
randomly allocated into one of two groups to recieve Head Extension methode ,
group n=43 and Digital Standard methods, groups n=43.
Result : Ease of LMA insertion assessed in this study. The first attempt success
rate was compared between the groups. The success of LMA insertion on the
first attempt which is considered effective to keep the airway after the first attempt
and requires no clinical improvement and position can be properly ventilated and
oxygen saturation above 95%.The success of LMA insertion on the first attempt
were statistically significant higher in the group Head Extension (95.3%)
compared with digital standard group (81.3%) (p <0.05). LMA Proseal insertion
speed also significantly different between groups Head Extension (6:51 ± 2640)
seconds compared with a digital standard group (16:44 ± 5530) seconds.
Conclusion : The first attempt success rate of LMA Proseal insertion is higher
in head extension methode compared to Digital Standard methode
Korelasi antara Skor Indeks Plasenta Akreta (IPA) dan Perdarahan Seksio Sesarea Intraoperatif di RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta
Latar Belakang: Plasenta akreta spektrum merupakan kondisi obstetri yang memiliki resiko tinggi terjadinya perdarahan masif dan komplikasi terkait lainnya. Indeks Plasenta Akreta (IPA) diusulkan untuk memprediksi resiko perlekatan plasenta abnormal dengan probabilitas terjadinya invasi berbanding paralel dengan skor IPA.
Tujuan: Mencari korelasi skor IPA dengan perdarahan yang terjadi intraoperatif pada pasien yang dilakukan seksio sesarea (SC) elektif di RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta.
Subjek dan Metode: Observasional retrospektif dengan melihat data rekam medis pasien dengan sangkaan plasenta akreta spektrum yang dilakukan pemeriksaan skor indeks plasenta akreta dan dilakukan SC elektif di RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2019 sampai Desember 2021.
Hasil: Terdapat korelasi yang bermakna antara skor IPA dan perdarahan SC intraoperatif (p=0,001) dengan arah korelasi positif dan kekuatan korelasi dalam kategori sedang (r=0,495). Skor IPA (B=389; p=0.013) dan durasi operasi (B=18,1, p=0.001) berpengaruh signifikan terhadap jumlah perdarahan SC intraoperatif dalam penelitian ini.
Simpulan: Terdapat korelasi positif sedang antara skor IPA dengan jumlah perdarahan SC intraoperatif pada pasien sangkaan plasenta akreta spektrum yang dilakukan SC elektif di RSUP Dr. Sardjito Jogjakart
Panjang Vertebra dan Indeks Massa Tubuh sebagai Prediktor Hipotensi Pasca Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea
Latar Belakang: Hipotensi sering terjadi pada anestesi neuraksial yang dapat menyebabkan gangguan perfusi uteroplasenta, hipoksia fetus, asidosis, dan cedera neonatus. Hipotensi berat dapat menyebabkan penurunan kesadaran, aspirasi pulmonal, henti napas, hingga henti jantung. Panjang vertebra dan indeks massa tubuh dapat menjadi prediktor hipotensi pasca anestesi spinal pada seksio sesarea (SC) karena ada penelitian yang mendapatkan hubungan panjang vertebra dan indeks massa tubuh dengan ketinggian blok sensorik dan pemberian vasopressor.
Tujuan: Untuk mengetahui peran panjang vertebra dan indeks massa tubuh sebagai prediktor kejadian hipotensi pasca anestesi spinal pada SC.
Subjek dan Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional pada 72 ibu hamil status fisik ASA 1 dan 2 yang akan dilakukan SC dengan anestesi spinal. Hipotensi didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik >20% dari pengukuran awal setelah dilakukan anestesi spinal sampai menit ke 20.
Hasil: Panjang vertebra tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,076), sedangkan indeks massa tubuh menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,0001).
Obstetric anesthesia services profile in cesarean section in Indonesian population: A prospective, observational, multicenter study
Background: All obstetrics or pregnant patients potentially require anesthesia during their delivery, both planned and emergency. The rate of cesarean deliveries in Indonesia has also increased from 9.8% to 17.6%. This study was conducted to provide a profile of anesthesia services in obstetric patients in Indonesian population. Materials and Methods: This observational prospective multicenter study was conducted from March to June 2022 in 67 hospitals in Indonesia. A total of 1731 subjects were enrolled. The study population consisted of patients who received obstetric anesthesia services during cesarean section. Data collection was conducted via the REDCap application. Results: A total of 1731 subjects were included in this study. Most cases were emergency surgeries (66.44%), with an American Society of Anesthesiologists classification of ASA II with emergency situation (53.96%). Spinal anesthesia was the most frequent technique (96.42%), although 1.16% of subjects had a conversion of anesthesia technique. The most common complication during the surgery, in the recovery room, and in the ward was hypotension (8.55%, 1.50%, and 0.58%, respectively), and the maternal mortality rate was 0.29%, with some identified causes being prolonged shock. A total of 120 (6.93%) subjects experienced postoperative care in the intensive care unit, whereas the remaining 1511 (93.17%) subjects did not. Conclusion: Anesthesia services in this study showed proper and representative results for obstetrics services in Indonesia. Our study demonstrated that single shot spinal anesthesia is the most commonly preferred mode of anesthesia for both elective and emergency cesarean delivery cases. However, there is still room for improvement in the anesthesia field, which should be continuously evaluated