70 research outputs found
Aspek-aspek arkeologi Indonesia: aspects of Indonesian archaeology no.22
Pada masa paling awal, bentuk negara kaum adalah monarki 1. Dalam sistem ini pergantian dan perubahan pemegang kedaulatan berlangsung menurut garis keturunan. Raja memegang semua cabang-cabang kekuasaan yang ada, membuat undang-undang, melaksanakan, dan menguji pelaksanaan undang-undang, termasuk menjadi pemimpin tentara
Arkeologi Untuk Semua: Bentuk Dan Prospek Pemanfaatnnya Di Papua.
Tulisan dalam setting Papua ini ingin memperlihatkan bahwa arkeologi dapat diharapkan ikut berperan menjembatani kebutuhan informasi masyarakat secara luas. Arkeologi memiliki dimensi luas: ideologis, akademis, dan praktis. Secara ideologis, arkeologi terkait dengan aspek kebutuhan dasar masyarakat, yakni identitas dan karakter. Dalam konteks Papua, ditemui banyak isu yang berkaitan dimensi arkeologi, seperti problem identitas budaya, hubungan historis kebangsaan, multikulturalisme, lemahnya muatan pendidikan karakter, rendahnya apresiasi stakeholder, komodifikasi, serta persoalan kebijakan pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Keterpaduan kegiatan penelitian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks wilayah Papua dianggap merupakan salah satu koridor dalam membuka wawasan mengelola isu-isu tersebut. Dalam konteks isu-isu tersebut akan digambarkan bentuk dan prospek program arkeologi terhadap enam kelompok kepentingan di Papua, yaitu: (1) masyarakat umum; (2) pelajar dan guru; (3) anggota legislatif dan para eksekutif (termasuk birokrat); (4) penegak hukum; (5) manajer dan arkeolog; (6) masyarakat lokal. Pada intinya tulisan ini akan menggambarkan bahwa telah terjadi pergeseran implementasi arkeologi dari akademis ke publik. Karena itu, sumberdaya arkeologi merupakan komponen penting pembangunan masa kini dari sumber-sumber masa lalu yang dapat diorientasikan melayani kebutuhan masa kini untuk semua stakeholder. Abstract. This article in Papua setting is aimed to show that archaeology can fulfill its role as provider of information to society at large. Archaeology has broad dimensions, which are ideological, academic, and practical. Ideologically, archaeology is related to the basic needs of society, which are identity and character. In the context of Papua, there are plenty of issues regarding the dimensions of archaeology, such as the problem of cultural identity, historic relation of nationalism, multiculturalism, the weakness of character education, poor appreciation among stakeholders, commodification, as well as the problem of policies regarding the development and utilization of archaeological sources. The integration between research activities and public needs in the context of Papua is believed to be one of the corridors to open the insights in the management of those issues. In the context of those issues, this article will describe the forms and prospects of archaeological program on six interest groups in Papua: (1) the general public; (2) students and teachers; (3) members of legislative and executive boards (including bureaucrats); (4) law enforcement community; (5) managers and archaeologists; and (6) local communities. In essence, this article will illustrate that there has been a shift of archaeological implementation from academic to public. Therefore archaeological sources are among the important elements in present development based on resources of the past that can be oriented to serve the present needs for all stakeholders
INTI KONFEDERASI WAJO: SURVEY ARKEOLOGI DI TOSORA, CINNOTABI AND LAMASEWANUA
“The beginning of Wajo's establishment began with the migration of people from various places to open rice fields and build settlements to the east of Lake Tempe. The settlements were then transformed into political units which formed a 'state' under the rule of a nobleman based in Cinnotabi. Several political agreements underlie the formation of a confederation of three domains. Regime change resulted in the transfer of the center of government. Lontara Wajo and the oral tradition mention some toponyms but do not explain in detail where the core of the Wajo confederation lies. This research is aimed at determining the location and character of the toponym by conducting field surveys in places that are suspected of being associated with the existence of the pre-Islamic capital of Wajo. Using an archaeological approach and supported by information from textual sources. Surveys in the villages of Tosora, Cinnongtabi and Tajo in Majauleng District have identified the existence of the old capitals around Wajo-wajo, Boli, Leppadeppa, Attunuang, and other sites based on archeological traces such as menhirs, burned bone fragments, pottery and ceramics shards and other artifacts. Identification of imported ceramic fragments from China, Thailand, Vietnam, these sites might be dated between the 14th and 17th centuries. Taking into account the concentration of artefacts and relations between sites, it can be concluded that Tosora was the capital from the end of the 16th century and until the arrival of Islam at the beginning of the 17th century, while the capital of the early period of Wajo hypothetically was dated between the beginning of the 15th century and the end of the 16th century was around the confluence of Wajo-wajoe river which flows into Latamperu and Penrange lake which then empties into Cellue river before ending at the Cenrana mainstream”“Awal berdirinya Wajo dimulai dengan migrasi orang dari berbagai tempat untuk membuka sawah dan membangun pemukiman di sebelah timur Danau Tempe. Pemukiman tersebut kemudian menjadi unit politik yang berbentuk 'negara' di bawah pemerintahan seorang bangsawan yang berbasis di Cinnotabi. Beberapa kesepakatan politik mendasari pembentukan konfederasi tiga domain. Perubahan rezim mengakibatkan pergeseran pusat pemerintahan. Lontara Wajo dan tradisi lisan menyebutkan beberapa toponim tetapi tidak menjelaskan secara detil di mana letak inti dari konfederasi Wajo. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi dan karakter toponim dengan melakukan survei lapangan di tempat-tempat yang diduga terkait dengan keberadaan ibu kota pra-Islam Wajo. Menggunakan pendekatan arkeologi dan didukung informasi dari sumber tekstual. Survei di Desa Tosora, Cinnongtabi dan Tajo di Kabupaten Majauleng telah mengidentifikasi keberadaan ibu kota lama di sekitar Wajo-wajo, Boli, Leppadeppa, Attunuang, dan situs lain berdasarkan jejak arkeologi seperti menhir, pecahan tulang yang terbakar, pecahan gerabah dan keramik serta artefak lainnya. Identifikasi fragmen keramik impor dari China, Thailand, Vietnam, situs-situs ini mungkin bertanggal antara abad XIV dan XVII. Dengan memperhatikan konsentrasi artefak dan relasi antar situs, maka dapat disimpulkan bahwa Tosora adalah ibu kota dari akhir abad XVI dan hingga datangnya Islam pada awal abad XVII, sedangkan ibu kota periode awal Wajo secara hipotetis berlangsung antara awal abad XV dan akhir abad XVI berada di sekitar pertemuan sungai Wajo-wajoe yang mengalir ke danau Latamperu dan Penrange yang kemudian bermuara di Salo Cellue sebelum berakhir di arus utama Cenrana.
Tata Ruang Etnis Dan Profesi Dalam Kota Batavia (Abad XVII - XVIII)
Pemukiman kelompok-kelompok etnis di Batavia ditentukan selain berhubungan lingkungan yang mendukung profesi, juga soal ras dan agama serta efektivitas dalarn mobilitas. Seperti kelompok-kelompok etnis yang berprofesi sebagai pedagang ditempatkan atau bermukim di dekat kawasan niaga. Kelompok-kelompok yang berprofesi sebagai pegawai administrasi ditempatkan di wilayah pusat kota yang merupakan kawasan pusat pemerintahan, sedangkan kelompok-kelompok yang berprofesi di bidang pertanian dan perkebunan serta kelompok-kelompok yang dianggap berpotensi untuk menimbulkan ancaman keamanan ditempatkan di wilayah pinggiran kota.The settlement of ethnic groups in Batavia was determined apart from the environment that supported the profession, as well as matters of race and religion as well as effectiveness in mobility. For example, ethnic groups who work as traders are placed or live near the commercial area. Groups that work as administrative staff are placed in the downtown area, which is the central government area, while groups that work in the agricultural and plantation sectors as well as groups deemed to have the potential to pose a security threat are placed in suburban areas
Bantaeng masa prasejarah ke masa Islam
Buku ini memaparkan perialanan dalam waktu, dan membawa kitake masa yang sangat paniang dari masa prasejarah sekitar a1500 tahun yanglalu, dimulai dari kebudayaan batu diikuti logam (Paleometalik) di Gua BatuEiaya dan Panganreang Tudea. Selaniutnya kebudayaan megalitik yang terusmentradisi menopang budaya penguasa lokal awal di beberapa situssebagaimana dituniukkan bukti arkeologis. Berdasarkan sumberhistoriografi, buku ini luga menampilkan genealogi raia-raia Bantaeng danperannya dalam perdagangan mondial. Agama Islam yang datang kemudian(tahun 1607) turut memperkaya khazanah budaya Bantaeng sebagaimana terlihat pada makam-makam kuno, mesjid, dan istana sejumlah situs. Bukti arkeologis dari masa Islam memberi kita gambaran mengenai fenomena akulturasi dan sinkritisme budaya lokal dan Islam sebagaimana terlihat padasitus makam lslam La Tenri Ruwa. Kemajuan peradaban Islam Bantaeng terlihat pula dari seni kaligrafi pada makam dan mesiid yang juga menunjukkan taraf pemahaman aiaran tauhid sampai abad XIX Masehi.Konsep-konsep umum seiarah kebudayaan dan perbandingan yang cukupluas di setiap bab memperkaya wawasan buku ini
AMERTA 32 nomor 2
Beberapa Aspek Biokultural Rangka Manusia dari Situs Kubur Kuna Leran, Rembang, Jawa Tengah
0/eh: Sofwan Noerwidi, Balai Arkeologi Yogyakarta
Situs kubur kuna Leran dilaporkan oleh masyarakat kepada Balai Arkeologi Yogyakarta pada tahun 2012. Hingga penelitian tahun 2013, setidaknya telah ditemukan sebanyak 17 individu yang berhasil diidentifikasi dari situs Leran. Tulisan ini berusaha mengungkap aspek biokultural yang dimiliki oleh rangka manusia Situs Leran melalui data-data materi anatomi tersisa. Aspek biologis yang diungkap antara lain adalah jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan ras. Aspek kultural yang dibahas meliputi kebiasaan si individu pada saat masih hidup, dan perlakuan penguburan. Semoga tulisan ini dapat memperkaya pandangan kita mengenai aspek biokultural pada situs-situs kubur di Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Bencana Masa Lalu di Kepulauan Maluku: Pengetahuan dan Pengembangan Bagi Studi Arkeologi
Oleh: Marlon Ririmasse, Balai Arkeologi Ambon
Bencana alam adalah fenomena yang senantiasa melekat dengan Kepulauan Indoaesia sebagai suatu kawasan. Gempa bumi, aktivitas vulkanik hingga banjir telah menjadi pengalaman periodik dalam kehidupan masyarakat di wilayah ini. Karakteristik geografis Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng-lempeng aktif serta bagian dari mata rantai vulkanis global adalah faktor natural yang membuat kepulauan ini rentan bencana. Tak heran selama satu dekade terakhir saja beberapa bencana besar telah terjadi.Studi sejarah budaya juga mencatat tentang fenomena bencana alam pada masa lalu di Nusantara. Ada yang memiliki dampak minim, namun ada juga yang berakibat hilangnya peradaban. Sebagai bagian dari himpunan luas pulau-pulau di sudut tenggara Asia, Kepulauan Maluku dihadapkan pada situasi serupa.Wilayah ini juga rentan terhadap bencana alam. Dengan karakteristik wilayah yang juga arsipelagik, Kepulauan Maluku menjadi saksi atas aktivitas alam yang terjadi di masa lalu. Tulisan ini mencoba mengamati fenomena bencana alam pada masa lalu di wilayah Kepulauan Maluku dari sudut pandang arkeologi dan kajian sejarah budaya. Studi pustaka dipilih sebagai pendekatan dalam kajian ini. Hasil penelitian menemukan bahwa bencana alam telah menjadi fenomena yang melekat dengan perkembangan sejarah budaya di Maluku. Beberapa di antara bencana masa lalu tersebut bahkan menjadi faktor kunci dalam proses sejarah budaya di wilayah ini. Diharapkan kajian pada tahap mula ini dapat menjadi sumbangan pemikiran arkeologi dan kajian sejarah budaya dalam pengembangan model mitigasi bencana alam di Maluku.
Masyarakat Patalima di Teluk Elpaputih, Maluku
0/eh: Lucas Wattimena, Balai Arkeologi Ambon
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengelompokan kelompok masyarakat Patalima di Teluk Elpaputih, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Masyarakat Patalima di Teluk Elpaputih terdiri dari: Waraka, Tananahu, Liang, Soahuwey, Rumalait, Awaya, Hitalesia, Apisano. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelompokÂkelompok masyarakat di Teluk Elpaputih memiliki ciri khas dan latar belakang pengelompokan yang berbeda-beda, tetapi menjadi bagian integral kesatuan sistem sosial budaya masyarakat Patalima. Pengelompokan masyarakat Patalima di Teluk Elpaputih terintegrasi dalam struktur soa tetapi sifatnya otonom berdasarkan struktur dasar masing-masing kelompok.
Alat Tokar Lokal dan Impor di Papua
0/eh: M. Ir/an Mahmud, Balai Arkeologi Jayapura
Tulisan ini mengungkapkan bentuk, nilai dan fungsi alat tukar yang pemah digunakan dalam transaksi dagang di Papua pada masa lalu. Tujuannya untuk memperlihatkan sistem moneter penduduk Papua sejak ratusan tahun silam, bahkan masih digunakan sebagai 'apparatus' upacara dan pesta adat beberapa suku hingga sekarang. Berdasarkan metode survei arkeologi dan pendekatan etno-arkeologi diketahui bahwa kehadiran alat tukar di pedalaman dan pesisir Papua diperkenalkan oleh jaringan aliansi dagang. Kapak batu, uang kerang, gigi anjing, dan tembikar merupakan alat pembayaran tradisional yang mula-mula dikembangkan secara mandiri di Papua. Perdagangan abad xry-:xx juga memperkenalkan alat tukar impor dari barang mewah di daerah pesisir, berupa: manik-manik, porselin, Kain Timor, peralatan besi, dan mata uang logam atau kertas. Dapat disimpulkan bahwa penduduk Papua tidak semuanya sekedar menggantungkan hidup dari kemurahan alam; sebagian dari kelompok suku sudah mengembangkan aliansi dagang dan memiliki standar alat-tukar yang digunakan dalam transaksi barang/ jasa, sekaligus menegaskan identitas, status sosial, dan wibawa.
Manajemen Pengelolaan Warisan Budaya: Evaluasi Basil Penelitian Pusat Arkeologi Nasional (2005-2014)
0/eh: Bambang Sulistyanto, Pusat Arkeologi Nasional.
Dalam dasawarsa belakangan ini, pandangan Cultural Resource Management selanjutnya disingkat CRM, mengalami perubahan mendasar. CRM tidak dipandang hanya merupakan bagian dari upaya pengelolaan, melainkan dianggap justru sebagai bagian penting dari wacana teoritis ilmiah. Kinerja CRM tidak berhenti pada aspek pelestarian dan penelitian semata, melainkan lebih dari itu, merupakan upaya pengelolaan yang memperhatikan kepentingan banyak pihak. Dalam era reformasi seperti sekarang ini, posisi CRM sebagai suatu pendekatan memiliki peranan penting dan strategis di dalam menata, mengatur dan mengarahkan warisan budaya yang akhirÂakhir ini seringkali menjadi objek konfiik. Kinerja CRM memikirkan pemanfaatan dalam arti mampu memunculkan kebermaknaan sosial suatu warisan budaya di dalam kehidupan masyarakat. Menghadirkan kembali kebermaknaan sosial inilah yang sebenamya merupakan hakekat kinerja CRM
Permukiman di Indonesia: perspektif arkeologi
Menggali masa lalu (digging up the past) merupakan tugas para ahli arkeologi untuk mengungkapkan gagasan, perilaku dan karya-karya leluhur kita yang sarat dengan makna dan nilai, untuk selanjutnya diberikan kepada generasi sekarang dan yang akan datang. Banyak hal yang dapat dipelajari dari peninggalan budaya masa lampau. Buku ini merupakan langkah kecil untuk menghantarkan beberapa hal kebudayaan masa lampau berdasarkan hasil-hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat luas
KALPATARU Majalah arkeologi vol 21 nomor 1
"MEMASYARAKATKAN" LIVING MEGALITHIC: PESONA MASA LALU YANG TETAP BERGEMA
Retno Handini
Situs clan budaya megalitik berlanjut (living megalithic) yang ada di Indonesia seperti Nias, Toraja, Sumba, Sahu, Ngada, clan Ende memiliki daya tarik eksotis, baik bagi ilmu pengetahuan maupun untuk djnikmati khalayak ramai sebagai sebuah tampilan budaya. Segi-segi ilmiah tetap menuntut penjelasan akademis tentang proses budaya sejak diperkirakan muncul sebelum Tarikh Masehi hingga mampu bertahan sampai saat ini, sementara "memasyarakatkan" budaya megalitik yang masih hidup merupakan sebuah pesona tersendiri, karena merupakan "window to the past", yang jarang terjadi pada tinggalan arkeologis. Melihat clan menikmati budaya megalitik yang masih berlanjut adalah sebuah atraksi wisata budaya yang sangat luar biasa, apalagi ketika menyentuh tata cara pendirian bangunan megalitik dengan teknik-teknik sederhananya, saat teknologi modern tidak digunakan. Situasi seperti ini akan memberi nilai wisata budaya yang tinggi, dengan daya tarik tersendiri, sehingga living megalithic perlu dimasyarakatkan
HUMANISME DALAM TRADISI KUBUR BATU MEGALITIK
DI SUMBA, NUSA TENGGARA TIMUR1
Mikka Wildha Nurrochsyam
Tradisi kubur batu di Sumba merupakan salah satu budaya kolosal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bagi masyarakat Sumba, kesadaran tentang hidup sesudah mati telah melahirkan tradisi kubur batu yang unik dan spektakuler. Penelitian ini memperlihatkan dua aspek dinamika budaya dalam tradisi kubur batu megalitik, yaitu proses internalisasi dan akulturasi budaya. Selanjutnya, saya akan memperlihatkan adanya aspek humanisme sebagai dasar' pen ting dalam dinamika budaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan wawancara mendalam serta dukungan studi pustaka. Obyek penelitian adalah tradisi kubur batu megalitik di Sumba yang dilihat menurut sisi dinamika budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat pendukungnya. Penelitian ini bermanfaat sebagai orientasi untuk melihat adanya dinamika kebudayaan dalam masyarakat, dan melihat orientasi bagi perkembangan budaya yang bermartabat.
CANDI PANATARAN:
CANDI KERAJAAN MASA MAJAPAHIT
Hariani Santiko
Candi Panataran adalah candi kerajaan (State Temple) Kerajaan Majapahit, didir}kan di sebuah tanah yang berpotensi sakral karena di tempat itu terdapat prasasti Palah dari jaman Kadiri, berisi tentang pemujaan Bhatara ri Palah. Berdasarkan angka tahun yang ditemukan di kompleks candi, setidaknya Candi Panataran dipakai sejak pemerintahan Raja Jayanagara hingga Ratu Suhita. Pada jaman Majapahit, Candi Panataran adalah candi untuk memuja Paramasiwa yang disebut dengan berbagai nama, tattwa tertinggi dalam agama Siwasiddhanta. Bahkan ada kemungkinan sebuah Kadewaguruan (tempat pendidikan agama) dibangun di sekitar kompleks candi, tetapi dimana kepastian letaknya, belum jelas. Candi Panataran adalah "pusat spiritual" kerajaan Majapahit.
PENELITIAN PUNCAK-PUNCAK PERADABAN DI PANTAI UTARA JAWA BARAT DAN PROSES PERJALANAN MASYARAKAT HINDU
Nanang Saptono
Salah satu program penelitian Balai Arkeologi Bandung pada periode 2009 - 2014 adalah mengenai 'puncak-puncak peradaban di pantai utara Jawa Barat. Penelitian ini secara diakronis ditekankan pada masyarakat Protosejarah, masyarakat masa Klasik, dan masyarakat masa Islam. Khusus pada permasalahan masyarakat masa Klasik, penelitian didasarkan pada data awal bahwa di Karawang terdapat pusat peradaban yang mula-mula berlatarkan pada agama Hindu kemudian berkembang pula agama Buddha.
Jurnal Arkeologi Siddhayatra Vol.3 No.1 Tahun 1998
Dalam edisi jurnal kali ini akan menampilkan lima tulisan yang bervariasi bidang kajiannya. Arsitektur Candi Jawa Barat diungkapkan Soeroso, kajian mengenai beberapa piagam dari Kesultanan Palembang ditulis oleh Machi Suhadi, seorang peneliti senior dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Aryandini Novita menggambarkan tata kota Bengkulu pada abad XVIII dalam tulisannya. Kajian mengenai peripih berupa manik-manik coba dibahas oleh Budi Wiyana dari Balai Arkeologi Palembang. Pembahasa ini merupakan hal baru dalam arkeologi, ternyata manik-manik yang selama ini dikenal sebagai hiasan terdapat juga dalam wadah peripih. Metedologi studi arsitektur rumah Bugis dibahas oleh M.Irfan Mahmud dari Balai Arkeologi Ujungpandang yang berkolaborasi dengan Andi Muhammad Said dari Ditlinbinjarah
Levocarnitine Improves AlCl3-Induced Spatial Working Memory Impairment in Swiss albino Mice
Background: Aluminum, a neurotoxic substance, causes oxidative stress induced-neurodegenerative diseases. Several lines of evidence suggest that levocarnitine has an antioxidant effect and also plays an important role in beta-oxidation of fatty acids. However, the role of levocarnitine in aluminum-induced neurotoxicity has not been well documented. Here we aimed to investigate the effect of levocarnitine on aluminum chloride (AlCl3)-induced oxidative stress and memory dysfunction.Methods: Male Swiss albino mice (n = 30) were treated with either control (saline) or AlCl3 or AlCl3 plus levocarnitine or levocarnitine or astaxanthin plus AlCl3 or astaxanthin alone. The spatial working memory was determined by radial arm maze (RAM). In addition, we measured the lipid peroxidation (MDA), glutathione (GSH), advanced oxidation of protein products (AOPP), nitric oxide (NO) and activity of superoxide dismutase (SOD) in the various brain regions including prefrontal cortex (PFC), striatum (ST), parietal cortex (PC), hippocampus (HIP) hypothalamus (HT) and cerebellum (CB). We used astaxanthin as a standard antioxidant to compare the antioxidant activity of levocarnitine.Results: The RAM data showed that AlCl3 treatment (50 mg/kg) for 2 weeks resulted in a significant deficit in spatial learning in mice. Moreover, aluminum exposure significantly (p < 0.05) increased the level of oxidative stress markers such as MDA, GSH, AOPP and NO in the various brain regions compared to the controls. In addition, combined administration of levocarnitine and AlCl3 significantly (p < 0.05) lowered the MDA, AOPP, GSH and NO levels in mice.Conclusion: Our results demonstrate that levocarnitine could serve as a potential therapeutic agent in the treatment of oxidative stress associated diseases as well as in memory impairment
- …