10 research outputs found
Sustainable Finance to Foster Green Recovery Post Covid-19 Pandemic
Lembaga keuangan dapat menjadi katalisator dalam mendorong pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan sekaligus memecahkan masalah iklim melalui alokasi pendanaan ke sektor hijau dan ramah lingkungan. Namun, sayangnya dukungan untuk mendorong aliran pendanaan dan praktik bisnis yang berkelanjutan masih belum optimal, terutama dalam rangka pencapaian target Persetujuan Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutn (TPB). Meskipun aset investasi hijau terus tumbuh, pembiayaan dan investasi ke sektor yang memicu adanya krisis iklim pun ikut tumbuh.
Bagaimana progres kebijakan dan komitmen keuangan berkelanjutan oleh sektor perbankan di Indonesia saat ini? Apa saja rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan oleh OJK, pemerintah maupun sektor perbankan agar ekosistem dan praktik keuangan berkelanjutan dapat terakselerasi?
Baca selengkapnya Policy Brief edisi 30 ini yang berjudul " Keuangan Berkelanjutan Untuk Mendorong Pemulihan Hijau Pasca Pandemi Covid-19ā berikut.Financial institutions can be a catalyst for accelerating development towards more sustainable pathways and tackling climate change by allocating financial resources to the green and environmentally friendly sector. However, efforts to improving finance and business practice towards sustainability are still far from meeting the target, especially in achieving Paris Agreement and Sustainable Development Goals (SDGs) . Despite the Growth of green investing assets, finance and investment toward climate change driving industries continue to rise.
How is the progress of sustainable financial commitments and policies of the banking sector in Indonesia? What are the necessary steps to be taken by OJK, Government of Indonesia and the banking sector to accelerate ecosystem and practice of sustainable finance?
Read in full this Policy Brief edition 30 titled "Sustainable Finance to Foster Green Recovery Post Covid-19 Pandemic"
The Risk of Over-indebtedness Amid COVID-19 Pandemic
Krisis di tengah pandemi COVID-19 membuat rumah tangga semakin rentan akan risiko keterlilitan utang. Pemutusan hubungan kerja (PHK) masif serta lambannya kinerja bisnis membuat rumah tangga kehilangan/mengalami penurunan pendapatan secara signifikan. Ditambah lagi, perluasan akses keuangan yang belum dibarengi oleh tingkat literasi keuangan yang memadai mendorong maraknya praktik keuangan ilegal dan menjerat rumah tangga kedalam pusaran utang akibat ketidakmampuan mereka dalam menilai kapasitas membayar.
Pertumbuhan utang rumah tangga dianggap dapat mendorong pertumbuhan konsumsi dan meningkatkan PDB dalam jangka pendek, namun akan menekan konsumsi jangka menengah dan meningkatkan risiko pada stabilitas ekonomi (IMF, 2019). Penumpukan utang rumah tangga nantinya akan berimbas pada proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 yang lebih sulit (Tiftik & Guardia, 2020).
Persoalan keterlilitan utang rumah tangga dapat menjadi bom waktu yang dapat memperparah dampak krisis. Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, simak rekomendasi dan highlight yang dituangkan di dalam Policy Brief berikut ini.Crisis amid COVID-19 pandemic makes households more vulnerable towards over-indebtedness. Massive layoffs and economic slowdown has forced many households to lose / face a significant decline in their income. Furthermore, broader access to financial services that has not been followed by adequate financial literacy has encouraged illegal financial practice and has trapped many households into a cycle of debt due to inability to assess their own capacity to repay.
In the short term, household debt is going to boost consumption and GDP growth. However, household debt is going to affect the economic stability over the long-run (MF, 2019). The accumulated household debt will later have an impact on the more difficult post-pandemic COVID-19 economic recovery process.
over-indebtedness could be a ticking time bomb that is going to exacerbate the recessionary impact of the pandemic. To anticipate this, letās pay attention to the recommendations and highlights set out in the following Policy Brief
Dampak Covid19 Terhadap UMKM Perempuan
KEY POINTS:
1. The negative impact of COVID-19 pandemic on MSMEs, particularly women-led MSMEs are: business shutdown, mass layoffs and reduced working hours for workers.
2. Women-led MSMEs have not received enough support both from the government, private sectors as well as civil society organisations. Moreover, formal financial institutions is still lacking in providing access to finance for women-led MSMEs.
3. The utilization of technology enables MSMEs to sustain and minimize loss amid COVID-19 pandemic, however digital literacy has been understood only by a small number of women-led MSMEs.Pesan Kunci:
1. Dampak negatif pandemi Covid-19 terhadap UMKM terutama UMKM Perempuan antara lain: terhentinya usaha, PHK karyawan dan pengurangan jam kerja untuk karyawan.
2. UMKM Perempuan belum mendapatkan bantuan memadai baik dari pemerintah, sektor swasta maupun dari organisasi masyarakat sipil. Bahkan lembaga keuangan formal masih minim dalam memberikan akses permodalan terhadap kelompok UMKM Perempuan
3. Penggunaan teknologi dapat menjaga keberlangsungan usaha di tengah pandemi COVID 19 dan meminimalisir kerugian omset, namun literasi teknologi hanya dikuasi oleh sebagian kecil UMKM Perempuan
Cement Industry in North Kendeng Mountains: Environmental Damage, Human Rights Violations and Responsibilities of Financial Institutions
Apakah kamu menyadari bahwa tingkat kerusakan lingkungan di sekitar kita sudah semakin parah? Jika iya, apakah kamu menyadari kalau Perbankan yang kita percaya selama ini, tertanya memiliki kontribusi besar pada rusaknya lingkungan?
Fakta inilah yang PRAKARSA temukan dalam penelitian study kasus industri semen di Pegunungan Kendeng Utara. Bahwa ternyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kerusakan lingkungan yang terjadi di sana salah satu faktor utamanya disebabkan oleh praktek pembiayaan bank yang tidak bertanggung jawab. Mengapa itu bisa terjadi dan apa sebenarnya yang bisa dilakukan untuk menghentikan praktek kotor tersebut?
Temukan jawabannya pada Policy Brief edisi 33 "Industri Semen di Pegunungan Kendeng Utara: Kerusakan Lingkungan, Pelanggaran HAM dan Tanggung Jawab Lembaga Keuangan" berikut.Do you realize how quickly the environment around us is deteriorating? If so, are you aware that banking, which we have long trusted, contributes significantly to environmental damage and human rights violations?
This fact was discovered by PRAKARSA during a case study of the cement industry in the North Kendeng Mountains. That it turns out that one of the main factors caused by irresponsible financing practices is the violation of human rights and environmental damage that occurred there. Why did this happen, and what can be done to put a stop to this harmful practice?
The answer can be found in the 33rd edition of the Policy Brief "The Cement Industry in the North Kendeng Mountains: Environmental Damage, Human Rights Violations, and the Impact on the Environment.
Labour Rights Violation in Palm Oil Plantation: Case Study in West Kalimantan and Central Sulawesi
Jumlah pekerja atau buruh di sektor perkebunan sawit sangat besar, jika perusahaan sawit menerapkan praktik bisnis yang responsif terhadap isu sosial termasuk ketenagakerjaan dan lingkungan hidup, maka industri sawit dapat berkontribusi terhadap peningkatan kondisi ekonomi Indonesia secara lebih baik dan berkelanjutan. Namun demikian, situasi di lapangan seringkali berbeda. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) terdapat 281 juta pekerja yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang seperti Cina, India, Malaysia, dan Thailand. Di Indonesia sendiri, terdapat 16 juta pekerja dalam rantai pasok sawit, di mana 3,78 juta di antaranya adalah pekerja perkebunan.
Sebuah laporan investigasi yang diterbitkan oleh The Associate Press menyebutkan bahwa hampir semua pekerja di perkebunan sawit Malaysia dan Indonesia mengeluh tentang perlakuan perusahaan terhadap mereka. Sebagian menyatakan merasa ditipu, diancam, ditahan di luar kehendak mereka atau dipaksa untuk melunasi hutang yang tidak dapat diselesaikan. Sebagian pekerja menyampaikan bahwa mereka secara teratur diganggu oleh pihak berwenang, diangkut dalam penggerebekan dan ditahan di fasilitas pemerintah (AP, 2020).
Praktik bisnis sawit tentunya tidak dapat dilepaskan dari dukungan pembiayaan atau investasi, sehingga institusi keuangan atau investor memiliki keterkaitan dan turut bertanggung jawab atas praktik bisnis yang didanai, dak terkecuali industri sawit. Dalam konteks ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Buku Kredit/Pembiayaan Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit (2019) dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman industri perbankan/keuangan terhadap proses bisnis kelapa sawit, sehingga diharapkan penyaluran kredit/pembiayaan di industri kelapa sawit dapat berjalan dengan risiko rendah dan memperhakan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) yang baik. Aspek perlindungan terhadap pekerja sawit mendapat pengaturan dalam buku panduan tersebut, namun masih banyak perbankan dan lembaga keuangan yang memberikan kredit kepada perusahaan sawit tanpa mempertimbangkan praktik perusahaan sawit yang abai terhadap pekerjanya.
Meksipun permasalah ketenagakerjaan selalu muncul dari waktu ke waktu, lembaga keuangan atau perbankan dalam dan luar negeri masih belum konsen terhadap isu perlindungan pekerja industri sawit dalam proses pengucuran kreditnya. Lembaga keuangan papan atas dunia seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Cigroup, HSBC dan Vanguard Group terus menggelontorkan investasinya ke perusahaan sawit sehingga produksi sawit meledak secara global dari hanya 5 juta ton pada tahun 1999 menjadi 72 juta ton pada 2020. Bahkan AS mencatat telah terjadinya lonjakan permintaan 900 persen selama 7 dekade terakhir (AP 2020).
Pada Hari Buruh Sedunia 2021, Koalisi Buruh Sawit meminta kepada pemerintah Indonesia agar memprioritaskan perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan buruh perkebunan sawit. Koalisi Buruh Sawit memandang bahwa pemerintah masih abai terhadap kondisi dan nasib buruh perkebunan sawit, sementara pemerintah sangat āpemurahā terhadap pelaku industri sawit.
Studi ini bertujuan untuk melihat secara lebih dekat, persoalan-persoalan yang terjadi pada pekerja buruh khususnya di kawasan perkebunan sawit Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Selain itu, studi ini juga berupaya melacak aliran keuangan pada perusahaan yang menjadi obyek studi sebagai studi kasus yang dapat melengkapi asesmen pemeringkatan bank yang selama ini dilakukan Responsibank Indonesia. Harapannya, studi ini akan menjadi salah satu evidences bagi pemangku kebijakan, pelaku usaha di sektor sawit dan organisasi buruh sawit untuk melakukan langkah-langkah bersama memperbaiki kondisi pekerja atau buruh di sektor perkebunan sawit.The number of workers or laborers in the oil palm plantation sector is very large. Suppose palm oil companies implement business practices that are responsive to social issues, including employment and the environment; the palm oil industry can improve Indonesia's economic conditions in a beer and sustainable way. However, the situation on the ground is often diļ¬erent. According to the International Labor Organization (ILO), 281 million workers live in extreme poverty in developing countries such as China, India, Malaysia, and Thailand. There are 16 million workers in the palm oil supply chain in Indonesia alone, of which 3.78 million are plantation workers.
An investigative report published by The Associated Press said that almost all workers in Malaysian and Indonesian palm oil plantations complained about the company's treatment of them. Some stated that they felt cheated, threatened, detained against their will, or forced to pay oļ¬ debts they could not settle. Some workers report that they are regularly harassed by the authorities, transported in raids, and held in government facilities (AP, 2020).
Certainly, palm oil business practices cannot be separated from ļ¬nancing or investment support. Financial institutions or investors have a relationship and are also responsible for funding business practices, including the palm oil industry. In this context, the Financial Services Authority (OJK) has published the Book of Credit/Financing for the Plantation and Palm Oil Industry (2019). This publication aims to improve the banking/ļ¬nance industry's understanding of the palm oil business process. With the issuance of this publication, it is hoped that the distribution of credit/ļ¬nancing in the palm oil industry can run with low risk and pay close attention to environmental, social, and good governance (LST) aspects. The aspect of protection for palm oil workers is regulated in the manual. However, many banks and ļ¬nancial institutions still provide credit to palm oil companies without considering the practices of palm oil companies that ignore their workers' welfare.
Even though employment problems always arise from me to me, Domestic and foreign ļ¬nancial institutions or banks are still not concerned with protecting palm oil industry workers in the credit disbursement process. The world's top ļ¬nancial institutions such as Deutsche Bank, BNY Mellon, Citigroup, HSBC, and Vanguard Group continue to pour their investments into palm oil companies; therefore, palm oil production exploded globally from just ļ¬ve million tons in 1999 to overwhelming 72 million tons in 2020. Even the US government noted that there had been a 900 percent surge in palm oil demand over the last seven decades (AP 2020).
On World Labor Day 2021, the Coalition for Palm Oil Workers asks the Indonesian government to prioritize oil palm plantation workers' protection, safety, and welfare. The Palm Oil Workers Coalition views that the government is still ignorant of the conditions and fate of the palm oil plantation workers. While on the other hand, the government is very "generous" towards the palm oil industry players.
This study aims to closely examine the problems that occurred to labor workers, especially in oil palm plantation areas in West Kalimantan and Central Sulawesi. In addition, this study also seeks to track ļ¬nancial ļ¬ows to companies that becoming the object of the study as an example of a case study that can complement the bank rang assessment that Responsibank Indonesia has carried out. It is hoped that this study will become one of the pieces of evidence for policymakers, business actors in the palm oil sector, and palm oil workers' organizations to take cooperative steps to improve the conditions of workers or laborers in the oil palm plantation sector
Pelanggaran Hak Warga dan Tanggung Jawab Bank dalam Pembiayaan Industri Semen di Pegunungan Kendeng Utara
Laporan ini merupakan hasil penelitian yang melihat secara lebih mendalam praktik pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Rembang dan rencana pendirian pabrik semen di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, yang terbukti menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan terhadap masyarakat sekitarnya, termasuk masyarakat adat. Operasi industri semen di Kabupaten Rembang telah membawa dampak buruk bagi lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Kegiatan bisnis semen di Pegunungan Kendeng Utara tidak terlepas dari dukungan bank melalui pembiayaan yang mereka alirkan. Padahal, secara tertulis lembaga jasa keuangan telah memiliki komitmen dan kebijakan bank untuk mendorong praktik bisnis yang bertangggungjawab dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial termasuk hak asasi manusia. Dengan demikian, dukungan yang diberikan oleh bank menjadi kritik sekaligus evaluasi karena bertentangan dengan komitmen dan kebijakan yang dimilikinya.
Selain menganalisis dampak pertambangan dan industri semen di wilayah Pegunungan Kendeng Utara khususnya di Kabupaten Rembang dan Pati terhadap hak warga. Penelitian ini juga menelusuri aliran pembiayaan keuangan pada pabrik semen dan menilai tanggung jawab bank dalam membiayai pabrik semen di kedua kabupaten tersebut.
Hasilnya, pertambangan dan industri semen di pegunungan Kendeng menimbulkan berbagai dampak negatif pada lingkungan dan kesehatan, sosial, budaya dan nilai-nilai masyarakat, serta perekonomian warga sekitar. Di Rembang, penambangan batu kapur dan gamping untuk bahan baku semen dan proses produksi semen berdampak langsung pada berkurangnya lahan dan pendapatan warga yang mayoritas petani. Aktivitas pertambangan dan produksi semen di pabrik menimbulkan polusi udara yang mengganggu perekonomian dan kesehatan warga. Debu yang ditimbulkan tambang dan pabrik menutupi selaput tanaman, mengganggu kualitas pertumbuhan tanaman pertanian. Selain itu, rumput yang berdebu tidak layak lagi menjadi pakan ternak.
Dampak lingkungan berupa polusi yang menyelimuti warga di sekitar area penambangan dan pabrik semen di Rembang, kemungkinan besar akan terjadi di Pati, berdasarkan kesamaan faktor penyebab utama aktivitas penambangan batun kapur dan proses produksi semen. Belum lagi, adanya dampak sosial yang ditimbulkan oleh pertambangan dan industri semen, baik di Rembang maupun di Pati berupa retaknya kohesi sosial. Dampak-dampak lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya akibat pertambangan dan industri semen di Pegunungan Kendeng wilayah Rembang dan Pati utamanya dipicu oleh alpanya pihak perusahaan dalam melibatkan partisipasi warga secara patut dalam perencanaan pembangunan industri semen sehingga menimbulkan penolakan dari warga.
Berbagai persoalan yang ditimbulkan akibat suatu kegiatan usaha semestinya dapat dimitigasi dan dikelola melalui penerapan praktik usaha yang berkelanjutan. Sebagai penopang finansial, sektor jasa keuangan (SJK) turut bertanggungjawab atas terjafinya kerusakan lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat di Pegunungan Kendeng Utara. Selama kurun waktu 2018 ā 2022, aliran pembiayaan yang diterima oleh HeidelbergCement dan PT Indocement Tunggal Perkasa dari bank mencapai 2,9 miliar Euro. Pembiayaan yang diberikan oleh bank maupun investor berupa pinjaman, obligasi, kepemilikan saham maupun kepemilikan obligasi. Sementara dalam kurun waktu yang sama, PT Semen Indonesia memiliki aliran pembiayaan mencapai 228,1 juta Euro.
Siapa saja aktor yang berperan memberikan aliran pembiayaan bagi beroprasinya pabrik semen di Rembang dan Pati tersebut, temukan jawabannya pada laporan berikut ini, selamat memabaca