AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah
Not a member yet
200 research outputs found
Sort by
Woman and Fatwa: an Analytical Study of MUI’s Fatwa on Women’s Health and Beauty
This study examines the fatwas on women’s health and beauty issued by the Indonesian Ulema Council (MUI), explicitly investigating the influence of particular madhhab on these fatwas. This influence will be evaluated in MUI’s fatwas on women’s health and beauty, including fatwas on menstrual suppression pills, abortion, female circumcision, plastic surgery, and botox injections for beauty and care. The doctrinal approach of legal research is applied to analyze the use of Islamic legal sources and arguments. This study shows that although the majority of Indonesian Muslims follow the Shafi’i school, MUI does not solely adhere to the Shafi’i school in formulating its fatwas. Instead, MUI also employs approaches from other madhhab, such as Hanafi, Maliki, and Hanbali. As various MUI’s fatwas have provided broad guidelines for the community, fatwas on women significantly influence the legal basis for government policies. Abstrak: Kajian ini mengkaji fatwa-fatwa kesehatan dan kecantikan perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta secara eksplisit menyelidiki pengaruh mazhab tertentu terhadap fatwa-fatwa tersebut. Fatwa MUI yang dikaji menyangkut tentang kesehatan dan kecantikan perempuan, termasuk fatwa tentang pil penekan menstruasi, aborsi, sunat perempuan, operasi plastik, dan suntik botox untuk kecantikan dan perawatan. Pendekatan penelitian hukum doktrinal diterapkan untuk menganalisis penggunaan sumber dan argumentasi hukum Islam. Kajian ini menunjukkan bahwa meskipun mayoritas umat Islam di Indonesia menganut mazhab Syafi’i, namun MUI tidak semata-mata menganut mazhab Syafi’i dalam merumuskan fatwa-fatwanya. Sebaliknya, MUI juga menggunakan pendekatan dari mazhab lain, seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Karena fatwa-fatwa MUI tersebut memberikan pedoman yang luas bagi masyarakat, maka fatwa tentang perempuan sangat mempengaruhi dasar hukum kebijakan pemerintah
Authority, Culture, and Sexuality in the Polygamy of Madurese Ulamas
Generally, polygamy among Madurese Ulama is carried out arbitrarily and secretly, resulting in suffering and significant discrimination against women. However, in specific instances, certain Madurese Ulama exhibit unique behaviors in constructing polygamous families, fostering comfort and harmony within their households. This research investigates the practice of polygamy among the ulama of Madurese and the influencing factors behind such practices. Employing a qualitative method, primary data sources comprise three polygamous families led by Madurese Ulama, each demonstrating distinctiveness in managing their polygamous households. The findings of this study conclude the existence of two models of polygamy practiced by Madurese Ulama, including polygamy initiated by the husband's desire with consent from the wives and initiated by the wives with consent from the husband. The practice of polygamy among Madurese Ulama is influenced by factors such as sexual needs, the authority held by these Ulama, and the devout religious culture of Madurese society, which tends to venerate Madurese Ulama excessively. Abstrak: Pada umumnya poligami ulama Madura dilakukan secara sewenang-wenang dan siri (tidak dicatat oleh negara), yang mendatangkan penderitaaan dan diskriminasi yang sangat merugikan perempuan. Sebaliknya dalam fenomena tertentu, terdapat ulama Madura yang memiliki perilaku unik dalam membangun keluarga poligami sehingga mendatangkan kenyamanan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Penelitian ini menelaah praktik poligami yang dilakukan oleh ulama Madura dan faktor yang mempengaruhi poligami tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primernya adalah tiga keluarga ulama Madura yang memiliki keunikan dalam membagun rumah tangga poligamis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat dua model poligami yang dilakukan oleh ulama Madura, yaitu poligami yang dilakukan atas kehendak suami dengan persetujuan para istri dan poligami yang dilakukan atas inisiatif para istri dengan mendapatkan persetujuan suami. Poligami ulama Madura dipengaruhi oleh faktor kebutuhan seksual dan otoritas ulama Madura, serta budaya hidup masyarakat Madura yang taat beragama dan cenderung berlebihan dalam mengkultus ulamanya.
Contemporary Fiqh in Indonesia: The Dynamics of Istinbat al-Aḥkām at Ma'had Aly Salafiyah Shafi'iyah Sukorejo Situbondo
Fatwas have so far been issued by religious institutions in Indonesia. Not many Islamic educational institutions based in pesantren perform istinbath al-ahkam in response to contemporary issues. Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo in East Java (Ma'had Aly Situbondo) is one of the Islamic educational institutions within the pesantren environment contributing to the formulation of fatwas. This research examines the istinbāṭ al-ahkām conducted by Ma'had Aly Situbondo using a field research method involving interviews with students and lecturers of Ma'had Aly Situbondo, as well as studying documents from the Tanwirul Afkar bulletin from 2020-2021. The bulletin contains a collection of findings from the Istinbāṭ al-Ahkām Ma'had Aly Situbondo addressing contemporary legal issues. The research findings explain that istinbāṭ al-ahkām at Ma'had Aly Situbondo uses qauli and manhaji approaches. The qauli approach combines texts from fiqh books with texts from the Qur'an and Hadith. In contrast, the manhaji approach involves exploring the principles of fiqh and usul al-fiqh (manhajiy school) based on public interest considerations. Abstrak: Fatwa selama ini disusun oleh lembaga keagamaan di Indonesia. Tidak banyak lembaga pendidikan Islam yang berbasis pada pesantren melakukan istinbāṭ al-aḥkām dalam merespons persoalan-persoalan kontemporer. Ma’had Aly Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur (Ma’had Aly Situbondo) merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di lingkungan pesantren yang berkontribusi pada penyusunan fatwa. Penelitian ini mengkaji istinbāṭ al-aḥkām yang dilakukan Ma’had Aly Situbondo dengan menggunakan metode field research yang digali dari wawancara kepada mahasiswa dan dosen Ma’had Aly Situbondo serta studi dokumen yang bersumber dari buletin Tanwirul Afkar tahun 2020-2021. Buletin tersebut berisi kumpulan hasil istinbāṭ al-aḥkām Ma’had Aly Situbondo dalam merespons problematika hukum kontemporer. Temuan penelitian menjelaskan bahwa istinbāṭ al-ahkām Ma’had Aly Situbondo dilakukan dengan pendekatan qawlī dan pendekatan manhajī. Pendekatan qawlī dilakukan dengan memadukan antara teks yang terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan teks al-Qur’an dan hadis, sedangkan pendekatan manhajī dilakukan dengan menelusuri kaidah fikih dan ushul fikih yang berbasis pada kemaslahatan
The Progressiveness of Sharia Economic Fatwas: Direction of Islamic Legal Thoughts within NU and Muhammadiyah
This research aims to analyze the Islamic legal thoughts of Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah concerning Islamic economics in Indonesia. The research is based on fatwa documents from Lembaga Bahtsul Masail NU and Majelis Tarjih Muhammadiyah from 2000 to 2019. This study found that the method of ijtihād used by NU has shifted from a textual-conservative (qawlī) approach to a contextual-progressive and methodological (manhajī) approach. Meanwhile, the method of ijtihād used by Muhammadiyah is characterized as progressive-dynamic, employing three approaches: bayani, taḥlīlī, and istiṣlāḥī. The decisions of LBM NU in Islamic economics predominantly use the qawlī method, followed by the ilḥaqī method, and subsequently, the manhajī method. The qawlī method is most frequently used because it adheres to the procedural stages of NU's traditionalist pattern, where every legal issue is ideally referenced to authoritative madhhab books. If the issue cannot be resolved using the qawlī method, the ilḥāqī and manhajī methods are employed. This indicates that the manhajī method is used when the qawlī and ilḥaqī methods cannot provide a legal answer. On the other hand, Muhammadiyah's MT method in Islamic economics has evolved. Initially, the tarjīḥ methodology was monodisciplinary, referring issues back to the Quran and the Sunnah. Subsequently, the tarjīḥ methodology became monodisciplinary-pretextual by employing various methods. Eventually, the tarjīḥ methodology became multidisciplinary regarding methods, approaches, and techniques. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemikiran hukum Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tentang ekonomi Islam Indonesia. Penelitian ini bersumber dari dokumen fatwa-fatwa Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU dan Mejelis Tarjih (MT) Muhammadiyah selama periode 2000-2019. Studi ini menemukan bahwa metode ijtihad NU mengalami pergeseran yang awalnya bersifat tekstual-konservatif (qawlī) berubah menjadi kontekstual-progresif dan metodologis (manhajī). Sementara itu, metode ijtihad MT Muhammadiyah bersifat progresif-dinamis dengan tiga pendekatan; bayānī, taḥlilī, dan istiṣlāḥī. Keputusan LBM NU dalam ekonomi Islam lebih banyak menggunakan metode qawlī, disusul oleh metode ilḥāqī, dan selanjutnya metode manhajī. Metode qawlī paling sering digunakan karena mengacu pada tahapan prosedur pola bermazhab NU, dimana setiap persoalan hukum sedapat mungkin merujuk pada kitab-kitab otoritatif mazhab. Jika tidak dapat diselesaikan dengan metode qawlī, maka digunakan metode ilḥāq dan metode manhajī. Ini artinya, metode manhajī digunakan dalam kondisi metode qawlī dan ilḥāq sudah tidak mampu memberikan jawaban hukum. Di sisi lain, metode MT Muhammadiyah dalam ekonomi Islam mengalami evolusi. Pada awalnya, manhaj tarjih bersifat monodisiplin dengan mengembalikan persoalan-persoalan umat kepada al-Quran dan al-Sunnah. Manhaj al-tarjīḥ bersifat monodisiplin-pratekstual dengan menggunakan sejumlah metode. Kemudian, manhaj al-tarjīḥ menjadi multidisiplin baik dari aspek metode, pendekatan, dan teknik
Talfīq as A Method for Legal Solutions in Contemporary Islamic Law
Talfīq, or the combination of various opinions of jurisprudence madhhab, is frequently used to arrive at solutions in Islamic law. It was used extensively in the tajdīd era, the early 20th century AD, namely through the Islamic law reforms in family and personal matters in most Muslim countries. The concept is controversial and not universally accepted by ulama. Most classical ulama opposed it, although most contemporary ulama believe that talfīq is acceptable as a method for legal solutions. This research investigated the reasons or factors for this disagreement by analyzing the related views of such ulama. The qualitative research used a literature review from classical and contemporary books about talfīq. This research concluded that although the classical ulama appeared to be grounded firmly in their opposition to the practice of talfīq, subsequent development of Islamic law showed practical consideration made inroads in accepting talfīq as a method for legal solution. This acceptance is made by putting conditions and controls on how and when talfīq can be used to solve modern Muslim legal problems. This modification ensures the traditionalists that the danger of talfīq, as previously envisaged, would be avoided Abstrak: Talfīq atau gabungan berbagai pendapat mazhab fikih merupakan metode yang sering digunakan untuk mencari solusi dalam hukum Islam. Hal ini digunakan secara luas pada zaman tajdīd, yaitu awal abad XX Masehi, melalui reformasi hukum Islam dalam masalah hukum privat dan keluarga di sebagian besar negara Muslim. Konsepnya kontroversial dan tidak disetujui secara universal oleh para sarjana. Mayoritas ulama Islam klasik telah menentangnya meskipun sebagian besar ulama kontemporer berpandangan bahwa talfīq dapat diterima sebagai metode penyelesaian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki alasan atau faktor ketidaksepakatan ini dengan melihat sampel dari pandangan terkait dari para ulama tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan tinjauan pustaka. Data diperoleh dari buku-buku klasik dan kontemporer yang menulis tentang talfīq. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun para ulama klasik pada mulanya tampak berpijak kuat pada penentangan mereka terhadap praktik talfīq, perkembangan hukum Islam selanjutnya menunjukkan pertimbangan praktis yang membuat terobosan dalam menerima talfīq sebagai metode penyelesaian hukum. Penerimaan ini dilakukan dengan meletakkan kondisi dan kontrol tentang bagaimana dan kapan talfīq dapat digunakan dalam memberikan solusi atas masalah hukum Islam modern. Modifikasi ini memastikan kaum tradisionalis menghindari bahaya talfīq seperti yang dibayangkan sebelumnya.
The Debate Between Religious and Minangkabau Traditional Figures About Pagang Gadai (Pawn) Land in Agam Regency, West Sumatra, Indonesia
This research aims to analyze the debate between religious and traditional figures over pagang gadai land in Agam Regency, West Sumatra, Indonesia. This research is essential for religious figures to consider the practice of pawning that the community has carried out to be usury. It employed qualitative methods with a case research approach and used the maṣlaḥah mursalah theory to analyze the data. The primary data were obtained from informants, including religious leaders and members of the Indonesian Ulama Council (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), and Muhammadiyah, as well as traditional figures comprising Kerapatan Adat Nagari (KAN) members. Some relevant books, literature, and journal articles were studied as secondary data. The study shows that the practice of pagang gadai is considered usury to religious figures but not traditional ones. Traditional figures view the practice of pagang gadai as belonging to bay’ al-wafā’, as it is a form of mutual assistance (ta’āwun) devoid of injustice but benefits both parties. The opinion of traditional figures on mutual assistance, based on the concept of benefit, is consistent with the maṣlaḥah mursalah theory that pagang gadai is valuable to society. Abstrak: Tujuan penelitian menganalisis perdebatan tokoh agama dan tokoh adat terkait pagang gadai tanah di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Indonesia. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena praktek gadai yang selama ini dilakukan oleh masyarakat dianggap oleh para tokoh agama sebagai riba. Jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan teori maṣlaḥah mursalah digunakan untuk menganalisis data. Data primer diperoleh dari informan, yakni tokoh agama yang terdiri dari pimpinan dan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, serta tokoh adat yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN) sedangkan literatur buku dan artikel jurnal relevan dijadikan sumber sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik pagang gadai dianggap riba oleh tokoh agama, namun tidak bagi tokoh adat. Tokoh adat memandang praktik pagang gadai termasuk dalam bay’ al-wafā’, karena merupakan bentuk gotong royong (ta’āwun) yang tidak mengandung unsur zalim namun menguntungkan kedua pihak yang mengambil manfaat darinya. Pendapat tokoh adat yang menitikberatkan pada konsep kemaslahatan, yakni tolong-menolong sejalan dengan teori maṣlaḥah mursalah bahwa pagang gadai dapat mewujudkan kemaslahatan di masyarakat
Pengulu Uten’s Forest Management in Central Aceh: A Perspective of Fiqh al-Bi'ah
Indonesia's legislation stipulates that forest management involves the active participation of indigenous communities, manifested in the form of pengulu uten in Central Aceh. However, it is essential to examine the degree to which the forest management model implemented by pengulu uten aligns with the principles of fiqh al-bī’ah in Islamic law. This study employs an empirical juridical approach with a qualitative methodology. The data was obtained through a literature review, focus group discussions, and interviews with reje kampung, pengulu uten, and other relevant stakeholders. The findings indicate that pengulu uten plays a significant role in forest management and supervision. They engage in community fostering, counseling, and socialization activities about protected forests, production forests, customary forests, and the utilization of forest resources. The existence of pengulu uten emerged long ago as customary institutions in forest management (in other Aceh regions called Pawang Glee), so in Aceh, their existence is strengthened in the Qanun of Central Aceh Regency No. 10/2002 concerning Gayo Customary Law. However, there may occasionally be inconsistencies in forest management process since the function of pengulu uten is not carried out synergistically with other forestry officials. In light of this, the forest management by pengulu uten is found to be in accordance with fiqh al-bī’ah principles. It includes the protection of nature as the essence of religion, the enhancement of faith through forest management, the responsibility of humans as Khalīfah to safeguard the environment, the practice of al-amr bi al-ma'rūf wa al-nahy ‘an al-munkar in forest management, and the maintenance of ecosystem equilibrium. Hence, this study emphasizes the significance of synergy among the government, pengulu uten, and the community in attaining sustainable forest management following the principles of fiqh al-bī’ah. Abstrak: Peraturan perundang-undangan di Indonesia memandatkan pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat Adat Aceh Tengah yang diwujudkan dalam bentuk pengulu uten. Maka, penting untuk mengkaji sejauh mana keserasian model pengelolaan hutan oleh pengulu uten dengan prinsip fiqh al-bī’ah. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum yuridis empiris dengan metode kualitatif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, FGD, dan wawancara dengan reje kampung, pengulu uten, dan stakeholders. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengulu uten memiliki peran signifikan dalam pengelolaan dan pengawasan hutan. Mereka melakukan kegiatan seperti membina, menyuluh, dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang hutan lindung, hutan produksi, hutan adat, dan pemanfaatan sumber daya hutan. Eksistensi pengulu uten muncul sejak dulu sebagai lembaga adat dalam pengurusan hutan (di wilayah Aceh lainnya disebut Pawang Glee) sehingga di Aceh, keberadaan mereka dikuatkan dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo. Namun, dalam praktiknya saat ini fungsi pengulu uten tidak dilakukan secara sinergis dengan petugas kehutanan lainnya sehingga terkadang terjadi ketidakseimbangan dalam pengelolaan hutan. Padahal, pengelolaan hutan oleh pengulu uten sesuai dengan prinsip fiqh al-bī’ah yang dinilai baik karena mencakup perlindungan alam sebagai esensi agama, kesempurnaan iman melalui pengelolaan hutan, peran manusia sebagai khalifah yang melindungi alam, amar makruf nahi mungkar dalam pengelolaan hutan, serta menjaga keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, penelitian ini menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, pengulu uten, dan masyarakat dalam mencapai keberlanjutan pengelolaan hutan yang didasarkan pada prinsip fiqh al-bī’ah
Identity and Piety: Critical Discourse Analysis on Indonesian Ulema Council’s Fatwa about The Law Using Non-Moslim Religious Attributes
In December 2016, shortly after the Action to Defend Islam 212 was held, the Indonesian Ulema Council published a fatwa on the Law Using Non-Muslim Religious Attributes. This fatwa reaped controversy because it was followed by sweeping action by a number of mass organizations against the Christmas attribute. Since this fatwa caused controversy, this study sought to examine it with a critical discourse analysis approach. This study covers three dimensions of the fatwa: the textual dimension, the dimension of discursive practice, and the dimensions of social practice. Based on the analysis that has been carried out, this study has three findings. First, linguistic analysis of this fatwa showed that the fatwa is an ideological text. Furthermore, this fatwa has intertextuality with other texts, namely the opinions of previous ulemas, which also prohibit the use of religious attributes of non-Muslims. Second, as a discursive practice, this fatwa affirms the view of several religious mass organizations that not only forbid wearing religious attributes of non-Muslims but also at the same time justified their attitude in sweeping against the religious attributes of non-Muslims, for example, Islamic Front Defense (FPI) and Klaten Islamic Paramilitaries (LAKIK). Third, situationally and institutionally, this fatwa is possible to be issued not only because of the encouragement of several mass organizations that consider that using religious attributes of non-Muslims is haram but also because of the influence of consolidation of these mass organizations, which rich their peak level after the series of Action to Defend Islam. Lastly, a value system that views identity as permanent and unchanging in Indonesian Muslim society is still very dominant, so it is also determining the issuance of this fatwa. Pada bulan Desember 2016, tak lama setelah Aksi Bela Islam 212 digelar, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa tentang Hukum Penggunaan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Fatwa ini menuai kontroversi karena disusul aksi sapu bersih sejumlah ormas yang menentang atribut Natal. Karena fatwa ini menimbulkan kontroversi, maka penelitian ini berupaya mengkajinya dengan pendekatan analisis wacana kritis. Kajian ini mencakup tiga dimensi fatwa: dimensi tekstual, dimensi praktik kewacanaan, dan dimensi praktik sosial. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini mempunyai tiga temuan. Pertama, analisis kebahasaan fatwa ini menunjukkan bahwa fatwa tersebut merupakan teks ideologis. Lebih lanjut, fatwa ini memiliki intertekstualitas dengan nash lain, yaitu pendapat para ulama terdahulu yang juga melarang penggunaan atribut agama non-Muslim. Kedua, sebagai praktik diskursif, fatwa ini mengafirmasi pandangan beberapa ormas keagamaan yang tidak hanya melarang pemakaian atribut keagamaan non-Muslim namun sekaligus mem sikapnya dalam melakukan penyisiran terhadap atribut keagamaan non-Muslim, mislanya Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Islam Klaten (LAKIK). Ketiga, secara situasional dan institusional, fatwa ini dimungkinkan dikeluarkan bukan hanya karena dorongan dari beberapa ormas yang menganggap penggunaan atribut keagamaan non-Muslim haram, namun juga karena pengaruh konsolidasi ormas-ormas tersebut, yang besar di mana puncaknya setelah rangkaian Aksi Bela Islam. Terakhir, sistem nilai yang memandang identitas sebagai sesuatu yang permanen dan tidak berubah dalam masyarakat Islam Indonesia masih sangat dominan sehingga ikut menentukan dikeluarkannya fatwa ini.
Strict Liability and Product Safety: The Case of Dangerous Syrup in Indonesia in the Maqashid Syariah Perspective
This study examined the issue of cough syrup linked to several deaths of children in Indonesia from the perspectives of Maqasid Sharia and Strict Liability Theory. This library research analyzed the problem through document studies, news reports, and official statements from related parties. The findings revealed a need for considering strict liability and maqashid al shariah principles to protect consumers Moreover, this research recommended the need for advanced deliberation and collaboration among stakeholders, ulama, and representative figures in the pharmaceutical industry to overcome this problem. Penelitian ini mengkaji kasus sirup obat batuk yang dikaitkan dengan beberapa kematian anak di Indonesia dalam perspektif Maqasid Sharia dan Strict Liability Theory. Penelitian kepustakaan ini menganalisis permasalahan melalui studi dokumen, pemberitaan, dan pernyataan resmi dari pihak terkait. Temuan dalam Penelitian ini mengungkapkan perlunya mempertimbangkan prinsip liabilitas dan maqashid al syariah yang ketat untuk melindungi konsumen. Selain itu, penelitian ini merekomendasikan perlunya musyawarah dan kolaborasi lanjutan antar pemangku kepentingan, ulama, dan tokoh perwakilan di industri farmasi untuk mengatasi masalah ini
The Loose Interpretation of Dominus Litis Principle in Marriage Dispensation for Underage Marriage in Banten
The judges of Religious Courts play a crucial role in reducing underage marriages. The judges can consider marriage dispensation by emphasizing the principle of dominus litis, which can be understood as a case controller. Since the Religious Courts in Banten have granted considerable dispensation appeals, the early-age marriages have increased significantly. This research examines the implementation of the dominus litis principle and the difficulties in establishing the grounds for urgent marriage dispensation. The data were collected via observations and interviews with the judges, former judges, lawyers, and societies. This research employs the juridical-empirical research technique, examining several facts and data generated by the public. The study reveals that to approve marriage dispensation, the judges of ReligiousCourts merely focus on the legal truth from the applicants’ statements, the underage marriage candidates, witnesses from applicants’ immediate families, and document evidence presented with the application. Judges rarely summon additional witnesses from specialists and professionals focusing on the children’s issues, which might strengthen formal legal evidence. The court granted the request to safeguard the children from immoral behavior, contradicting the common public ethics and morals and ignoring a significant principle of dominus litis. Abstrak: Hakim Pengadilan Agama memiliki peran penting untuk menekan kasus perkawinan dini. Hakim dapat mempertimbangkan dispensasi nikah dengan menekankan prinsip dominus litis, yaitu hakim sebagai pengendali perkara. Sejak permohonan dispensasi banyak dikabulkan oleh pengadilan agama di Banten, perkawinan dini di Banten mengalami peningkatan secara signifikan. Studi ini menganalisis penerapan "dominus litis principle" dan kendalanya dalam pembuktian alasan mendesak dispensasi nikah. Data diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan hakim, mantan hakim, pengacara dan masyarakat. Penelitian ini menerapkan motode penelitian hukum yuridis-empiris yang berfokus pada penilaian terhadap berbagai fakta dan data dari masyarakat. Hasil analisis menunjukan bahwa hakim Pengadilan Agama umumnya hanya bertugas mencari kebenaran formil dari keterangan pemohon, anak yang dimohonkan dispensasi, saksi-saksi dari orang dekat pemohon, dan bukti dokumen yang diajuan oleh pemohon. Hakim jarang sekali mendatangkan saksi tambahan dari para ahli dan profesional lain yang berhubungan dengan dunia anak yang bisa menguatkan alat bukti. Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan dengan alasan menjauhkan anak dari tindak asusila yang bertentangan dengan etika dan moral yang berlaku di tengah masyarakat umum dan mengabaikan peran penting prinsip dominus litis