12 research outputs found

    Langkah-Langkah Al-Qur’an dalam Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Miskin

    Get PDF
    This paper explores the concern of the Qur'an in empowering the economy of the poor, who desperately need attention from all parties. He is a person who has a steady income, but that income is not sufficient for his daily needs, so the main question in this paper is how the Qur'an cares for the economic empowerment of the poor. The method used in this research is a qualitative method which refers to the books in question. The results of the research conclude that the Qur'an contains steps to empower them, so that their standard of living is equal to that of other people. There are three steps regulated by the Qur'an regarding efforts to empower the poor, namely the provision of capital through voluntary giving (infaq), compulsory giving (zakat) and through paying off kafarah from people who have transgressed Allah's laws.ABSTRAKTulisan ini mengetengahkan tentang kepedulian al-Qur’an dalam memberdayakan ekonomi orang-orang miskin, yang sangat membutuhkan perhatian dari semua pihak. Ia adalah orang yang memiliki penghasilan tetap, tetapi penghasilan itu tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari maka yang menjadi pertanyaan pokok dalam tulisan ini adalah bagaimana langkah-langkah kepedulian al-Qur’an dalam memberdayakan ekonomi orang-orang miskin. Adapun metode yang digunakan daam penelitian ini adalah metode kuaitatif yang merujuk kepada buku-buku yang ebrsangkutan. Hasil peneitian menyimpulkan bahwa al-Qur’an telah memuat langkah-langkah untuk dapat memberdayakan mereka, agar taraf hidupnya setara dengan orang-orang lain. Ada tiga langkah yang diatur al-Qur’an tentang upaya pemberdayaan orang miskin, yaitu pemberian modal melalui pemberian sukarela (infaq), pemberian wajib (zakat) dan melalui pelunasan kafarah dari orang-orang yang pernah melangkahi hukum-hukum Alla

    HISTORISITAS HADIS MAUDHU’

    Get PDF
    This paper directs the study of history, looking at the early emergence of Maudhu '' (false) and the causes and the occurrence of the false hadiths. This discussion is touched on books and books dealing with the contents of ulumul hadith as a whole, both Arabic and Indonesian, books and books as a research material for obtaining primary and accountable data. Mushthafa As-Siba'i concluded that since the period of tabi'in the hadis counterfeit attempt has begun, both in the kibaru At-tabi'in (the tabi'in which at the time of the companions have grown up), as well as during Shiqhar At-Tabi'in (Pre-tabi'in in childhood is still a kid). At the time of the At-Tabi'in kibaru the production of false tradition is still relatively small when compared to the shiqharu at-tabi'in time, with reason: 1. The big tabi'in more appreciate the authority of the Prophet compared with the small tabi'in; 2. His behavior is more eminent in the values of taqwa and religious taqwa; 3. The difference in political temperatures is not so sharp and yet extensive; 4. There are many among friends and tabi'in who emit scholarship and honesty; 5. Their delights in separating the hadith of shahih and maudhu 'is closer to the truth; 6. They are more open the good secret and straighten out something that is not good, to avoid the fake hadiths

    PEMAHAMAN HADIS SEPUTAR SHALAT TARAWIH DI KALANGAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDHATUL ULAMA

    Get PDF
    In the present and Indonesian context, especially among the largest organizations in Indonesia, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, the implementation of tarawih prayers at the two organizations obviously very different. In terms of the provisions that the tarawih prayer are acts of worship performed in the month of Ramadan, the time is after the evening prayers. Tarawih prayers can be done in congregation, and by means munfarid (alone), tarawih prayer is Sunnah muakad, Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama have a common view. In other words, some of these things there is no deviation or agreed upon by scholarly, including from the NU and Muhammadiyah. Nevertheless, on how to implement it, there are many deviation between Muhammadiyah and Nahdlatul ulama. Among NU members tarawih prayers normally done with 20 raka'at, 2 raka'at a greeting and ended with three rak'ah Witr. While among the residents of Muhammadiyah, the usual tarawih held 8 raka'at, and concludes with 3 raka'at witir. On the implementation of the closing witr prayer tarawih prayers there any deviation. Muhammadiyah among three rak'ah Witr prayer ent once greeting, and no qunut in the last half of the month of Ramadan. While NU pray witr 3 raka'at with two raka'at greeting, and one raka'at greetings, also qunut witir in the last half of the month of Ramadan. What has been practiced among the Muhammadiyah is actually different from what is described in the book of Muhammadiyah Tarjih Decision regarding the number raka'at tarawih prayers. In Decision Tarjih Muhammadiyah explained that the number raka’at plus witr tarawih prayers should not be 11 raka'at (including witir), but can be less than that, so long as the number of it raka'at is odd. Similarly to pray Witr, Tarjih institutions Muhammadiyah offers several options, not just 3 raka'at alone. ABSTRAK Dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, terutama di kalangan organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, pelaksanaan shalat tarÄwih pada kedua organisasi tersebut secara nyata sangat berbeda. Dalam hal ketentuan bahwa shalat tarÄwih adalah ibadah yang khusus dikerjakan pada bulan Ramadan, waktunya adalah setelah shalat Isya. Shalat TarÄwih bisa di-kerjakan berjamaah, maupun dengan cara munfarid (sendiri), Shalat TarÄwih hukumnya sunnah muakad, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama memiliki kesamaan pandangan. Dengan kata lain, beberapa hal tersebut tidak terdapat ikhtilaf atau disepakati oleh jumhur ulama, termasuk dari kalangan NU maupun Muhammadiyah. Namun demikian, pada cara pelaksanaannya, terjadi ikhtilaf yang banyak antara Muhammadiyah dan Nahdhatul ulama. Di kalangan warga NU shalat tarÄwih biasa dikerjakan dengan 20 raka’at, 2 raka’at sekali salam dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Sementara di kalangan warga Muhammadiyah, tarÄwih biasa dilaksanakan 8 raka’at, dan diakhiri dengan 3 raka’at witir. Pada pelaksanaan shalat witir yang menutup shalat tarÄwih pun terdapat ikhtilÄf. Kalangan Muhammadiyah elakukan shalat witir tiga raka’at sekali salam, dan tidak ada qunut pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan NU melakukan shalat witir 3 raka’at dengan dua raka’at salam, dan satu raka’at salam, juga qunut witir pada separuh terakhir bulan Ramadhan. Apa yang sudah dipraktekkan di kalangan Muhammadiyah tersebut sebenarnya berbeda dengan apa yang diterangkan dalam kitab Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai jumlah raka’at shalat tarÄwih. Dalam Putusan Tarjih Muhammadiyah diterangkan bahwa jumlah rakakat shalat tarÄwih plus witir tidak harus 11 raka’at (sudah termasuk witir), tetapi bisa kurang dari itu, asalkan jumlah raka’atnya ganjil. Demikian pula untuk shalat witir, Tarjih lembaga Muhammadiyah memberikan beberapa pilihan, tidak hanya 3 raka’at saja

    KONSEP PERDAMAIAN DAN KEADILAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

    Get PDF
    Memahami isi kandungan al–qur’an tidaklah mudah, melainkan memerlukan kepada rumus-rumus dan qaedah-qaedah yang baku, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa arab, ilmu mu’ani, dan seperangkat ilmu lainnya, sehingga menafsirkan ayat-ayat al-qur’an tidak lari dari sasaran utamanya, kadang-kadang Tuhan menggunakan lafazh-lafazh yang sangat simpel tetapi memiliki makna yang sangat luas, bahkan dapat dipahami secara ganda terhadap lafazh musytarak atau lafazh mutlak yang membutuhkan kepada taqyid atau lafazh ‘am memerlukan kepada khas dan sebagainya. Sehingga para mufassir dapat membandigkan penafsirannya baik secara tekstual atau kontekstual, tentunya dipengaruhi oleh kondisi dan situasi

    Berjabat Tangan Dengan Linto Baroe Dan Dara Baroe Dalam Pesta Perkawinan Menurut Ulama Dayah

    Get PDF
    There are problems related to shaking hands during weddings in Suka Makmue District, Nagan Raya Regency, carried out by people who deviate from the Qur'an, Hadith and cleric opinions, namely people think shaking hands at weddings with linto baroe and dara baroe is something polite and civilized. Even though the scholars agree that shaking hands with non-mahrams is haram. The problems to be investigated in this study are first, how to shake hands between guests and brides linto baroe and dara baroe which was carried out in Suka Makmue sub-district, Nagan Raya district, secondly, how are the views of dayah scholars on the practice of shaking hands between guests with linto baroe and dara baroe at wedding party. This research uses a case study approach, which produces descriptive data in the form of written or spoken words from the people observed. Field research includes interviews and documentation obtained from the community and cleric in Suka Makmue sub-district. From the results of the study, the procession of shaking hands with guests has two processes, namely, firstly, the linto or dara baroe meets the guest to shake hands and the second the guest shakes hands with the bride and groom when the intat linto/dara baroe process is completed by approaching the bride and groom while giving gifts. The results of the study second, the fourth view of the dayah scholars regarding shaking hands with non-mahram guests has several opinions where the legal issue of shaking hands with non-mahram directly is haram, except for small children or the elderly who do not have the potential to cause negative effects (desire and lust). slander). The law of shaking hands between the opposite sex and non-mahram by using gloves or a legal cover (permissible) as long as it does not have the potential to cause lust and slander

    Keengganan Pasangan Suami Istri Dalam Melakukan Itsbat Nikah (Studi Kasus Di Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya)

    Get PDF
    itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut Syariat Islam akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau Pegawai Pencatatan Nikah. Berdasarkan keterangan responden dalam sebuah penelitian yang dilakukan sebuah program kerja sama Pemerintah Australia dan Indonesia, khususnya di Aceh, yaitu Local Governace Innovation For Communities in Aceh (LOGICA2) membeberkan data bahwa 1.064 pasangan suami istri di Pidie Jaya yang tersebar di 6 kecamatan dan 72 desa dampingan yang tidak memiliki akta nikah. Hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa kategori paling banyak adalah mereka yang menikah pada saat Aceh dilanda konflik bersenjata. Di Mahkamah Syar’iyah Meuredu sepanjang tahun 2015 dan 2016 terdapat 211 perkara itsbat nikah yang diterima, sedangkan dalam penelitian LOGICA2 ada 1064 pasangan yang tidak mengajukan itsbat nikah, maka dari itu masih terdapat 853 pasangan yang belum mengajukan itsbat nikah. Maka dari itu peneliti ingin meneliti dengan mengangkat judul “Keengganan Pasangan Suami Istri Dalam Melakukan Itsbat Nikah”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor dan hambatan-hambatan apasaja yang membuat para pasangan enggan melakukan itsbat nikah. Metode pengumpulan data dengan penelitian lapangan (Field Research), yang dilakukan dengan observasi, wawancara dan tela’ah dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyaknya pasangan yang menikah dengan dinikahkan oleh Teungku Gampong pada saat Aceh di landa konflik bersenjata namun Teungku tersebut tidak memasukkan data pernikahan mereka ke KUA sehingga mereka mengaku kesulitan untuk mengurus itsbat nikah dikarenakan Teungku tersebut telah meninggal dunia  padahal dalam prosesi sidang itsbat nikah hakim meminta pemohon menghadirkan saksi-saksi yaitu orang-orang yang mengetahui pernikahan pemohon bisa diantaranya wali nikah, saksi dan orang-orang terdekat yang mengetahui pernikahan pemohon. Disini kita dapat melihat bahwa masih adanya sebagian masyarakat yang masih awam terhadap suatu hukum, faktor keengganan pasangan lainnya juga disebabkan karena jarak yang jauh, merasa malu dan khawatir akan biayanya. Itsbat Marriage is the ratification of the marriage that has been held according to Islamic sharia but is not recorded by the KUA or the marriage registration officer. Based on the information of respondents in a study conducted by a program of the Australian and Indonesian governments, especially in Aceh, the Local Governance Innovation For Communities in Aceh (LOGICA2) released data that 1,064 married couples in Pidie Jaya in 6 sub-districts and 72 villages assistance by who do not have a marriage deed. The results of the study also showed that most categories were those who were married at the time when Aceh was hit by armed conflicts. In the court of Shar'iyah Meuredu throughout the years 2015 and 2016 there are 211 cases of marriage is accepted, while in research LOGICA2 there are 1064 couples who do not ask for marriage, therefore there are still 853 couples who have not submitted an itsbat marriage. Therefore, researchers want to research by raising the title "The reluctance of married couples in doing Itsbat marriage". This research aims to know and explain the factors and obstacles that make the spouses reluctant to do the marriage itsbat. Method of data collection with field research, which is done by observation, interviews and Tela'ah documentation. The results showed that many couples married by Teungku Gampong at the time of Aceh in armed conflict but the Teungku did not enter their marriage data to the KUA so they claimed difficulties to take care of the marriage Itsbat because the Teungku has died when in the procession of the session of marriage and the judges ask the applicant to present the witnesses, namely people who know the marriage applicant can include a marriage, witnesses and The closest people who know the applicant's marriage. Here we can see that there is still a part of society that is still public against a law, the factor of the reluctance of other couples is also due to the long-distance, feel embarrassed and worried about the cost

    Pembatasan Jumlah Mahar Melalui Keputusan Musyawarah Adat Kluet Timur

    Get PDF
    Mahar merupakan pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai bentuk dari aplikasi perintah syar’i. Ketentuan pemberian mahar dalam Islam tidak ditentukan jumlah dan bentuknya. Namun, hal ini berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh masyarakat kecamatan Kluet Timur yang menetapkan standar mahar. Penelitian ini membahas aspek yang melatarbelakangi pembatasan jumlah mahar yang ditetapkan oleh masyarakat adat kecamatan Kluet Timur dan tinjauan fiqh terhadap praktek pembatasan jumlah mahar yang telah ditetapkan masyarakat adat kecamatan Kluet Timur. Artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara, dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang melatarbelakangi pembatasan mahar tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor agama, ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun pandangan fikih terhadap pembatasan mahar tersebut ialah jika pembatasan pemberian mahar tersebut atas dasar paksaan, dibujuk atau tipu muslihat maka hukumnya tidak boleh diterima, karena telah mendzalimi calon suami, begitu pula sebaliknya

    Sosiologi Agama II : agama dan mobilitas sosial

    No full text
    Buku ini membahas tentang mobilitas agama dan sosial dalam sejarah berbagai agamaiv, 142 hlm.; 21 c

    Sosiologi Agama II : agama dan mobilitas sosial

    No full text
    Buku ini membahas tentang mobilitas agama dan sosial dalam sejarah berbagai agamaiv, 142 hlm.; 21 c
    corecore