66 research outputs found

    Perbandingan Pemberian Morfin 15 mg Topikal dengan Bupivakain 0,25% Topikal pada Luka Operasi Modified Radical Mastectomy terhadap Waktu Bebas Nyeri dan Jumlah Kebutuhan Opioid Pascaoperasi

    Get PDF
    Berbagai macam analgetik dapat diberikan untuk mengatasi nyeri pascaoperasi mastektomi, namun tidak ada yang ideal dalam menangani nyeri pascaoperasi. Teknik pemberian topikal adalah teknik terbaru untuk penanganan nyeri akut pascaoperasi modified radical mastectomy. Penelitian ini bertujuan membandingkan waktu bebas nyeri dan jumlah kebutuhan opioid pascaoperasi modified radical mastectomy. Penelitian menggunakan metode uji klinis acak terkontrol buta ganda melibatkan 38 pasien yang menjalani operasi modified radical mastectomy di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan November 2019–Februari 2020. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, kelompok morfin 15 mg topikal (kelompok M, n=19) dan kelompok bupivakain 0,25% topikal (kelompok B, n=19). Analisis data menggunakan Uji  Mann Whitney karena distribusi data tidak normal berdasar hasil Uji Shapiro-Wilk. Hasil penelitian didapatkan bahwa waktu bebas nyeri lebih lama pada kelompok M (846,78±411,80 menit) dibanding dengan kelompok B (401,52±123,19 menit) dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Total kebutuhan opioid kelompok M lebih sedikit, yaitu sebesar 1,15±0,60 gram dibanding dengan kelompok B sebesar 3,84±0,89 gram dengan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian adalah pemberian morfin topikal memberikan waktu bebas nyeri lebih lama dan jumlah kebutuhan opioid pascaoperasi lebih sedikit dibanding dengan pemberian bupivakain topikal untuk nyeri pascaoperasi modified radical mastectomy.Comparison of Postoperative Pain Free Duration and Amount of Opioid Need between Topical 15 mg Morphine and 0.25% Bupivacaine Applications on Modified Radical Mastectomy Surgical Wound Various analgesic methods are implemented for reducing postoperative mastectomy pain, but none of them are ideal. Topical administration is the latest technic for managing postoperative pain in modified-radical mastectomy. This study aimed to compare pain free duration and the amount of opioid needed to manage pain after modified-radical mastectomy. This randomized double-blind clinical trial study with 38 patients underwent modified radical mastectomy in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia, was performed from November 2019 to February 2020. Subjects were divided into two groups, with one group received topical 15 mg morphine group (group M, n=19) and another received topical 0.25% bupivacaine group (group B, n=19). Data were analyzed using Mann Whitney test after they were proven to be non-normally distributed based on the results of the Shapiro-Wilk test. Results showed that the pain free duration was significantly longer in group M (846.78±411.80 minutes) when compared to group B (401.52±123.19 minutes) (p<0.05). The total dose needed for group M was 1,15±0,60 grams, which was significantly less than the dose needed in group B (384±0.89 grams) (p<0.05). In conclusion, topical morphine administration is associated with a longer pain free duration before the first onset of pain requiring opioid with less total amount of opioid needed when compared to bupivacaine for modified radical mastectomy postoperative pain

    Therapeutic Outcome of High Flow Nasal Cannula (HFNC) for Severe COVID-19 Patients in Isolation Intensive Care Unit

    Get PDF
    This retrospective descriptive study aimed to understand the outcomes of HFNC therapy in severe COVID-19 patients admitted to isolation ICU during the period of January to June 2021 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia. A total of 134 patients with severe COVID-19 were admitted to the isolation ICU and received HFNC. Among them, 44 patients (32.8%, N:134) were successfully weaned from HFNC and 90 patients (67.2%, N:134) failing HFNC with 10 patients (7.5%, N:134) died on HFNC use, 72 patients (53.9%, N:134) died on ventilator use, 4 patients (2.9%, N:134) moved rooms under HFNC use, and 4 patients (2.9%, N:134) moved to non-ICU isolation with ventilator use as the outcome. Patients’ median age was 60 years, most were male (52.3 %, N:134), median BMI was 25.4 kg/m2, with hypertension and diabetes mellitus as the main comorbidities. There was an improvement in the SpO2 on the first day after the use of HFNC. The ROX index had a median value of 3.6 on the first day, with the lowest ROX index of 3.2 and the highest of 4.4 during the treatment time. There was an improvement in the P/F Ratio in successful patients with a median initial P/F Ratio of 86.7 to 200.1 at the end of treatment. Overall, HFNC improves the hypoxemic conditions in early admission but does not correlate with general patient outcomes

    gambaran prokalsitonin, skor sofa dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di rsup hasan sadikin

    Get PDF
    Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian pada luka bakar berat karena dampak luka bakar yang luas pada sistem organ. Prokalsitonin dan skor sequential organ failure assessment (SOFA) memiliki kemampuan yang sama dalam menilai prognosis pada pasien sepsis untuk indikator mortalitas, terapi yang lebih awal dan mengevaluasi terapi yang diberikan, agar angka mortalitas dapat menurun. Penggunaan antibiotik yang tepat dan akurat juga dapat dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan prognosis. Tujuan penelitian ini melihat gambaran prokalsitonin, skor SOFA, dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilakukan pada 38 pasien yang dirawat di ULB dan ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Februari–Agustus 2021. Penelitian ini diperoleh hasil bahwa nilai prokalsitonin yang didukung skor SOFA dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan keberhasilan pemberian antibiotik dan penghentian antibiotik pada pasien luka bakar berat. Pemberian antibiotik pada seluruh pasien luka bakar berat di RSUP Dr. Hasan Sadikin tidak rasional dikarenakan tidak didasari pemeriksaan kultur dan prokalsitonin pada hari pertama pasien terpapar. Pemberian antibiotik profilaksis secara rasional harus didukung oleh tanda-tanda infeksi yang jelas dilihat dari nilai prokalsitonin, skor SOFA, dan kultur untuk menghindari resistensi antibiotikOverview of Procalcitonin, SOFA Score, and Rationality of Antibiotics Administration to Patients with Severe Burns at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, February–August 2021Sepsis is currently the leading cause of death in severe burns due to its wide-ranging effects on organ systems. Procalcitonin and sequential organ failure assessment (SOFA) scores can determine the prognosis of septic patients in terms of mortality indicators, early therapy, and evaluation of the therapy given to reduce mortality and morbidity. Correct and accurate use of antibiotics is also essential in improving the patient's prognosis. This study aimed to determine the procalcitonin, SOFA scores, and the rationality of antibiotics administration to patients with severe burns at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This analytic observational study was conducted on 38 patients hospitalized in the Burn Unit and ICU of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–August in 2021. Procalcitonin values supported by SOFA scores may refer to successful antibiotic administration and ceasing therapy in severe burn injury patients. Antibiotic administration to all patients with severe burns in Dr. Hasan Sadikin General Hospital was irrational as it was not based on cultural examination and procalcitonin on the first day of exposure. Clear signs of infection seen from the procalcitonin value, SOFA score, and culture to avoid antibiotic resistance must support rational prophylactic antibiotic administration.Latar Belakang: Saat ini sepsis masih menjadi penyebab utama kematian pada luka bakar berat karena dampak luka bakar yang luas pada sistem organ. Prokalsitonin dan skor SOFA memiliki kemampuan yang sama dalam menilai prognosis pada pasien sepsis untuk indikator mortalitas, terapi yang lebih awal dan mengevaluasi terapi yang diberikan, agar angka mortalitas dan morbiditas dapat menurun. Penggunaan antibiotik yang tepat dan akurat juga dapat dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan prognosis pasien. Tujuan penelitian ini untuk melihat gambaran prokalsitonin,  skor SOFA dan rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien luka bakar berat di RSUP DR Hasan Sadikin BandungMetode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilakukan pada 38 pasien yang dirawat di unit luka bakar dan ICU RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2021.Hasil: Penelitian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan prokalsitonin ³ 2 yang mengalami penurunan sebanyak 9 atau sebesar 81,8% dengan antibiotik yang diberikan pada hari ke-3 yaitu ceftriaxon sebanyak 5 atau sebesar 45.5% dan meropenem sebanyak 5 atau sebesar 45.5%.Kesimpulan: Nilai prokalsitonin yang didukung skor SOFA dapat dijadikan acuan untuk mempertimbangkan keberhasilan pemberian antibiotik dan penghentian terapi antibiotik pada pasien luka bakar berat. Pemberian antibiotik pada seluruh pasien luka bakar berat di RS Hasan Sadikin tidak rasional dikarenakan tidak didasari pemeriksaan kultur dan prokalsitonin pada hari pertama pasien terpapar. Pemberian antibiotik profilaksis secara rasional harus didukung oleh tanda-tanda infeksi yang jelas dilihat dari nilai prokalsitonin, skor SOFA dan kultur untuk menghindari resistensi antibiotik

    Efek Penambahan Deksametason 5 mg pada Bupivakain 0,5% terhadap Mula dan Lama Kerja Blokade Sensorik Anestesia Epidural untuk Operasi Ortopedi Ekstremitas Bawah

    Get PDF
    Operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesia regional epidural memiliki kelemahan yaitu mula kerja yang lama. Penelitian ini bertujuan melihat efek penambahan 5 mg deksametason pada bupivakain 0,5% terhadap mula kerja dan lama kerja blokade sensoris. Penelitian prospektif eksperimental menggunakan uji klinis acak buta ganda pada 32 pasien dengan American Society of Anesthesiologist (ASA) I–II yang menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi epidural di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Februari–Mei 2014. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan random blok permutasi. Kelompok I, deksametason 5 mg ditambahkan ke dalam bupivakain 0,5% 15 mL. Kelompok II, bupivakain 0,5% ditambah NaCl 0,9% 15 mL. Hasil penelitian diuji secara statistika menggunakan uji-t dan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan mula kerja blokade sensorik kelompok I tidak lebih cepat, yaitu 13,56 menit dibanding dengan kelompok II, yaitu 14,31 menit (p=0,27). Lama kerja blokade sensorik kelompok I lebih lama, yaitu 399,81 menit dibanding dengan kelompok II, yaitu 227,43 menit (p=0,00). Simpulan, penambahan deksametason 5 mg pada bupivakain 0,5% 15 mL tidak mempercepat mula kerja blokade sensorik tetapi memperpanjang lama kerja blokade sensorik bupivakain 0,5% yang diberikan secara epidural.Kata kunci: Anestesi epidural, blokade sensorik, bupivakain, deksametason, lama kerja, mula kerjaEffect of Dexamethasone 5 mg Addition to Bupivacaine 0.5% on Onset and Duration of Sensory Blockade in Epidural Anesthesia for Lower Extremity Orthopedic SurgeryLower extremity orthopedic surgery performed with regional epidural anesthesia was still have weakness which is long onset of time. This study was conducted to determine the onset time and duration time of sensory blockade epidural anesthesia  between the use of dexamethasone 5 mg addition to 0.5% bupivacaine for lower limb orthophedic surgery. The study was using randomized controlled blind method on 32 ASA I–II patients undergoing lower limb orthopedic surgery under epidural anesthesia. Consecutive sampling and random allocation of block of permutation groups was applied. In group I, dexamethasone 5 mg was added to bupivacaine 0.5% 15 mL while in group II NaCl 1 mL was added to bupivacaine 0.5% 15 mL. The results were statistically tested using t-test and Mann-Whitney test. It was shown that the onset time of sensory blockade was not significantly faster when dexamethasone was added in bupivacaine 0.5%, 13.56 minutes versus 14.31 minutes (p=0.27). The duration time of sensory blockade in dexamethasone in bupivacaine 0.5% group was longer 399.81 minutes, compared to the bupivacaine 0.5% group, 227.43 minutes (p=0.00). In conclusions, the addition of dexamethasone 5 mg to bupivacaine 0.5% 15 mL does not produced faster onset time. However, the duration sensory blockade time is longer than bupivacaine 0,5% 15 mL is usedKey words: Bupivacaine, dexamethasone, duration time, epidural anesthesia, onset, sensory blockade DOI: 10.15851/jap.v3n2.57

    GAMBARAN ACUTE PHYSIOLOGIC AND CHRONIC HEALTH EVALUATION (APACHE) II, LAMA PERAWATAN, DAN LUARAN PASIEN DI RUANG PERAWATAN INTENSIF RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PADA TAHUN 2017

    Get PDF
    Skor acute physiologic and chronic health evaluation (APACHE) II, lama perawatan, dan luaran pasien merupakan indikator penting di Intensive Care Unit (ICU). Ketiga indikator ini dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ketiga indikator ini dapat dibandingkan di tempat lain untuk meningkatkan pelayanan ICU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran skor APACHE II, lama perawatan, dan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di ICU RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2017. Metode yang digunakan adalah deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 303 objek penelitian. Objek penelitian diambil di bagian rekam medis pada bulan April 2018. Penelitian ini memperoleh hasil skor APACHE II berkisar antara 0−56  dengan rerata 16,68, angka mortalitas sebesar 130 (42,3%), dan lama perawatan berkisar antara 2−79 hari dengan rerata 9,89 hari. Data skor APACHE II terhadap angka kematian berbeda dengan Amerika Serikat yang dapat dikarenakan perbedaan acuan prediksi mortalitas, underestimation derajat keparahan pasien cedera kepala, bias yang disebabkan karena penatalaksanaan pasien pre-ICU, dan satu waktu pemeriksaan skor APACHE II

    Reliabilitas dan Validitas Penilaian Skala Sedasi Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada Pasien Kritis dengan Ventilasi Mekanik di Ruang Perawatan Intensif

    Get PDF
    Penggunaan secara rutin skala subjektif untuk nyeri, agitasi, dan sedasi akan mendorong penatalaksanaan yang lebih efektif pada pasien untuk mencapai titik akhir yang spesifik. Setiap metode subjektif skala sedasi harus dievaluasi dalam hal reliabilitas dan validitas. Tujuan penelitian untuk mengetahui reliabilitas dan validitas skala Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) dan Ramsay pada pasien kritis yang dirawat dengan ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Jumlah subjek penelitian 82 pasien yang dinilai dengan skala sedasi RASS dan Ramsay setelah diberikannya obat analgesia dan sedasi. Penelitian observasional deskriptif yang dilakukan berdasarkan urutan datang pasien selama 4 bulan penelitian dari Mei–Agustus 2014. Metode Alpha Cronbach untuk menentukan reliabilitas dan Rank Spearman untuk menentukan validitas. Hasil penelitian ini didapatkan Skala RASS dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,951, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,743. Skala Ramsay dengan nilai reliabilitas tertinggi Alpha Cronbach (α):0,921, serta nilai validitas tertinggi dengan Rank Spearman (rs):0,922. Simpulan dari penelitian ini adalah skala RASS menunjukkan keandalan dan koefisien validitas lebih tinggi daripada skala Ramsay. Kata kunci: Penilaian skala sedasi, reliabilitas, validitasRichmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay Assessment Reliability and Validity in Critically Ill Patients with Mechanical Ventilation Support in Intensive Care Unit Routine use of subjective scales for pain, agitation, and sedation promotes more effective patient management in order to reach specific end-points. Each subjective sedation scale method should be evaluated in terms of its reliability and validity. The purpose of this study was to fassess the reliability and validity of Richmond Agitation Sedation Scale (RASS) and Ramsay scale. Subjects were 82 (eighty two) patients assessed using RASS and Ramsay sedation scale after receiving analgesia and sedation drug. This study was an observational study with cross sectional descriptive sampling conducted in consecutive patients sampling within a period of 4 months during May–August 2014. The results of the assessment were analyzed using Alpha Cronbach to determine the reliability and Rank Spearman to test the validity. It was revealed that  RASS scale had the highest reliability value with Alpha Cronbach (α):0.951 and the highest validity with Rank Spearman (rs):0.743 while the highest reliablity value achieved using the Ramsay scale was Alpha Cronbach (α):0.921 with Rank Spearman (rs): 0.922 as the highest validity score. It is concluded, therefore, that the RASS scale shows higher reliability and validity coefficients than the Ramsay scale. Key words: Assessment sedation scale, reliability, validity DOI: 10.15851/jap.v2n3.33

    Perbandingan Visual Analog Score antara Teknik Injeksi Air Steril Intrakutan Satu Titik dan Empat Titik untuk Mengurangi Nyeri Persalinan Spontan

    Get PDF
    Hampir sepertiga para wanita yang menjalani persalinan menderita nyeri persalinan terutama di daerah pinggang belakang yang sifatnya kontinu. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas antara injeksi satu titik dan empat titik dalam mengurangi nyeri persalinan diukur menggunakan visual analogue scale (VAS). Penelitian ini dilaksanakan bekerjasama dengan Departemen Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Dr. Hasan sadikin Bandung terhadap 50 orang wanita primipara yang menjalani persalinan spontan normal pada bulan April–Mei 2012. Disain penelitian ini menggunakan metode klinis acak terkontrol buta tunggal. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji-t, chi-kuadrat, dan Mann-Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Teknik injeksi satu titik dapat menurunkan skor VAS paling banyak rata-rata dari 85,40 (4,3) menjadi 47,60 (7,2) dibandingkan dengan menggunakan teknik injeksi empat titik, yaitu rata-rata 84,60 (4,3) menjadi 48,4 (8,5) pada menit ke-10. Simpulan penelitian ini tidak terdapat perbedaan penurunan skor VAS antara teknik injeksi air steril intrakutan secara empat titik dibandingkan dengan teknik injeksi satu titik.Kata kunci: Injeksi air steril intrakutan, nyeri persalinan, visual analog scaleComparison of Visual Analogue Score (VAS) between One Point and Four Points Sterile Intracutaneous Water Injection Technique to Reduce Spontaneous Delivery PainAlmost one third of women suffer from continuous lower back pain during labour. Therefore, the aim of this study was to compare the effectivity between single and four injections in reducing labour pain measured by visual analogue scale (VAS). The study was conducted in collaboration with Obstetry and Gynaecology Department in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung on 50 primipara women presenting at term. This study was a single blind randomised controlled trial. Study data was analyzed using t-test, chi-square test and Mann Whitney U test with 95% confidence interval and p<0.05 as statistically significant. One point injection technique can lower VAS scores from an average of 85.40 (4.3) to 47.60 (7.2) as compared to using four-point injection technique, from an average 84.60 (4.3) to 48.4 (8.5) at the 10th minute. In conclusion, there is no difference between one and four points sterile intracutaneous water injection technique in reducing pain as measured by VAS score.Key words: Intradermal sterile water injections, labour pain, visual analogue scale DOI: 10.15851/jap.v2n1.23

    Efek Pemberian Magnesium Sulfat 45 Mg/kgBB terhadap Kualitas Tindakan Intubasi Endotrakeal Tanpa Obat Pelumpuh Otot dan Perubahan Respons Hemodinamik

    Get PDF
    Intubasi endotrakeal merupakan tindakan berisiko tinggi yang menghasilkan stimulasi adrenergik. Intubasi endotrakeal menggunakan obat pelumpuh otot sebagai standar baku dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan rekurisasi pascabedah. Intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot ditujukan untuk prosedur pembedahan yang singkat, membutuhkan identifikasi saraf, dan terdapat kontraindikasi pemberian obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian ini mengkaji pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB terhadap kualitas intubasi dan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara acak buta ganda yang dilakukan secara prospektif terhadap 42 subjek penelitian yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada bulan April–Juli 2018. Pada penelitian ini, data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, sedangkan data kategorik diuji dengan uji chi-square dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kualitas intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot lebih baik dengan disertai penurunan respons hemodinamik pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat 45 mg/kgBB dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Simpulan, pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB meningkatkan kualitas tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot yang dinilai menggunakan skor Copenhagen dan menurunkan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuhotot.Effect of 45 mg/kgBW Magnesium Sulphate on Quality of Endotracheal Intubation without Neuromuscular Blocking Agents and Change in Hemodynamic ResponsesEndotracheal intubation is a high-risk procedure that can stimulate adrenergic response. Neuromuscular blocking agent is used to facilitate endotracheal intubation but it has undesirable effects such as anaphylactic reaction and postoperative recurarization. This technique is indicated for short surgical procedures, requires nerve identification, and is contraindicated for neuromuscular blocking agent. The purpose of this study was to review the effect of 45 mg/kgBW magnesium sulphate to the quality of intubation and hemodynamic responses in endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent. This was a prospective double blind experimental study conducted on 42 research subjects  underwent surgical procedures under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung in the period of April–July 2018. In this study, numerical data were tested by unpaired t test. Categorical data were tested by chi-square and Mann Whitney tests. The results showed that the quality of endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent improved with minimum hemodynamic changes in the group receiving 45 mg/kgBW magnesium sulphate (p<0.05). It is concluded that 45 mg/kgBW magnesium sulphate improves intubating quality assessed using Copenhagen score and decreases hemodynamic responses to endotracheal intubation without neuromuscular blocking agents.Intubasi endotrakeal merupakan tindakan berisiko tinggi yang menghasilkan stimulasi adrenergik. Intubasi endotrakeal menggunakan obat pelumpuh otot sebagai standar baku dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan rekurisasi pascabedah. Intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot ditujukan untuk prosedur pembedahan yang singkat, membutuhkan identifikasi saraf, dan terdapat kontraindikasi pemberian obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian ini mengkaji pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB terhadap kualitas intubasi dan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara acak buta ganda yang dilakukan secara prospektif terhadap 42 subjek penelitian yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada bulan April–Juli 2018. Pada penelitian ini, data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, sedangkan data kategorik diuji dengan uji chi-square dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kualitas intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot lebih baik dengan disertai penurunan respons hemodinamik pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat 45 mg/kgBB dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Simpulan, pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB meningkatkan kualitas tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot yang dinilai menggunakan skor Copenhagen dan menurunkan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuhotot.Kata kunci: Intubasi endotrakeal tanpa pelumpuh otot, magnesium sulfat, respons   hemodinamik, skor Copenhage

    Perbandingan antara Penggunaan Asam Amino dan Ringer Laktat terhadap Penurunan Suhu Inti Pasien yang Menjalani Operasi Laparotomi Ginekologi dengan Anestesi Umum

    Get PDF
    Pemberian asam amino intravena merangsang metabolisme oksidatif sekitar 20% dan mengurangi komplikasi hipotermia pascaoperasi. Tujuan penelitian ini mengetahui efek penggunaan asam amino preoperatif terhadap suhu inti tubuh. Penelitian menggunakan metode kuantitatif intervensi dengan rancangan uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 orang pasien berusia 18−57 tahun dengan status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) I dan II yang menjalani operasi laparotomi ginekologi di Rumah Sakir Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Febuari–Mei 2014. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, yaitu kelompok yang mendapat asam amino 2 mL/kgBB/jam selama 2 jam preoperasi dan kelompok kontrol yang mendapat infus Ringer laktat. Pencatatan suhu timpani dilakukan setiap 10 menit dari awal induksi hingga akhir anestesi. Data hasil penelitian diuji dengan Uji Mann-Whitney. Hasil penghitungan statistika, didapatkan suhu inti rata-rata selama anestesi pada kelompok asam amino bermakna lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Penurunan suhu rata-rata pada kelompok kontrol (0,11C) bermakna, lebih besar dibanding dengan kelompok asam amino (0,08C; p<0,05). Simpulan, pemberian cairan asam amino dua jam preoperasi dapat mencegah penurunan suhu yang lebih besar dibanding dengan kelompok kontrol selama operasi ginekologi laparotomi.Kata kunci: Asam amino, hipotermia, suhu inti tubuh Comparison between Amino Acids and Ringer Lactate Infusion on Body Core Temperature Decline in Patients Undergo Gynaecological Laparotomy Surgery under General AnesthesiaIntravenous administration of amino acids stimulates about 20% oxidative metabolism and reduces postoperative complications of hypothermia. The aim of this study was to determine the effects of preoperative amino acid infusion to core temperature. This was an observational analytic study with cross-sectional design to compare the reliability using the inter-rater reliability method. Subjects were 40 patients aged 18−57 years old with physical status ASA I and II who underwent gynaecological laparotomy at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during February–May 2014. Subjects were devided randomly into 2 groups; one group was given 2 mL/kgBW/hour amino acid infusion for 2 hours before laparotomy and another group was the control group given ringer lactate infusion. Tympani membrane temperature was taken every 10 minutes throughout the anesthetic procedure. Data were statistically analyzed using Mann-Whitney test.The result of this study was the average of core temperature during anesthesia in amino acid group was significantly higher than control group (p<0.05). The average of temperature decline in the control group (0.11oC) was significantly higher (p<0.05) than the amino acid group (0.08oC). This study concludes that amino acid infusion two hours before surgery will prevent greater decrease in temperature compared to the control group during gynecological laparotomy surgery.Key words: Amino acids, body core temperature, hypothermia DOI: 10.15851/jap.v3n3.60
    • …
    corecore