51 research outputs found

    Area Under the Curve dan Akurasi Cystatin C untuk Diagnosis Acute Kidney Injury pada Pasien Politrauma

    Get PDF
    Pasien yang mengalami cedera dengan Injury Severity Score (ISS) >16 didefinisikan sebagai politrauma. Pada politrauma terjadi hipoksia jaringan, autoregulasi terganggu, mikrosirkulasi glomerulus, cedera sel tubular serta proses inflamasi yang apabila tidak diatasi secara adekuat dapat menyebabkan acute kidney injury (AKI). Saat ini diagnosis AKI berdasar atas kenaikan kreatinin serum yang terdeteksi setelah terjadi kerusakan ginjal. Cystatin C merupakan penanda biologis yang dapat mendeteksi AKI. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai area under the curve (AUC) dan akurasi cystatin C untuk diagnosis AKI pada pasien politrauma di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian uji diagnostik ini dengan analisis data sekunder pada sebagian data penelitian Academic Leadership Grant (ALG) pasien politrauma di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dari Januari–Juni 2017. Analisis data menggunakan kurva receiver operating characteristic (ROC) dengan program statistical product and service solution (SPSS)versi 24.0 for windows. Hasil penelitian dari 23 sampel menunjukkan pada cut-off point 354,97 ng/mL cystatin C plasma memiliki sensitivitas 100%, spesifisitas 88,9%, nilai duga positif 71,4%; nilai duga negatif 100%; nilai AUC 0,967; dan akurasi 91,3%. Simpulan penelitian ini adalah nilai AUC dan akurasi cystatin C memberikan hasil yang baik dalam diagnosis AKI pada pasien politrauma. Kata kunci: Acute kidney injury, akurasi, cystatin C, nilai AUC, politrauma   Area Under the Curve and Cystatin C Accuracy for Acute Kidney Injury Diagnosis in Polytrauma Patients Patients experiencing injuries with an Injury Severity Score (ISS) of >16 are defined as polytrauma patients. Polytrauma can cause hypoxia, disruption of autoregulation, glomerular microcirculation, tubular cell injury, and inflammation processes that, without adequate treatment, may lead to acute kidney injury (AKI). The current diagnosis of AKI is based on the elevated serum creatinine that can be detected after kidney damage. Cystatin C is a biomarker that can detect AKI. The aim of this study was to determine the value of area under the curve (AUC) and accuracy of cystatin C for diagnosing AKI in polytrauma patients in the Emergency Room (ER) of Dr. Hasan Sadikin Bandung. A diagnostic test study using secondary data  from theAcademic Leadership Grant (ALG) study onpolytrauma patients in the ER of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, from January 2017−June 2017 was performed. Data was analyzed using the receiver operating characteristic (ROC) curve with statistical product and service solution (SPSS) version 24.0 for windows. Results from 23 samples showed that the cut off point of plasma cystatin C was 354.97ng/mL with a sensitivity of 100.0%, specificity of 88.9%, positive predictive value of 71.4%, negative value of 100.0%, AUC value of 0.967 and accuracy of 91.3%. Hence, the AUC values and cystatin C accuracy present  good results for diagnosing AKI in polytrauma patients. Key words: Accuracy, acute kidney injury, cystatin C, the value  of AUC, polytraum

    Reliabilitas dan Validitas Penilaian Skala Sedasi Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada Pasien Kritis dengan Ventilasi Mekanik di Ruang Perawatan Intensif

    Get PDF
    Penggunaan secara rutin skala subjektif untuk nyeri, agitasi, dan sedasi akan mendorong penatalaksanaan yang lebih efektif pada pasien untuk mencapai titik akhir yang spesifik. Setiap metode subjektif skala sedasi harus dievaluasi dalam hal reliabilitas dan validitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui reliabilitas dan validitas skala Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada pasien kritis yang dirawat dengan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Jumlah subjek penelitian 82 pasien yang dinilai dengan skala sedasi RASS dan Ramsay setelah diberikannya obat analgesia dan sedasi. Penelitian observasional deskriptif yang dilakukan berdasarkan urutan datang pasien selama 4 bulan penelitian dari Mei–Agustus 2014. Metode Alpha Cronbach untuk menentukan reliabilitas dan Rank Spearman untuk menentukan validitas. Hasil penelitian ini didapatkan Skala RASS dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,951, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,743. Skala Ramsay dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,921, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,922. Simpulan dari penelitian ini adalah skala RASS menunjukkan keandalan dan koefisien validitas lebih tinggi daripada skala Ramsay. Kata kunci: Penilaian skala sedasi, reliabilitas, validitasRichmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay Assessment Reliability and Validity in Critically Ill Patients with Mechanical Ventilation Support in Intensive Care Unit Routine use of subjective scales for pain, agitation, and sedation promotes more effective patient management in order to reach specific end-points. Each subjective sedation scale method should be evaluated in terms of its reliability and validity. The purpose of this study was to fassess the reliability and validity of Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay scale. Subjects were 82 (eighty two) patients assessed using RASS and Ramsay sedation scale after receiving analgesia and sedation drug. This study was an observational study with cross sectional descriptive sampling conducted in consecutive patients sampling within a period of 4 months during May–August 2014. The results of the assessment were analyzed using Alpha Cronbach to determine the reliability and Rank Spearman to test the validity. It was revealed that  RASS scale had the highest reliability value with Alpha Cronbach (α):0.951 and the highest validity with Rank Spearman (rs):0.743 while the highest reliablity value achieved using the Ramsay scale was Alpha Cronbach (α):0.921 with Rank Spearman (rs): 0.922 as the highest validity score. It is concluded, therefore, that the RASS scale shows higher reliability and validity coefficients than the Ramsay scale. Key words: Assessment sedation scale, reliability, validity DOI: 10.15851/jap.v2n3.33

    Pengaruh Penambahan Klonidin 75 mcg pada 12,5 mg Levobupivakain 0,5% Secara Intratekal terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik dan Motorik untuk Bedah Ortopedi Ekstremitas Bawah

    Get PDF
    Keterbatasan anestesi spinal antara lain ialah lama kerja blokade sensorik dan motorik terbatas. Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh penambahan 75 mcg klonidin pada 12,5 mg levobupivakain 0,5% terhadap lama kerja blokade sensorik dan motorik pada anestesi spinal untuk bedah ortopedi ekstremitas bawah. Penelitian bersifat eksperimental prospektif dengan metode acak terkontrol tersamar ganda pada 36 sampel dengan kriteria American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juni–Agustus 2014. Kelompok levobupivakain dan klonidin (LK) mendapatkan 12,5 mg levobupivakain 0,5% ditambah klonidin 75 mcg. Kelompok levobupivakain dan salin (LS) mendapatkan  12,5 mg levobupivakain 0,5% ditambah NaCl 0,9% 0,5 mL. Data hasil penelitian diuji secara statistik menggunakan uji-t, Mann-Whitney, dan chi-kuadrat. Hasil penelitian menunjukkan lama kerja blokade sensorik kelompok LK lebih lama secara bermakna yaitu 244,44 (37,84) menit dibandingkan dengan kelompok LS, yaitu 107,89 (17,63) menit (p=0,000). Lama kerja blokade motorik kelompok LK lebih lama secara bermakna yaitu 278,72 (41,75) menit dibandingkan dengan kelompok LS, yaitu 128,39 (18,26) menit (p=0,000). Simpulan, penambahan klonidin 75 mcg pada 12,5 mg levobupivakain 0,5%  secara intratekal memerpanjang lama kerja blokade sensorik dan motorik.Kata kunci: Anestesi spinal, klonidin, levobupivakain, lama kerja blokade sensorik, lama kerja blokade motorikEffect of Clonidine 75 mcg Addition to Intrathecal 12.5 mg 0.5% Levobupivacaine on Sensoric and Motoric  Blockade Duration in Lower Extremity Orthopedic SurgeryAbstractSpinal anesthesia has some limitations that  limits its use, such as limited duration of action in motoric and sensoric.  This research aimed to provide an overview on the effect of adding clonidine 75 mcg to 12.5 mg  0.5% levobupivacaine on the motoric and sensoric blockade action duration in lower extremity orthopedic surgery spinal anesthesia. This experimental prospective research used double blind randomized controlled trial approach on 36 patients with ASA I-II physical status who underwent lower extremity orthopedic surgery using spinal anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital during the period of June to August 2014.  LC group, clonidine 75 mcg was added to 12.5 mg 0.5% levobupivacaine.  On LS group, 12.5 mg 0.5% mg levobupivacaine mixed with 0.5 mL 0.9% NaCl. The data were then statistically tested using t-test, Mann-Whitney, and chi-square. The result showed that the duration of action of sensoric blockade in LK group was significantly longer, i.e. 224.44 (37.84) minutes compared to LS group, i.e. 107.89 (17.63) minutes (p=0.000).  Duration of action of motoric blockade in LK group was significantly longer, i.e. 278,72 (41,75) minutes, compared to LS group, i.e. 128.39 (18.26) minutes (p=0.000). It is concluded that the additiona of clonidine 75 mcg to 12,5 mg 0,5% levobupivacaine significantly prolongs the duration of action of the motoric and sensoric blockade if given intrathecally.Key words: Clonidine, duration of action, duration of action of motoric blockade, levobupivacaine, spinal anesthesia DOI: 10.15851/jap.v3n1.374 

    Perbandingan Chula Formula dengan Auskultasi 5 Titik terhadap Kedalaman Optimal Pipa Endotracheal pada Anestesi Umum di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Get PDF
    Kedalaman pipa endotracheal (ETT) yang optimal menjadi salah satu perhatian utama karena komplikasi terkait dengan malposisi ETT. Auskultasi 5 titik merupakan metode yang digunakan dalam menentukan kedalaman ETT. Namun, teknik tersebut masih memiliki potensi  malposisi ETT. Penggunaan chula formula terbukti dapat digunakan untuk menentukan kedalaman ETT yang optimal. Penelitian ini bermaksud menilai ketepatan kedalaman yang optimal penempatan ETT setelah dilakukan intubasi endotrakea menggunakan chula formula dibanding dengan tektik auskultasi 5 titik. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif analitik komparatif yang dilakukan pada 48 orang pasien berusia ≥18 tahun, status fisik American Society of Anesthesiology (ASA) I–II di ruang bedah terjadwal RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Oktober 2017. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan, yaitu kelompok penentuan kedalaman ETT menggunakan teknik auskultasi 5 titik dan kelompok yang dilakukan menggunakan chula formula. Dilakukan penilaian jarak ujung ETT terhadap carina menggunakan fiberoptic bronchoscope (FOB). Hasil penelitian ini menunjukkan kedalaman optimal ETT menggunakan chula formula lebih baik dibanding dengan teknik auskultasi 5 titik. Analisis statistik menggunakan uji Exact Fisher.  Hasil analisis menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah penggunaan chula formula menghasilkan kedalaman ETT yang lebih optimal. Kata kunci: Auskultasi 5 titik, bronkoskopi fiberoptik, chula formula, intubasi endotrakea, kedalaman ET

    Perbandingan Efek Pemberian Eritromisin 250 mg Oral dengan Metoklopramid 10 mg Oral terhadap Jumlah dan pH Cairan Lambung pada Pasien yang Menjalani Operasi Elektif dengan Anestesi Umum

    Get PDF
    Aspirasi pulmonal akibat isi lambung merupakan penyebab kematian yang berhubungan dengan anestesi. Eritromisin 250 mg oral dan metoklopramid 10 mg oral digunakan untuk menurunkan jumlah dan meningkatkan pH cairan lambung. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek eritromisin 250 mg oral dan metoklopramid 10 mg oral terhadap jumlah dan pH cairan lambung pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum. Penelitian ini merupakan uji klinis acak buta ganda pada 42 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi pasien dengan American Society of Anesthesiologist (ASA) kelas I, usia 18–60 tahun, dijadwalkan operasi elektif dengan anestesi umum dan diintubasi di Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung periode Agustus–September 2015. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok 21 orang masing-masing. Kelompok A mendapatkan eritromisin 250 mg oral dan kelompok B metoklopramid 10 mg oral yang diberikan 1 jam sebelum induksi anestesi. Setelah dilakukan intubasi, cairan lambung diambil menggunakan spuit 50 mL melalui nasogastric tube (NGT) no 18, dimasukkan ke gelas ukur, diukur jumlah dan pH nya. Analisis statistik menggunakan uji Mann–Whitney. Hasil menunjukkan kelompok A didapatkan 90,5% pasien dengan jumlah cairan 25 mL volume and a <2.5 pH is a high risk to lung damage. Oral Erythromycin 250 mg and Oral metoclopramide 10 mg can be used to reduce the gastric fluid volume and increase the gastric fluid pH. The purpose of this study was compare the effects between oral erythromycin 250 mg and oral metoclopramide 10 mg on the volume and pH of gastric fluid in patients undergoing elective general anesthesia. This study was a double blind randomized clinical trial on 42 patients who met the inclusion criteria. Patients were divided into 2 groups with 21 patients in each group. Group A received 250 mg of oral erythromycin and group B received 10 mg of metoclopramide, 1 hour before the induction of anesthesia.After intubation, gastric fluid was collected using a 50 mL syringe via the nasogastric tube (NGT). It was then placed in a beaker glass to have its volume and pH measured. A statistical analysis using the Mann–Whitney test was performed. In group A, 90.5% of patients were found to have gastric fluid volume <25 mL, while group B had 57.1%, in which the difference was statistically significant (p <0.014). Hence, the administration of erythromycin 250 mg orally is more effective in reducing the gastric fluid volume and increasing the gastric fluid pH compared to oral administration of etoclopramide 10 mg in patients undergoing general anesthesia.Key words: Erythromycin, gastric fluid volume, metoclopramid, gastric p

    Pengaruh Penambahan Klonidin 75 mcg pada 12,5 mg Levobupivakain 0,5% Secara Intratekal terhadap Lama Kerja Blokade Sensorik dan Motorik untuk Bedah Ortopedi Ekstremitas Bawah

    Get PDF
    Spinal anesthesia has some limitations that limits its use, such as limited duration of action in motoric and sensoric. This research aimed to provide an overview on the effect of adding clonidine 75 mcg to 12.5 mg 0.5% levobupivacaine on the motoric and sensoric blockade action duration in lower extremity orthopedic surgery spinal anesthesia. This experimental prospective research used double blind randomized controlled trial approach on 36 patients with ASA I-II physical status who underwent lower extremity orthopedic surgery using spinal anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital during the period of June to August 2014. LC group, clonidine 75 mcg was added to 12.5 mg 0.5% levobupivacaine. On LS group, 12.5 mg 0.5% mg levobupivacaine mixed with 0.5 mL 0.9% NaCl. The data were then statistically tested using t-test, Mann-Whitney, and chi-square. The result showed that the duration of action of sensoric blockade in LK group was significantly longer, i.e. 224.44 (37.84) minutes compared to LS group, i.e. 107.89 (17.63) minutes (p=0.000). Duration of action of motoric blockade in LK group was significantly longer, i.e. 278,72 (41,75) minutes, compared to LS group, i.e. 128.39 (18.26) minutes (p=0.000). It is concluded that the additiona of clonidine 75 mcg to 12,5 mg 0,5% levobupivacaine significantly prolongs the duration of action of the motoric and sensoric blockade if given intrathecally

    Angka Kejadian Delirium dan Faktor Risiko di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Get PDF
    Delirium ditandai dengan perubahan status mental, tingkat kesadaran, serta perhatian yang akut dan fluktuatif. Keadaan ini merupakan kelainan yang serius berhubungan dengan pemanjangan lama perawatan di Intensive Care Unit (ICU), biaya yang lebih tinggi, memperlambat pemulihan fungsional, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tujuan penelitian adalah mengetahui angka kejadian delirium dan faktor risiko terjadinya delirium di ICU Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pengambilan sampel dilakukan selama tiga bulan (Januari–Maret 2015) di ICU RSHS Bandung. Metode penelitian ini deskriptif observasional secara kohort prospektif, menggunakan alat ukur Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit (CAM-ICU), sebelumnya dilakukan penilaian dengan Richmond agitation-sedation scale (RASS) pada pasien yang tersedasi. Hasil penelitian ini dari 105 pasien, 22 pasien dieksklusikan, dari 83 pasien didapatkan 31 pasien positif delirium, angka kejadian 37%. Faktor-faktor risiko pada pasien positif delirium terdiri atas geriatri 15 dari 31, pemakaian ventilator 12 dari 31, pemberian analgesik morfin 9 dari 31, sepsis atau infeksi 9 dari 31, kelainan jantung 8 dari 31, acute physiology and chronic health evaluation (APACHE) II skor tinggi 8 dari 31, kelainan ginjal 7 dari 31, laboratorium abnormal 7 dari 31, pemberian sedasi midazolam 6 dari 31 kelainan endokrin 5 dari 31, pemberian analgesik fentanil 2 dari 31, dan strok 1 dari 31. Simpulan, angka kejadian delirium di ICU RSHS Bandung cukup tinggi sebesar 37% dengan faktor risiko terbesar adalah pasien geriatrik.Kata kunci: Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit, delirium, faktor risiko, Richmond agitation-sedation scale Incidence and Risk Factors of Deliriumin in the Intensive Care Unit of Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungAbstractDelirium ditandai dengan perubahan status mental, tingkat kesadaran, serta perhatian yang akut dan fluktuatif. Keadaan ini merupakan kelainan yang serius berhubungan dengan pemanjangan lama perawatan di Intensive Care Unit (ICU), biaya yang lebih tinggi, memperlambat pemulihan fungsional, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tujuan penelitian adalah mengetahui angka kejadian delirium dan faktor risiko terjadinya delirium di ICU Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pengambilan sampel dilakukan selama tiga bulan (Januari–Maret 2015) di ICU RSHS Bandung. Metode penelitian ini deskriptif observasional secara kohort prospektif, menggunakan alat ukur Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit (CAM-ICU), sebelumnya dilakukan penilaian dengan Richmond agitation-sedation scale (RASS) pada pasien yang tersedasi. Hasil penelitian ini dari 105 pasien, 22 pasien dieksklusikan, dari 83 pasien didapatkan 31 pasien positif delirium, angka kejadian 37%. Faktor-faktor risiko pada pasien positif delirium terdiri atas geriatri 15 dari 31, pemakaian ventilator 12 dari 31, pemberian analgesik morfin 9 dari 31, sepsis atau infeksi 9 dari 31, kelainan jantung 8 dari 31, acute physiology and chronic health evaluation (APACHE) II skor tinggi 8 dari 31, kelainan ginjal 7 dari 31 laboratorium abnormal 7 dari 31, pemberian sedasi midazolam 6 dari 31 kelainan endokrin 5 dari 31, pemberian analgesik fentanil 2 dari 31, dan strok 1 dari 31. Simpulan, angka kejadian delirium di ICU RSHS Bandung cukup tinggi sebesar 37% dengan faktor risiko terbesar adalah pasien geriatrik.Key words: Confusion Assessment Methode-Intensive Care Unit, delirium, Richmond agitation-sedation scale, risk factor DOI: 10.15851/jap.v4n1.74

    Perbandingan Teknik Insersi Klasik dengan Teknik Insersi Triple Airway Manoeuvre terhadap Angka Keberhasilan dan Kemudahan Pemasangan Laryngeal Mask Airway (LMA) Klasik

    Get PDF
    Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencari metode yang dapat meningkatkan angka keberhasilan teknik insersi laryngeal mask airway (LMA) klasik dan mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi. Penelitian ini bertujuan mengetahui angka keberhasilan dan kemudahan pemasangan LMA klasik pada teknik triple airway manoeuvre (TAM). Penelitian ini adalah eksperimental prospektif dengan metode acak terkontrol tersamar tunggal terhadap pasien yang menjalani operasi terencana dalam anestesi umum di kamar operasi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan April–Juli 2015. Tiga puluh enam pasien pasien berusia 18–60 tahun, status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologists (ASA) kelas I–II dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok teknik insersi klasik dan teknik insersi TAM. Pada teknik TAM, seorang penolong melakukan protrusi mandibula dan membuka mulut sementara seorang melakukan insersi LMA klasik. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji statistik Eksak Fisher dan Kolmogorov Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan angka keberhasilan pemasangan dan kemudahan pemasangan LMA klasik pada kedua kelompok perlakuan berbeda bermakna (p<0,05) dengan teknik insersi TAM memiliki angka keberhasilan lebih tinggi daripada teknik insersi klasik (72,2%) dan teknik insersi TAM memiliki kejadian tahanan di orofaring lebih sedikit dibanding dengan teknik klasik (83,3%). Simpulan, teknik insersi TAM memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi daripada teknik insersi klasik sehingga.Kata kunci: Laryngeal mask airway klasik, teknik triple airway manoeuvre, teknik insersi klasikComparison of Success Rate and Ease of Insertion of Classic Laryngeal Mask Airway when Inserted using Classic Insertion Technique and Triple Airway Maneuver TechniqueAbstractVarious studies are seeking to find new methods to improve techniques of classic laryngeal mask airway (cLMA) insertion and reduce possible complications. This is a clinical study to investigate the succesrate and ease of insertion using triple airway maneuver(TAM) technique and to compare it with the classic technique. This experimental prospective study was conducted using the single-blind randomized controlled trial approach to patients underwent elective surgery under general anesthesia in the operating teather of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of April 2015 to July 2015. Thirty six patients aged 18–60 years old with American Society of Anesthesiologists (ASA) I–II status were randomly divided into two groups receiving either triple airway maneuver (TAM) technique or classic technique. In TAM technique, jaw thrust and mouth opening are facilitated by a technician and the anesthesiologist inserts the LMA. The collected data were analyzed using Fisher Exact and Kolmogorov Smirnov. The statistical analysis showed that the ratio of success rate and the ease of insertion of cLMA between both treatment groups was significantly different (p<0.05) where the TAM technique showed a higher success rate of insertion (72.2%) and less impacts on the oropharynx compared to the classic method (83.3%). Overall , in this study, the TAM technique is associated with higher of success rate compared to the classic technique and the ease of insertion of TAM method makes it worth to be considered as a safe and effective method to establish a secure airway in anesthetized patients.Key words: Classic laryngeal mask airway, ease of insertion, success rate, triple airway manoeuvre DOI: 10.15851/jap.v4n3.90

    Perbandingan Efek Pemberian Cairan Kristaloid Sebelum Tindakan Anestesi Spinal (Preload) dan Sesaat Setelah Anestesi Spinal (Coload) terhadap Kejadian Hipotensi Maternal pada Seksio Sesarea

    Get PDF
    Pemberian cairan secara preload sebagai profilaksis sebelum anestesi spinal telah menjadi prosedur rutin untuk mencegah hipotensi ibu selama tindakan seksio sesarea. Tidak seperti koloid, waktu pemberian cairan kristaloid merupakan hal penting karena singkatnya waktu cairan kristaloid berada di ruang intravaskular. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu pemberian cairan kristaloid terutama Ringerfundin yang lebih baik antara preload dibanding dengan coload dalam mencegah hipotensi maternal selama anestesi spinal pada seksio sesarea. Penelitian dilakukan di Central Operating Theatre (COT) Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni−Juli 2015 dengan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 36 pasien yang menjalani seksio sesarea dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) II. Kejadian hipotensi dinilai setelah pemberian anestesi spinal sampai bayi lahir. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji-t, Uji Mann-Whitney, dan uji chi-kuadrat dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna. Insidens hipotensi lebih rendah pada kelompok kristaloid coload dibanding dengan kelompok kristaloid preload (44,4% vs 77,8%; p=0,040). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian cairan kristaloid secara coload lebih efektif daripada preload untuk pencegahan hipotensi maternal setelah anestesi spinal pada seksio sesarea.Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, kristaloid, seksio sesareaComparison of the Effect of Crystalloids Fluid Provision Before Spinal Anesthesia (Preload) and Shortly after Spinal Anesthesia (Co-load) on Maternal Hypotension Incidence in Caesarean DeliveryProphylactic fluid as a preload before spinal anesthesia has been a routine procedure to prevent maternal hypotension during cesarean delivery. Unlike colloid, timing of infusion of crystalloid may be important because it has short linger time in the intravascular space. This study aimed to compare the effect of the timing of administration of crystalloid, especially Ringerfundin, which is more effective between preload and co-load in preventing maternal hypotension during spinal anesthesia for cesarean section. This study was performed at the Central Operating Theatre (COT) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in June−July 2015 using the single blind randomized controlled trial method on 36 patients who underwent caesarean section with American Society of Anesthesiologist (ASA) II physical status. The incidence of hypotension was observed starting from the time the spinal anesthesia was performed to the time when the baby was born. Data were analyzed statistically using t-test, Mann Whitney test, and chi-square test where a p value of <0.05 considered significant. The incidence of hypotension was lower in the co-load group when compared to the preload group (44.4% vs. 77.8%, p value=0.040). In conclusion, the use of crystalloids for cesarean delivery in co-loading manner is more effective than preloading for the prevention of maternal hypotension after spinal anesthesia.Key words: Cesarean delivery, crystalloid, hypotension, spinal anesthesia DOI: 10.15851/jap.v4n2.81
    • …
    corecore