Martin van Bruinessen, "NU: Jamaah konservatif yang melahirkan
gerakan progresif",
Kata pengantar pada: Laode Ida, NU Muda: Kaum progresif dan
sekularisme baru. Jakarta: Erlangga, 2004, hal. xii-xvii.
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan
di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia.
Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering
menjadi bahan kajian akademis ialah proses ‘kembali ke khitthah
1926’: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali
menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan
kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas
berafiliasi dengan partai politik mana pun (maksudnya dengan
Golkar) dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU
tidak lagi ‘dicurigai’ oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya
– pertemuan, seminar, ... – tidak lagi dilarang dan malah sering
‘difasilitasi’. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum
penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai
sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi
dengan penguasa
Is data on this page outdated, violates copyrights or anything else? Report the problem now and we will take corresponding actions after reviewing your request.