34 research outputs found
Making rural people’s fate in the hand of urban entities? A question of natural resource governance and rural-urban linkage in Indonesia
The idea of rural-urban linkage, which is meant to tackle the issue of urban bias in development, requires trust and equality as fundamental conditions. However, building trust and promoting equality is never easy in rural-urban linkage promotion. Natural resources governance is among the areas which usually show us how difficult it is to promote rural-urban linkage for the hardships in power relations among the actors involved. As having long been noted, the issues of natural resources in Indonesia is contentious; leading to strong debate even conflict. Transparency and accountability often become big questions in natural resources governance, followed with hard deliberation between authorities, companies, and community contrary to the policy. These matters result in further problems of trust, equality, and representation, which further leads to difficulty in rural-urban linkage strengthening. As reflected from mining cases in Central Java and oil palm plantation in Central Kalimantan, we can see clearly how power relations between the pros (usually urban people represented by government apparatus and corporations) and cons (rural people; community) are usually lagging. Policy hardly counts the dissenting voices from the cons. Local authorities decide what is good and not for rural people dealing with natural resources issue. They promote economic development and poverty reduction through natural resources business, which is hardly proven. Natural resources policy is more often made one sided. Sometimes there is repression to suppress against a community that refuses the existence of corporations. This paper discusses challenges to the idea of rural-urban linkages from the experience of natural resources governance in Indonesia. From the cases we studied, we can learn that in order to promote linkage, and, further, equality between rural and urban areas, it is crucial to take into account deliberation, because urban entities are not supposed to make the rural people’s fate, just by exploiting and isolating them from decision making
Mining Sector Under New Law of Decentralization: A Lesson from Some Districts in Central Java Province
Under the new law of decentralization, namely Law No. 14/2014 on Local Governance, the national government shifts the governance of three main sectors related to natural resources from being city or regency’s authority to be the provincial government’s domain. This paper discusses possible advantages and drawbacks of the law in local level in the mining sector. This paper compares cases in Kebumen, Pati and Rembang in Central Java province to see the complexities of mining policy prior and after the issuance of the new law based on document analysis and interviews with local government apparatus and people concerned with mining issue in the local areas. While Law No. 4/2009 on non-oil mining strongly asserts the role of the district government, Law No. 14/2014 asserts that mining sector together with marine/fisheries and forest policy no longer become regency’s policy domain. They are withdrawn to be the provincial government’s authority. The former law was issued to respond to the strengthening demand of decentralization from the local regions but then was proven to merely result in the rising of new oligarchs in local mining governance. The later was meant to be a revision for the past. Yet, after about four years implemented, it is not free from other potentials of problems and complexities. Learning from the stagnancy of the mining problems in Central Java, it is clear that clarifying each government institution’s roles, and strengthening inclusion from the people are crucial
PARTISIPASI POLITIK MAHASISWA ASAL ACEH DI KOTA SEMARANG
Mahsiswa Aceh sebagai kelompok intelektual muda memiliki keinginan kuat dalam berkontribusi dalam meningkatkan kemajuan bangsa melalui pesta demokrasi. Partisipasi politik menjadi titik awal mahasiswa untuk melakukan perubahan dengan menyalurkan suara dalam pemilu, sehingga mendorong antusiasme dan perhatian lebih dalam pemilu. Namun ada mahasiswa yang memutuskan tidak menyalurkan suaranya pada pemilu. Tujuan penelitian ini,  mendeskripsikan partisipasi politik dan faktor yang mempengaruhi partisipasi politik mahasiswa asal Aceh di Kota Semarang pada Pemilihan Presiden Tahun 2019. Metode yang digunakan diskriptif kualitatif dengan 17 narasumber yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Aceh Semarang (IPAS). Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil peneltian menunjukan partisipasi politik mahasiswa Aceh terjalin baik, dengan tingginya perbincangan mengenai pemilu yang dijalani dalam kehidupan asrama. Tipologi pemilih tergolong kedalam tipe relasional dan kritis yang mampu menilai berdasarkan fakta lapangan. Faktor yang mempengaruhi partisipasi ada tiga faktor kongnitif, kandidat dan orang tua. Faktor hambatan terjadi karena persyaratan admistrasi yang membutuhkan waktu lebih dalam mengurusnya. Keywords :Partisipasi Politik, Mahasiswa, Pemilihan Umum, Pemilihan Preside
Dari identitas ke ideologi: Penguatan arah kebijakan programatik partai politik
Sebagaimana disepakati berbagai pihak, persoalan partai politik di Indonesia saat ini secara mendasar terletak pada karakter pragmatisme yang makin menguat. Partai dianggap kehilangan ruh idologisnya sehingga menyebabkan arah kebijakan yang diadvokasi partai menjadi miskin identitas. Publik dan masyarakat pemilih kesulitan membedakan orientasi kebijakan partai karena partai seringkali merespon isu-isu nasional sehari-hari hanya berdasarkan pertama, kepentingan elektoral, dimana partai menolak atau mendukung sebuah kebijakan hanya berdasarkan hitung-hitungan pemeliharaan suara di pemilu. Partai oposisi akan selalu menolak ide partai berkuasa, dan sebaliknya, partai berkuasa akan selalu menentang pendapat partai oposisi. Faktornya penentunya hanya terkait pada apakah partai sedang berkuasa atau menjadi oposisi, bukan pada ideologi sebagai identitas partai itu sendiri. Hasilnya, partai yang sama dapat memiliki pandangan yang berbeda atas isu yang sama di periode politik yang berbeda, tergantung apakah partai tersebut sedang menjadi partai berkuasa atau partai oposisi. Kedua, arah kebijakan partai juga seringkali lebih terkait dengan kepentingan sekelompok kecil elit didalamnya. Arah kebijakan partai dalam hal ini hanya digunakan untuk melayani kepentingan segelintir orang yang mengendalikan partai, alih-alih kepentingan publik secara luas. Hasilnya, partai nir konsistensi, menyebabkan kesulitan identifikasi arah kebijakan partai ke depan. Pilihan politik pun kemudian hanya diputuskan berdasarkan pertimbangan jangka pendek, menyebabkan lemahnya afiliasi dan identifikasi politik pemilih. Dalam hal ini, kita jelas sedang menghadapi resiko pelembagaan demokrasi dan kepartaian yang lemah. Memikirkan perbaikan landasan ideologis kepartaian dengan demikian menjadi sangat krusial. Ideology shifting di tubuh partai menjadi kebutuhan yang tidak lagi terelakkan
Pandemi Covid-19 dan Pendekatan Kebijakan Multikrisis: Sebuah Refleksi Teoritis
Pandemi yang diakibatkan infeksi Covid-19 sejak akhir 2019 hingga saat ini memberikan pelajaran baru atas pendekatan kebijakan. Selama ini, ilmuan cenderung melihat kebijakan pada dari dua kutub pendekatan, yaitu kebijakan sebagai business as usual dan kebijakan di masa krisis. Munculnya pandemi ini rupanya menghadirkan tantangan yang jauh lebih besar dari apa yang dibayangkan dalam kebijakan dalam situasi krisis. Mulai dari ketidakjelasan informasi tentang virus, ketidakpastian berakhirnya penularan, dilema prioritas kesehatan dan ekonomi, terbatasnya sumberdaya yang dimiliki, adalah beberapa persoalan global yang  terus mencuat di tengah tekanan publik yang makin besar terhadap kebijakan pemerintah. Artikel ini berusaha mengurai kerumitan kebijakan dalam konteks Covid-19, yang penulis sebut sebagai kebijakan multi-krisis. Dengan mengandalkan pada penelitian sekunder dengan sumber utama adalah dokumen-dokumen literatur, maka artikel ini adalah tawaran ide dalam mengkerangkai teori kebijakan
Disengaged Citizens: Involuntarily Returned and Relocated Transmigrants in Southern Kebumen
The government’s policy to return transmigration program participants, due to the explosion of conflicts in transmigration areas outside Java in the early 2000s to the district where these people originated has raised many questions of citizen engagement. This study aims to identify the impacts of the policy on the returned transmigrants using the idea of citizenship as a framework of analysis. The field research was conducted from December 2012 to February 2013 in Southern Kebumen using in-depth interviews with about 20 informants and direct observations. From the fieldwork, it is found that instead of resolving the problem by returning thousands of transmigration participants, which then was followed with collective relocation, has made the issue more complex. This later aspect caused multiple exclusions to the returned transmigrants socially and politically. The case highlights the government’s ignorance of the aspects of geography, ethnicity, cultures, religions, languages, and gender that define citizenship in the Indonesian context, and are impacted by the transmigration policy. Such ignorance has led to the acute political disengagement. Weak inclusion and over-simplification in the handling of the transmigration program (sending, returning, and relocating people from one place to another), due to the single definition of citizen and citizenship, which the government uses in treating people merely as ‘materials’ for boosting economic growth, instead of as citizens that have rights for recognition, seems to be the core explanation of this case. By elaborating this issue, this paper is expected to enrich the existing study on citizenship, especially the core problems that relate to (forced) transmigration policy, which is rarely discussed among scholars
Women's Empowerment in Village Governance Transformation in Indonesia : Between Hope and Criticsm
Since the lauch of Law No. 6/2014 regarding villages, scholarly concerns on village studies are growing. However, studies focusing on gender equality in Village Law implementation are still few. This article discusses the responses of the village government to gender problems in their respective areas. Based on field research in two villages in Java, namely Panggungharjo and Lerep, this article recognizes that there is greater attention on grnder issues since the implementation of the law. However, village heads still dominate village policymaking. Further, although gaining some supports, gender issues are still placed as the secondary among the village development priorities
THEORIES OF SOCIAL SOLIDARITY IN THE SITUATIONS OF (NATURAL) DISASTERS
Paper ini mendiskusikan sekaligus memetakan konsep solidaritas social dalam konteks bencana. Umumnya, masyarakat percaya bahwa solidaritas social dalam bencana identik dengan berbagi, toleransi, dan saling meringankan beban paska bencana. Namun, ternyata, solidaritas social mesti dipahami lebih dari sekedar berbagi. Solidaritas sosial adalah juga bentuk pertukaran (exchange), yang didalamnya mau tidak mau terkandung diskusi tentang relasi kekuasaan. Berangkat dari pemahaman ini, paper ini menemukan bahwa diskursus kekuasaan dari pendekatan kiri, yang diinspirasi oleh Karl Marx, sangat membantu memahami relasi kuasa tersebut. Pendekatan kiri memperjelas asumsi bahwa solidaritas sosial bukan sesuatu yang netral. Ia juga rentan dibajak oleh elit. Namun demikan, paper ini menyadari bahwa diskursus kekuasaan dalam solidaritas sosial yang diteropong melalui pendekatan kiri ini juga mengandung kelemahan. Pendekatan kiri terkesan terlalu anti-elit dan menafikan otonomi individu. Tidak mengherankan, jika kritik terkuat pun hadir dari pendukung diskursus kanan yang liberal, termasuk dalam memahami solidaritas sosial dalam konteks bencana. Di luar dari pembagian pendekatan kiri dan kanan dalam memahami konsep solidaritas sosial paska bencana, terdapat pemahaman lain yang tidak kalah menarik. Konsep ini berusaha memahami solidaritas sosial dalam konteks bencana, bukan sekedar sebagai ekspresi relasi sosial yang kohesif, maupun ekspresi dari relasi kekuasaan dan otonomi individu, tetapi sebagai ekspresi spiritualitas. Tentu saja, solidaritas sosial sebagai ekspresi spiritual bukan merupakan sesuatu yang terlepas dari pendekatan kiri dan kanan dalam diskusi solidaritas sosial. Ia terkait erat dengan keduanya. Ketiga peta teoritik ini tidak hanya membantu memahami konsep solidaritas sosial dalam konteks bencana secara lebih mendalam, tetapi juga menjadikan kajian solidaritas sosial dalam konteks bencana menjadi sangat menarik dan hidup.
Kata kunci: solidaritas sosial, bencana, pendekatan kiri, pendekatan kanan, dan pendekatan
spiritualitas dalam konsep solidaritas sosial paska bencana