294 research outputs found
"PROFIL DARAH IKAN WADER CAKUL (Puntius binotatus) DALAM RANGKA MENILAI KONDISI PERAIRAN DAS BRANTAS KOTA MALANG JAWA TIMUR"
"Sungai Brantas merupakan badan air yang terletak di Provinsi Jawa Timur. Salah
satu Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas terletak di Kota Malang, Jawa Timur.
Ikan wader cakul (Puntius binotatus) merupakan salah satu jenis ikan wader asli
sumber Sungai Brantas. Penelitian ini bertujuan dalam penentuan kesehatan
ikan wader cakul (Puntius binotatus) berdasarkan profil darah. Kegunaan dari
penelitian ini adalah dapat digunakan untuk mengetahui hasil analisa kesehatan
ikan wader cakul (Puntius binotatus) berdasarkan profil darah dan analisis
kualitas perairan berdasarkan metode Canocal Correspondence Analysis (CCA)
dan Indeks Pencemaran. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
deskriptif dengan teknik survei. Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yaitu Sungai
Swereg, Sungai Metro Pisang Candi dan Sungai Joyosuko. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ikan wader cakul (Puntius binotatus).
Sampel yang diambil diketiga lokasi adalah tiga ekor ikan wader cakul (Puntius
binotatus) yang dilakukan dua kali sampling dengan jarak waktu 2 minggu yang
ditangkap menggunakan jaring. Lokasi pengambilan sampel kualitas air sama
dengan pengambilan atau sampling ikan. Kualitas air yang diambil dalam
penelitian ini antara lain suhu, pH, DO, BOD, Amoniak dan TSS. Sedangkan
profil darah ikan yang diambil ada eritrosit, leukosit, haemoglobin, dan
mikronuklei. Hasil yang didapatkan setelah melakukan pengukuran kualitas air
selama dua sampling di ketiga Lokasi adalah suhu didapatkan hasil berkisar
antara 22.1 β 24.2
oC, pH berkisar antara 6.5 β 7.2, DO memiliki kisaran 5.5 β 6.9
mg/l, BOD berkisar antara 4.07 β 4.88 mg/l, amoniak berkisar antara 0.049 β
0.097 mg/l dan TSS berkisar antara 30 β 42 mg/l. Ketiga lokasi tergolong
tercemar ringan berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021 baku mutu kelas II. Nilai
BOD yang melebihi ambang batas. Hasil darah yang didapatkan yaitu jumlah
eritrosit berkisar antara 430.000 β 1.200.000 sel/mm3
, jumlah leukosit berkisar
antara 20.800 β 127600 sel/ mm3
, konsentrasi haemoglobin berkisar antara 4 β 6
gram/% dan jumlah mikronuklei berkisar antara 11 β 27 sel/1000. Hasil uji CCA
yang didapatkan jumlah eritrosit cenderung di pengaruhi oleh kualitas air dengan
keseluruhan yang tinggi. Dikarenakan titik eritrosit dapat di proyeksikan ke
seluruh parameter kualitas air dengan jarak yang dekat dapat diartikan jumlah
eritrosit cenderung di pengaruhi oleh nilai kualitas air yang tinggi. Jumlah leukosit
cenderung dipengaruhi oleh nilai DO tinggi, amoniak sedang ke rendah, pH
sedang ke rendah, TSS sedang ke rendah, suhu sedang ke rendah dan BOD
sedang ke rendah. Nilai hemoglobin cenderung di pengaruhi nilai BOD yang
tinggi, DO yang tinggi, amoniak sedang ke rendah, pH sedang ke rendah, suhu
sedang ke rendah dan TSS sedang ke rendah. Nilai mikronuklei cenderung
dipengaruhi oleh nilai BOD yang tinggi, DO tinggi, pH sedang ke rendah, TSS
sedang ke rendah, amoniak sedang ke rendah dan suhu sedang ke rendah.
Saran yang dapat diberikan yaitu perlu adanya peran serta masyarakat sekitar
dalam menjaga lingkungan perairan.
Evaluation of serum mineral micronutrients (Zn, Cu, Fe, Mg) and their correlation with clinical parameters (gingival index, probing pocket depth, clinical attachment loss) in chronic periodontitis patients
Background: Nutrition especially micro-mineral nutrients plays a major role in the etiology of chronic periodontitis. Serum levels of micro-mineral nutrients can be used as markers for the incidence of periodontitis and may also be used as indicators for dietary supplementation.
Aims and Objectives: The aim of the study was to estimate the serum levels of Zn, Cu, Fe, and Mg of chronic periodontitis patients and normal healthy controls., to measure the clinical parameters (gingival index, probing pocket depth [PPD], and clinical attachment loss) in chronic periodontitis patients and normal healthy controls., to compare the levels of serum Zn, Cu, Fe, and Mg levels of chronic periodontitis patients and healthy controls and to correlate the levels of serum micronutrients with clinical parameters (gingival index, PPD, and clinical attachment loss) in chronic periodontitis patients and healthy controls.
Materials and Methods: A total of 110 subjects, 55 subjects with chronic periodontitis and 55 healthy control subjects in the age group 35β65 years were selected for the study. Serum micronutrient levels of Cu, Fe, Zn, Mg, and the clinical parameters were measured.
Results: Serum concentrations of Cu and Fe showed statistically significant increase and serum Zn and Mg showed a significant decrease in peridontitis patients as compared to normal healthy controls. Copper and Fe showed a significant positive correlation and Zn and Mg showed a significant negative correlation with clinical parameters (gingival index, PPD, and clinical attachment loss).
Conclusion: The present study supports and extends the view that the assessment of serum mineral micronutrient can serve as possible biomarkers or indicators for an inflammatory condition like chronic periodontitis
Kajian Biosorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen (CrVI) oleh Bakteri Indigenous dari Biofilm di Sungai Badek, Malang, Jawa Timur
Pencemaran lingkungan perairan akibat dari cemaran logam berat menjadi salah satu isu krusial yang menjadi perhatian di Indonesia. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya pencemaran perairan adalah semakin meningkatnya aktifitas manusia, seperti: kegiatan industri, pemukiman, rumah sakit, pertanian, dan lain sebagainya. Salah satu jenis logam berat non essensial yang berbahaya adalah Kromium heksavalen (CrVI) yang umum digunakan dalam industri penyamakan kulit. Sungai Badek yang terletak di Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Sukun, Kota malang merupakan salah satu sungai yang mengalami pencemaran logam berat CrVI. Sungai ini dilimpasi oleh limbah dari dua industri penyamakan kulit yang terdapat di sekitar lokasi, dimana pada industri penyamakan kulit umumnya menggunakan Kromium sebagai bahan penyamak kulit. Sehingga dalam limbah produksi tersebut terdapat kandungan kromium yang cukup tinggi yang apabila tidak dilakukan pengolahan dengan baik sebelum dilakukan pembuangan maka dapat mencemari lingkungnan perairan tersebut. Salah satu metode yang dapat dikembangkan untuk menurunkan kandungan kromium limbah penyamakan kulit yaitu biosorpsi dengan menggunakan mikroorganisme sebagai biosorben. Bakteri yang berasal dari biofilm di sungai badek merupakan mikroorganisme yang mampu bertahan dengan kondisi lingkungan tersebut sehingga perlu dilakukan kajian biosorpsi logam berat Kromium Heksavalen (CrVI) Oleh Bakteri indigenous yang berasal dari sungai Badek.
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap penelitian dengan tujuan akhir yaitu mendapatkan jenis bakteri dari sampel biofilm Sungai Badek dengan kemampuan menurunkan kandungan CrVI di media yang tertinggi. Tahap pertama adalah pengamatan kondisi bioekologis sungai badek. Pada tahap ini, dilakukan pengukuran kualitas air (pH, DO, BOD5, COD, BOT, NH3, NO2, NO3, dan PO4), pengukuran properti sedimen (Karbon Organik Total, Nitrogen Total, rasio C/N, NH3, NO2, NO3, rasio NH3/NO3, PO4, pH, dan Electrical conductivity (EC)), dan pengukuran kandungan logam berat pada air, sedimen, dan biofilm. Tahap kedua yaitu analisis potensi bakteri dari biofilm sebagai kandidat biosorben logam berat kromium heksavalen (CrVI). Pada tahapan ini dilakukan beberapa penelitian, antara lain: isolasi bakteri dari sampel biofilm yang melekat pada permukan batu di Sungai Badek, Uji Ketahanan CrVI pada isolat bakteri pada konsentrasi 0 sampai 1000 ppm, pengujian kapasitas reduksi CrVI oleh isolat bakteri pada konsentrasi yang umum ada pada limbah penyamakan kulit (10, 50, dan 100 ppm), optimasi kondisi suhu dan pH bakteri dalam proses biosorpsi CrVI, pengamatan aktifitas gugus fungsi pada sel bakteri dengan menggunakan Fourier Transform
xiii
Infrared (FTIR) dan pengamatan morfologi dan komposisi material pada bakteri dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy-Energy-Dispersive X-ray (SEM-EDX). Adapun langkah yang ketiga adalah identifikasi isolat bakteri secara biokimia dan secara molekuler.
Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran di sungai Badek. Hal ini dapat dilihat selain dari pengamatan fisik perairan juga dari beberapa pengukuran parameter kualitas air yang telah diamati diantaranya adalah nilai rasio COD/BOD yang cukup tinggi, ini mengindikasikan adanya material degradable dan non-degradable yang cukup tinggi di sungai badek. Selain itu terjadi ketidakseimbangan proses dekomposisi di sungai tersebut hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio C/N yang cukup tinggi dan rendahnya rasio NH3/NO3. Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa ditemukan 7 isolat bakteri yang toleran terhadap CrVI. Berdasarkan hasil uji ketahanan bakteri terhadap CrVI diketahui bahwa ada 4 isolat yang dapat digunakan sebagai kandidat biosorben CrVI (Isolat Bakteri 2, 3, 5, dan 6). Kemudian pada pengujian kapasitas biosorpsi CrVI oleh bakteri tersebut diketahui bahwa Isolat Bakteri 2 dan Isolat Bakteri 5 memiliki kemampuan biosorpsi CrVI yang tertinggi disbandingkan 2 isolat bakteri lainnya, hal ini dapat diketahui dari kemampuan Kedua bakteri tersebut menurunkan kandungan CrVI (10 ppm) di media hingga mencapai 98,1% (pada Isolat Bakteri 2) dan 92,2% (pada Isolat Bakteri 5) dengan masa inkubasi selama 120 jam. Selain itu dari hasil pengamatan SEM-EDX terjadi peningkatan kandungan CrVI dan pada pengamatan FTIR menunjukkan adanya peningkatan aktifitas gugus fungsional pada bakteri. Kemudian pada tahap ketiga, hasil identifikasi baik secara biokimia dan molekuler menunjukkan bahwa Isolat Bakteri 2 identik dengan jenis bakteri Bacillus licheniformis dan Isolat Bakteri 5 identik dengan jenis bakteri Proteus mirabilis
Can Global Variation of Nasopharynx Cancer Be Retrieved from the Combined Analyses of IARC Cancer Information (CIN) Databases?
BACKGROUND: The international nasopharynx cancer (NPC) burdens are masked due to the lack of integrated studies that examine epidemiological data based on up-to-date international disease databases such as the Cancer Information (CIN) databases provided by the International Agency for Research on Cancer (IARC). METHODS: By analyzing the most recently updated NPC epidemiological data available from IARC, we tried to retrieve the worldwide NPC burden and patterns from combined analysis with GLOBOCAN2008 and the Cancer Incidence in Five Continents (CI5) databases. We provide age-standardized rates (ASR) for NPC mortality in 20 highest cancer registries from GLOBOCAN2008 and the World Health Organization (WHO) mortality databases, respectively. However, NPC incidence data can not be retrieved since it is not individually listed in CI5 database. The trend of NPC mortality was investigated with Joinpoint analysis in the selected countries/regions with high ASR. RESULTS: GLOBOCAN 2008 revealed that the highest NPC incidence rates in 2008 were in registries from South-Eastern Asia, Micronesia and Southern Africa with Malaysia, Indonesia and Singapore ranking the top 3. WHO mortality database analysis revealed that China Hong Kong, Singapore and Malta ranks the top 3 regions with the highest 5-year mortality rates. CONCLUSIONS: NPC mortality rate is about 2-3 times higher in male than that in female, and shows decrease tendency in those selected countries/regions during the analyzed periods. However, the integrated analyses of the current IARC CIN databases may not be suitable to retrieve epidemiological data of NPC. Much effort is required to improve the local cancer entry and regional death-reporting systems so as to aid similar studies
Can Global Variation of Nasopharynx Cancer Be Retrieved from the Combined Analyses of IARC Cancer Information (CIN) Databases?
BACKGROUND: The international nasopharynx cancer (NPC) burdens are masked due to the lack of integrated studies that examine epidemiological data based on up-to-date international disease databases such as the Cancer Information (CIN) databases provided by the International Agency for Research on Cancer (IARC). METHODS: By analyzing the most recently updated NPC epidemiological data available from IARC, we tried to retrieve the worldwide NPC burden and patterns from combined analysis with GLOBOCAN2008 and the Cancer Incidence in Five Continents (CI5) databases. We provide age-standardized rates (ASR) for NPC mortality in 20 highest cancer registries from GLOBOCAN2008 and the World Health Organization (WHO) mortality databases, respectively. However, NPC incidence data can not be retrieved since it is not individually listed in CI5 database. The trend of NPC mortality was investigated with Joinpoint analysis in the selected countries/regions with high ASR. RESULTS: GLOBOCAN 2008 revealed that the highest NPC incidence rates in 2008 were in registries from South-Eastern Asia, Micronesia and Southern Africa with Malaysia, Indonesia and Singapore ranking the top 3. WHO mortality database analysis revealed that China Hong Kong, Singapore and Malta ranks the top 3 regions with the highest 5-year mortality rates. CONCLUSIONS: NPC mortality rate is about 2-3 times higher in male than that in female, and shows decrease tendency in those selected countries/regions during the analyzed periods. However, the integrated analyses of the current IARC CIN databases may not be suitable to retrieve epidemiological data of NPC. Much effort is required to improve the local cancer entry and regional death-reporting systems so as to aid similar studies
New Implications on Genomic Adaptation Derived from the Helicobacter pylori Genome Comparison
BACKGROUND: Helicobacter pylori has a reduced genome and lives in a tough environment for long-term persistence. It evolved with its particular characteristics for biological adaptation. Because several H. pylori genome sequences are available, comparative analysis could help to better understand genomic adaptation of this particular bacterium. PRINCIPAL FINDINGS: We analyzed nine H. pylori genomes with emphasis on microevolution from a different perspective. Inversion was an important factor to shape the genome structure. Illegitimate recombination not only led to genomic inversion but also inverted fragment duplication, both of which contributed to the creation of new genes and gene family, and further, homological recombination contributed to events of inversion. Based on the information of genomic rearrangement, the first genome scaffold structure of H. pylori last common ancestor was produced. The core genome consists of 1186 genes, of which 22 genes could particularly adapt to human stomach niche. H. pylori contains high proportion of pseudogenes whose genesis was principally caused by homopolynucleotide (HPN) mutations. Such mutations are reversible and facilitate the control of gene expression through the change of DNA structure. The reversible mutations and a quasi-panmictic feature could allow such genes or gene fragments frequently transferred within or between populations. Hence, pseudogenes could be a reservoir of adaptation materials and the HPN mutations could be favorable to H. pylori adaptation, leading to HPN accumulation on the genomes, which corresponds to a special feature of Helicobacter species: extremely high HPN composition of genome. CONCLUSION: Our research demonstrated that both genome content and structure of H. pylori have been highly adapted to its particular life style
- β¦