37 research outputs found
A Coupled Phase-Temperature Model for Dynamics of Transient Neuronal Signal in Mammals Cold Receptor
Kadar Transforming Growth Factor β-1 Urin pada Berbagai Keadaan Proteinuria
Latar belakang. Proteinuria masif pada sindrom nefrotik (SN) akan menginduksi suatu rentetan reaksi biologis di tubular proksimal. Reaksi ini mengaktivasi peptida vasoaktif dan produksi sitokin, seperti TGF-β1. Di dalam urin, TGF-β1 urin merupakan sitokin fibrogenik yang pluripoten, yang melalui beberapa patomekanisme menyebabkan fibrosis interstisial dan glomerulosklerosis yang pada akhirnya menimbulkan gagal ginjal.
Tujuan. Mengetahui kadar TGF-β1 urin pada berbagai keadaan proteinuria, yakni pada anak dengan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS), dalam keadaan remisi maupun relaps, dan pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).
Metode. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di 8 pusat ginjal anak di Indonesia. Subyek penelitian ini terdiri atas 34 anak dengan SNSS steroid remisi, 31 anak dengan relaps, 55 anak dengan SNRS, dan 35 anak tanpa penyakit ginjal sebagai kontrol. Kadar proteinuria dan TGF-β1 urin diperiksa pada sampel urin sewaktu yang diambil pagi hari. Kadar TGF-β1 urin diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (Quantikine kit for human TGF-β1 immuno assay; R&D Systems, Mineapolis, MN). Kadar proteinuria kuantitatif diperiksa dengan cara kolorimetri (Randox kit; Randox Laboratories, United Kingdom)
Hasil. Kadar proteinuria tertinggi didapatkan pada SN relaps, yang secara bermakna lebih tinggi daripada kadar SNRS. Namun, kadar TGF-β1 urin pada SN relaps sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS yang secara bermakna lebih tinggi daripada kadarnya pada SN remisi. Kadar TGF-β1 urin pada SN remisi tidak berbeda dengan kadarnya pada anak tanpa penyakit ginjal. Terdapat korelasi positif antara kadar TGF-β1 dan protein urin (r=0,649 ;p<0,0001).
Kesimpulan. Kadar TGF- β1 urin pada anak dengan SN relaps sama tingginya dengan kadar TGF- β1 urin pada SNRS, yang secara bermakna lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar pada anak dengan sindrom nefrotik remisi, maupun anak tanpa penyakit ginjal
Rituximab: Dapatkah Dipakai Sebagai Terapi “Rescue” pada Sindrom Nefrotik Dependen Steroid Berat dan Dependen Siklosporin Serta Resisten Steroid pada Anak?
Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid (SNDS)/dependen siklosporin dan SN resisten steroid (SNRS)
sampai saat ini masih merupakan masalah di bidang Nefrologi anak karena belum ada yang memuaskan. Berbagai
obat supresi imun telah diberikan yaitu antara lain siklofosfamid (atau klorambusil), siklosporin A, mikofenolat
mofetil, takrolimus. Demikian pula levamisol hanya bersifat memperpanjang masa remisi sementara.
Penggunaan obat baru rituximab suatu antibodi monoklonal terhadap CD 20 sel B memberi harapan baru
pada pengobatan SNDS maupun SNRS, baik dengan gambaran histopatologi kelainan minimal (SNKM)
maupun glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Dosis obat yang dipergunakan 375 mg/m2 per minggu
selama 4 minggu berturut-turut atau bahkan ada yang hanya 1-2 kali pemberian dapat menimbulkan remisi
total sampai beberapa bulan. Dalam makalah diuraikan studi literatur pengobatan SN secara kronologik
serta tingkat level of evidence dan kemungkinan penggunaan rituximab sebagai terapi rescue pada SNDS
berat/SNRS pada anak
Recombinant human erythropoetin ln children with chronic renal failure (A preliminary report)
[no abstract available
Acute Renal Failure Due to Jengkol Intoxication in Children
JengkoL intoxication is well-known in Indonesia. We report a series of 39 parents with jengkol intoxication admitted to the Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, during the period of 1984 through 1993. Patients ranged in age from 3 to 14 years. The male to female ratio of all cases was 1.8 to 1 but the ratio of patients suffering from acute renal failure was 5.7 to 1. Oliguria or anuria presented in all cases with acute renal failure. Three patients underwent peritoneal dialysis which gave rapid improvement; 2 patients had died due to acute renal failure before dialysis could be performed. When compared with previous reports, it seems that the admission for jengkol intoxication has been declining. Change in the way of consuming the bean and increasing number of hospitals in Jakarta may be responsible for the decline of cases admitted