Jurnal Silvikultur Tropika
Not a member yet
    435 research outputs found

    Effect of Endophytic Bacteria Inoculation and Eco-enzyme on Kayu Kuku (Pericopsis mooniana Thw.) Seedlings Growth

    Get PDF
    Improving the physical quality of kayu kuku seedlings can be done by applying endophytic bacteria and ec-enzymes. The aims of this study were to examine (1) the effect of inoculation of endophytic bacteria on the germination of kuku wood seeds, and (2) the effect of inoculation and application of eco-enzymes on the growth of kuku wood seedlings. The endophytic bacteria were isolated from the shoot of Shorea balangeran plant with the codes SBP 1, SBP 2, and SBP 19. Bacterial application was conducted on seeds and seedlings, while eco-enzyme application was only conducted on kayu kuku seedlings. The results of the research at the seed level showed that inoculation of the endophytic bacteria SBP 19 could accelerate the germination rate of kayu kuku seeds. At the seedling level, inoculation of endophytic bacteria SBP 1, SBP 2, SBP 19 and application of eco-enzymes had no significant effect on height, diameter, number of new leaves, total fresh weight and total dry weight of kayu kuku seedlings. The shoot root ratio of kayu kuku seedlings ranged from 2.66-5.04 and the seedlings quality index ranged from 0.41-0.93, indicating that the seedlings were ready to be transplanted into the field. In general, inoculation of endophytic bacteria had a significant effect on kayu kuku seed germination, but had not been able to increase the growth of kayu kuku seedlings during the 14 weeks of observation. Keywords:  Pericopsis mooniana Thw., seed dormancy, seed germination, seedling quality index, shoot root ratioPeningkatan mutu fisik bibit kayu kuku, dapat dilakukan dengan aplikasi bakteri endofit dan ekoenzim. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji (1) pengaruh inokulasi bakteri endofit terhadap perkecambahan benih kayu kuku, dan (2) pengaruh inokulasi dan aplikasi ekoenzim terhadap pertumbuhan bibit kayu kuku. Bakteri endofit yang digunakan berasal dari pucuk tanaman Shorea balangeran dengan kode SBP 1, SBP 2, dan SBP 19. Aplikasi bakteri dilakukan pada benih dan bibit kayu kuku, sedangkan aplikasi ekoenzim hanya dilakukan pada bibit kayu kuku. Hasil penelitian pada tingkat benih, menunjukkan inokulasi bakteri endofit SBP 19 dapat mempercepat laju kecambah benih kayu kuku. Pada tingkat bibit, inokulasi bakteri endofit SBP 1, SBP 2, SBP 19 dan aplikasi ekoenzim tidak berpengaruh terhadap tinggi, diameter, jumlah daun baru, berat basah total, dan berat kering total bibit kayu kuku. Nilai NPA bibit kayu kuku berkisar antara 2,66-5,04 dan nilai IMB berkisar antara 0,41-0,93, yang menunjukkan bibit siap untuk dipindahkan ke lapangan. Secara umum, inokulasi bakteri endofit berpengaruh terhadap perkecambahan benih kayu kuku, tetapi belum dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kayu kuku selama 14 minggu pengamatan. Kata kunci: daya kecambah benih, dormansi benih, kayu kuku (Pericopsis mooniana Thw.), nisbah pucuk akar, indeks mutu bibi

    Kelimpahan Fauna Tanah dan Hubungannya dengan Karakteristik Tapak pada Vegetasi Submontana di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

    Get PDF
    Fauna tanah merupakan komponen biotik tanah sebagai bioindikator kesuburan. Perbedaan ketinggian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diduga mempengaruhi kelimpahan fauna tanah. Penelitian bertujuan mengidentifikasi perbedaan kelimpahan mesofauna dan makrofauna tanah di lokasi penelitian dan menganalisis hubungan faktor klimatis serta edafisnya. Analisis vegetasi dilakukan pada petak contoh 20 m x 20 m yang ditempatkan secara purposive sampling pada ketinggian 1.250, 1.350, 1.450 m dpl dan lahan terbuka (1.200 m dpl). Pengambilan sampel tanah dan pengukuran faktor lingkungan dilakukan pada sub-petak contoh berukuran (1 m x 1 m). Hasil uji beda kelimpahan fauna tanah menunjukkan bahwa pada lokasi 1.250 dan 1.450 m dpl tidak berbeda nyata, 1.350 m dpl dan lahan terbuka menunjukkan perbedaan nyata. Kelimpahan fauna tertinggi terdapat pada lokasi 1.350 m dpl (265 individu/m2). Kelimpahan fauna terendah ditunjukkan pada lahan terbuka (11 individu/m2). Hubungan kelimpahan fauna tanah dengan faktor klimatis berupa suhu lingkungan dan intensitas cahaya memiliki nilai korelasi negatif, sedangkan kelembaban menunjukkan nilai korelasi positif. Faktor edafis seperti pH, Kapasitas Tukar Kation, memiliki nilai korelasi negatif dengan kelimpahan fauna tanah, sedangkan berat serasah, respirasi dan porositas tanah menunjukkan nilai korelasi positif. Kata kunci: edafis, fauna tanah, kelimpahan, klimatis, submontanaSoil fauna is a biotic soil component that can be used as fertility bio-indicators. This altitude difference is thought to affect the soil fauna. This research aims to identify differences in the abundance of soil mesofauna and macrofauna at the study site and to analyze the relationship between climatic and edaphic factors. Sampling measuring 20 m x 20 m was placed by purposive sampling at 1.250, 1.350, 1.450 m asl, and open area (1.200 m asl) for vegetation analysis and subplots were carried out by purposive sampling on three sample subplots measuring (1 m x 1 m) for soil samples and environmental factors. The highest soil fauna was found at an altitude of 1.350 m asl (265 individual / m2) and the lowest was in the open area (11 individual / m2). The different test results showed that the altitude of 1.250 and 1.450 m asl was not significantly different, while the altitude of 1.350 m asl and in open area showed a significant difference. The relationship between the population of soil fauna and climatic factors such as ambient temperature and sunlight intensity has a negative correlation value, while humidity shows a positive correlation value. Edaphic factors such as pH, and cation exchange capacity, have negative correlation, while litter weight, respiration, and soil porosity show positive correlation values. Keywords: climatic, edaphic, population, soil fauna, submontan

    Potential and Growth of Several Types of Plants in the Absorption of Heavy Metal Lead (Pb) in the Media of Ex Tin Mining Soil in Siabu Village, Salo District, Kampar Regency

    Get PDF
    Kegiatan penambangan timah di Desa Siabu, Kecamatan Salo, Kabupaten Kampar, menimbulkan dampak pencemaran tanah oleh logam berat, khususnya timbal (Pb). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi dan pertumbuhan lima jenis tanaman (A. mangium, P. falcataria, S. macrophylla, I. cylindrica, dan M. malabathricum) dalam fitoremediasi tanah bekas penambangan timah yang tercemar timbal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 4 ulangan sehingga diperoleh 20 satuan percobaan. Data dianalisis menggunakan SPSS 20.0, dan jika signifikan, dilakukan analisis lebih lanjut dengan Duncan's New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kelima jenis tanaman berpotensi menyerap logam berat timbal (Pb), namun dengan tingkat konsentrasi serapan yang berbeda. Serapan timbal (Pb) tertinggi pada kelompok semai adalah perlakuan P1 (A. mangium) dengan kemampuan serapan logam Pb sebesar 6,33 ppm dan kandungan logam Pb sisa dalam tanah sebesar 14,18 ppm, sedangkan serapan logam berat timbal (Pb) yang paling tinggi pada kelompok vegetasi bawah adalah perlakuan P5 (M. malabathricum) sebesar 9,10 ppm dengan kandungan logam Pb sisa dalam tanah sebesar 7,75 ppm. Kata Kunci: fitoremediasi, logam berat, Pencemaran, timbal (Pb)  Tin mining activities in Siabu Village, Salo District, Kampar Regency, have environmental impacts, leading to soil pollution by heavy metals, particularly lead (Pb). This study aims to evaluate the potential and growth of five plant species (A. mangium, P. falcataria, S. macrophylla, I. cylindrica, and M. malabathricum) in phytoremediation of soil contaminated with lead from tin mining. The research employed a completely randomized design with five treatments and four replications, totaling 20 experimental units. Data were analyzed using SPSS 20.0, and if significant, further analysis was conducted using Duncan's New Multiple Range Test (DNMRT) at a 5% level of significance. The results of the research that had been conducted showed that the five types of plants had the potential to absorb the heavy metal lead (Pb) but with different absorption concentration levels. The highest absorption of lead (Pb) in the seedling group was P1 (A. mangium) treatment with the ability to absorb Pb metal at 6.33 ppm and the remaining Pb metal content in the soil of 14.18 ppm, while the absorption of heavy metal lead (Pb) which was highest in the lower vegetation group was treatment P5 (M. malabathricum) of 9.10 ppm with the remaining Pb metal content in the soil of 7.75 ppm.  Keywords: Lead (Pb), Pollution, Phytoremediation, Heavy metal

    Systematic Review: History of Distribution and Conservation of Family Dipterocarpaceae through Vegetative Propagation

    Get PDF
    Dipterocarpaceae dominate plants of tropical forests, and their wood is exploiting until it's been rare plants. Conservation through generative propagation has several problems, and vegetative propagation then being as an alternative. This study has two purposes that to understand the history of distribution of Dipterocarpaceae and do research about the development of vegetative propagation techniques that apply for Dipterocarpaceae. This study was using a systematic review method. Commonly, vegetative propagation techniques that have been applied are cuttings and culture in vitro but other vegetative techniques have not to use yet. Research on the vegetative propagation of Upuna and Parashorea has not been available. Cutting is the most propagation technique used and has a good effect on several species of Dipterocarpaceae. Culture in vitro techniques have been used for several genus and need further research. Keywords: conservation, dipterocarpaceae, rare tree, systematic review, vegetative propagationDipterocarpaceae mendominasi tumbuhan hutan tropis dan hasil kayunya dieksploitasi hingga tergolong tumbuhan langka. Upaya konservasi melalui perbanyakan generatif memiliki berbagai hambatan sehingga dipilih perbanyakan vegetatif sebagai alternatif. Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu mengetahui sejarah sebaran tanaman Dipterocarpaceae dan sampai sejauh mana perkembangan teknik-teknik perbanyakan vegetatif yang telah diterapkan pada spesies Dipterocarpaceae. Penelitian dilakukan menggunakan metode systematic review. Teknik perbanyakan vegetatif yang umum digunakan yaitu stek dan kultur in vitro, teknik vegetatif lainnya belum diterapkan. Penelitian perbanyakan vegetatif Upuna dan Parashorea belum ditemukan publikasinya. Teknik stek paling banyak diterapkan dan cukup efektif untuk perbanyakan beberapa spesies Dipterocarpaceae. Teknik kultur in vitro baru diterapkan pada beberapa genus dan perlu penelitian lebih lanjut. Kata kunci: dipterocarpaceae, konservasi, perbanyakan vegetatif, pohon langka, systematic revie

    Pola Kebakaran Hutan di Areal Konservasi Studi Kasus di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

    Get PDF
    Kebakaran hutan merupakan bencana yang dapat terjadi akibat adanya kondisi lingkungan yang mendukung salah satunya adalah kejadian El Nino atau kondisi iklim yang ekstrem. salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya iklim yang ekstrem adalah curah hujan. kebakaran hutan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia yang didukung dengan kondisi iklim yang ekstrem. Kawasan hutan yang berpotensi untuk dapat terjadinya kebakaran hutan antara lain adalah kawasan konservasi yang sangat erat hubungannya dengan aktivitas manusia. Kawasan konservasi yang erat dengan hubungannya manusia antara lain adalah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). TNBTS mempunyai fungsi kawasan konservasi serta fungsi kawasan sebagai kawasan wisata. Adanya manusia yang menjadi turis atau pengunjung di lokasi kawasan konservasi menyebabkan peluang terjadinya kebakaran hutan di kawasan konservasi yang didukung dengan kondisi iklim yang ekstrem. TNBTS mempunyai pola curah hujan dengan curah hujan terendah berada pada bulan Mei-Jun-Jul-Agu-September, sedangkan tertinggi pada Nov-Des-Jan-Feb-Mar. Pada saat terjadi curah hujan yang rendah dapat menyebabkan kawasan TNBTS rawan terbakar, sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan pada bulan sebelum terjadinya musim kemarau. Pencegahan sebagai upaya pengendalian kebakaran hutan dapat dilakukan dengan menjaga kawasan lebih ketat pada awal musim kemarau yaitu pada bulan Mei. Berdasarkan data hotspot kejadian kebakaran dari tahun 2001-2020 yang paling banyak terjadi yaitu pada lain sebagai Nasional 2001, 2014 dan 2019. Berdasarkan hasil identifikasi menggunakan data bahwa tidak semua titik hotspot dapat dinyatakan sebagai kejadian kebakaran melainkan panas yang dihasilkan dari kawah gunung Semeru yang ada di lokasi TNBTS. Kata kunci: Bromo Tengger Semeru, Kebakaran hutan, Kawasan Konservasi, Hotspot, Taman NasionalForest fires are disasters that can occur due to environmental conditions that support one of them, such as El Nino events or extreme climatic conditions. One of the factors that influences the occurrence of extreme climates is rainfall. Forest fires in Indonesia are mostly caused by human activities, which are supported by extreme climatic conditions. Forest areas that have the potential to cause forest fires include conservation areas that are closely related to human activities. Conservation areas that are closely related to humans include the Bromo Tengger Semeru National Park (TNBTS). TNBTS has the function of a conservation area as well as a tourist area. The existence of humans who become tourists or visitors in conservation area locations creates opportunities for forest fires in conservation areas that are supported by extreme climatic conditions. TNBTS has a rainfall pattern, with the lowest rainfall occurring in May-Jun-Jul-Aug-Sept, while the highest is in Nov-Dec-Jan-Feb-Mar. When there is low rainfall, it can cause the TNBTS area to be prone to fire, so it is necessary to take preventive measures in the month before the dry season occurs. Prevention as an effort to control forest fires can be done by keeping the area tighter at the start of the dry season, namely in May. Based on hotspot data of fire incidents from 2001–2020, the most frequent occurrences were in other nationalities in 2001, 2014, and 2019. Based on the results of identification using data, not all hotspots can be declared fire incidents, but heat generated from the existing crater of Mount Semeru at the TNBTS location. Keywords: Bromo Tengger Semeru, Forest Fire, Conservation Area, Hotspot, National Par

    White Oyster Mushrooms (Pleurotus ostreatus) Cultivation by Log and Twigs Rubber, Leucaena, Randu, and Balsa

    Get PDF
    Waste high fells form a log and twig wood type Leucaena (Leucaena leucocephala), rubber (Hevea brasiliensis), randu (Ceiba pentandra), and balsa (Ochroma bicolor) can be used as a medium cultivation of Oyster Mushrooms (Pleurotus ostreatus) to increase the value added of these four types of wood. The research aims to analyze the potential for the cultivation of Oyster Mushrooms white on media log and twig four types of wood, the nutrient content of mushrooms, and the appropriateness of business. The reserch used a completely randomized design (CRD) with 9 single factorial on media treatment of logs and twigs of four kindsdifferent wood; and baglog from sawdust as control. The results showed the average wet weight of fruiting bodies on rubber wood and lamtoro (heavy wood) in both the media logs and twigs , reaching 213 grams and is not significantly different from the control (262 grams) , but it is larger than other types of wood cottonwoods and balsa(light wood) which is, reaching only 130 grams. The efficiency of biological media from all kinds of wood twigs higher (29.6-36 %) and significantly different than logs (11-20.5 %). Vegetative phase on media of logs and twigs randu is faster (14 days) than other media and not significantly different. Generative phase (reproductive) kapok’s logs (62 days) and the branches (44 days) is longer and significantly different than other treatments. White Oyster Mushrooms nutritional content of all media types are quite good and worthy of consumption. White oyster mushroom cultivation using media log and twig are fit enough developed. Keywords: heavy wood, light wood, cultivation of white oyster mushroom, nutritional contentLimbah tebangan berupa log dan ranting jenis kayu lamtoro (Leucaena leucocephala), karet (Hevea brasiliensis), randu (Ceiba pentandra), dan balsa (Ochroma bicolor) dapat digunakan sebagai media kultivasi jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) untuk meningkatkan nilai tambah dari keempat jenis kayu tersebut. Penelitian bertujuan untuk menganalisis potensi kultivasi jamur tiram putih pada media log dan ranting empat jenis kayu tersebut, kandungan gizi, dan kelayakan usaha. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial tunggal dengan 9 perlakuan media log dan ranting dari keempat jenis kayu tersebut serta baglog berupa serbuk gergaji sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata bobot basah tubuh buah pada jenis kayu karet dan lamtoro (kayu berat) baik pada media log maupun ranting yaitu mencapai 213 gram tidak berbeda nyata dengan kontrol (262 gram), namun lebih besar dibandingkan jenis kayu randu dan balsa (kayu ringan) yang hanya mencapai 130 gram. Efisiensi biologis media ranting semua jenis kayu lebih tinggi (29,6-36%) dan berbeda nyata dibandingkan media log (11-20,5%). Kandungan gizi jamur tiram putih semua jenis media cukup baik dan layak dikonsumsi. Usaha budidaya jamur tiram putih menggunakan media log dan ranting cukup layak dikembangkan untuk jangka panjang. Kata kunci: kayu berat, kayu ringan, kultivasi jamur tiram putih, kandungan giz

    Diversity of Insect Species at Different Ages of Rhizophora mucronata Stands Grown with Guludan Technique in Muara Angke, Jakarta

    Get PDF
    Insects are among the most significant numbers of living things in the world that have many benefits. However, there are still many insects that have not been identified yet, for example, insects in mangrove ecosystems. Each age of the stand has differences in vegetation structure, so insect diversity research on each age difference of R. mucronata is essential. Sampling was collected by purposive sampling by taking three guludan samples measuring 5 m Β΄ 10 m. In each sample, a census was carried out to measure the diameter and height of R. mucronata at the age of 17, 13, 9, and 4 years for further vegetation analysis. The capture of insects is carried out using a yellow-pan trap and then identified to the level of morphospecies. The results showed a relationship between the age of different stands. At a young age had a lot of diversity and the highest value of insect abundance. The age of R. mucronata 13 years had the highest quantity dominated by the order Diptera Keywords: density, ecosystem, morphospecies, temperature, yellow-pan trapSerangga merupakan salah satu makhluk hidup dengan jumlah terbesar di dunia yang memiliki sejumlah manfaat. Namun, masih banyak serangga yang belum teridentifikasi contohnya serangga pada ekosistem mangrove. Setiap umur tegakan memiliki perbedaan struktur vegetasi, sehingga penelitian keanekaragaman serangga pada setiap perbedaan umur R. mucronata penting dilakukan. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan mengambil tiga sampel guludan yang berukuran 5 m Β΄ 10 m. Pada masing-masing sampel dilakukan sensus untuk mengukur diameter dan tinggi R. mucronata pada umur 17, 13, 9, 4 tahun untuk selanjutnya dilakukan analisis vegetasi. Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan yellow-pan trap lalu diidentifikasi sampai tingkat morfospesies. Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara umur tegakan yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan serangga. Umur muda memiliki kelimpahan dan keanekaragaman serangga lebih tinggi dibandingkan umur tua dan umur R. mucronata 13 tahun memiliki kelimpahan tertinggi yang didominasi oleh ordo Diptera. Kata kunci: ekosistem, kerapatan, morfospesies, suhu, yellow-pan tra

    13. Pendugaan Kerapatan Vegetasi untuk Menentukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kabupaten Bogor

    No full text
    Green Open Space (RTH) is part of the open spaces of an urban area filled with plants and vegetation to support ecological, socio-cultural, and architectural benefits. An approach that can be done to determine green open space is by analyzing the density of vegetation. The minimum distribution of vegetation in an urban area should be 30% of the total area. This vegetation distribution can be calculated using Landsat 8 imagery. This research was conducted to determine Green Open Space in Bogor Regency by using Landsat 8 imagery. This study clearly showed that some areas in Bogor Regency are still having lack of vegetation, bring a need to develop green open spaces in the areas. Keywords: Landsat 8 imagery, Bogor Regency, Green Open Space, VegetationRuang Terbuka Hijau (RTH) merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi untuk mendukung manfaat ekologis, sosial budaya, dan arsitektur. Salah satu pendekatam yang dapat dilakukan untuk menentukan RTH adalah dengan menganalisis kerapatan vegetasi. Persebaran minimal vegetasi pada suatu wilayah kota adalah 30% dari total luas wilayah tersebut. Sebaran vegetasi ini dapat dihitung dengan pemanfaatan Citra Landsat 8. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan Ruang Terbuka Hijau di Kabupeten Bogor dengan menggunakan Citra Landsat 8. Penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak wilayah yang masih kekurangan vegetasi sehingga sangat diperlukan untuk membangun Ruang Terbuka Hijau di wilayah-wilayah ini. Kata kunci: Citra Landsat 8, Kabupaten Bogor, Ruang Terbuka Hijau, Vegetas

    Dynamics of Change in Mangrove Forest Cover as a Protected Area Using Satellite Image on Peleng Island, Central Sulawesi

    Get PDF
    Mangrove forest is an important ecosystem supporting the life activities of coastal communities because it has various functions so it is very vulnerable to various disturbances. This problem is an important factor in the decline in the ability of mangroves to maintain the stability of the coastal ecosystem. Therefore, it is necessary to monitor and evaluate the dynamics of mangrove cover change in a spatio-temporal manner using remote sensing methods. Landsat imagery with a spatial resolution of 30 m was chosen as a data source to analyze the dynamics of mangrove forest cover. The purpose of the study was to measure, map and estimate the area of mangrove cover in 2019 and build a guided classification of mangrove cover changes in 2029 to estimate changes in mangrove forest cover, vegetation analysis to calculate diversity values and the Markov chain method using software. Stella. The results showed that the value of mangrove vegetation diversity in the belta strata was higher than the tree strata. Based on the significance value according to the criteria of ecosystem stability, it shows that the mangrove vegetation on Peleng Island is in the medium category and quite stable. Mangrove forests have continued to decline by 10.21% from 1999 to 2019, and in 2029 it is predicted that the area will continue to decline if this condition is left without any government policies that regulate it. Keywords: Dynamics, diversity, Landsat, mangroves, Peleng IslandHutan mangrove merupakan ekosistem penting penunjang aktivitas kehidupan masyarakat pesisir karena memiliki berbagai fungsi sehingga sangat rentan terhadap bermacam gangguan. Permasalahan ini menjadi faktor penting menurunnya kemampuan mangrove dalam menjaga kestabilan ekosistem pantai. Oleh karena itu monitoring dan evaluasi dinamika perubahan tutupan mangrove secara spasio temporal menggunakan metode penginderaan jauh (remote sensing) perlu dilakukan. Citra Landsat dengan resolusi spasial 30 m dipilih sebagai sumber data untuk menganalisis dinamika tutupan hutan mangrove. Tujuan penelitian adalah untuk mengukur, memetakan dan mengestimasi luas tutupan mangrove tahun 2019 serta membangun model dinamika perubahan tutupan mangrove pada tahun 2029terbimbing (supervised classification) untuk mengestimasi perubahan tutupan hutan mangrove, analisis vegetasi untuk menghitung nilai keanekaragaman serta metode rantai markov (Markov chain) menggunakan software Stella. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai keanekaragaman vegetasi mangrove pada strata belta lebih tinggi daripada strata pohon. Berdasarkan nilai penting menurut kriteria kemantapan ekosistem menunjukkan bahwa vegetasi mangrove di Pulau Peleng masuk dalam kategori sedang dan cukup stabil. Hutan mangrove terus mengalami penurunan sebesar 10,21% sejak tahun 1999 hingga tahun 2019, dan pada tahun 2029 diprediksi akan terus mengalami penurunan luasan jika kondisi ini dibiarkan tanpa ada kebijakan pemerintah yang mengatur. Kata kunci: Dinamika, keanekaragaman, Landsat, mangrove, Pulau Pelen

    Penentuan Bentuk dan Luas Petak Contoh Optimum Pengukuran Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Tingkat Pancang Hutan Pegunungan

    Get PDF
    Information of vegetation structure and composition of terrestrial flora biodiversity can be measured by vegetation analysis method. The method requires sampling plots as a measurement plot capable to describe species in a forest stand. The distribution of a species of diversity, especially plants, is relatively dependent on the type of plant with the condition of the area it occupies. Therefore, an efficient and representative method is needed for the ecosystem in measuring. The objective of the study was to determine the optimal shape and size of sample plots for measuring plant species diversity at stake in TNGHS as well as to assess the most responsive diversity index. The results showed that the shape and size of the optimal sample plot for measuring plant species diversity at stake in TNGHS was a rectangular plot measuring 3.200 m2. The result of the index processing of diversity, it was found that the Margalef Index gave a more responsive diversity value to the change of species number compared with Menhinick, Simpson and ShannonWiener indices. Key words: composition, diversity index, margalef, structure, terrestrial flora.Informasi struktur dan komposisi vegetasi keanekaragaman hayati flora terestrial dapat di ukur dengan metode analisis vegetasi. Metode tersebut memerlukan petak-petak sampling sebagai petak pengukuran yang mampu menggambarkan jenis-jenis pada suatu tegakan hutan. Persebaran suatu jenis keanekaragaman terutama tumbuhan, relatif bergantung pada jenis tumbuhan dengan kondisi wilayah yang ditempatinya. Oleh karenanya, diperlukan metode yang efisien dan representative terhadap ekosistem dalam melakukan pengukuran. Tujuan penelitian untuk menentukan bentuk dan luas petak contoh yang optimal untuk mengukur keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pancang di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), Jawa Barat,  serta menilai indeks keanekaragaman yang paling responsif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dan luas petak contoh optimal untuk pengukuran keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat pancang di TNGHS adalah petak berbentuk persegi panjang dengan ukuran 3.200 m2. Hasil pengolahan nilai indeks keanekaragaman jenis, ditemukan bahwa Indeks Margalef memberikan nilai keanekaragaman yang lebih responsif terhadap perubahan jumlah spesies dibandingkan dengan Indeks Menhinick, Simpson dan Indeks Shannon-Wiener. Kata kunci : flora terestrial, indeks keanekaragaman, komposisi, margalef, struktur

    350

    full texts

    435

    metadata records
    Updated in lastΒ 30Β days.
    Jurnal Silvikultur Tropika
    Access Repository Dashboard
    Do you manage Open Research Online? Become a CORE Member to access insider analytics, issue reports and manage access to outputs from your repository in the CORE Repository Dashboard! πŸ‘‡