19 research outputs found

    Measurement and characterization of infrasound waves from the March 25, 2023 thunderstorm at the near equatorial

    Get PDF
    Thunderstorm activity on March 25, 2023 provided a unique opportunity to study the mechanism of lightning events on changes in air pressure. In particular, this event made it possible to study changes in air pressure during thunderstorms using various instruments. This paper presented comprehensive results of infrasound, satellite data, weather radar and weather measurements at the ground during the storm. Observations of lightning events were confirmed using observational data from the International Space Station's Lightning Imaging Sensor (ISS LIS). This work estimated three spectral percentile values on infrasonic sensor data, time series interpolation of standard meteorology profiles, weather radar reflectivity and total radiant energy of lightning from ISS LIS observations during the day and night periods. As a result, during the investigation, it was seen that the recorded infrasound signal in the 0.6–0.8 Hertz (Hz) range was contaminated by background environmental noise, but in the 1–3 Hz band range it was consistent with the appearance of storms that produce high energy blows. Infrasound detection and electromagnetic lightning detection show good correlation up to a distance of 100 km from the infrasonic station. During a thunderstorm, the ISS LIS flight directly above the observation site detected more than 2,000 lightning events. In addition, the application of lightning detection from several independent instruments can provide a complete picture of the observed event

    Teknik Konversi Data Raw Radar Cuaca via Matlab

    No full text

    SAR (Sintetic Apperture Radar) pada Pengamatan Antariksa

    No full text
    SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu jenis peralatan radar yang digunakan saat ini. Radar ini berfungsi mendefinisikan karateristik target yang bergerak relative antara sister,: SAR dan area targetnya. SAR ini biasanya diimplementasikan secara menumpangi pada benda yang bergerak seperti pesawat terbang, pesawat ruang angkasa. Prinsip kerja daripada SAR adalah dengan memancarkan a single beam-forming signal dari antenna secara berulangkali berupa pulsa-pulsa gelombang elektromagnet dengan panjang gelombang (skala meter sampai millimeter) kemana saja. Kemudian beberapa sinyal gelombang echo diterima pad antenna yang berbeda posisi secara koheren dan disimpan untuk kemudian diproses lebih lanjut untuk menghasilkan elemen-elemen dalam satu image area target. Dalam penyajian makalah ini akan dibahas mengenai prinsip kerja SAR dan aplikasinya dalam pengamatan antariksa serta gambaran umum mengenai petnrosesan sinyal pada SAR.Hal. 28 - 3

    Analisis Interferensi Frekuensi Radio Untuk Optimalisasi Konfigurasi Frekuensi Spektrometer Callisto

    No full text
    Spektrometer Callisto (Compound Astronomical Low-frequency, Low-cost Instrument for Spectroscopy in Transportable Observatories) dirancang untuk bekerja pada rentang frekuensi yang lebar antara 45-870 MHz, dibagi dalam sejumlah kanal yang diinginkan setiap detiknya dengan menetapkan konfigurasi frekuensi (frequency configuration). Dalam kenyataannya, penetapan konfigurasi frekuensi ini sangat tergantung pada kondisi kepadatatan penggunaan frekuensi radio di lokasi pengamatan, yang dapat diketahui dari pengukuran interferensi frekuensi radio atau Radio Frequency Interference (RFI). Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pengukuran RFI di lokasi pengamatan untuk memperoleh konfigurasi frekuensi Callisto yang optimal dan untuk meningkatkan kualitas penerimaan Callisto sehingga pengamatan emisi radio matahari dapat dilakukan dengan lebih baik. Metoda yang dilakukan adalah melakukan pengukuran penggunaan spektrum frekuensi radio secara teratur pada perioda tahun 2015, mengolah data hasil pengukuran RFI secara statistik, mengidentifikasi interferensi (transmisi) radio yang dominan untuk suatu periode waktu tertentu. Selanjutnya dengan mengeliminir frekuensi radio yang mengalami interferensi kuat pada rentang frekuensi kerja Callisto, dapat ditetapkan konfigurasi frekuensi yang paling optimal pada pengamatan Callisto. Selain itu, interferensi pada pita frekuensi yang sudah dialokasikan untuk penelitian antariksa dan astronomi pada rentang frekuensi tersebut dapat dilaporkan ke otoritas pengelola frekuensi..Hal.26-33 : ilus

    Pengembangan Jaringan Internasional E-Callisto Di Indonesia Untuk Pengamatan Semburan Radio Matahari Realtime (Development Of E-Callisto International Network In Indonesia For Real-Time Solar Radio Burst Observation)

    No full text
    e-Callisto adalah jaringan spektrometer radio di seluruh dunia yang ditujukan untuk pengamatan emisi atau semburan radio matahari untuk penelitian astronomi radio matahari, cuaca antariksa, juga untuk pengamatan interferensi radio, yang dirancang dapat bekerja selama 24 jam sehari sepanjang tahun. Jaringan ini dibangun oleh ETH Zurich Swiss dengan bekerjasama dengan instansi-instansi lokal di berbagai negara, termasuk di Indonesia. LAPAN memulai membangun pengamatan Callisto pada pertengahan tahun 2014 secara mandiri di stasiun Sumedang Jawa Barat,dan tergabung dengan jaringan e-Callisto di awal tahun 2015. Pengembangan pengamatan Callisto ke Biak Papua dan ke Tomohon Sulawesi Utara pada semester pertama tahun 2016. Data dari ketiga stasiun pengamatan Callisto ini dapat diperoleh secara real-time pada jaringan internasional e-Callisto dan juga pada server SWIFtS. Pengamatan Callisto di Indonesia telah mendeteksi semburan radio, baik tipe II dan maupun tipe III. Makalah ini menyajikan pengembangan Callisto dan peralatannya di Indonesia selama dua tahun terakhir ini, beberapa semburan radio matahari tipe II dan tipe III yang berhasil dideteksi, dan kaitannya dengan aktivitas matahari yang terjadi, seperti kejadian flare sinar X, CME, dll.Hlm217-22

    Testing of Universal Software Radio Pheriperal System for Radio Interference Monitoring

    No full text
    Abstract: The USRP system is a smart system that can be programmed for various radio receivers and transmitters. The USRP system was tested to be as a receiver system for the radio monitoring and proposed to be radio solar receiver. Before the USRP used as a radio telescope that system was tested and compared firstly with a spectrum analyzer with ability for amplitude, frequency, frequency resolution and phase signal measurement. This experiment done with uses same two broadband FM antennas. The results obtained shows the good result, for frequency and frequency resolution measurement, so the system can be developed to be a radio telescope based on USRP.Hal. 102-107: ilus.; 29,5 c

    Determination Of Tec Above Yogyakartaand Watukosek Using Beacon Receiver

    No full text
    Some equipment are already being used for TEC measurement and ionospheric scintillation, named Ionosonde, GPS and GPS-RO. Recent equipment that can be used for those research is called beacon receiver, which is simple, less expensive and available commercially. Beacons satellite is installed at an altitude of around 1000 km, such as CNOFS, COSMOS, RADCAL, DMSPF so the interference signals and atmospheric influence received by beacon receiver are fewer than GPS signals. TEC value are very useful for determining the radio communication quality and for determining the position accurately. Furthermore, the new research shows the correlation of TEC with earthquake events. Digital beacon receiver shows a reasonable result where the absolute value of vertical TEC has a good correlation with the result of analog beacon receiver. The TEC calculation method assumes that the values of absolute vertical TEC in two intersecting signal receiver have the same value. The data used CNOFS satellite data on 24 - 26 January 2013, at the Yogyakarta and Watukosek(Surabaya) stations. From calculation results, there were two different values for every station at the same time, one was positive and the other was negative. Negative value is impossible value since it is only positive value that is possible. It provided that absolute TEC value varies from 3 - 45 TECU. TEC measurement results on January 24, 2013 showed the daily variations in the absolute value of the vertical TEC at 01:53:32 UT about 15 TECU above Yogyakarta and about 25 TECU above Wako. Then on January 25 and January 26, 2013 at 01:47:56 UT - 03:32:09 UT, absolute vertical TEC values were around 3-15 TECU, with the absolute TEC over Yogyakarta station was greater than absolute TEC over Watukosek stationHlm.67-7

    Analisis Keterkaitan Kejadian Lontaran Massa Korona Dan Semburan Radio Matahari Tipe II Dengan Peristiwa Flare (The Analysis Of Solar Type Ii Radio Burst And Coronal Mass Ejection Event Associated With Flare)

    No full text
    Kejadian lontaran massa korona dan semburan radio matahari tipe II tidak selalu terkait dengan flare. Flare dengan tingkat energi cukup tinggi mempunyai kemungkinan diikuti oleh lontaran massa korona dan semburan radio tipe II. Namun kejadian ini cukup jarang terjadi. Pada tanggal 4 November 2015, saat fase minimum siklus Matahari 24, lontaran massa korona, semburan radio Matahari dan flare terjadi dalam waktu yang berdekatan. Untuk meyakinkan keterkaitannya, dilakukan analisis berdasarkan besar kecepatan dan energi kinetiknya. Ketinggian gelombang kejut saat semburan radio Matahari tipe II terjadi dihitung dengan menggunakan model kerapatan elektron di korona. Ketinggian ini dibandingkan dengan ketinggian CME hasil pengamatan satelit untuk kemudian dibuat hubungannya dengan kecepatan penurunan frekuensi semburan radio. Berdasarkan kecepatan perubahan ketinggian gelombang kejut dan CME ini, dilakukan perhitungan energi penjalaran partikel dan hasilnya dibandingkan dengan tingkat energi flare yang terjadi. Hasilnya, semburan radio Matahari tipe II, lontaran massa korona, dan flare tidak hanya berasosiasi secara temporal tapi secara kinematis dan energinya.Hlm.25-2
    corecore