5 research outputs found
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN OBAT DI KOTA JAMBI (STUDI KASUS DI BPOM PROVINSI JAMBI)
Skripsi ini bertujuan untuk mengungkap Pencegahan Tindak Pidana Pemalsuan Obat di Kota Jambi (Studi Kasus di BPOM Jambi). Sebagai tujuan untuk mengetahui peran dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Jambi dalam mencegah peredaran obat-obatan dan sanksi bagi pelaku terhadap pelanggaran obat-obatan tersebut. Skripsi menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil dan kesimpulan sebagai berikut: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Jambi adalah sebuah lembaga non departemen yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di kota Jambi. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 yang kemudian diubah dengan kepres No. 103/2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, struktur organisasi, dan data kerja lembaga Pemerintahan Non Depertement (LPND) yang bertanggungjawab kepada presiden dan dikoordinasikan mentri kesehatan. Upaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait pencegahan tindak pidana pemalsuan obat di kota Jambi sangat urgensi, sesuai tugas dan fungsinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam melakukan pencegahan terjadinya pemalsuan obat di kota Jambi sebagai berikut: Pihak BPOM agar dapat memberikan peringatan secara tertulis kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran, larangan memproduksi dan penarikan produk dari pasaran, pemusnahan produk dan diberikan sanksi pidana berupa denda atau penjara bahkan pencabutan izin produksi
Sultans’ Palaces and Museums in Indonesian Borneo : National Policies, Political Decentralization, Cultural Depatrimonization, Identity Relocalization, 1950-2010
In the context of Indonesia’s nation-building policies of the 1950s, the centralized state abolished the archipelago’s sultanates, large and small, which had been granted special political status by treaties with the Dutch colonial administration. In Kalimantan (Borneo), as elsewhere in the country, sultans’ palaces became property of the state, which after 1970 turned some of them into museums. These second-generation museums housed permanent exhibits of a national and educational nature, along with others of local historical and cultural significance. Decentralization policies implemented after to the fall of President Soeharto in 1998 devolved much political and economic autonomy to the regions, and a number of offspring of sultans managed to reinstate themselves to the throne of their forebears, and now claim the reversion of their property and endeavor to restore their focal position in the regions’ bubblier, more localized cultural and political life. The last decade witnessed the advent of a third generation of museums, initiated by various local stake holders and/or run by regional governments.La politique de construction nationale de l’état centralisé indonésien, dans la décennie 1950, le conduisit à abolir les sultanats de l’archipel, qui avaient bénéficié sous l’administration coloniale néerlandaise d’un statut spécial négocié par traité. À Kalimantan (Bornéo), comme ailleurs dans le pays, les palais des sultans furent appropriés par l’état qui, après 1970, en transforma certains en musées. Ces musées de seconde génération exposaient des collections à teneur nationale et éducative et d’autres plus centrées sur l’histoire et les cultures locales. Après le retrait du président Soeharto en 1998, les lois de décentralisation accordèrent une large autonomie politique et économique aux régions. Dans de nombreuses régions, des descendants de sultans parvinrent à récupérer le trône de leur lignée et, aujourd’hui, demandent la restitution de leurs biens et tentent de se repositionner au cœur de la vie culturelle et politique, désormais plus intense et plus localisée, de leur région. La dernière décennie a vu l’apparition d’une troisième génération de musées, à l’initiative de diverses parties prenantes locales et/ou sous la gestion de l’administration régionale
Pra seminar penelitian Sriwijaya
Penerbitan ini merupakan hasil Pra Seminar Penelitian Sriwijaya yang telah berlangsung di Jakarta pada tanggal 7 dan 8 Desember 1978. Pra Seminar ini diselenggarakan untuk mempersiapkan bahan yang akan diajukan dalam "SPAF A (Seameo Project in Archaeology and Fine Arts) Workshop on Sriwijaya" yang akan diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret 1979. Pendapat-pendapat selama Pra Seminar Penelitian Sriwi1aya ini akan dituangkan dalam kertas kerja delegasi Indonesia dalam forum tersebut