50 research outputs found

    Hubungan antara Status Gizi dengan Tingkat Perkembangan Anak yang Teridentifikasi Stunting di Wilayah Jakarta Selatan Tahun 2022

    Get PDF
    Stunting merupakan salah satu faktor risiko yang kuat terhadap keterlambatan perkembangan. Gangguan perkembangan bersifat multifaktorial tetapi saat ini belum terdapat hubungan yang jelas antara perkembangan dengan status gizi. Melalui studi ini, peneliti ingin melihat hubungan antara status gizi dan perkembangan pada anak usia balita. Penelitian potong lintang pada anak berusia kurang dari 5 tahun dengan stunting dilakukan pada 9 Puskesmas di Jakarta Selatan sejak Januari hingga Juli 2022. Pada subjek dilakukan pengukuran antropometri dan pemeriksaan perkembangan menggunakan Ages and Stages Questionnaires (ASQ) versi 3. Status gizi pasien diolah menggunakan aplikasi WHO antropometri dan analisis data menggunakan SPSS. Terdapat 136 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi, dengan total subjek akhir didapatkan 100 subjek. Karakteristrik demografi subjek sedikit didominasi jenis kelamin perempuan (51%), median usia subjek adalah 34 bulan berkisar antara 5 – 56 bulan, dan status gizi didominasi gizi baik (60%). Perkembangan yang tidak normal didapatkan pada 64 subjek (64%) dengan keterlambatan perkembangan global pada 29% subjek. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan gangguan perkembangan pada subjek (p = 0,598). Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai Z-score Weight-for-Height (WHZ) dengan aspek perkembangan komunikasi (p = 0,07) dan motorik kasar (p = 0,015). Status gizi tidak memengaruhi keterlambatan perkembangan secara keseluruhan tetapi memiliki hubungan dengan aspek komunikasi dan motorik kasar. Studi lebih lanjut mengenai status gizi dan tingkat perkembangan perlu dilakukan.&nbsp

    Correlation between brain injury biomarkers and Glasgow coma scale in pediatric sepsis

    Get PDF

    Vitamin D levels in epileptic children on long-term anticonvulsant therapy

    Get PDF
    Background Long-term anticonvulsant therapy, especially with enzyme inducers, has been associated with low 25-hydroxyvitamin D [25(OH)D] levels and high prevalence of vitamin D deficiency. However, there have been inconsistent results in studies on the effect of long-term, non-enzyme inducer anticonvulsant use on vitamin D levels. Objective To compare 25(OH)D levels in epileptic children on long-term anticonvulsant therapy and non-epileptic children. We also assessed for factors potentially associated with vitamin D deficiency/insufficiency in epileptic children. Methods This cross-sectional study was conducted at two pediatric neurology outpatient clinics in Jakarta, from March to June 2013. Subjects in the case group were epileptic children, aged 6-11 years who had used valproic acid, carbamazepine, phenobarbital, phenytoin, or oxcarbazepine, as a single or combination therapy, for at least 1 year. Control subjects were non-epileptic, had not consumed anticonvulsants, and were matched for age and gender to the case group. All subjects’ 25(OH)D levels were measured by enzyme immunoassay. Results There were 31 epileptic children and 31 non-epileptic control children. Their mean age was 9.1 (SD 1.8) years. Most subjects in the case group were treated with valproic acid (25/31), administered as a monotherapy (21/31). The mean duration of anticonvulsant consumption was 41.9 (SD 20) months. The mean 25(OH)D level of the epileptic group was 41.1 (SD 16) ng/mL, lower than the control group with a mean difference of 9.7 (95%CI 1.6 to 17.9) ng/mL. No vitamin D deficiency was found in this study. The prevalence of vitamin D insufficiency in the epileptic group was higher than in the control group (12/31 vs. 4/31; P=0.020). No identified risk factors were associated with low 25(OH)D levels in epileptic children. Conclusion Vitamin D levels in epileptic children with long-term anticonvulsant therapy are lower than that of non-epileptic children, but none had vitamin D deficiency

    Luaran Klinis Anak dengan Epilepsi yang Mengalami Relaps Setelah Penghentian Obat Antiepilepsi

    Get PDF
    Latar belakang. Penghentian obat antiepilepsi (OAE) yang terburu-buru meningkatkan risiko relaps. Risiko resistensi obat pada anak dengan epilepsi yang mengalami relaps sangat tinggi. Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai pengobatan kejang pasca relaps. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden relaps, karakteristik, prediktor, luaran, dan perjalanan elektroensefalografi (EEG) anak dengan epilepsi setelah mengalami relaps. Metode. Penelitian dilakukan pada Juni-Desember 2016. Desain studi adalah potong lintang, multisite dari rekam medis tahun 2012-2016. Subjek adalah anak dengan epilepsi yang mengalami relaps. Hasil. Epilepsi relaps terjadi paling banyak dalam tahun pertama setelah dosis OAE diturunkan, 41,3% relaps terjadi dalam 6 bulan, dan 31,7% antara 6-12 bulan. Riwayat waktu kejang terkontrol lama (≥1 tahun) pada kejang sebelumnya merupakan faktor yang memengaruhi (RP 1,846 95% IK 1,056 – 3,228) kejang yang tidak terkontrol dalam waktu 6 bulan pasca relaps. Sementara variabel lain tidak signifikan berpengaruh terhadap terkontrolnya kejang dalam 6 bulan pasca relaps. Kesimpulan. Anak dengan epilepsi relaps yang memiliki riwayat waktu terkontrol kejang lama (≥1 tahun) akan lebih sulit mencapai remisi kedua pasca relaps

    Pendampingan Asuhan Nutrisi Balita dengan Epilepsi di Era Pandemi COVID-19 Secara Daring: Uji Klinis Acak Terkontrol

    Get PDF
    Latar belakang. Anak epilepsi berisiko mengalami malnutrisi, keterlambatan perkembangan, dan defisiensi vitamin D akibat obat anti-epilepsi. Pandemi COVID-19 membatasi kunjungan ke dokter sehingga menghambat pemantauan pertumbuhan anak epilepsi. Pemantauan jarak jauh dapat membantu asuhan nutrisi optimal selama pandemi.. Tujuan. Mengevaluasi efektivitas pendampingan asuhan nutrisi pediatrik melalui WhatsApp pada balita epilepsi. Metode. Penelitian multisenter dimulai Maret 2021 pada pasien epilepsi (6 bulan - 5 tahun). Kelompok intervensi mendapat pendampingan asuhan nutrisi melalui WhatsApp selama 3 bulan, sementara kelompok kontrol tidak. Sebelum intervensi, subjek diberikan edukasi melalui webinar, pemeriksaan anemia defisiensi besi dan vitamin D 25-OH. Hasil. Sebanyak 73 subjek direkrut dan 69 subjek mengikuti penelitian sampai selesai. Defisiensi/insufisiensi vitamin D didapatkan pada 35,6% subjek. Oral nutrition supplement merupakan saran intervensi terbanyak (23,1%). Meski WhatsApp tidak signifikan untuk perbaikan status gizi, 84,2% orangtua melihat manfaatnya dalam meningkatkan pengetahuan dan mengatasi masalah nutrisi. Meskipun beberapa memerlukan nutrisi enteral dan kunjungan tatap muka, dampak positif WhatsApp terlihat dalam meningkatkan pemahaman orangtua. Kesimpulan. Asuhan nutrisi anak epilepsi dapat ditingkatkan melalui pendampingan WhatsApp di masa pandemi. Beberapa intervensi memerlukan konsultasi tatap muka, tetapi kombinasi supervisi daring dan kunjungan tatap muka dapat menjadi alternatif setelah pandemi, mengatasi kendala jarak dan mobilitas dalam memberikan asuhan nutrisi

    The efficacy and safety of first-line anti-seizure medications as substitution therapy for children with drug-resistant epilepsy: a randomized controlled trial protocol

    Get PDF
    Although many anti-seizure medications (ASMs) are available, treatment failure, known as drug-resistant epilepsy (DRE), still occurs in around 30% of children with epilepsy. Second-line ASMs are usually used as substitution therapy in DRE to control seizures, although international consensus is not available yet. Previous studies focus on comparing the ASMs, whether as add-on or substitution therapy, mainly conducted in newly diagnosed epilepsy. However, the study that investigated first-line ASMs as substitution therapy compared to second-line ones, particularly among DRE children, is still lacking. A randomized controlled trial (RCT) enrolling 102 participants, aged 1–18, at three referral hospitals in Indonesia will be conducted, dividing them into intervention and control groups. The intervention group will be treated with first-line ASMs as the substitution therapy, while the other in the control group will get second-line ASMs. The primary outcome measure is the proportion difference of responders between groups who get first-line and second-line ASMs in 14 weeks of intervention.Clinical trial registration: ClinicalTrials.gov, identifier NCT05697614

    Pendekatan Klinis Berbagai Kasus Neurologi Anak yang Membutuhkan Pemeriksan Pencitraan

    No full text
    Kelainan saraf pada bayi dan anak relatif sering ditemukan, hampir 20 – 30% pasien rawat inap maupun rawat jalan merupakan kasus neurologis.1 Pada umumnya anak dibawa oleh orang tua berobat akibat gangguan fungsional yang dialaminya, gangguan perkembangan, gangguan kesadaran, kelumpuhan ekstremitas, kelumpuhan saraf otak, kejang dan lain-lain. Anamnesis terarah tentang riwayat penyakit, perkembangan, pemeriksaan fisis pediatrik, pemeriksaan neurologik yang teliti akan sangat membantu menentukan diagnosis fungsional, gangguan anatomik, dan perkiraan etiologik kelainan saraf yang dihadapi.1 Untuk menegakkan diagnosis pasti diperlukan pemeriksaan penunjang paling sederhana sampai yang paling canggih, seperti transiluminasi kepala, pemeriksaan darah tepi, cairan serebrospinalis, elektroneurofisiologi (elektroensefalografi, potensial cetusan, dan elektromiografi), pemeriksaan pencitraan, patologi anatomi dan lain-lainnya

    Risk factors influencing the outcomes in infants with epilepsy

    No full text
    Background Epilepsy in young children should always be considered as a symptom of an underlying brain disease. Parents and caregivers often asked whether the seizures can be controlled and whether the epilepsy will affect the child development. Objective To find out risk factors influencing the outcomes in infants with epilepsy. Methods This was a retrospective study on infants aged 1 month until 12 months with recurrent epileptic seizures. We looked for the risk factors as sex, types of medication, age at onset of seizure, epilepsy syndrome, etiology of epilepsy, history of neonatal seizure, first EEG features, and type of seizure for the last 6 month-period. The outcomes evaluated were controlled seizure and developmental status. Results Hundred forty infants with epilepsy were reviewed, consisted of 84 (60%) infants with symptomatic epilepsy, and 56 (40%) infants categorized as idiopathic. Forty-six (33%) infants had controlled seizure, while 94 (67%) infants had uncontrolled seizure. Abnormal developmental status was found in 75 infants (54%). Abnormal developmental status was more found in infants with polytherapy, age at onset of 1-4 months, symptomatic epilepsy, positive remote symptomatic, history of neonatal seizure, abnormality of first EEG, and uncontrolled seizure. Uncontrolled seizure of epilepsy was more found in infants with polytherapy, early age at onset (1-4 month old), symptomatic epilepsy, positive remote symptomatic, history of neonatal seizure, and abnormality of first EEG. Conclusion Our data indicate that classifying syndrome of epilepsy through diagnostic screening and age of onset are important to determine the outcomes

    Clinical characteristics and electroencephalography features of intractable childhood epilepsy - A case series

    No full text
    Background The majority of epilepsy patients have good prognosis, but lOAO% will develop intractable epilepsy. Early identification of patients v.ith risks of developing intractable epilepsy allows more intensive therapy to be performed. Objective To study clinical characteristics and electroencephalography (EEG) features of intractable childhood epilepsy. Methods We reviewed children \\lith intractable epilepsy attending the Pediatric Neurology and Growth and Development Clinic in Child Health Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from 20052008. EEG examination was perfonned in epilepsy patients who had consumed two or more antiepileptic drugs for at least 18 months but still experienced seizure at least once per month. Data of clinical characteristics were collected from the medical records and information provided by the parents. Results There were 41 subjects. Age of onset between o 1 year old was found in 50% subjects, neurological impainnent in 80%, microcephaly in 50%, and abnonnal neuroimaging in 14 of 24 subjects. Seizure manifestations were mostly generalized tonic clonic, tonic, my oclonic, and complex partial seizures. Abnonnal EEG features were found in 88% subjects and the majority showed generalized sloMng of the background activity. Focal and multifocal epileptifonn activity was found in 31 % and 28% subjects, respectively. Epileptifonn activity was located mostly in the frontal and temporal lobe. Conclusions Most patients Mth intractable epilepsy haveage of onset before the age of 1 year. A substantialpoportionof them have neurological impairment, microcephaly,abnonnal neuroimaging, and abnormal EEG features. Seizure manifestation ismostlygeneralized seizure. Epileptiform activity in intractable childhood epilepsy is often found in the frontal and temporal lobe

    Perbandingan Full Outline of Unresponsiveness Score dengan Glasgow Coma Scale dalam Menentukan Prognostik Pasien Sakit Kritis

    No full text
    Latar belakang. Penilaian kesadaran penting dilakukan pada pasien anak dengan sakit kritis untuk memperkirakan prognosis. Modifikasi Glasgow Coma Scale (GCS) banyak digunakan untuk menilai kesadaran tetapi memiliki keterbatasan terutama pada pasien yang diintubasi. Terdapat skor alternatif baru yaitu Full Outline of UnResponsiveness score (FOUR score) yang dapat digunakan untuk menilai kesadaran pasien terintubasi. Tujuan. Membandingkan FOUR score dengan GCS dalam menentukan prognosis pasien kritis, sehingga pemeriksaan FOUR score dapat digunakan sebagai alternatif pengganti GCS. Metode. Penelitian prospektif observasional pada anak usia di bawah 18 tahun yang dirawat di Unit Perawatan Intensif Anak RSCM dengan penurunan kesadaran. Waktu penelitian antara 1 Januari – 31 Maret 2011. Masing-masing subjek dinilai oleh 3 orang supervisor berbeda yang bekerja di Unit Perawatan Intensif Anak. Ketiga penilai diuji reliabilitas dalam menilai FOUR score dan GCS. Dibandingkan sensitivitas, spesifisitas, dan receiver operating characteristic (ROC) kedua sistem skor terhadap luaran berupa kematian di rumah sakit. Hasil. Reliabilitas tiap pasangan untuk FOUR score (FOUR 0,963; 0,890; 0,845) lebih baik daripada modifikasi GCS (GCS 0,851; 0,740; 0,700). Terdapat hubungan yang bermakna antara besar skor dan luaran kematian di rumah sakit dengan (pFOUR score = pGCS = 0,001). Nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negatif serta rasio kemungkinan positif masing-masing adalah 93%; 86%; 88%; 92%; 6,6. Area under curve (AUC) FOUR score 0,854 dan GCS 0,808 Kesimpulan. Prediksi prognostik pada pasien yang dirawat di Unit Perawatan Intensif Anak dengan FOUR score lebih baik dibandingkan GCS
    corecore