2 research outputs found
Tinjauan Historis dan Perspektif Pengembangan Kelembagaan Irigasi di Era Otonomi Daerah
EnglishThe primer mover of agriculture development consist of four factors, which are natural resources, human resource, technology, and institution. It is predicted that improvement of both food production and farm income will be driven by the following pressure factors: (1) The implication of globalization and liberalization, as well as international community coersion on environmental aspects; (2) The more limited of government expenditure, (3) The increase of natural resources scarcity and its degradtion, and (4) The launching of autonomy and its implication on decentralization of development. Historically, natural resources management has been managed partially through centralistic and top-down style. Deal with water resources management, the approach affected malfunction of local institution, the out comes was ineficient irrigation. Irrigation should be managed simultaneously both on supply and demand side. Refer to empirical studies it was convenient that enhancement of demand side management will increase food production and farm income significantly. It is useful to review irrigation performance, especially focused on institutional aspects. IndonesianAda empat faktor penggerak utama dalam pembangunan pertanian, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi, dan kelembagaan. Upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani di hadapkan pada arus globalisasi ekonomi, pelestarian lingkungan, anggaran pembangunan yang terbatas, kelangkaan sumberdaya dan pelaksanaan otonomi daerah. Secara historis pengelolaan sumberdaya alam dengan pendekatan sentralistik (top down) telah berdampak pada memudarnya kelembagaan lokal dan inefisiensi pengelolaan sumberdaya alam dan air. Secara teoritis, pengelolaan air irigasi yang efisien membutuhkan pendekatan simultan yakni dari penyediaan air(supply management) dan dari sisi pemanfaatan (demand management). Secara empiris, pendekatan dari sisi pemanfaatan masih sangat membutuhkan perbaikan mempunyai peluang yang besar untuk dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan historis kelembagaan irigasi, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kelembagaan irigasi, menarik benang merah yang merupakan simpul-simpul kritis dalam pengembangan kelembagaan irigasi, dan merumuskan pengembangan kelembagaan irigasi di era otonomi daerah
Keragaan Tumpangsari Hutan dalam Peremajaan Hutan dan Penghasil Pangan: Analisis Kasus Tumpangsari di KPH Cepu.
IndonesianTumpangsari hutan merupakan suatu penerapan konsep agroforestry yang telah berjalan lebih dari satu abad sejak Buurman memperkenalkannya pada tahun 1873. Permasalahan yang dirasakan pada penerapan metoda tumpangsari dalam sistem peremajaan hutan dewan ini adalah adanya gejala semakin langkanya pekerja hutan yang dapat dikontrak sebagai pembuat tanaman. Kesulitan itu disinyalir disebabkan adanya kecenderungan penurunan produktivitas lahan sehingga pendapatan pesanggem dari hasil usahataninya berkurang. Di pihak lain metoda peremajaan ini merupakan metoda peremajaan hutan yang diandalkan karena kelebihan-kelebihannya dibanding dengan metoda peremajaan yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai keragaan tumpangsari hutan terutama yang berhubungan dengan perubahan penerimaan dan biaya, resiko dan respon dari faktor-faktor produksi terhadap hasil sebagai akibat adanya perubahan teknik berproduksi dari tumpangsari tradisional ke Inmas tumpangsari. Untuk sampai pada tujuan tersebut telah digunakan metoda analisis budget, pembandingan koefisien variasi (CV), dan analisis fungsi produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan atas biaya tunai meningkat sebesar 75 persen dan 13 persen masing-masing untuk perubahan tumpangsari tradisional ke Inmas tumpangsari pada lahan bonita 3 dan bonita 4. Resiko yang dihadapi dalam usahatani tumpangsari cukup tinggi seperti tergambar dalam CV yang pada umumnya lebih dari 40 persen. Elastisitas penerimaan atas biaya tunai (dihitung dengan metoda aritamtik biasa) terhadap perubahan biaya yang dikeluarkan untuk pupuk dan pestisida adalah 45 persen dan 22 persen masing-masing untuk perubahan tumpangsari tradisional ke Inmas pada lahan bonita 3 dan bonita 4. Adapun hasil pengujian statistik dari fungsi produksi, secara parsial tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berarti dari setiap masukan usahatani dan jarak antara lahan andil dengan rumah petani. Walaupun begitu, pengaruh peubah-peubah bebas tersebut secara sekaligus keseluruhan menunjukkan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen