Resital: Jurnal Seni Pertunjukan
Not a member yet
    252 research outputs found

    Ungkapan Estetika Karawitan Jawa pada Reproduksi Rekaman Gamelan Ageng Surakarta

    Get PDF
    ABSTRACTThe Expression of Javanese Karawitan Aesthetics in the Reproduction of Gamelan Ageng Surakarta Recordings. Sound recordings have the purpose of transferring musical offerings to the storage media. The aesthetics and sound meanings contained in musical performances of course become a mandatory when sound is recorded. The concept of Javanese karawitan recordings certainly takes into consideration of the aesthetic value of the presentation and will not leave the principles as well as the sound meanings behind. Recorded musical performances of musical instruments must present an ideal sound according to the cultural convention. Recording documents in the form of audios are felt to be highly essential in karawitan concert area because they are way of storing events. As a result, musical concerts which are already in the form of audio media have more value compared to concerts being integrated with particular event. The authors found that karawitan concert carried out by using recorded audio are more practical, economic, efficient and encourage preservation value. Practical value arises because musical concerts that are already in the form of record media can be carried anywhere. Furthermore, this also lead to improve economic value since documentation can be a product of a commodity process if properly utilized. The value is efficient as the sounds are in the form of media, musical concert records can be employed without having to use devices and human resources as in the event.ABSTRAKProduk rekaman suara mempunyai tujuan memindahkan sajian musikal ke dalam media penyimpan. Estetika dan makna bunyi yang terkandung dalam sajian musik karawitan Jawa tentunya menjadi hal wajib ketika direkam. Kemasan produk rekaman karawitan Jawa pastinya mempertimbangkan nilai estetika sajian, serta tidak akan meninggalkan norma dan makna bunyi dalam sajiannya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pendekatan ini mengharuskan peneliti melakukan tafsir tentang makna yang ada dibalik data, tujuan-nya untuk membantu memahami kehidupan sosial. Dokumen rekaman sajian musik karawitan wajib menghadirkan suara yang ideal sesuai konvensi budayanya. Dokumen perekaman dalam bentuk media audio dirasakan penting dalam wilayah konser karawitan karena menjadi cara penyimpanan akan peristiwanya, sehingga konser karawitan yang sudah dalam bentuk media audio lebih banyak memiliki nilai lebih dibandingkan dengan konser dalam konteks peristiwanya. Kelebihan media audio konser karawitan lebih memiliki nilai praktis, ekonomis, efisien dan pengawetan. Nilai praktis muncul karena konser karawitan yang sudah dalam bentuk media rekam bisa dibawa ke mana-mana. Nilai ekonomis karena dokumentasi bisa menjadi produk yang bisa bernilai ekonomi jika diberdayakaan sebagai barang komuditas. Nilai efisien karena dalam bentuk media rekam konser karawitan bisa dimanfaatkan tanpa harus menggunakan perangkat dan sumber daya manusia sebagaimana dalam peristiwanya

    Gayutan Rondo Alla Turca Karya WA. Mozart sebagai Iringan dalam Film Amadeus

    Get PDF
    ABSTRACTThe Use of WA Mozart's Gayutan Rondo Alla Turca in the Film Amadeus. This study describes the interconnection of Rondo music as an accompaniment in Amadeus film to the melodic structure of scene footage produced by HD Film Tributes and explains the form of Rondo which consists of six parts involving displayed scene expressions. The authors implemented qualitative approach with descriptive method in which the authors conducted literature review as well as observation through musical scores and YouTube channel to attain thorough results of field studies and documentation. Furthermore, the authors also conducted an analysis that began with the description of the film structure of the Rondo Alla Turca musical composition. The analysis was carried out by observing each scene footage of used melodic structure to form feelings and aesthetics in the film. The results of the study reveal that the melodic structure used in each scene creates feelings and aesthetics in Amadeus film since musical accompaniment plays an essential role in conveying the story of the film. In addition, the role of musical accompaniment is inherently employed to highlight the tones in Rondo Alla Turca music and visuals have the ability to provide a deeper and more complex interpretation of emotional content in every scene of Amadeus.ABSTRAKKajian ini mendiskripsikan gayutan atau hubungan musik Rondo sebagai iringan dalam film Amadeus terhadap struktur melodi dengan cuplikan adegan yang diproduksi oleh HD Film Tributes dan bentuk Rondo yang terdiri dari enam bagian dengan ekspresi adegan yang ditampilkan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif dimana peneliti melakukan telaah pustaka, melakukan observasi melalui skor musik, channel youtube untuk mendapat hasil kajian lapangan yang optimal dan dokumentasi. Selain itu peneliti juga melakukan analisis yang dimulai dengan penjabaran struktur film terhadap komposisi musik Rondo Alla Turca. Analisis dilakukan dengan pengamatan antara setiap cuplikan adegan terhadap struktur melodi yang digunakan untuk membetuk perasaan dan estetika dalam film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur melodi yang digunakan dalam setiap cuplikan adegan membentuk perasaan dan estetika dalam film Amadeus, iringan musik memegang peranan penting dalam mengusung cerita film Amadeus, peran iringan musik secara inheren digunakan untuk menyoroti nada-nada dalam musik Rondo Alla Turca dan visual memiliki kemampuan untuk memberikan makna interpretasi konten emosional yang lebih dalam dan kompleks dalam setiap adegan fim Amadeus

    Ladrang Siyem: The Royal Anthem of Thailand, in Javanese Gamelan Version

    No full text
    Ladrang Siyem: The Royal Anthem of Thailand, in Javanese Gamelan Version. During 19th century, Thailand modernized by associating itself with the "West" or Westernization; consequently, musical concepts from the West were implemented. Sansoen Phra Barami, also known as the Thailand Royal Anthem, is a musical composition composed to pay tribute to the King of Thailand. Therefore, the Western musical style was utilized in the composition. The Thai people should examine Java's prosperity in the areas of transportation, postal and telegraph, railways, military, and irrigation, in addition to European colonial policies and governance styles toward Asian nations. Through the Netherlands, the relationship between Thailand and Java was revealed during the three visits of Thai King Chulalongkorn in 1870, 1896, and 1901, as well as King Prajadhipok in 1929. An item that was performed in homage to His Majesty King Prajadhipok, King Rama VII of Thailand, who arrived at Surakarta palace in 1929 accompanied by the Queen, is Ladrang Siyem, which is the Javanese rendition of the Thai Royal Anthem. This item is mentioned in an archive titled Serat Saking Gotek or Wedhapradangga. The Javanese musicians at the Surakarta Palace adapted the gamelan piece known as "Sansoen Phra Barami" to become known as "Ladrang Siyem." An unmistakable illustration of the manner in which crypto-colonialism is projected through music is provided by the occurrence. In other words, the text takes into consideration political movements that occurred in Southeast Asia during the time of the colonial era

    Apropriasi Seni Musik Gugah Sahur: Studi Kasus Tongklek Tuban dan Tong-Tong Madura

    Get PDF
    ABSTRACTThe Appropriation of Gugah Sahur Musical Art: A Case Study of Tongklek Tuban and Tong-Tong Madura. This study aims to identify the interrelation between Tongklek Tuban and Tong-tong Madura. Tongklek Tuban, which is a typical music art of Tuban, evolves from the Patrol art in the form of music created originally in Tuban Regency. Interestingly, at first glance, Tongklek Tuban seems to have similarities to Tong-tong art that develops in Madura. To examine both art work thoroughly in this study, the authors implemented qualitative approach, employing both the literature review and documentation techniques. The results of the study reveal that Tongklek Tuban has undergone various changes in its visual form in terms of costumes, equipment, and decorations. It takes both tangible and intangible property from Tong-tong Madura. Moreover, Tonglek Tuban is experiencing another development in terms of creativity reflected to the wheelbarrow used to push the iron xylophone. Over time, the wheelbarrow has undergone a very extraordinary change in shape. At this time, Tongklek Tuban music groups are competing to form their wheelbarrows which actually look like Madurese Tong-tong music. According to the results of the study, positively, appropriation between artworks can be interpreted both positively or negatively. On one hand, an adapted culture can develop through innovation, so that the culture can remain sustainable. On the other hand, negatively, the feelings of disapproval from the owners of the original culture could emerge since they feel that their culture is carried out as an addition to the artistic elements of the appropriating subject.ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana apropriasi dalam kesenian antara Tongklek Tuban dan Tong-Tong Madura. Kesenian yang diambil dalam penelitian ini adalah Tongklek Tuban dan Tong-Tong Madura. Kesenian Tongklek Tuban yang muncul berawal dari kesenian Patrol merupakan kesenian yang berkembang di Kabupaten Tuban. Sekilas Tongklek Tuban jika dilihat ada kesamaan dengan kesenian Tong-Tong yang berkembang di Madura. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan metode studi pustaka dan menggunakan teknik dokumen. Hasil penelitian menemukan bahwa Tongklek Tuban yang merupakan kesenian musik khas Tuban mengalami berbagai macam fase perubahan secara visual mulai dari kostum, peralatan yang digunakan, hingga dekorasi. Tongklek Tuban mengapropriasi secara tangible dan intangible dari Tong-tong Madura. Tongklek mengalami perkembangan lagi secara kreativitas yakni terkait gerobak dorong yang biasanya digunakan untuk mendorong gambang besi. Seiring berjalannya waktu gerobak dorong mengalami perubahan bentuk yang sangat luar biasa. Kini para grup musik Tongklek Tuban berlomba-lomba membentuk gerobak dorong mereka yang jika dilihat malah menyerupai musik Tong-tong Madura. Apropriasi dapat dimaknai secara positif maupun negatif. Secara positif, budaya yang di apropriasi mengalami perkembangan dengan inovasi sehingga budaya tersebut dapat tetap lestari. Sisi negatifnya adalah timbulnya rasa tidak terima dari pemilik budaya asal karena merasa budayanya diambil untuk digunakan sebagai penambah unsur seni subjek pelaku apropriasi

    Akhir Zaman: Representasi Fenomena Alam dan Sosial melalui Komposisi Kacapi

    Get PDF
    ABSTRACTThe End of Time: Representations of Natural and Social Phenomena through Kacapi Kawih Composition. The objective of this study is to analyze the results of a composition entitled End Times as a representation of natural and social phenomena. The method proposed by Alma W. Hawkins used in the process of creating this work include exploration, improvisation, and formation. The work entitled End Times is inspired by various natural and social phenomena that occur in society, such as volcanic eruption, flood, tsunami, and even covid-19 that boomed recently. Furthermore, the social order of society is increasingly uncertain due to war, assassination, and even oppression by the powerful over the weak. These are signs or characteristics of the end of time related to the involvement of mankind in nature. These various phenomena are the source of creativity and inspire the author to create a fresh work in the composition of the Sundanese kacapi kawih entitled "The End of Time". This composition attempts to construct an atmosphere of silence, emotion, comfort as well as anxiety through the Sundanese musical concepts and elements (rhythmic, melodic, ornamentation, dynamics, and other musical interweaving). In this study, the author used kacapi instruments, flutes, and song lyrics in which the song lyrics were carried through vocals. Since the lyrics are means of conveying moral messages to the public, they are considered as the prominent priority in this composition. The result indicates that the composition work entitled "The End of Time" has succeeded in conveying moral messages about the characteristics of the world’s end of time (apocalypse) to the public through the various phenomena reflected in performances and publications in online media. This art work is a wholesome reminder of moral values that have been eroded recently and encourages people to realize the true purpose of life.ABSTRAKTujuan penulisan ini untuk menganalisis hasil komposisi berjudul Akhir Zaman sebagai representasi dari fenomena alam dan sosial. Metode Alma W. Hawkins digunakan dalam proses penciptaan karya ini meliputi eksplorasi, improvisasi, dan pembentukan. Karya berjudul Akhir Zaman terinspirasi oleh berbagai fenomena alam dan sosial yang terjadi di masyarakat dunia. Dunia sudah dianggap tua dan rapuh, sehingga sering terjadi bencana di mana-mana, seperti gunung meletus, banjir, sunami, bahkan covid-19 yang terjadi bau-baru ini. Begitu pula tatanan sosial masyarakat dunia semakin tidak menentu dengan terjadi perang di mana-mana, pembunuhan, bahkan penindasan oleh orang yang berkuasa terhadap orang yang lemah. Inilah sebagai tanda atau ciri-ciri akhir zaman yang penuh gejolak dengan keterlibatan umat manusia beserta alam lingkungannya. Berbagai fenomena tersebut menjadi inspirasi pengkarya untuk membuat karya baru serta dijadikan sumber ide penciptaan dalam komposisi kacapi kawih Sunda berjudul “Akhir Zaman”. Komposisi ini mencoba membangun suasana hening, haru, hidmat namun was-was yang dibangun melalui konsep musikal Sunda dan unsur-unsurnya (ritmis, melodi, ornamentasi, dinamika, serta jalinan musikal lainnya) dengan instrumen kacapi, suling, dan lirik lagu. Lirik lagu melalui vokal bertujuan agar pesan moral dapat tersampaikan ke publik. Kekuatan lirik lagu merupakan prioritas utama dalam komposisi ini untuk menyampaikan pesan pengkarya. Hasil kesimpulan menunjukkan bahwa karya komposisi berjudul Akhir Zaman telah berhasil menyampaikan pesan moral tentang ciri-ciri akhir zaman (kiamat) kepada publik dengan berbagai fenomenanya yang disampaikan melalui pertunjukan serta publikasi di media online. Hasil karya ini bermanfaat bagi pengingat nilai-nilai moralitas yang sudah tergerus akhir-akhir ini untuk lebih menyadarkan tujuan hidup yang sebenarnya

    Pengaruh Nyanyian Buku Ende terhadap Kualitas Bernyanyi Jemaat Gereja HKBP Yogyakarta

    Get PDF
    ABSTRACTThe Influence of the Buku Ende Hymn on the Quality of Singing Among the Congregation of the HKBP Church in Yogyakarta. This paper talks about Ende book, a collection of worship songs for the HKBP congregation composed by European composers in the 16th and 17th centuries. Conveyed by missionaries to Batak land, these songs were later translated into Toba Batak language and some were composed to suit the rhythms of Batak indigenous music. In singing the songs, HKBP Yogyakarta congregation sing the original notation (not transfused lower) that frequently consists of high notes, causing the congregation having low vocal range to sing the song in one octave below the basic tone. The objective of the study is to examine how immense Ende Book influences the vocal quality of HKBP Yogyakarta congregation. The author implemented descriptive qualitative method by adapting the theory of 'The Power of Habit' by Charles Duhigg. Data collection techniques used by the author were observation, interview, and documentation. The results of this study reveal that habit plays a major role in the routines to achieve a satisfactory quality of singing. When singing Ende book, HKBP Yogyakarta congregation have unconsciously acquainted several elements of vocal techniques. The vocal techniques in particular are breathing, resonance, voice range, and interpretation, in which a significant impact on the quality of the singing voices of HKBP Yogyakarta congregation retain. By implementing the original range and sentence structure (phrasing) in Ende book, the learning process taken place e every Sunday worshipping has unconsciously imporoved the singing quality of HKBP Yogyakarta congregation.ABSTRAKBuku Ende merupakan buku yang berisi nyanyian ibadah bagi jemaat HKBP yang sebagian besar diciptakan oleh komponis Eropa pada abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Nyanyian ini dibawa oleh para misionaris ke tanah Batak lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Batak Toba dan ada juga yang digubah untuk disesuaikan dengan irama musik Batak. Menyanyikan nyanyian buku Ende ini jemaat HKBP Yogyakarta bernyanyi dengan tangga nada aslinya (tidak ditransfus lebih rendah) sehingga ketika menyanyikan nada-nada tinggi, bagi jemaat yang mempunyai ambitus suara yang rendah sering menyanyikannya dengan nada satu oktaf dibawah nada dasar. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat sejauh mana pengaruh nyanyian pada Buku Ende ini terhadap kualitas bernyanyi jemaat HKBP Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan memakai teori ‘The Power of Habit’ dari Charles Duhigg. Teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor kebiasaan menjadi salah satu rutinitas untuk mencapai kualitas bernyanyi yang memuaskan. Dalam menyanyikan buku Ende ini terdapat banyak unsur-unsur teknik vokal yang tanpa disadari telah memberikan pembelajaran vokal, khususnya kepada jemaat HKBP Yogyakarta. Teknik vokal yang dimaksud, antara lain: pernapasan, resonansi, ambitus suara, dan interpretasi, berdampak besar bagi kualitas suara bernyanyi jemaat HKBP Yogyakarta. Dengan nyanyikan tangga nada asli pada buku Ende dan kebiasaan menerapkan teknik vokal yang baik dan benar, tanpa disadari proses pembelajaran berlangsung setiap Minggu. Hal ini yang menyebabkan suara jemaat gereja HKBP Yogyakarta semakin berkualitas baik

    Embedded Criticism Sebagai Cara Lain Menulis Kritik Seni Pertunjukan di Indonesia

    Get PDF
    Embedded criticism as another way to write performing arts criticism in Indonesia. This paper performs a re-examining of performing arts criticism in Indonesia, particularly about a critic-artist relationship. The modern tradition of criticism has built a hierarchy in the performing arts ecosystem. It happened in any tradition of criticism and has been living in Indonesia for more than 50 years. Instead of it has lived in print media, for instance, newspapers and magazines, the relationship also happens on the Indonesian website. In fact, traditional performing arts in Indonesia were connected by a good relationship between a critic—for instance, a teacher or influential person—and an artist. It means the critic has access to watch a rehearsal, has a good chit-chat with an artist, can talk about the idea of the performance, and so on; it is not like the West critic, who was watching only the performance. The paper aims at presenting the other way of writing criticism, not only as an option of ways of writing but also providing the idea of a reciprocal relationship and renders less hierarchal the critic-artist relationship. As explained, this paper would like to discuss embedded criticism, the other way of criticism that attempted showing the relation between critic and artist as a productive work. Writing an embedded criticism describes a critic's duty that is not about judging the performance but also articulating the production and performance complexity. This paper would like to ask, how does critic presenting the criticism accommodates the relation between them? How can the embedded criticism apply to performing arts criticsm in Indonesia? Those questions will be answered by a literature study. The result of this research is that embedded criticism can be solved the gap problem of criticism—emphasizing the relationship between critic and artist in traditional performing arts, that undisclosed in the modern tradition of critic—through a website that disseminates performing art criticism.Tulisan ini mengkaji ulang kritik seni pertunjukan di Indonesia, khususnya tentang hubungan antara kritikus-seniman. Tradisi kritik modern telah membangun hierarki dalam ekosistem seni pertunjukan. Itu terjadi dalam tradisi kritik apa pun dan telah hidup di Indonesia selama lebih dari 50 tahun. Selain hidup di media cetak, misalnya koran dan majalah, yang cukup disayangkan hubungan itu juga terjadi di Indonesia melalui website seni. Padahal, seni pertunjukan tradisional di Indonesia dihubungkan oleh hubungan yang baik antara seorang kritikus—misalnya seorang guru atau orang berpengaruh—dan seorang seniman. Tidak seperti kritikus Barat, yang hanya menonton pertunjukan; tradisi kritik kita memiliki akses untuk menonton geladiresik, berbincang-bincang dengan artis secara akrab, dapat berbicara tentang ide pertunjukan, dan sebagainya. Atas dasar itu, tulisan ini bertujuan untuk menyajikan cara lain dalam menulis kritik, tetapi bukan hanya sebagai pilihan cara menulis melainkan juga memberikan gagasan tentang hubungan timbal balik dan memangkas hierarki antara kritikus-seniman. Seperti yang telah dijelaskan, tulisan ini hendak membahas embedded criticism atau kritik melekat, yaitu cara ungkap kritik yang berusaha menunjukkan hubungan antara kritikus dan seniman sebagai sebuah hal yang produktif. Menulis kritik melekat menunjukkan tugas seorang kritikus yang tidak hanya menilai ketika pertunjukan dihelat, tetapi juga mengartikulasikan kompleksitas produksi sekaligus pertunjukan. Tulisan ini memiliki dua pertanyaan, bagaimana kritikus menyampaikan kritik yang mengakomodasi relasi di antara kritik-pencipta karya? Bagaimana kritik melekat bisa diterapkan pada kritik seni pertunjukan di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dengan studi literatur. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kritik melekat dapat memecahkan masalah kesenjangan kritik—menekankan hubungan antara kritikus dan seniman yang terjadi pada seni pertunjukan tradisional, yang tidak terungkap dalam kritik tradisi modern—melalui website yang menyebarkan kritik seni pertunjukan

    Conservation and Development Model of Mamaca in Pamekasan Madura

    Get PDF
    ABSTRACTMamaca traditional performing art is an essential intangible asset for the people of Madura and Indonesia. Mamaca in Madurese language means reading. Contextually, it means reading verses from particular texts. Its diversity and uniqueness are not only known by Indonesian, but also worldwide people. Its paramount role in the life of Mamaca-supporting community is undeniable as the songs and notations generated while performing is not only functioned as performing, but also efforts to establish Madurese moral values. Unfortunately, the local people, especially younger generation currently have started to abandon this traditional art. It leads to a worrisome position of Mamaca existing in Pamekasan Regency, Madura Island. Considering that this traditional performing art emphasizes the nobility of values and norms in its form and implementation and its capability of strengthening the Indonesian character and the harmony of social life, Mamaca is urgently required to be preserved and developed in accordance to the fervor of nowadays era. The performers take turns reading and singing the verses containing some epics of Mahabharata, Ramayana, stories of Islamic Prophets, and values of benevolence regarding wisdom teachings. This research is a model for the conservation and development of noble cultural values that involves active supporting elements of Mamaca, relevant government, academics, industries or sponsors, and the role of the media.ABSTRAKModel Konservasi dan Pengembangan Mamaca di Pamekasan Madura. Seni pertunjukan tradisi Mamaca merupakan aset non bendawi yang penting bagi masyarakat di Madura dan bangsa Indonesia. Mamaca dalam bahasa Madura berarti membaca. Dalam penelitian ini, Mamaca yang dimaksud adalah tradisi membaca syair-syair dari naskah tertentu. Keanekaragaman dan keunikannya tidak hanya dikenal oleh bangsa Indonesia sendiri, tetapi juga sudah secara luas. Peran pentingnya Mamaca di dalam kehidupan masyarakat penyelenggaranya tidak dapat terbantahkan karena lagu-lagu yang dilantunkan serta notasi yang dimainkan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, namun sebuah upaya untuk menanamkan nilai moral. Sayangnya, Mamaca kini mulai ditinggalkan, terutama oleh generasi muda setempat. Oleh karena itu, seni Mamaca yang hidup di wilayah Kabupaten Pamekasan Pulau Madura dipandang penting dilestarikan dan dikembangkan sesuai zamannya. Mengingat bahwa seni pertunjukan tradisi yang berdasarkan pada pemanfaatan musik internal ini mengutamakan keluhuran nilai dan norma di dalam wujud dan penyelenggaraannya, Mamaca dipandang mampu menguatkan karakter bangsa dan harmoni kehidupan sosial. Para pelakunya secara bergantian membaca dan melagukan syair-syair yang memuat sebagian wiracarita Mahabharata, Ramayana, dan kisah para Nabi dalam agama Islam serta menyampaikan norma dan nilai kebaikan mengenai ajaran kebijaksanaan. Kajian ini merupakan model pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya adiluhur yang melibatkan unsur penyangga aktif Mamaca, pemerintah terkait, akademisi, pihak industri atau sponsor, dan peran media

    Memahami Hubungan Tarawangsa dan Erhu dalam Perspektif Etnomusikologi

    No full text
    Etnomusikologi merupakan suatu pendekatan yang bisa diterapkan guna menganalisis dua buah atau lebih alat musik dengan cara diperbandingkan. Aspek-aspek yang dikaji juga sangat menyeluruh dari bentuk fisik, teknis tangga nada, hingga sejarah pembentukannya. Hal ini juga yang coba diterapkan pada alat musik yang mirip secara penampilan, namun memiliki asal pemilik bangsa yang tidak berdekatan. Akan tetapi fakta lain menyebutkan bahwa budaya Tiongkok dengan Indonesia sudah ada sejak lama, maka keunikan ini yang coba diuraikan dalam penelitian ini. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat kemiripan yang tinggi antara tarawangsa dan erhu dalam aspek bentuk fisik dan fungsi, namun kepastian secara sejarah belum bisa dibuktikan secara pasti bahwa erhu memiliki andil dalam terciptanya tarawangsa ataupun sebaliknya

    Design of “Munyer” as a Respons to Social Condition in New Normal

    Get PDF
    This study aimed to observe social background of “Munyer” masterpiece creation. This study was a qualitative study through library research, observation and interview to elaborate the composition. The finding showed that the design method consisted of initial stimulation, idea generation, exploration, improvisation, formation and presentation or performance. The result of this design was a new musical masterpiece with instruments, pattern and performance in five composition parts. Each part illustrates online learning situation happened in New Normal. Thus, the creation of “munyer” was a response to social condition in new normal where all pedagogical activities were conducted via online. However, there were complex obstacles and problems during online classes such as poor provider network, massive internet data plan, non-updated hardware and software, etc

    155

    full texts

    252

    metadata records
    Updated in last 30 days.
    Resital: Jurnal Seni Pertunjukan
    Access Repository Dashboard
    Do you manage Open Research Online? Become a CORE Member to access insider analytics, issue reports and manage access to outputs from your repository in the CORE Repository Dashboard! 👇