25 research outputs found
Arsitektur Titik Balik: Participatory Design Dan Memori Kolektif
Kenangan adalah ingatan yang akan menjadi cerminan manusia dalam menghadapi keadaan kedepannya. Sehingga, momen akan kenangan itu sendiri harus dibangkitkan. Arsitektur sebagai media membangkitkan momen tidak hanya sebatas intrusi ruang semata. Namun, juga mengajak pengguna dan penghuni untuk berpartisipasi dalam membangkitkan momen tersebut. Karena ruang bukanlah sesuatu yang statis melalui material yang disajikannya. Selama ini, kita tidak pernah menyadari bahwa arsitektur yang kita alami sehari-hari selalu menjadi bagian dari kenangan hidup kita. Dari permasalahan ini penulis menyadari perlu adanya sesuatu dari rancangan yang membuat user menyadari bahwa mereka sedang merakit kenangan mereka sendiri. Rancangan yang dapat disempurnakan oleh penggunanya, seperti baju jemuran yang menjadi elemen estetika, sirkulasi yang diberi pekerasan sendiri oleh penggunanya, dan material yang bersifat temporer yang diganti secara berkala, akan memberi kesadaran secara penuh kepada penggunanya bahwa mereka sedang merajut kenangan mereka terhadap tempat tinggal mereka
Superimposisi Tiga Pemaknaan Ruang Sebagai Pemicu Interaksi Pada Ruang Publik
Arsitektur pada hakikatnya selalu hadir karena adanya kebutuhan manusia yang lekat oleh fungsi waktu. Dengan demikian merupakan suatu hal yang umum jika ketika arsitektur tersebut tidak lagi berfungsi sesuai dengan kebutuhan pada zaman nya, arsitektur akan menghilang, digantikan dan membusuk seiring berjalanya waktu. Munculah pertanyaan besar manusia akan persepsi dari makna arsitektur bagi pengguna nya, selayaknya waktu, mungkinkah arsitektur abadi?. Untuk mencapai kualitas tersebut, Arsitektur sebagai variabel tempat hendaknya memberikan kesempatan pada user untuk berinterpretasi dan memberikan persepsi baru terhadap fungsi dan pengalaman arsitektur dalam suatu konteks. Pendekatan desain production of space oleh Henri Levebfre yang diarahkan kepada metoda desain superimposisi, menumpukkan ketiga layer dari pemahaman atau pemaknaan ruang oleh manusia [conceived, perceived, lived] akan mempengaruhi konsep desain sehingga ruang yang di produksi secara tiga dimensional dapat memicu interaks
Fungsional Versus Estetika: Inkubasi dalam Rancangan TPA
Pertentangan fungsionalitas dan estetika sebuah bangunan TPA berasal dari penanganan sampah menjadi satu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam pengelolaan kota, dengan kata lain sampah adalah bagian dari kota. Terkait hal tersebut, maka TPA (Tempat Pembuangan Akhir Sampah) memiliki peran aktif dalam mengatasinya, demikian dengan keberadaan lokasi TPA Benowo yang terletak dikawasan SSC (Surabaya Sport Center). Permasalahan yang timbul dari pertentangan antara fungsionalitas dan estetika dalam rancangan ini adalah bagaimana korelasi rancangan tempat pembuangan dengan tempat kunjungan edukasi dan kawasan ikon Surabaya dengan nilai estetika area SSC yang menurun akibat dari adanya kawasan pembuangan sampah tersebut. Perancangan ini memiliki tujuan dapat melahirkan gagasan untuk mewujudkan TPA (Tempat Pengolahan Sampah Akhir) Benowo tidak hanya sebagai tempat penampungan dan pengolahan sampah sebagai unsur fungsional, tetapi merupakan obyek rancang yang menampilkan keindahan rupa bangunan dengan detail utilitas dari unsur fungsionalitas tersebut serta menjadi bagian dari kawasan ikon Surabaya yaitu SSC. Ekspresi arsitektur yang menampakkan sisi fungsional bangunan, yaitu elemen utilitas bangunan dan elemen struktur sebagai unsur estetika
Penerapan Prinsip Adaptasi pada Desain Bangunan Ekowisata di Lahan Konservasi Mangrove Wonorejo
Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan. Oleh karena itu, keberadaan ekowisata mangrove di kawasan konservasi harusnya bisa menjadi wadah yang menyediakan informasi yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian, konservasi, dan penelitian mengenai ekosistem mangrove yang memanfaatkan mangrove menjadi daerah wisata alami tanpa melakukan gangguan signifikan terhadap keberadaan mangrove itu sendiri. Adaptasi merupakan cara organisme beradaptasi terhadap lingkungannya dengan mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti suhu, cahaya, panas, sehingga mudah merespon Perubahan yang terjadi di lingkungannya. Dengan mengangkat tema adaptatif, bunglon dianalogikan sebagai hewan yang memiliki sifat adaptatif, prinsip adaptatif pada bunglon inilah yang akan diterapkan dalam perancangan ekowisata mangrove. Dengan prinsip adaptatif bangunan ekowisata mangrove wonorejo bisa menjadi contoh bangunan ekowisata diatas lahan konservasi yang dapat menjalankan fungsinya tanpa harus banyak merusak ekosistem itu sendiri karena sifatnya yang mampu beradaptasi baik terhadap lingkungan, ekosistem, maupun Perubahan kondisi alam
Resiliensi: Narasi melalui Ruang
Kelahiran dan kematian merupakan peristiwa alami yang dialami setiap makhluk hidup. Setiap adat dan keyakinan memiliki caranya sendiri dalam melaksanakan penghormatan terakhir kepada yang meninggal. Salah satunya upacara pembakaran mayat atau kremasi. Perubahan sosial dan budaya di masyarakat modern dengan pemikiran praktis orang modernis akan makin menipisnya lahan untuk pemakaman sampai kesulitan dalam membayar uang kavling pemakaman yang berdampak pada penggusuran melatarbelakangi pembangunan krematorium dewasa ini. Akan tetapi, tidak banyak perancang yang memahami peran krematorium tidak hanya untuk mewadahi sebuah kegiatan, lebih dari itu krematorium memliki peran yang kuat terhadap psikologis seseorang. Tidak sedikit kasus syok maupun trauma yang terjadi pada fasilitas umum ini. Pemilihan tema resiliensi diambil dari kamus psikologi, mengangkat bahwa sebenarnya arsitektur dapat berbicara lebih daripada kehadiran sebuah bangunan. Melalui tema ini, perancang bertujuan untuk membangkitkan psikologi pengunjung yang dituangkan ke dalam alur perjalanan seseorang ketika melaksanakan upacara kremas
Struktur Arsitektur dalam Objek Rancang Pusat Komunitas Berperilaku Hijau Surabaya
Struktur merupakan unsur yang sangat penting dan harus diperhatikan dalam merancang sebuah arsitektur. Dengan struktur sebuah bangunan dapat dinilai kekohonnya. Struktur bukanlah sebuah pelengkap perancangan, namunseharusnya juga menjadi konsep utama dalam mewujudkan sebuah bentukan / wujud arsitektur. Struktur juga bisa menjadi unsur estetika sebuah bangunan. Pada Objek Pusat Komunitas Berperilaku Hijau Surabaya pengaplikasian struktur menjadi hal pokok dalam perancangan bangunan. Struktur yang digunakan pada objek rancang tidak hanya menjadi sebuah bagian demi menunjang kekokohan bangunan, namun juga menjadi unsur pembentuk estetika bangunan. Sistem struktur ruangmembantu tiap level bangunan untuk mengatasi permasalahan strukturnya sendiri, dibantu dengan kordan kolom untuk menopangnya. Hal itu demi mewujudkan konsep bangunan melayang pada objek rancang
Meng-‘abadi'-kan Arsitektur dalam Rancangan Gedung Konser Musik Klasik Surabaya
Abadi dapat didefinisikan sebagai keadaan yang tak lekang oleh waktu dan tidak berubah. Keadaan yang tidak terpengaruh oleh waktu tersebut berusaha direpresentasikan dalam rancangan Gedung Konser Musik Klasik Surabaya melalui berbagai aspek arsitektural, sehingga objek rancang dapat hadir sebagai sesuatu yang 'abadi'. Konteks lingkungan yang berada di area cagar budaya menjadi tantangan tersendiri dalam proses merancang, terutama dalam hal menghilangkan keterikatan objek terhadap waktu pada sebuah area yang sangat terikat terhadap zaman perkembangannya. Area cagar budaya memiliki keterikatan yang sangat jelas terhadap waktu, terutama berkaitan dengan aspek kesejarahannya, sehingga untuk menghadirkan objek yang 'abadi', perancang harus mempertimbangkan setiap keputusan desain agar tetap menghormati konteks lingkungan di mana ia berada dan di saat yang sama tetap merepresentasikan keabadian yang menjadi tema rancangan
Keselarasan Ruang Luar dan Ruang dalam pada Perancangan Pusat Budaya Bali
Arsitektur tradisional Bali mengenal tipologi bangunan bale yang berupa naungan dan keberadaan natah yang berupa ruang terbuka sebagai pusat orientasi dalam arsitektur tradisional Bali. Kedua elemen arsitektur ini menghasilkan kesan ambigu antara ruang dalam dan ruang luar di dalam rumah tradisional Bali. Dua elemen arsitektur ini juga menjadi ciri khas arsitektur Bali. Dalam perancangan arsitektur Bali yang mengkini maka diperlukan eksplorasi yang lebih dalam tentang hal-hal yang menjadi ciri khas arsitektur Bali diantaranya adalah keberadaan natah dan bale yang menghasilkan ambiguitas ruang luar dan dalam. Kenangan pengalaman ruang di dalam arsitektur tradisional Bali dapat dihadirkan kembali di dalam arsitektur Bali kontemporer dengan menggali kembali kebudayaan yang berkembang dengan tetap berakar pada kebudayaan tradisional Bali. Natah dan Bale di dalam arsitektur tradisional Bali dapat diinterpretasikan dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan pengalaman ruang yang hampir sama. Diharapkan dengan proses merancang yang mengadopsi pengalaman ruang arsitektur tradisional Bali ini akan dihasilkan arsitektur yang dapat memberi suasana selaras antara ruang luar dan ruang dalam bangunan sama seperti pengalaman ruang yang dirasakan pada arsitektur tradisional Bali