2 research outputs found

    PENGATURAN PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA DAN PENATAAN LINGKUNGAN DALAM AWIG-AWIG/PERAREM DESA PAKRAMAN

    Get PDF
    Secara sosiologis kita menghadapi kenyataan bahwa telah muncul masyarakat global yang sangat berpengaruh dan telah menyusup keseluruh pelosok Bali. Bali sebagai daerah tujuan wisata tidak bisa terlepas dari fenomena bahwa Bali sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia. Oleh karena itu Bali harus dapat meyediakan fasilitas kepariwisataan  untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Situasi tersebut mengakibatkan Bali berkomunikasi dengan budaya luar, bahkan proses itu terjadi dengan begitu cepat tanpa melalui suatu perencanaan. Desa Pakraman sebagai salah satu komponen dalam struktur kemasyarakatan Bali juga mengalami berbagai perubahan, disamping karena dinamika internalnya, juga karena pengaruh lingkungan luar. Problematik aturan hukum (awig-awig/perarem) yang dihadapi Desa Pakraman sekarang ini dan diwaktu yang akan datang akan semakin kompleks. Persoalan-persoalan hukum di era sekarang ini serta perubahan sosial yang begitu cepat perlu direspon dan diantisipasi.Situasi Global dengan muatan pariwisatanya, secara langsung maupun tidak langsung menuntut perlunya pengkajian atau revisi terhadap  awig-awig/perarem supaya tidak ditinggalkan oleh masyarakat yang bergerak begtu cepat. Dengan demikian awig-awig/perarem akan dapat menjalankan fungsinya baik sebagai kontrol sosial, maupun sebagai rekayasa sosial. Adanya awig-awig/perarem yang sudah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan jaman, akan dapat meminimalisir terjadinya konflik dalam masyarakat. Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, yang mempunyai hak otonomi. Salah satu isi dari otonomi desa pakraman adalah hak untuk membuat aturan (awig-awig/pererm), yang berlaku bagi masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis, yang lahir, hidup, tumbuh, dan berkembang, sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat (mempunyai sifat luwes dan dinamis). Dengan adanya sifat yang luwes dan dinamis tersebut dapat dimengerti bahwa awig-awig/perarem dimasa lalu tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat masa kini, dan di masa yang akan datang, karena rasa keadilan dan ukuran kepatutan juga mengalami perubahan

    EKSISTENSI DESA PAKRAMAN DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI (Kajian Terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali No 2 Tahun 2012, tentang Kepariwisataan Budaya Bali)

    Get PDF
    ABSTRAK Kegiatan pembangunan kepariwisataan dalam kehidupan Negara modern tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya sebuah kebijakan yang baik pula. Kepariwisataan dalam program suatu negara dihandalkan dan diarahkan untuk memberi manfaat bagi kesejahteraan bersama elemen berbangsa. Nilai dasar atas upaya mewujudkan kemakmuran ditetapkan melalui Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan untuk menciptakan iklim yang kondusif dan memberikan kepastian hukum. Dalam penyelenggaraan kepariwisataan utamanya di Bali menjadi penting pada pengembangan pariwisata budaya sebagai penyangga agar terhindar dari komersialisasi dan komodifikasi yang hanya menempatkan Bali sebagai obyek eksploitasi. Desa pakraman berkait dengan kepariwisataan ini memerlukan porsi yang pasti berdasarkan hukum sehingga hak dan kewajiban serta kewenangannya guna mendapat jaminan atas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan seluruh kompenen terkait dalam pengelolaan kepariwisataan. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu yang mengkaji semua permasalahan melalui tinjauan hukum, acuannya dilakukan baik secara normatif maupun berdasarkan doktrin ilmu hukum. Pembahasan atas kewenangan desa pakraman tidak bisa lepas dari ketentuan Pasal 18B (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai pengakuan hak konstitusionalnya. Pengaturan pengelolaan kepariwisataan budaya Bali belum secara implisit mengatur bagaimana hak, kewajiban serta kewenangan yang dimiliki desa pakraman. Sepantasnya dalam Pengelolaan Kepariwisataan budaya memberikan tempat yang rasional kepada desa pakraman sebagai subyek pemilik kebudayaan. Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Kepariwisataan Budaya tidak secara tegas memberikan kedudukan hukum (hak, kewajiban dan wewenang) desa pakraman dalam pengelolaan Kepariwisataan Budaya Bali. Posisi kedudukannya selaku subyek internal, seharusnya diwujudkan dalam bentuk fungsi penguatan, pemberdayaan. Jika dibentuk dalam relasi koordinasi dengan unsur pemerintah daerah pun koordinasi dalam dengan sifat mendukung dan menguatkan kedudukan hukum desa pakraman. Kata Kunci : Kedudukan Hukum, Desa Pakraman, Kepariwisataan Budaya ABSTRACT Tourism development activities in a modern country cannot work well without a good policy. Tourism as one of development programs of a country is a reliable way to bring prosperity to all of the people. The basic value of efforts to achieve prosperity is stated in Act no.10 Year 2009, which is about tourism for creating a conducive environment and to provide legal certainty. Cultural tourism development activities, particularly in Bali, play an important role as a buffer to avoid Bali from being commercialised and commodified, in other words, being an exploited object. The customary village (desa pakraman) must be given a clear portion in the law regarding tourism industry so that its rights, obligations and authorities to give legal certainty, justice and benefits are clear. This is a normative juridical study, which is a study that analyses all problems through legal perspective whose reference is obtained normatively or based on the doctrines in law discipline. Discussing the authority of Desa Pakraman cannot disregard Article 18B (2) Constituion 1945, which is a recognition of the rights of customary village. The regulations about cultural tourism of Bali have not yet implicitly defined the rights, obligations and authorities of desa pakraman. Cultural tourism management should provide desa pakraman with a rational portion as the subject and owner of Bali culture. Bali provincial regulation on cultural tourism does not explicitly give the legal status (rights, obligations and responsibilities) of desa pakraman in the management of Bali cultural tourism. As the internal subject, the legal status of desa pakraman should be manifested in the form of both reinforcement and empowerment functions. If the legal status of desa pakraman is in the form of a coordinative relation local government, such coordination should be supporting and strengthening the legal status of desa pakraman. Keywords: Legal Status, Customary Village (Pakraman), Cultural Touris
    corecore