5 research outputs found
EFEKTIFITAS PENINDAKAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MENGGUNAKAN E-TILANG (STUDI KASUS SATUAN LALU LINTAS POLRESTABES BANDUNG)
Salah satu tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu untuk terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa. Dalam upaya penegakan hukum lalu lintas di jalan raya, khususnya di wilayah perkotaan seperti di Kota Bandung terhadap pelanggar lalu lintas di jalan raya telah diterapkan Elektronik-Traffic Law Enforcement (E-TLE) yaitu sistem yang memotret pelanggaran di jalan raya melalui kamera CCTV, kamera pengintai tersebut tersambung langsung ke TMC. Permasalahan yang diteliti adalah : 1) bagaimana pengaturan E-TLE dan sanksinya dalam hukum positif Indonesia, 2) bagaimana pelaksanaan penegakan hukum pidana tilang elektronik (ETLE) terhadap pelanggar lalu lintas di Kota Bandung, 3) bagaimana kebijakan Poltabes Bandung merespon kendala yang di hadapi dalam penindakan e tilang. Metode penelitian ini menggunakan penelitian hukum secara yuridis empiris. Dalam penelitian ini penulis menjabarkan tentang Das Sollen Das Sein atau kesesuaian harapan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas yang dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dengan kenyataan yang terjadi dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas. Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengaturan E-TLE yaitu Pasal 272 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan Dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Pelaksanaan tilang elektronik (ETLE) terhadap pelanggar lalu lintas di wilayah hukum Polrestabes Bandung Kota Bandung belum efektif karena pelaksanaan tilang elektronik (ETLE) belum sesuai dengan tujuan yang diharapkan dari program E-Tilang. E-Tilang yang seharusnya dilakukan berbasis elektronik (tanpa menggunakan surat tilang) pada prakteknya masih menggunakan surat tilang. Selain itu masih banyak masyarakat yang belum tahu mengenai prosedur penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas dengan E-Tilang sehingga banyak masyarakat yang kesulitan ketika akan melakukan proses pembayaran denda maupun pengambilan barang yang disita sebelummnya. Kendala yang di hadapi dalam penindakan e tilang yaitu belum optimalnya koordinasi antara Kepolisian, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri dan Bank Rakyat Indonrsia (BRI) selaku instansi yang berkaitan langsung dalam program E-Tilang, kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti E-Tilang baik itu program maupun alur pelaksanaannya, kurangnya keperdulian masyarakat untuk belajar dan mencari tahu mengenai program E-Tilang dalam proses penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas
ANALISIS YURIDIS PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS GOLONGAN BERAT YANG MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA MENURUT UU NOMOR 22 TAHUN 2009 DALAM PERSPEKTIF KEADILAN
Pelanggaran Lalu Lintas adalah perbuatan yang bertentangan dengan lalu lintas dan peraturan pelaksanaannya, baik yang dapat ataupun yang tidak dapat menimbulkan kerugian jiwa atau benda. Permasalahan yang diteliti adalah: bagaimana pengaturan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal dalam peraturan-perundangan, lalu bagaimana penerapan, kendala, dan upaya restoratif justice dalam tindak pidana kealpaan kecelakaan lalu lintas golongan berat di wilayah Polresta Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif yang mengkaji data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tindak pidana kealpaan dalam berkendaraan yang menyebabkan orang lain meninggal diatur dalam Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Jo. Pasal 63 ayat (2) KUHP. Kendala penerapan restoratif justice dalam kecelakaan lalu lintas golongan berat di wilayah Polresta Bandung yaitu: 1) belum ada payung hukumnya, 2) Besaran ganti rugi kadang-kadang dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan bagi pihak tertentu dalam proses perdamaian pada peristiwa pidana kecelakaan lalu-lintas di wilayah hukum Polresta Bandung, 3) Keterbatasan kemapuan ekonomi pelaku tindak pidana lalu lintas golongan berat 4) Keterlibatan pihak-pihak yang tidak terkait langsung dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas. Upaya yang dapat dilakukan yaitu menginterprestasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan berkoordinasi dengan atasan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana kecelakaan lalu lintas golongan berat yang mana antara para pihak telah melakukan perdamaian secara kekeluargaan
Penetapan Status Justice Collaborator bagi Tersangka atau Terdakwa dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
AbstrakStatus Justice Collaborator yang disematkan kepada seorang tersangka atau terdakwa bahkan terpidana memiliki implikasi besar pada dirinya. Bukan hanya dia dianggap memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum sehingga pelaku kelas kakap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, juga dianggap memiliki iktikad baik untuk memulihkan kerugian negara. Status tersebut diberikan dalam rangka untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Status justice collaborator berbeda dengan saksi mahkota yang pemanfaatannya dinilai melanggar hak asasi. Artikel ini akan menjelaskan perbedaan dengan saksi mahkota dan mengenai statusnya dalam perspektif hak asasi manusia. Justice collaborator dianjurkan sejumlah konvensi internasional yang dibuat oleh PBB. Untuk menjadi justice collaborator, seorang tersangka atau terdakwa harus memiliki keinginan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum, bukan karena dipaksa oleh pihak lain. Bila memilih untuk menjadi justice collaborator dan memenuhi syarat, maka hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa tidak akan dirugikan, justru memperoleh protection, treatment, dan reward. Dengan demikian aparat penegak hukum mendapat keuntungan dengan kerja sama tersebut, yaitu dapat dibongkarnya kejahatan serius. Sedangkan justice collaborator memperoleh sejumlah hak yang tidak diterima oleh pelaku lainnya yang tidak berstatus sebagai justice collaborator.The Determination Status of Justice Collaborator in Human Rights PerspectiveAbstractJustice Collaborator ascribed to a suspect or an accused and even convicted has major implications to them. Not only that they are considered to have a willingness to cooperate with law enforcement authorities to hold the perpetrators accountable for a major crime, but also have good faith to recover losses to the State. Such a status is granted in order to uphold human rights in the criminal justice process. Status as Justice collaborator is different from the Crown Witnesses which criticize for violating human rights. This article discusses its differences and its status through human rights perspective. Justice collaborator mechanism is recommended by a number of international conventions made by the UN. To be a justice collaborator, suspect or defendant must have the desire to cooperate with law enforcement officials, not because they were forced. When you choose to become a justice collaborator and qualify, then the rights as a suspect or defendant will not be harmed, and even gain protection, treatment, and reward. Thus, the law enforcement agencies will get benefit with respective cooperation in order to reveal serious crimes, while justice collaborator gained several rights that only provided for suspect entitled as justice collaborator.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a
PERANAN JUSTICE COLLABORATOR UNTUK MENGUNGKAP TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENEGAKANHUKUM PIDANA DI INDONESIAThe Role Of Justice Collaborator To Reveal Crime InCriminal Law Enforcement Process In Indonesia
ABSTRAKAbdul Haris Semendawai, 0026.DIH.13.2013, Peranan Justice Collaborator Untuk Mengungkap Tindak Pidana Dalam Proses Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia, di bawah bimbingan Promotor Hambali Thalib, Ko-Promotor Sufirman Rahman, dan Askari Razak.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, menganalisis dan menemukan adanya kepastian dan pengakuan tentang eksistensi Justice Collaborator sebagai jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM); dan untuk mengetahui, menganalisis serta memastikan keberadaan norma HAM dalam memberikan jaminan perlindungan terhadap Justice Collaborator; serta untuk mengetahui dan menganalisis peranan Justice Collaborator guna pemberantasan tindak pidana extra ordinary crimes dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.Sebagai upaya mencapai tujuan tersebut Penulis menggunakan dua tipe penelitian hukum yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif digunakan untuk menganalisis peran, fungsi serta mekanisme dan hak-hak Justice Collaborator, sehingga secara substansi hukum akan terlihat peran dan fungsi ideal serta hak-hak Justice Collaborator sudahkah terakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan tipe penelitian hukum empiris digunakan untuk melihat penerapan peraturan tersebut dalam kasus tindak-pidana agar dapat diketahui konsistensi penerapan peraturan dan kelemahan-kelemahannya ketika diterapkan. Kajian ini, diharapkan dapat menemukan suatu format aturan baru yang mampu menyeimbangkan antara penghormatan terhadap HAM Justice Collaborator dengan pengungkapan kasus-kasus tindak-pidana untuk kepentingan publik berupa keamanan, ketertiban dan keadilan hukum.Setelah penelitian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Justice Collaborator adalah seseorang yang mau bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum untuk membongkar kejahatan, sehingga dengan jasanya dapat membantu negara dalam mengungkap kejahatan yang luar biasa. Juga ditemukan sejumlah jaminan HAM terhadap seseorang Justice Collaborator yang dibuktikan oleh Instrumen HAM Internasional maupun Instrumen HAM Nasional dalam wujud telah diberikannya pengakuan dan perlindungan yang memadai terhadap mereka yang posisinya baik sebagai tersangka, terdakwa atau narapidana termasuk sebagai saksi dan pelapor. Sedangkan manfaat Justice Collaborator dalam sistem peradilan pidana adalah secara bersama-sama dengan aparat penegak hukum mengungkap secara tuntas suatu tindak pidana yang sulit, sehingga pencapaian manfaat, kepastian dan keadilan hukum dapat diwujudkan dalam suatu sistem peradilan pidana.Agar peranan dan pemenuhan HAMnya lebih maksimal, maka perlu penyempurnaan undang-undang serta peraturan pelaksana dan petunjuk teknis yang mengatur tentang hukum acara, syarat, proses penilaian, hak-hak Justice Collaborator. Perlu dijabarkan lebih lanjut kriteria syarat Justice Collaborator. Juga perlu dibuat sanksi yang tegas apabila hak-hak Justice Collaborator dilanggar. Perlu ditingkatkan komitmen Apgakum serta kerjasamanya dalam pemenuhan hak Justice Collaborator sebagai wujud penghormatan terhadap HAM dan dapat mendorong pelaku lainnya untuk bekerjasama membongkar kejahatan luar biasa.Kata Kunci: Justice Collabolator, Hak Asasi Manusia, Perlindungan Saksixv