36 research outputs found

    Frekuensi Ekokardiografi pada Fase Awal Penyakit Kawasaki

    Get PDF
    Latar belakang. Penyakit Kawasaki (PK) merupakan suatu vaskulitis akut, terutama menyerang balita. Aneurisme koroner terjadi pada 15%-25% pasien PK yang tidak diobati. Ekokardiografi merupakan sarana non-invasif dengan spesifisitas dan sensitivitas tinggi untuk mendeteksi kelainan koroner pada segmen proksimal. American Heart Association menganjurkan ekokardiografi pada tahap awal, dilakukan tiga kali, yaitu saat diagnosis, 1-2 minggu kemudian dan 4-6 minggu selanjutnya. Tujuan. Untuk mengetahui apakah pada pasien PK yang tanpa komplikasi, ekokardiografi saat awal cukup dilakukan dua kali berturut turut saja. Metode. Dilakukan studi retrospektif dari data rekam medis pasien Kawasaki di lima rumah sakit di Jakarta dan Tangerang beserta hasil ekokardiografi serial sejak Januari 2003 sampai Juli 2013. Semua pasien didiagnosis dan ditatalaksana oleh peneliti berdasarkan kriteria AHA 2004. Kriteria inklusi adalah semua pasien yang memenuhi kriteria diagnosis dan ekokardiografi pertama serta kedua hasilnya normal serta ekokardiogarfi diulang serial hingga akhir masa penelitian, minimal satu tahun. Hasil. Dari 503 pasien Kawasaki pada saat diagnosis, 163 menunjukkan dilatasi koroner dan 340 normal. Di antara 340 pasien tersebut, 228 memenuhi kriteria inklusi dan dilakukan ekokardiografi serial antara 1 hingga 10,5 tahun. Didapatkan bahwa jika hasil ekokardiografi pertama dan kedua normal maka hasil ekokardiografi selanjutnya hingga akhir masa pengamatan tidak tampak kelainan. Kesimpulan. Pada pasien Kawasaki dengan hasil pemeriksaan ekokardiografi pertama dan kedua menunjukkan arteri koroner normal, cukup dilakukan ekokardiografi dua kali dan tidak harus diulang. Hal ini terutama pada pasien yang mengalami kendala akses maupun biaya

    Physical activity assessments in obese and non-obese adolescents using the Bouchard diary

    Get PDF
    Background Obesity is now a global epidemic problem. Increased prevalence of obesity is associated with increased sedentary behavior and low physical activity.\ud \ud Objective To assess the physical activity patterns of adolescents aged 10-15 years and to compare mean energy output, intensity of physical activity, duration of moderate-vigorously intensity of physical activity, and length of screen time in obese and non-obese adolescents.\ud \ud Methods This cross-sectional study was conducted on 7th and 8th grade students aged 12-15 years at 216 junior high schools in West Jakarta. Physical activity was assessed using the Bouchard diary for 2 school days and 1 holiday.\ud \ud Results There was no significant difference in mean energy output between the obese and non-obese adolescents. The median intensity of physical activity of obese adolescents was lower than that of non-obese adolescents [1.5 (range 0.8 to 1.8) vs. 2 (range 1.6 to 2.8) METs, respectively; P <0.001]. The mean duration of moderate-vigorous intensity of physical activity in obese adolescents was shorter than that of non-obese adolescents [19.3 (SD 6.9) vs. 26.4 (SD 3.4) minutes, respectively; P=0.000]. Median length of screen time was longer for obese adolescents than for non-obese adolescents [2.8 (range 1 to 6.6) vs. 1.8 (range 0.3 to 6.1) hours, respectively; P <0.001]. There was no adolescent who met the recommended physical activity intensity and duration criteria.\ud \ud Conclusion Physical activity varies among adolescents aged 10-15 years. Obese adolescents have significantly less physical activity duration and intensity than non-obese adolescents, but significantly longer screen time. All adolescents’ physical activity is less than the recommended intensity and duration

    Profile of Kawasaki Disease in Adolescents: Is It Different?

    Get PDF
    Background: there is clearly growing population of young adults with potentially important coronary artery disease after Kawasaki disease (KD) during childhood, and cardiologist must be prepared to take care for them. As Kawasaki disease in adolescent and adult is rare and under-recognized, it is important to study data on patient presentations which may permit development of diagnostic criteria and treatment guidelines for this age group.This study aimed to compare the clinical profile of KD between adolescents (>10 years of age) and children ≤10 years. Methods: This is a cross sectional study. A total of 1150 KD cases (age 1-192 months) during the period of January 2003-December 2016 were analyzed. The clinical profile of subjects aged >10 years (adolescents) and  ≤10 years (children) at acute phase of KD were compared. Results: we found 17 cases of KD in adolescents among 1150 total cases (1.5%). Incomplete KD was more often seen in adolescents compared to children ≤ 10 years of age (59% vs. 29%). Some clinical features were more frequently seen in children than in adolescents, e.g. conjunctivitis (85% in ≤ 10 years of age vs. 65% in > 10 years), mucosal changes (94% vs. 77%), rash (86% vs. 59%), and hand/foot changes (68% vs. 41%). While other clinical features were more often seen in adolescents, e.g., cervical lymphadenopathy (82% vs. 39%) and coronary dilatation (47% vs. 29%). Laboratory results (hemoglobin, leukocytes, erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein) did not differ much between the two groups. Conclusion: Kawasaki disease in adolescents has some different clinical profile from that of younger age. Majority of adolescent patients have incomplete presentation. Some clinical features such as conjunctivitis, mucosal changes, rash, and hand/foot changes are more often seen in children ≤ 10 years compared to in adolescents, while cervical lymphadenopathy and coronary dilatation are more frequently seen in adolescents. The ratio of male to female is much higher in adolescents

    Peran foto toraks sebagai alat bantu diagnostik pada fase akut penyakit Kawasaki

    Get PDF
    Latar belakang. Belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat memastikan diagnosis penyakit Kawasaki (PK) yang saat ini ditegakkan menggunakan kriteria klinis. Pemeriksaan penunjang tambahan dapat membantu dalam menegakkan diagnosis, meskipun tidak definitif. Tujuan. Mengetahui apakah foto toraks dapat digunakan sebagai alat bantu diagnostik pada  penyakit Kawasaki. Metode. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif data rekam medis pasien penyakit Kawasaki di beberapa rumah sakit sejak Januari 2003 hingga Desember 2018. Kriteria inklusi adalah anak yang memenuhi kriteria diagnostik penyakit Kawasaki dari American Heart Association baik komplit maupun inkomplit serta memiliki data lengkap klinis, ekokardiografi dan foto toraks. Hasil.Terdapat 916 subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan 786 (86%) diantaranya memiliki kelainan foto toraks. Kelainan terbanyak yang dijumpai adalah bercak infiltrat bilateral (84%). Tidak ada perbedaan bermakna pada frekuensi kelainan foto dada pada PK komplit maupun inkomplit. Kesimpulan. Tingginya angka kejadian kelainan paru pada foto toraks anak dengan PK, maka foto toraks dapat digunakan sebagai alat diagnostik tambahan pada kasus PK inkomplit

    Predictors for coronary artery dilatation in Kawasaki disease

    Get PDF
    Background Kawasaki disease (KD) is an acute, self-limited, febrile illness of unknown cause that predominantly affects children below 5 years of age. It has a high incidence of coronary complications such as aneurysms. The current treatment of choice is intravenous immunoglobulin, which is costly, with aspirin. Identifying the predictive factors for coronary artery dilatation or aneurysm is important in order to establish the indications for giving immunoglobulin, especially when resources are limited. Objective To identify the predictors for the development of coronary artery dilatation in patients with Kawasaki disease Methods This cross-sectional study was done between January 2003 and July 2013. Inclusion criteria were patients who fulfilled the American Heart Association criteria for acute Kawasaki disease, and had complete clinical, echocardiogram, and laboratory data [hemoglobin, leukocyte, platelet, albumin, C-reactive protein (CRP), and erythrocyte sedimentation rate (ESR)]. All of them received immunoglobulin and aspirin. Results Of 667 KD patients, 275 met the inclusion criteria. There were 185 (67%) males. Subjects’ ages varied between 1 to 157 months. The frequency of coronary artery dilatation at the acute phase was 33.3%. Multivariate analysis showed that >7-day duration of fever and hypoalbuminemia were significant predictive factors for coronary artery dilatation. Conclusion Predictive factors for coronary artery dilatation are duration of fever over 7 days and hypoalbuminemia, while age, gender, hemoglobin level, leukocyte count, and platelet count are not. Frequency of coronary artery dilatation at the acute phase is 33.3%

    Gangguan Fungsi Jantung pada Thalassemia Mayor

    No full text
    Penimbunan besi akibat tranfusi darah berulang pada thalassemia dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi pada jantung. Gangguan kontraktilitas otot jantung dan irama jantung menunjukkan banyaknya besi yang tertimbun di serabut otot. Toksisitas besi terhadap jantung akan menyebabkan reaksi katalisis dalam sel miokardium dan jaringan parenkim sehingga membentuk hidroksi radikal bebas yang akan mengakibatkan kerusakan sel. Kelainan fungsi jantung pada thalassemia‚ mayor terutama berhubungan dengan gangguan fungsi ventrikel, septum intraventrikular serta diikuti dilatasi atrium kiri dan ventrikel kanan. Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat mencerminkan adanya gangguan fungsi hantaran jantung yaitu antara lain adanya perlambatan konduksi atrioventrikular. Pemeriksaan ekokardiografi jantung dapat lebih tepat menilai kelainan anatomis dan penurunan fungsi kontraksi jantung antara lain dengan pengukuran fraksi ejeksi ventrikel

    N-terminal-pro-b-type natriuretic peptide levels and cardiac hemosiderosis in adolescent β-thalassemia major patients

    No full text
    Background: Iron-induced cardiomyopathy remains the leading cause of mortality in patients with β-thalassemia major. Iron overload cardiomyopathy, which may be reversible through iron chelation, is characterized by early diastolic dysfunction. Amino-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-proBNP) is a sensitive biomarker of diastolic dysfunction. Aim: The aim of the study is to evaluate the diagnostic value of NT-proBNP as a surrogate marker of iron overload examined with magnetic resonance imaging T2-star (MRI T2*). Methods: Sixty-eight β-thalassemia major patients (10–18 years) with no signs of heart failure underwent NT-proBNP measurement before routine transfusion. All participants prospectively underwent cardiac MRI T2* examination within 3 months (median 19 days). Patients were divided as cardiac hemosiderosis (cardiac MRI T2* 20 ms). Results: Of 68 patients, the male-to-female ratio was 1:1.1 and the median age was 14.1 years (range: 10–17.8 years). NT-proBNP levels were not different between hemosiderosis and nonhemosiderosis patients (P = 0.233). Further receiver operating characteristic analysis resulted in no significant correlation of NT-proBNP and MRI T2* (area under the curve 0.393, P = 0.233). Conclusion: Measurement of NT-proBNP levels cannot be used for early detection of cardiac iron overload in adolescent with β-thalassemia major

    Profile of Kawasaki Disease in Adolescents: Is It Different?

    No full text
    Background: there is clearly growing population of young adults with potentially important coronary artery disease after Kawasaki disease (KD) during childhood, and cardiologist must be prepared to take care for them. As Kawasaki disease in adolescent and adult is rare and under-recognized, it is important to study data on patient presentations which may permit development of diagnostic criteria and treatment guidelines for this age group.This study aimed to compare the clinical profile of KD between adolescents (>10 years of age) and children ≤10 years. Methods: This is a cross sectional study. A total of 1150 KD cases (age 1-192 months) during the period of January 2003-December 2016 were analyzed. The clinical profile of subjects aged >10 years (adolescents) and  ≤10 years (children) at acute phase of KD were compared. Results: we found 17 cases of KD in adolescents among 1150 total cases (1.5%). Incomplete KD was more often seen in adolescents compared to children ≤ 10 years of age (59% vs. 29%). Some clinical features were more frequently seen in children than in adolescents, e.g. conjunctivitis (85% in ≤ 10 years of age vs. 65% in > 10 years), mucosal changes (94% vs. 77%), rash (86% vs. 59%), and hand/foot changes (68% vs. 41%). While other clinical features were more often seen in adolescents, e.g., cervical lymphadenopathy (82% vs. 39%) and coronary dilatation (47% vs. 29%). Laboratory results (hemoglobin, leukocytes, erythrocyte sedimentation rate and C-reactive protein) did not differ much between the two groups. Conclusion: Kawasaki disease in adolescents has some different clinical profile from that of younger age. Majority of adolescent patients have incomplete presentation. Some clinical features such as conjunctivitis, mucosal changes, rash, and hand/foot changes are more often seen in children ≤ 10 years compared to in adolescents, while cervical lymphadenopathy and coronary dilatation are more frequently seen in adolescents. The ratio of male to female is much higher in adolescents

    Ketajaman Klinis dalam Mendiagnosis Bising Inosen

    No full text
    Latar belakang. Bising inosen adalah bising yang tidak berhubungan dengan kelainan organik atau kelainan struktural jantung. Kepustakaan menyebutkan bising inosen ditemukan pada 50% populasi anak sehat. Bising ini tidak bersifat patologis tetapi sering disalahartikan sebagai bising organik, sehingga dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang yang mahal yang sebenarnya tidak diperlukan. Ketajaman klinis seorang dokter anak dalam mendiagnosis bising inosen sangat penting untuk mengatasi biaya tinggi dan rasa kecemasan orang tua terhadap kondisi anak. Ketajaman klinis ini dapat diperoleh dengan pengalaman dan pelatihan khusus pengenalan bising jantung pada anak. Tujuan. Membandingkan sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan fisis dengan pemeriksaan ekokardiografi (sebagai baku emas) dalam mendiagnosis bising inosen. Metode dan subyek penelitian. Desain penelitian adalah uji diagnostik. Populasi terjangkau pasien berusia 0 bulan–12 tahun yang berobat di Poliklinik Anak Umum RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tanggal 1 Agustus sampai 31 Oktober 2005. Populasi target adalah pasien dengan bising jantung tanpa sianosis. Baku emas ekokardiografi dilakukan pada semua pasien dengan bising jantung untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan fisis. Hasil. Sensitivitas diagnosis bising inosen berdasarkan pemeriksaan fisis oleh peneliti adalah 97% dan spesifisitas 50%. Nilai duga positif adalah 91% dan nilai duga negatif 75%. Rasio kemungkinan untuk hasil positif adalah 1,94 dan hasil negatif adalah 0,6 (hasil uji sedang). Kesimpulan. Pemeriksaan fisis oleh peneliti yang telah mendapat pelatihan khusus pengenalan bising jantung, cukup dapat dipercaya sehingga dapat menurunkan keharusan pemeriksaan ekokardiografi yang mahal. Pelatihan berkala mengenal jenis-jenis bising jantung pada anak bagi peserta Program Dokter Spesialis Anak (PPDS) 1 Ilmu Kesehatan Anak dan dokter spesialis anak sebaiknya dilakukan untuk menambah kompetensi dalam mendiagnosis bising inosen dan menghindari biaya tinggi pemeriksaan penunjang

    Ketajaman Klinis dalam Mendiagnosis Bising Inosen

    Get PDF
    Latar belakang. Bising inosen adalah bising yang tidak berhubungan dengan kelainan organik atau kelainan struktural jantung. Kepustakaan menyebutkan bising inosen ditemukan pada 50% populasi anak sehat. Bising ini tidak bersifat patologis tetapi sering disalahartikan sebagai bising organik, sehingga dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang yang mahal yang sebenarnya tidak diperlukan. Ketajaman klinis seorang dokter anak dalam mendiagnosis bising inosen sangat penting untuk mengatasi biaya tinggi dan rasa kecemasan orang tua terhadap kondisi anak. Ketajaman klinis ini dapat diperoleh dengan pengalaman dan pelatihan khusus pengenalan bising jantung pada anak. Tujuan. Membandingkan sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan fisis dengan pemeriksaan ekokardiografi (sebagai baku emas) dalam mendiagnosis bising inosen. Metode dan subyek penelitian. Desain penelitian adalah uji diagnostik. Populasi terjangkau pasien berusia 0 bulan–12 tahun yang berobat di Poliklinik Anak Umum RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tanggal 1 Agustus sampai 31 Oktober 2005. Populasi target adalah pasien dengan bising jantung tanpa sianosis. Baku emas ekokardiografi dilakukan pada semua pasien dengan bising jantung untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan fisis. Hasil. Sensitivitas diagnosis bising inosen berdasarkan pemeriksaan fisis oleh peneliti adalah 97% dan spesifisitas 50%. Nilai duga positif adalah 91% dan nilai duga negatif 75%. Rasio kemungkinan untuk hasil positif adalah 1,94 dan hasil negatif adalah 0,6 (hasil uji sedang). Kesimpulan. Pemeriksaan fisis oleh peneliti yang telah mendapat pelatihan khusus pengenalan bising jantung, cukup dapat dipercaya sehingga dapat menurunkan keharusan pemeriksaan ekokardiografi yang mahal. Pelatihan berkala mengenal jenis-jenis bising jantung pada anak bagi peserta Program Dokter Spesialis Anak (PPDS) 1 Ilmu Kesehatan Anak dan dokter spesialis anak sebaiknya dilakukan untuk menambah kompetensi dalam mendiagnosis bising inosen dan menghindari biaya tinggi pemeriksaan penunjang
    corecore