72 research outputs found

    Prarancangan Pabrik Butinediol Dari Asetilen Dan Formaldehid Kapasitas 55.000 Ton Per Tahun

    Get PDF
    Butynediol merupakan bahan yang cukup penting dalam sintesis bahan-bahan organik, seperti butanediol, tetrahydrofuran, dan pyrolidone. Pabrik ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan tidak menutup kemungkinan untuk diekspor karena selama ini untuk memenuhi kebutuhan butynediol didalam negeri, pemerintah mengimpor dari luar negeri. Pabrik butynediol diharapkan akan memacu tumbuhnya industri hilir yang memanfaatkan butynediol sebagai bahan baku, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang baru, dan dapat menambah pendapatan daerah setempat. Pabrik butynediol dari acetylene dan formaldehyde dirancang dengan kapasitas 55.000 ton/tahun. Pabrik beroperasi kontinyu selama 330 hari per tahun. Proses pembuatan butynediol dijalankan dalam reaktor fixed bed single tube, irreversible, dengan kondisi operasi berlangsung pada range suhu 100-130oC dan pada tekanan 2 atm. Sifat reaksi eksotermis, non adiabatis sehingga dibutuhkan pendingin untuk menjaga agar suhu di dalam reaktor tetap pada range suhu yang diinginkan. Kemudian hasil dari reaktor dipisahkan dalam separator. Hasil atas separator berupa gas bereaksi dengan udara menjadi flare dan hasil bawah separator yang berupa cairan diumpankan ke menara distilasi. Dari hasil bawah menara distilasi diperoleh produk butynediol dengan kemurnian yang diinginkan di pasaran (45%). Hasil atas menara distilasi dipisahkan kembali untuk memperoleh produk samping berupa methanol dengan kemurnian sebesar 99%. Kemudian pada unit utilitas total air pendingin yang digunakan 22.607,5728 kg/jam, sedangkan air kebutuhan steam 3.960,0807 kg/jam, air untuk sanitasi 2.175,5000 kg/jam. Sehingga jumlah total kebutuhan air 61.635,9554 kg/jam. Kebutuhan listrik dalam pabrik butynediol adalah 860,936 KW. Untuk kebutuhan udara tekan diperkirakan 500 kg/jam dengan udara masuk tekanan 1 atm dan udara keluar tekanan 4 atm. Sedangkan pada unit bahan bakar total kebutuhan bahan baku 342,6634 m3.Pabrik ini digolongkan beresiko rendah karena beroperasi pada kondisi suhu dan tekanan yang tidak terlalu tinggi serta sifat bahan baku dan produk yang tidak terlalu berbahaya. Pabrik direncanakan didirikan di Kawasan Industri Gresik (KIG), Jawa Timur dengan luas tanah 1,2 Ha. Pabrik direncanakan berbentuk Perseroan Terbatas ( PT ) dan dengan jumlah karyawan sebanyak 150 orang. Dari analisis ekonomi, pabrik butynediol ini membutuhkan modal terdiri dari modal tetap dan modal kerja sebesar Rp 104.401.542.770,20. Keuntungan sebelum pajak sebesar Rp 41.389.710.474,34 /th. Keuntungan sesudah pajak sebesar Rp 16.555.884.189,74 /th. Analisis kelayakan ini memberikan hasil bahwa Percent Return On Investment (ROI) sebelum pajak sebesar 39,6447% dan setelah pajak sebesar 15,8679%. Pay Out Time (POT) sebelum pajak sebesar 2,0143 tahun sedangkan setelah pajak sebesar 3,8697 tahun. Break Even Point (BEP) sebesar 44,0718% kapasitas, dan Shut Down Point (SDP) sebesar 26,1336% kapasitas. Discounted Cash Flow Rate of Return (DCFRR) sebesar 36,5813%. Berdasarkan data–data di atas maka pabrik butynediol dari acetylene dan formaldehyde cukup layak untuk didirikan

    Simulation on the shock attenuation behavior of coupled RHA and sandwich composite panel under blast loading

    Get PDF
    This paper presents the shock attenuation behavior of engineering materials namely Rolled Homogenous Armor (RHA) and sandwich composite when subject to blast loadings. Blast loading on sandwich composite structure and monolithic material are investigated using LSDYNA 3D with Arbitrary LagrangianEulerian (ALE) method. Dynamic response in terms of shock was analyzed in order to understand the shock attenuation of monolithic structure and sandwich structures. Based from the results, coupled RHA and sandwich composite structure configuration exhibit highest  attenuation capability of 61.3% respectively. The study can be used as reference tool for the application related to automotive, naval and aeronautical structures, oil and gas industry.Keywords: shock attenuation; composite; survivability; honeycomb

    Comparison of Non Chirped Nrz, Chirped Nrz and Alternate-chirped Nrz Modulation Techniques for Free Space Optic (Fso) Systems

    Full text link
    Free Space Optics (FSO) is the technology where transmission occurs through optical waveform that contains datatransformed at the transmitter from electrical signal. Since the transmission medium of FSO is atmosphere, atmosphericscattering is the major cause for interruption of FSO link. Non return zero (NRZ) modulation is the dominant modulationscheme employed in commercial terrestrial Free Space Optic (FSO) communication systems. This research are requiredto investigate three viable modulation techniques; NRZ pulse formats, non-chirped NRZ, chirped NRZ, and alternatechirpedNRZ at 10 Gb/s and 40 Gb/s data rate. The 1550 nm of continuous wave (CW) laser is modulated with threedifferent modulation formats over 1 km of FSO channel. The signal is propogated at different attenuation value based onMalaysia weather conditions. In this paper we have successfully compared the three modulation techniques in FSOsystem due to the Malaysia weather and the performance is accessed at bit error rate (BER) of 1x10-9. The presentedsimulation of these three modulation shows that alternate-chirped NRZ has slightly better performance compared to thenon-chirped NRZ and chirped NRZ modulation format at clear weather, haze, light rain, medium rain and heavy rain.We believe that, this system is an alternative for the future optical wireless network that has a potential to be installed inthe urban and sub-urban area

    Rekonstruksi Kebijakan Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) Berbasis Kearifan Lokal Awig-Awig (Studi Pada Masyarakat Hukum Adat Lombok Utara)

    Get PDF
    Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat (social-well-being) secara berkelanjutan, terutama komunitas masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir (coastal zone). Untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir, kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir harus dimaksimalkan peranannya sebagai landasan utama dalam pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir disamping adanya hukum formal. Kearifan Lokal atau yang lebih dikenal dengan Hak Ulayat di Indonesia dalam hal ini hak ulayat atas lahan atau perairan untuk pengelolaan sumber daya alam perairan (akuatik) masih ada yang bertahan dan dipraktekkan oleh sekelompok anggota masyarakat walaupun terdapat tekanan dari konfigurasi sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan modern. Di sisi lain, terdapat pengakuan bahwa eksistensi hukum adat di Indonesia terutama yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan merupakan modal nasional yang memiliki nilai strategis dan penting dalam menunjang pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan secara berkelanjutan. Salah satu kearifan lokal yang masih terus dipertahankan sampai dengan saat ini adalah Awig-Awig di wilayah Lombok Utara. Awig-Awig merupakan pranata yang mengatur hubungan manusia dengan alam khususnya di wilayah pesisir dan laut. Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 sebagai pengganti dari undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bukti nyata bahwa Pemerintah mengakui eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Adat/Kearifan Lokal dalam rangka pengembangan wilayah pesisir dengan tetap menjaga kelestarian kawasan pesisir. Namun disisi lain, UU ini mendapat pertentangan dari berbagai pihak mengenai konsep Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP3), karena ada kekhawatiran dapat menghilangkan nilai kearifan lokal yang berkembang di suatu daerah khususnya nilai kearifan lokal awig-awig. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. a). Menganalisis dan menjelaskan secara menyeluruh mengenai Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengabaikan eksistensi Awig-Awig. b). Menganalisis dan menjelaskan impilikasi kebijakan Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) yang mengabaikan eksistensi Awig-Awig.c). Menggambarkan dan menjelaskan rekonstruksi kebijakan perizinan dalam Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) yang akomodatif terhadap sistem Kearifan Lokal Awig-Awig. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus (Yin, 2011) dengan analisis kualitatif. Pendekatan dilakukan dengan teknik etnografi karena membahas masalah budaya yaitu nilai kearifan lokal, selain itu juga menggunakan pendekatan normatif karena berkaitan dengan Undang-Undang dan hukum adat yang berlaku di wilayah Lombok UtaraTeknik pengambilan sampel secara purposive kepada tokoh-tokoh kunci Hasil penelitian menunjukkan a.). pasal-pasal dalam Izin Pemanfaatan Perairan Peisisir tersebut melemahkan dan berpotensi menghilangkan keberadaan masyarakat adat beserta hukum adat yang ada yaitu pasal 16,17,20 dan 22. Pasal tersebut berpotensi menutup akses masyarakat adat dan nelayan tradisional di wilayah pesisir, selain itu pasal-pasal tersebut dianggap melemahkan dan meminggirkan keberadaan masyarakat adat serta berpotensi menggusur masyarakat tersebut dari wilayah yang telah didiami turun-temurun. Selanjutnya akan menghilangkan hak hidup dan kehidupan masyarakat karena adanya kebijakan untuk memiliki izin dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah khusunya di pesisir. b). Impilikasi Kebijakan Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP-3) yang mengabaikan eksistensi Awig-Awig di wilayah pesisir akan membuka peluang terjadinya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak pengelola dalam hal ini orang perorang atau badan usaha secara massif.c). Dalam rangka merekonstruksi kebijakan dalam konteks Izin Pemanfaatan Perairan Pesisir (IP- 3) yang akomodatif terhadap hukum adat, Pemerintah harus menggandeng lembaga adat berserta kearifan lokal, tradisi dan hukum adat untuk dimanfaatkan dalam upaya pembinaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional

    Water-Repellent Improvement of Green Composite Sheet Surface by Hydrophobic Modified-Silica Coating

    Get PDF
    The phenomenon of hydrophobic surface (contact angle of a water droplet exceeding 90°) has attracted a considerable research interest from academia and industry. Current studies have unveiled the fact that the hydrophobicity of a solid surface is governed by surface free energy and surface roughness. To date, many methods have been proposed for fabricating hydrophobic surfaces. In this paper, a facile, low cost, and time-saving approach for the improvement of water-repellent property of durian peel composite sheet surface is studied. A unique mixture of hydrophobic modified-silica particles and polystyrene was synthesised and applied onto the composite sheet via dip coating method. The hydrophobic property was characterised using scanning electron microscopy (SEM) and water contact angle meter. Results show that a water repellent surface with a contact angle of 143.90° was generated, which is nearly superhydrophobic. This method could be an effective strategy for producing hydrophobic surfaces for promising potential applications in water repellency, self-cleaning, friction reduction, and antifouling

    Convergent synthesis of new N -substituted 2-{[5-(1H -indol-3-ylmethyl)-1,3,4-oxadiazol-2-yl]sulfanyl}acetamides as suitable therapeutic agents

    Get PDF
    abstract A series of N-substituted 2-{[5-(1H-indol-3-ylmethyl)-1,3,4-oxadiazol-2-yl]sulfanyl}acetamides (8a-w) was synthesized in three steps. The first step involved the sequential conversion of 2-(1H-indol-3-yl)acetic acid (1) to ester (2) followed by hydrazide (3) formation and finally cyclization in the presence of CS2 and alcoholic KOH yielded 5-(1H-indole-3-yl-methyl)-1,3,4-oxadiazole-2-thiol (4). In the second step, aryl/aralkyl amines (5a-w) were reacted with 2-bromoacetyl bromide (6) in basic medium to yield 2-bromo-N-substituted acetamides (7a-w). In the third step, these electrophiles (7a-w) were reacted with 4 to afford the target compounds (8a-w). Structural elucidation of all the synthesized derivatives was done by 1H-NMR, IR and EI-MS spectral techniques. Moreover, they were screened for antibacterial and hemolytic activity. Enzyme inhibition activity was well supported by molecular docking results, for example, compound 8q exhibited better inhibitory potential against α-glucosidase, while 8g and 8b exhibited comparatively better inhibition against butyrylcholinesterase and lipoxygenase, respectively. Similarly, compounds 8b and 8c showed very good antibacterial activity against Salmonella typhi, which was very close to that of ciprofloxacin, a standard antibiotic used in this study. 8c and 8l also showed very good antibacterial activity against Staphylococcus aureus as well. Almost all compounds showed very slight hemolytic activity, where 8p exhibited the least. Therefore, the molecules synthesized may have utility as suitable therapeutic agents
    corecore