1 research outputs found

    Penjatuhan Sanksi Pidana Maksimum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perkosaan Dihubungkan Dengan Pemenuhan Keadilan Korban

    Get PDF
    ABSTRAKArticle 285 of the Criminal Code states that anyone with violence and threats of violence forces a woman to have sex with him outside of marriage, is threatened with rape with a maximum imprisonment of twelve years. If you look at the written sanctions formulation, the maximum sentence for the crime of rape is twelve years. However, in reality, judges rarely impose maximum criminal sanctions in society as stated in these provisions. In addition, when viewed from the perspective of creating justice for victims of maximum criminal sanctions, it has not touched the recovery of losses and suffering experienced by rape victims. This research is a normative juridical research but is also supported by empirical data so that what is studied is data originating from the literature and court decisions. The results of the study indicate that the imposition of maximum criminal sanctions on perpetrators of the crime of rape as regulated in the Criminal Code has not been implemented properly, this is because in practice law enforcement officers including the panel of judges who should be the mouthpiece of justice have not been able to provide maximum sanctions. to the perpetrator, in imposing criminal sanctions the judge tends to ignore the condition of the victim who is traumatized and depressed. This provides clear evidence that there is still a lack of guarantees for legal protection for victims of sexual violence and rape in criminal justice in Indonesia.Pasal 285 KUHP menyatakan barang siapa dengan kekerasan dan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika melihat formulasi sanski yang ditertulis maka pidana maksimum bagi tindak pidana perkosaan adalah dua belas tahun. Namum dalam kenyataannya di dalam masyarakat Hakim jarang menjatuhkan sanksi pidana maksimal seperti yang tercantum di dalam ketentuan tersebut. Selain itu apabila ditinjau dari terciptanya keadilan bagi korban sanksi pidana maksimum belumlah menyentuh pemulihan kerugian dan penderitaan yang dialami oleh korban perkosaan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif namun juga didukung dengan data empiris sehingga yang diteliti adalah data yang berasal dari kepustakaan dan putusan pengadilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penjatuhan sanksi pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana belum terimplementasi dengan baik, hal tersebut dikarenakan dalam prakteknya aparat penegak hukum termasuk didalamnya majelis hakim yang seharusnya menjadi corong keadilan ternyata belum mampu memberikan sanksi yang maksimal kepada pelaku, dalam penjatuhan sanksi pidana hakim cenderung mengabaikan kondisi korban yang mengalami trauma dan depresi. Hal tersebut memberikan bukti nyata bahwa masih minimnya jaminan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual perkosaan dalam peradilan pidana di Indonesia
    corecore