27 research outputs found
Kebutuhan Psikososial Pasien Paska Stroke Pada Fase Rehabilitasi
Pasien paska stroke sering mengalami masalah psikososial seperti gangguan emosi, perubahan perilaku dan kognitif. Perubahan tersebut dapat memperberat kondisi kesehatannya dan menghambat pencapaian outcome pada fase rehabilitasi. Pemenuhan kebutuhan psikososial sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang dialami pasien stroke. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan psikososial pasien paska stroke yang sedang menjalani perawatan fase rehabilitasi.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien paska stroke di Poliklinik saraf dan stroke centre salah satu Rumah Sakit di Bandung. Teknik sample yang digunakan adalah consecutive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 83 orang. Kriteria inklusi pasien paska stroke dalam penelitian ini adalah memiliki kesadaran penuh dan tidak mengalami aphasia. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari konsep kebutuhan pasien paska stroke Kevitt (2009) dan Moreland (2009) dengan skala likert dan koefisien validitas 0,73 dan r  0,75 sehingga dinyatakan valid dan reliable. Data yang terkumpul akan dianalsa dengan menggunakan distribusi frekuensi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan psikososial yang paling dibutuhkan pasien paska stroke adalah dukungan teman, keluarga, dan kelompok (= 1,76), mendapatkan konseling (Â = 1,39), mendapatkan dukungan emosi (Â = 1,20), bantuan untuk menjalankan aktivitas sebagaimana sebelum sakit (Â = 1,16), berinteraksi dengan pasien paska stroke lainnya (= 1,11), mengatasi perasaan terpuruk (= 1,07), mengatasi kecemasan (=1,05) dan mengatasi perasaan menjadi beban keluarga (= 1,02). Berdasarkan hasil tersebut, pasien membutuhkan bantuan dalam mengatasi masalah psikologis yang dialaminya. Petugas kesehatan diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan pasien tersebut dengan melakukan konseling dan mendorong keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien paska stroke
Penggunaan Spinal Cord Independence Measure III sebagai Alat Ukur Kemampuan Fungsional Pasien Spinal Cord Injury di Indonesia
This study aims to determine the use of the Spinal Cord Independence Measure (SCIM) III as a functional measurement tool for spinal cord injury patients in Indonesia. The method used was cross-sectional as a pilot project. The population of this study were trauma and non-traumatic spinal cord injury patients. The results of this study indicate that SCIM III can assess the patient's functional status in self-care, bladder management, bowel management, and mobilization. In conclusion, SCIM III is an objective and reliable questionnaire that can be used as a tool to measure the functional ability of SCI patients. In addition, SCIM can be used to determine interventions that are appropriate to the patient's condition so that the outcome of the rehabilitation phase of care to make the patient independent can be achieved optimally.
Keywords: Tool, Functional, Spinal Cord Independence Measur
PEMBERDAYAAN KADER KESEHATAN DALAM PENERAPAN SELF-CARE MANAGEMENT DIABETEST MELITUS DI DESA CILELES KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG
Diabetes mellitus merupakan masalah yang serius dan mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan diikuti peningkatan komplikasi, baik akut maupun kronis. Sehingga diperlukan pengendalian yang baik guna mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi dalam jangka panjang. Salah satu upaya pengendalian yang dilakukan adalah self-care management yang bertujuan untuk mencapai pengontrolan gula darah secara optimal serta mencegah terjadinya komplikasi sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien. Untuk mencapai kerberhasilan dalam pengendalian penyakit diabetes mellitus ini, diperlukan keterlibatan dari berbagai unsur masyarakat salah satunya kader kesehatan. Kader kesehatan dapat berperan serta dalam mendampingi dan men-support pasien dengan diabetes mellitus dan keluarga dalam self-care management diabetes mellitus. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kader kesehatan mengenai self-care management diabetes melitus dan meningkatkan kemampuan kader kesehatan dalam melakukan skrining risiko diabetes melitus pada masyarakat. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berupa pelatihan mengenai self-care management diabetes melitus dan risiko diabetes melitus. Metode yang digunakan adalah ceramah, simulasi, dan diskusi dengan menggunakan media berupa modul pelatihan. Setelah dilakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, terdapat peningkatan pengetahuan kader kesehatan setelah dilakukan kegiatan pelatihan dan sebagian besar kader kesehatan mampu mengisi formulir pengkajian risiko diabetes melitus dengan benar. Dengan demikian kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan kader kesehatan mengenai self-management dan skrining risiko diabetes melitus. Sehingga diharapkan kegiatan pelatihan ini perlu dilanjutkan secara berkesinambungan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan kader kesehatan mengenai self-care diabetes melitus serta perlu adanya monitoring yang dilakukan oleh perawat/tim kesehatan mengenai self-care management diabetes melitus.
Symptom Burden’s Associated Factors among Hemodialysis Patients
Many patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis (CKD-HD) had a high symptom burden, which can worsen their health conditions and quality of life. The known factors associated to symptom burden were age, gender, hemodialysis (HD) session duration, post dialysis recovery time, hemoglobin level, nutrition status, physical activity, depression level and social support. The aim of this study was to analyze the most dominant factor associated to symptom burden among CKD-HD patients. Using a cross-sectional design, a convenience sample of eighty-five respondents were recruited from HD unit at Adventist Bandung Hospital, who underwent HD > 3 months, HD frequency 2-3 times a week, aged ≥ 18 years, able to communicate and speak Indonesian. Data were retrieved via seven self-reported questionnaires and health records, and the symptom burden was assessed using the validated Indonesian version of the CKD-Symptom Burden Index. The data was analysed with Spearman correlation test, Chi square test, and multivariate logistic regression. Based on quartile category, most of the respondents (50.6%) had a high symptom burden (33.56±12.23). The factors significantly associated to symptom burden were age (p=0.015), post-dialysis recovery time (p=0.007) and depression level (p=0.000). In the final model, duration of HD session (OR=5.27, 95% CI 1.50-18.49) and depression level (OR=8.84, 95% CI 2.57-30.36) were the factors associated to high symptom burden. Depression level was the most dominant factor associated to high symptom burden. CKD-HD patients with depression are more at risk of experiencing a high symptom burden. Thus, symptom management may consider to modify depression level factor by screening for depression, providing assistance and nursing interventions, or developing depression-related interventions to reduce symptom burden in CKD-HD patients
KEPATUHAN MENJALANKAN MANAJEMEN DIRI PADA PASIEN HEMODIALISIS
Pasien gagal ginjal kronik harus menjalankan manjemen diri diantaranya hemodialisis, pengobatan, pembatasan cairan dan diet. Angka morbiditas dan mortalitas pada pasien hemodialisis akan meningkat apabila tidak menjalankan manajemen diri dengan baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi kepatuhan pasien hemodialisis dalam menjalankan manajemen diri. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan kepada pasien di Unit Hemodialisis di salah satu rumah sakit terbesar di Jawa Barat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dengan jumlah responden 129 orang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner kepatuhan menjalankan manajemen diri pada pasien hemodialisis diadaptasi dari kuesioner End Stage Renal Disease Adherence. Data dianalisis dengan menggunakan distribusi frekuensi berupa frekuensi, persentase, dan mean. Sebagian besar responden tidak patuh dalam menjalankan manajemen diri 92 orang dan patuh sebanyak 28,7% yaitu 37 orang. Kepatuhan pasien dalam menjalankan hemodialisis sesuai jadwal sudah baik dengan rata-rata skor 271,3. Kepatuhan pasien hemodialisis masih kurang dalam membatasi asupan cairan dengan rata-rata skor 120, makanan dengan rata-rata skor 147, dan pengobatan dengan rata-rata skor 133). Tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan dukungan kepada pasien dengan memberikan edukasi, konseling dan promosi kesehatan dengan menggunakan berbagai media termasuk media sosial terkait pentingnya pengontrolan cairan dan makanan. Kata kunci: Hemodialisis, Kepatuhan manajemen diri Abstract Compliance with running self-management on hemodializing patients Patients with chronic kidney failure must carry out self-management including hemodialysis, treatment, fluid and dietary restrictions. The morbidity and mortality rates in hemodialysis patients will increase if they do not carry out self-management properly. This study was conducted to identify the compliance of hemodialysis patients in carrying out self-management. This research was a descriptive study conducted on patients at the Hemodialysis Unit in one of the largest hospitals in West Java. The sampling technique used was consecutive sampling with the number of respondents 129 people. Data collection techniques carried out by compliance questionnaire method of running self management in hemodialysis patients adapted from the End Stage Renal Disease Adherence questionnaire. Data were analyzed using frequency distributions in the form of frequency, percentage, and mean. Most of the respondents were not obedient in carrying out self-management as many as 71.3%, 92 people and obedient as many as 28.7%, 37 people. Patient compliance in conducting hemodialysis schedule has been good with mean 271.3. Compliance with hemodialysis patients was still lacking in limiting fluid intake with mean 120, food with mean 147, and treatment with mean 133. Health workers are expected to be able to provide support to patients by providing education, counseling and health promotion by using various media including social media related to the importance of controlling fluids and food that must be carried out by hemodialysis patients. Keywords: Adherance, Hemodialysis, Self-Managemen
Description of Dementia in The Elderly Status in The Work Area Health Center Ibrahim Adjie Bandung
Number of elderly in Indonesia in 2014 was reached 18.8 million lives and in 2025 would reached 36 million lives. Along with the increasing age, change of cognitive function on elderly was increased. Impaired cognitive function on elderly may caused alteration on personality and disrupting daily activity. If it took progressively, they can lead to dementia. By knowing dementia status on elderly in society it may be used as a database on developing program that related with elderly health in society. The aim of this research was to achieve description of dementia status on elderly in society. The method that used on this research was descriptive with quantitative approaches. Data collected by using Early Dementia Questionnaire (EDQ) on 98 elderlies took by used stratified random sampling technique at Puskesmas Ibrahim Adjie work area Bandung city. Univariat analysis has done to saw description of dementia status on elderly based on respondent characteristic. The result of this research obtained as many as 38 respondents with presentation 38.8% experienced early dementia and 60 respondents with 61.2% respondents belong to normal categor
Observasi Latihan Relaksasi Nafas Pada Pasien Chronic Kidney Diseases Dengan Fatigue
Menilai fatigue merupakan hal yang sangat penting karena fatigue sering meningkat secara langsung setelah dialysis.Masalah akan timbul jika fatigue pada pasien CKD tidak teratasi salah satunya adalah kualitas hidup yang buruk. Latihan nafas adalah teknik alami merupakan bagian strategi holistik self care untuk mengatasi keluhan seperti fatigue. Menggunakan teknik pernafasan yang efektif untuk menurunkan tingkat fatigue dapat menjadi manajemen fatigue yang dapat ditawarkan pada pasien CKD. Studi kasus ini bertujuan untuk mengobservasi penggunaan latihan nafas untuk mengatasi fatigue pada pasien CKD di Ruang Fresia 2 RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi kasus pada 3 orang pasien dengan kriteria: pasien CKD stadium 5 dengan usia > 18 tahun, menjalani hemodialisis kurang dari 1 tahun, yang mengalami fatigue, dan lama rawat inap minimal 3 hari. Ketiga pasien mengalami fatigue dengan skor rata-rata fatigue hari pertama sebelum latihan relaksasi nafas 59.6 dan skor rata-rata setelah latihan relaksasi nafas adalah 55.6, skor rata-rata fatigue hari kedua sebelum latihan 54.6 dan setelah latihan 49, terdapat penurunan skor rata-rata setelah pasien mempraktikan latihan nafas pada hari pertama dan kedua. Hasil latihan relaksasi nafas yang dilakukan pasien dapat menurunkan level fatigue yang dirasakan pasien.Breathing relaxation observation in chronic kidney diseases patients with fatigue. Assessing fatigue is very important because fatigue often increases directly after dialysis. Problems will arise if fatigue in CKD patients is not resolved, one of which is poor quality of life. Breath training is a natural technique that is part of a holistic self care strategy to deal with complaints such as fatigue. Using effective breathing techniques to reduce the level of fatigue can be a management of fatigue that can be offered to CKD patients. This case study aims to observe the use of breathing exercises to overcome fatigue in CKD patients in Fresia Room 2 Dr.Hasan Sadikin Hospital Bandung. The study was conducted with a case study approach on 3 patients with criteria: stage 5 CKD patients> 18 years old, undergoing hemodialysis less than 1 year, who experienced fatigue, and a minimum stay of 3 days. All three patients experienced fatigue with an average score of fatigue the first day before breathing relaxation exercise 59.6 and the average score after breathing relaxation exercise was 55.6, the average score of fatigue the second day before exercise 54.6 and after exercise 49, there was a decrease in the average score after the patient practices breathing exercises on the first and second day. Conclusion: The results of breathing relaxation exercises by the patient can reduce the level of fatigue that is felt by the patient.
Antifibrotic Effect of Ethanolic Extract of Nerium indicum Mill. Standardized 5α-Oleandrin on Keloid Fibroblasts Cells
Keloid is a skin lesion caused by an abnormal proliferation of fibroblasts and the deposition of collagen in the wound healing process. Therapy for keloids is relatively limited and mostly has side effects. Recent studies show that 5α-oleandrin from N. indicum Mill. (N. indicum) has anti-keloid effect by inhibiting (proliferation, migration activity and TGF-β1 expression) keloid fibroblast. Further studies with N. indicum extract standardized 5α-oleandrin should be conducted to develop it as an anti-keloid agent by performing at proliferative effects, collagen accumulation, and keloid fibroblast migration. The antifibrotic activity of N. indicum extract on the proliferation of keloid fibroblasts was measured by MTT assay, whereas collagen deposits were observed by Sirius Red method. Observation of keloid fibroblast migration by scratch assay is according to Liang et al. (2009). Ethanol extract of N. indicum standardized 5α-oleandrin can inhibit the proliferation of keloid fibroblas with IC50 0.458 μg/mL, also inhibited collagen deposits with IC50 0.055 μg/mL at incubation for 72 hours. In incubation 48 hours after treatment with ethanol extract of 1.0 μg/mL occurred inhibition of migration significantly compared with control
Observasi Penggunaan Posisi High Fowler Pada Pasien Efusi Pleura di Ruang Perawatan Penyakit Dalam Fresia 2 RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung : Studi Kasus
Efusi pleura merupkaan penimbunan cairan yang berlebihan pada rongga pleura sehingga menyebabkan seseorang mengalami sesak nafas. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi sesak nafas dan meningkatkan oksigenasi agar tidak ketergantungan dengan pemberian oksigen dalam jangka panjang yaitu dengan posisi high fowler. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan studi kasus tentang penggunaan posisi high fowler pada pasien efusi pleura di Ruang Fresia 2 RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi kasus pada 3 orang pasien dengan krieria pasien yang di diagnosis efusi pleura pasien yang mengalami sesak nafas (RR > 24 x/menit), pasien dewasa atau lanjut, pasien dapat berkomunikasi dan bersedia diwawancara, terpasang CTT atau pigtail dan terpasang oksigen. Setelah dilakukan observasi selama tiga hari ada perbedaan nilai pernafasan dan saturasi oksigen sebelum dan sesudah posisi high fowler. Rentang nilai pernafasan sebelum posisi high fowler adalah 24 – 30 kali/menit dengan nilai saturasi oksigen 97 – 98%. Sedangkan rentang nilai pernafasan sesudah posisi high fowler adalah 22 – 27 kali/menit dengan nilai saturasi oksigen 98 – 99%. Posisi high fowler merupakan posisi pilihan untuk pasien yang mengalami sesak nafas khususnya pada pasien yang mengalami efusi pleura. Observation of Using High Fowler Position in Pleura Efficient Patients in The Medical Ward in Fresia 2 Dr. Hasan Sadikin Bandung Hospital: Case Study. Pleural effusion is an excessive accumulation of fluid in the pleural cavity and causing a person to experience shortness of breath. Actions that can be taken to reduce shortness of breath and increase oxygenation so as not to depend on the provision of oxygen in the long term is by positioning high fowler. Therefore researchers interested in conducting a case study of the use of high fowler positions in pleural effusion patients in Fresia Room 2 Dr.Hasan Sadikin Hospital Bandung. The study was conducted with a case study approach on 3 patients with patients who were diagnosed with pleural effusion of patients experiencing shortness of breath (RR> 24 x / min), adult or advanced patients, patients can communicate and be willing to be interviewed, CTT or pigtail attached and attached oxygen. After observing for three days there were differences in respiratory values and oxygen saturation before and after the high fowler position. The range of respiratory values before the high fowler position is 24-30 times / minute with an oxygen saturation value of 97-98%. While the range of respiratory values after the high fowler position is 22-27 times / minute with an oxygen saturation value of 98 - 99%. The high fowler position is the position of choice for patients who experience shortness of breath, especially in patients who experience pleural effusion.
Pengaruh Pola Komunikasi Verbal Orang Tua Terhadap Kemampuan Berbicara Anak Usia Dini
Penelitian ini adalah studi literatur yang berlatar belakang pada kemampuan berbicara anak yang belum berkembang dengan baik. Hal ini terlihat dari perkembangan anak yang belum bisa mengulang kata-kata yang sudah didengar, sehingga belum mampu menyampaikan pesan secara lisan sehingga terjadi keterlambatan bicara meskipun dengan usia yang relative sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola komunikasi verbal dari orang tua kepada anak usia dini dalam hal berbicara. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan teknik pengumpulan informasi dari berbagai sumber tertulis. Berdasarkan hasil penelitian dari sumber yang didapat, ditarik kesimpulan bahwa pola komunikasi verbal dari orang tua mempengaruhi kemampuan bicara anak usia dini. Perkembangan bahasa anak akan berkembang secara optimal jika orang tua meluangkan waktu lebih banyak untuk berkomunikasi dengan anak, karena anak diberi kesempatan untuk berbagi cerita atas perasaan yang dirasakan, sehingga akan mengasah mental anak untuk tumbuh menjadi insan yang berani berbicara dan mengemukakan pendapat