7 research outputs found

    Optimizing iron adequacy and absorption to prevent iron deficiency anemia: The role of combination of fortified iron and vitamin C

    Get PDF
    Iron is a vital nutrient to promote the availability of tissue oxygen, cell growth and control of differentiation, and energy metabolism.  Preventing Iron Deficiency Anemia (IDA) is necessary because iron is vital to central nervous system growth and development especially in the first years of life. Iron-rich complementary foods are recommended in infants around 6 months of age because iron store is depleted. Better understanding of iron absorption process and factors affecting its absorption and bioavailability is necessary to prevent iron deficiency and can be a dietary strategy to mitigate iron deficiency. Meat and iron-fortified food are the main sources of iron in the diet, and it is essential to introduce supplementary food to improve iron absorption. Additional foods such as cereals, cow milk and soybeans such as phytate, polyphenol and calcium are inhibitors which require care to prevent IDA. Ascorbic acid is an effective iron-absorbing enhancer, which is useful to reduce the effects of any known nonheme iron inhibitor. In iron-fortified foods, Combination use of vitamin C (ascorbic acid) is recommended in molar ratio of 2:1 (with cow's milk and low-phytate cereal foods) and higher molar ratio of 4:1 (with higher phytate such as soybeans)

    Indikator Biokimia untuk Identifikasi Anemia Defisiensi Besi di Indonesia

    Get PDF
    Latar Belakang: Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di masyarakat, yang cukup banyak terjadi di negara berkembang khususnya Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO), tiap tingkat usia memiliki potensial mengalami anemia, termasuk remaja usia 10-19 tahun. Melakukan deteksi dini atau skrining menjadi penting untuk dapat mengetahui lebih awal seseorang mengalami anemia defisiensi besi. Selain itu, dalam kerangka WHO untuk mempercepat penurunan angka anemia di dunia terdapat hasil yang ingin dicapai salah satunya yaitu dengan meningkatkan skrining anemia. Tujuan: Tujuan dari literatur ini yaitu untuk mengetahui gambaran skrining melalui indikator biokima yang digunakan untuk identifikasi Anemia Defisiensi Besi di Indonesia. Metode: Penelusuran literatur dilakukan pada database PubMed, Scopus, ScienceDirect, dan Garuda untuk literatur yang dipublikasi pada 2013-2023 sesuai panduan PRISMA. Artikel dikaji apabila berasal dari jurnal terindeks Scopus Q1-Q4 atau Sinta 1-Sinta 3 dengan desain penelitian eksperimental atau observasional yang dilakukan di Indonesia. Ulasan: Melakukan skrining anemia pada wanita usia reproduksi untuk mengoptimalkan sintesis hemoglobin, mencegah kerusakan sel darah merah yang berlebihan, dan mengurangi kehilangan darah. Berbagai teknik skrining anemia telah dikembangkan di berbagai negara dengan mempertimbangkan metode yang terjangkau, mudah digunakan, dan non-invasif dibandingkan dengan metode invasif yang biasa digunakan. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memilih pengukuran Hb di laboratorium klinis atau lapangan termasuk kebutuhan kendali mutu (QC), kondisi ekstrim di lingkungan, kekurangan sumber daya di lingkungan, standar pelatihan yang tidak sesuai, dan kondisi ekstrim di lingkungan. Risiko dampak negatif Pengukuran Hb dapat dikurangi dengan mempertimbangkan berbagai faktor.  Kesimpulan: Di Indonesia, skrining masih sering menggunakan teknik invasif untuk mendeteksi anemia. Ini melibatkan pengambilan sampel darah vena atau kapiler dan pemeriksaan darah lengkap untuk mengukur kadar hemoglobin dalam darah melalui laboratorium.  Berbagai negara telah mengembangkan metode skrining anemia yang lebih murah, mudah digunakan, dan non-invasif daripada metode invasif yang biasa digunakan. Alat penilaian yang dapat diandalkan untuk mengukur dan menafsirkan konsentrasi Hb diperlukan untuk mencapai tujuan global sebagai upaya mengurangi anemia dan mengevaluasi efektivitas intervensi. Kata kunci: anemia, defisiensi zat besi, prevalensi, remaja, Indonesi

    Kontribusi Program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) terhadap Upaya Percepatan Penurunan Stunting di Kabupaten Sleman: Analisis Masa Pandemi COVID-19

    Get PDF
    Latar Belakang: Penguatan ketahanan pangan menjadi salah satu sektor kunci untuk mewujudkan gizi masyarakat yang optimal. Namun, capaian tingkat ketahanan pangan mencakup aspek penyediaan, stabilitas, aksesibilitas, dan penggunaan pangan di lingkup rumah tangga masih dikhawatirkan terjadi kesenjangan antar wilayah. Adanya pandemi COVID-19 turut menghambat upaya percepatan perbaikan gizi. Oleh karena itu, diperlukan strategi baru untuk memastikan terjaganya ketahanan pangan dan gizi saat situasi darurat sekalipun. Program P2L menjadi salah satu program prioritas dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat. Namun, pelaksanaan program ini masih rentan terhadap keberlanjutan dalam implementasinya. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana program Pekarangan Pangan Lestari dalam menjaga ketahanan pangan dan gizi masyarakat dan perannya dalam upaya percepatan penurunan stunting di Kabupaten Sleman pada masa pandemi COVID-19 sebagai sarana perbaikan program kedepannya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam, kuesioner, studi dokumentasi, dan observasi partisipatif. Ulasan: Hasil dari penelitian menunjukkan pandemi COVID-19 berdampak nyata pada pemenuhan pangan tingkat rumah tangga Kabupaten Sleman. Pada masa pandemi COVID-19 dimana ruang gerak terbatas dan harga pangan yang fluktuatif, program P2L efektif dalam mendukung ketahanan pangan rumah tangga dengan berperan sebagai lumbung pangan hidup bagi masyarakat. Implementasi program P2L di Kabupaten Sleman baru memenuhi kebutuhan konsumsi sayuran, sementara kebutuhan protein hewani, protein nabati, pangan pokok, dan buah belum dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga.  Kesimpulan: Program P2L berdampak positif bagi masyarakat, tetapi perlu adanya inovasi integrasi tanaman-ternak-buah pada masing – masing kawasan serta melakukan penguatan kelembagaan agar program dapat lestari

    Influenza virus infection among pediatric patients reporting diarrhea and influenza-like illness

    Get PDF
    <p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>Influenza is a major cause of morbidity and hospitalization among children. While less often reported in adults, gastrointestinal symptoms have been associated with influenza in children, including abdominal pain, nausea, vomiting, and diarrhea.</p> <p>Methods</p> <p>From September 2005 and April 2008, pediatric patients in Indonesia presenting with concurrent diarrhea and influenza-like illness were enrolled in a study to determine the frequency of influenza virus infection in young patients presenting with symptoms less commonly associated with an upper respiratory tract infection (URTI). Stool specimens and upper respiratory swabs were assayed for the presence of influenza virus.</p> <p>Results</p> <p>Seasonal influenza A or influenza B viral RNA was detected in 85 (11.6%) upper respiratory specimens and 21 (2.9%) of stool specimens. Viable influenza B virus was isolated from the stool specimen of one case. During the time of this study, human infections with highly pathogenic avian influenza A (H5N1) virus were common in the survey area. However, among 733 enrolled subjects, none had evidence of H5N1 virus infection.</p> <p>Conclusions</p> <p>The detection of influenza viral RNA and viable influenza virus from stool suggests that influenza virus may be localized in the gastrointestinal tract of children, may be associated with pediatric diarrhea and may serve as a potential mode of transmission during seasonal and epidemic influenza outbreaks.</p

    Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia di bawah 2 Tahun: Studi Cross-Sectional di Pulau Jawa-Indonesia dengan menggunakan Data Studi Status Gizi Indonesia Tahun 2021

    No full text
    Latar Belakang: Stunting menjadi masalah malnutrisi yang saat ini menjadi fokus untuk diselesaikan. Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk paling banyak di Indonesia yang memiliki pengaruh pada kejadian stunting terlihat dari banyak wilayah yang menjadi lokasi fokus penanganan stunting. Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di setiap provinsi di Pulau Jawa. Melakukan identifikasi faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Metode: Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 digunakan pada penelitian. Metode yang digunakan pada studi ini adalah cross-sectional dengan data sekunder. Uji logistik regresi dengan pembobotan digunakan pada penelitian untuk mengetahui hubungan antara setiap variabel dengan kejadian stunting. Hasil: Prevalensi stunting pada anak usia 6-23 bulan di 6 provinsi di Pulau Jawa, DKI Jakarta 11,9%; Jawa Barat 16,3%, Jawa Tengah 13,2%; DI Yogyakarta 12,1%, Jawa Timur 15,9%, dan Banten 14,6%. Faktor risiko dari kejadian stunting di DKI Jakarta adalah status ekonomi; di Jawa Barat adalah usia, konsumsi makanan ringan, tempat tinggal, pendidikan ibu, dan status ekonomi; di Jawa Tengah adalah status ekonomi; di DI Yogyakarta adalah usia; di Jawa Timur adalah usia, jenis kelamin, konsumsi makanan ringan, pendidikan ibu, dan status ekonomi; dan di Banten adalah usia, jenis kelamin, konsumsi makanan ringan, tempat tinggal, dan status ekonomi. Kesimpulan: Prevalensi kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di provinsi-provinsi di Pulau Jawa masuk dalam kategori menengah. Intervensi yang dilakukan dapat ditargetkan pada peningkatan status ekonomi

    Hubungan Status Anemia, Kualitas Tidur, dan Kemampuan Kognitif pada Remaja Putri Usia 12-24 Tahun di Indonesia (Analisis Data Indonesian Family Life Survey (IFLS) 5)

    No full text
    Latar Belakang: Anemia merupakan salah satu permasalahan gizi di Indonesia. Perempuan yang berada dalam rentang usia 14-50 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami anemia. Anemia defisiensi zat besi merupakan penyebab umum kejadian anemia. Defisiensi zat besi dapat berpengaruh pada otak sehingga dapat mengakibatkan terjadi gangguan regulasi tidur, perkembangan mental, kinerja motorik, kemampuan kognitif, hingga perilaku. Tujuan: mengetahui hubungan status anemia dengan kualitas tidur dan kemampuan kognitif pada remaja putri usia 12-24 tahun di Indonesia. Metode: Penelitian dengan desain penelitian cross sectional ini menggunakan data sekunder dari IFLS gelombang lima dengan subjek penelitian berjumlah 2016 orang remaja putri yang berusia 12-24 tahun. Uji statistik yang digunakan adalah chi square Hasil: Diketahui bahwa prevalensi anemia pada remaja putri usia 12-24 tahun sebesar 39,93%. Di akhir penelitian, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara status anemia terhadap kualitas tidur yang terdiri dari gangguan tidur (p=0,624) dan kualitas tidur (p=0,693) serta kemampuan kognitif (p=0,702). Kesimpulan: Status anemia tidak memiliki hubungan signifikan dengan kualitas tidur dan kemampuan kognitif
    corecore