99,494 research outputs found
PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH KABUPATEN KLATEN
1 januari tahun 2001 merupakan awal diberlakukannya kebijakan Otonomi daerah, pemberian otonomi yang luas membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk itu setiap daerah dituntut agar dapat membiayai daerahnya sendiri melalui sumber-sumber keuangan yang dimilikinya. Kemampuan daerah dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah yang dimilikinya sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah tersebut.
Skripsi ini bertujuan untuk membandingkan kinerja keuangan daerah pada sebelum dengan sesudah kebijakan otonomi daerah di berlakukan di Kabupaten Klaten. Analisa yang di gunakan adalah analisa kualitatif, yaitu analisa yang sifatnya menjelaskan secara uraian atau dalam bentuk kalimat-kalimat dan analisa kuantitatif, yaitu analisa dengan menggunakan rumus-rumus dan analisa pasti. Analisa kuantitatif yang digunakan meliputi analisa derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), kebutuhan fiskal (fiscal need), kapasitas fiskal (fiscal capacity), dan upaya fiskal (fiskal effort). Hasil dari penelitian ini adalah bahwa di Kabupaten Klaten : Derajat Desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) yang ditinjau dari persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) menunjukkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah lebih tinggi dari pada sesudah otonomi daerah. Sedangkan di lihat dari uji t mununjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi derah. Kebutuhan fiskal (fiscal need) sebelum otonomi daerah lebih rendah dari pada sesudah otonomi daerah diberlakukan. Dilihat dari uji t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kebutuhan fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah. Kapasitas fiskal (fiscal capacity) sebelum kebijakan otonomi daerah lebih rendah dari pada sesudah kebijakan otonomi dearah diberlakukan. Dilihat dari uji t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kapasitas fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dan, upaya fiskal (fiskal effort) pada masa setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan lebih baik dari pada sebelum otonomi daerah. Dilihat dari uji t menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara upaya fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Key word :
Otonomi daerah, Derajat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah), Kebutuhan fiskal (fiscal need), Kapasitas fiskal (fiscal capacity), Upaya fiskal (fiskal effort)
Kedudukan Daerah K¬husus Provinsi Papua dan Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan yang menggunakan konsep desentralisasi. Desentralisasi diwujudkan dalam bentuk otonom daerah. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Praktek otonomi daerah dalam negara kesatuan tidak selalu sama, karena dipraktekkan juga otonomi daerah yang asymmetric. Salah satu bentuk otonomi daerah yang asymmetric adalah otonomi khusus. Salah satu daerah yang berstatus otonomi khusus adalah Provinsi Papua dan Papua Barat. Karenanya dalam melaksanakan otonomi daerah, Provinsi Papua dan Papua Barat mempunyai kekhususan dalam melaksanakan kewenangan yang dimiliki. Namun demikian, pelaksanaan kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pengaruh Penempatan dan Pengembangan Pegawai terhadap Kinerja Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
Tujuan penelitian ini antara lain membahas pengaruh Penempatan Pegawai terhadap kinerja Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, pengaruh pengembangan Pegawai terhadap kinerja Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, pengaruh penempatan dan pengembangan pegawai secara bersama-sama terhadap kinerja Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Sampel Penelitian sebanyak 81 responden yang ditentukan dengan menggunakan rumus slovin. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan, teknik kuesioner penelitian dan observasi. Pengolahan data primer menggunakan metode analisis kuantitatif. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut Terdapat pengaruh penempatan pegawai terhadap kinerja direktorat jenderal otonomi daerah. Terdapat pengaruh pengembangan pegawai terhadap Kinerja Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Terdapat pengaruh Penempatan dan Pengembangan Pegawai secara bersama-sama terhadap Kinerja Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri
Problematika Otonomi Daerah dalam Perkembangan Pemerintahan Daerah
Otonomi daerah di Indonesia telah ada sejak tahun 1903 yang terbagi ke dalam 3 (tiga) masa yakni masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan masa Indonesia merdeka. Dalam kurun waktu itu, perubahan situasi politik telah mewarnai perubahan prinsip pemberian otonomi kepada daerah. Dari sejak ada sampai sekarang, otonomi daerah di Indonesia mengalami perubahan mengikuti irama, tarik-menarik kewenangan Pusat-Daerah.“Otonomi daerah kadang membesar dan kadang mengecil. Itulah pasang surut otonomi daerah yang telah dan mungkin akan terus berlangsung di NKRI. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas otonomi daerah ini diatur dalam UU 23/2014, diterangkan bahwa ada penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan tiga asas. Adapun 3 asas otonomi daerah adalah asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.â
Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah
Otonomi daerah sesudah lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998 yang seiring dengan berhembusnya angin reformasi, diselenggarakan dengan mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini otonomi daerah ditempatkan secara utuh di Kabupaten/ Kota atas dasar otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, dan pada daerah otonom provinsi diselenggarakan atas dasar otonomi terbatas. Saat ini acuan yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang merupakan pengganti dari UU No.22 tahun 1999. epanjang sejarah penyeleng-garaan pemerintahan di Indonesia, otonomi daerah selalu menjadi masalah sentral yang diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Ada era yang ditandai dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya dan ada era lain yang mencatumkan pemberian otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, namun dengan kecenderungan yang lebih mengarah pada pergeseran kuat menuju pengutamaan dekonsentrasi
ANALISIS PENGARUH SEKTOR INDUSTRI KECIL, INDUSTRI MENENGAH DAN INDUSTRI BESAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA SURABAYA TAHUN 2014-2018
Hero Maulana Ananda Putra 2021, 201410180311132, Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Program Studi Ekonomi Pembangunan, ANALISIS PENGARUH SEKTOR INDUSTRI KECIL, INDUSTRI MENENGAH DAN INDUSTRI BESAR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA SURABAYA TAHUN 2014-2018
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu indikator dari
kemandirian otonomi daerah dalam menggali potensi untuk meningkatkan
sumber-sumber penerimaan dan besarnya kontribusi pengeluaran pemerintah
daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah seharusnya sebagai sebuah peluang yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong perekonomian daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang semakin besar, maka semakin mandiri daerah tersebut dalam mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan.
Kabupaten maupun kota di Indonesia memiliki kewenangan yang lebih luas untuk membangun daerahnya sendiri setelah diberlakukannya otonomi daerah. Otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana keberadaan pemerintahan daerah mempunyai hak penuh untuk kewenangan dan kewajiban mengatur daerahnya sendiri secara mandiri, termasuk keuangan daerahnya sendiri yang diatur oleh Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kewenangan otonomi yang luas mewajibkan pemerintah daerah meningkatkan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata dan berkesinambungan (Halim, 2016).
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Nilai Produksi Industri Kecil berpengaruh positif signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada PDRB Industri, khususnya nilai produksi industri kecil akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.
2. Nilai Produksi Industri Menengah berpengaruh positif signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada PDRB Industri, khususnya nilai produksi industri menegah akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.
3. Nilai Produksi Industri Besar berpengaruh positif signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada PDRB Industri, khususnya nilai produksi industri besar akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya
Korelasi Otonomi Desa dalam Proses Globalisasi
Pengaturan otonomi desa dalam Undang—Undang Nomor 6 Tahun 2014 diantaranya untuk merespon proses globalisasi. Tulisan ini mendiskusikan korelasi antara implementasi otonomi desa yang memberi peluang pembangunan desa lebih berdaya dan mandiri dengan pengaruh globalisasi yang sudah menyentuh kehidupan masyarakat desa. Pengaruh proses globalisasi terhadap implementasi otonomi desa dapat dibedakan menjadi dua paradigma yakni positif dan negatif. Dalam perspektif positif, otonomi desa merespon globalisasi dengan mengafirmasi berbagai strategi global dalam upaya membangun dan mengembangkan ekonomi di desa. Sedangkan dalam pengertian negatif, otonomi desa telah termarjinalkan dan tertekan dalam system kapitalis dan mekanisme pasar yang menggurita
Pelaksanaan Kewenangan Gubernur dalam Konsep Otonomi Khusus Papua
Sebagai daerah yang diberikan kewenangan otonomi khusus, provinsi papua memiliki sejumlah kewenangan yang berbeda dari daerah-daerah otonomi pada umumnya di indonesia, berikut mengenai struktur pemerintahan daerahnya. Gubernur provinsi papua sebagai kepala daerah sekaligus kepala pemerintahan berkedudukan sebagai wakil pemerintah di papua, memiliki sejumlah kewenangan namun kewenangan tersebut tidak mencirikan sistem pemerintahan daerah sesuai dengan konsep otonomi khusus sebagai perwujudan desentralisasi asimteris (asymetrical decentralization) tetapi cenderung mewujudkan administrasi pemerintahan daerah dalam Undang-Undang pemerintahan Daerah. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa esensi konsep desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan daerah berbasis otonomi khusus di papua, serta bagaimana kewenangan pemerintah provinsi papua dalam otonomi khusus papua. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif, dengan pendekatan teori hukum dan perundang-undangan (statuta approach). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan kewenangan gubernur dalam kerangka otonomi khusus papua masih dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang pemerintahan Daerah. Dampak dari pelaksanaan kewenangan tersebut menghasilkan posisi subordinatif atau ataupun kewenangan yang sumir antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan otonomi khusus papua
Kesiapan Implementasi Otonomi Daerah di Municipio Liquica Timor-Leste
Penelitan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi otonomi daerah di Municipio Liquica Timor-Leste, serta untuk mengetahui factor-faktor yang turut mempengaruhi implementasi otonomi daerah di Municipio Liquica Timor-Leste. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik triangulasi. Lokasi penelitian dilaksanakan di Municipio Liquica Timor-Leste. Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu Municipio yang secara demografis berbatasan langsung dengan Posto Administrativo (Kecamatan) Atabae Municipio Bobonaro. Kesiapan implementasi otonomi daerah dari sisi sumber daya yakni menyangkut sarana dan prasarana yang ada di Municipio Liquica ini sudah siap untuk menerima otonomi daerah itu sendiri. Faktor dan upaya yang menghambat pelaksanaan implementasi otonomi daerah di Municipio Liquica yaitu: (a) Masih terbatasnya pengetahuan dan kemampuan dalam menggunakan empat bahasa yang ada, di mana tidak semua aparat Municipio menguasai empat bahasa tersebut. (b) Terbatasnya anggaran pelaksanaan implementasi otonomi daerah di Municipio Liquica. (c) Masih terbatasnya tenaga operasional implementasi otonomi daerah di Municipio Liquica
- …