Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum
Not a member yet
155 research outputs found
Sort by
Penguatan Kedudukan Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu melalui Fungsi Pelayanan Tahanan
Perubahan sistem pemasyarakatan ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan. Salah satu hal yang diatur adalah mengenai pelayanan tahanan sebagai salah satu fungsi pemasyarakatan. Pengaturan ini tentu saja menarik untuk dianalisis karena selama ini pemasyarakatan hanya identik dengan pembinaan narapidana yang merupakan tahap akhir dalam sistem peradilan pidana. Pelayanan tahanan pada Rutan adalah berkaitan dengan proses peradilan pidana yang sedang berlangsung, karena secara yuridis tanggungjawab penahanan masih pada lembaga penegak hukum yang melakukan penahanan. Tulisan ini bertujuan menganalisis kaitan pengaturan pelayanan tahanan dalam Undang-Undang Pemasyarakatan terhadap sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan konseptual khususnya mengenai sistem pemasyarakatan dan sistem peradilan pidana terpadu. Hasil pembahasan dan analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaturan yang tegas dan jelas mengenai penyelenggaraan pelayanan tahanan sebagai fungsi pemasyarakatan. Hal Ini merupakan suatu bentuk kepastian hukum dan sekaligus penegasan keberadaan pemasyarakatan sebagai subsistem peradilan pidana terpadu. Sebagai bagian sistem peradilan pidana, pemasyarakatan tidak hanya bekerja pada akhir dari rangkaian proses peradilan pidana melalui fungsi pembinaan narapidana dan anak pidana, tetapi juga pada saat bekerjanya atau berlangsungnya proses peradilan pidana tersebut
A Concept of the Needs of The Ministry’s Internal Policy Agency for the Policy Response to the Formation of BRIN
The current Government policy that integrates all Research and Development Agencies in Ministries and Institutions demands that these agencies must be transformed. To be able to answer various strategic issues and anticipate demands that come from the internal and external environment is the basis for an organization to organize and evaluate internally. Proposed organizational arrangements in this case must have a clear basis and contain analysis of the various aspects needed. The purpose of this scientific work is to provide a concept for transforming a research and development Agency into an internal Policy Agency to avoid duplication of duties and functions in existing Research Agencies. This study uses the policy review type method which is focused on reviewing documents. The need for an Internal Policy Agency at the Ministries/Agencies level is currently very urgent because of the diverse and complex fields of work and to produce quality policies and can be measured by the Policy Quality Index. There are several suggestions for Ministries/Institutions that will form an Internal Policy Agency, among others, transformation must be based on evidence-based needs.
Advokasi Kebijakan Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten pada Entrepreneurial University
Advokasi kebijakan penghapusan biaya pemeliharaan paten pada Perguruan Tinggi (PT) khususnya Entrepreneurial University (EU) menjadi penting. Jumlah paten menjadi indikator utama dalam menetapkan universitas paling inovatif. Menkumham melakukan adaptasi dengan menerbitkan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pengenaan Tarif Tertentu pada Pelayanan Paten dan Hak Cipta, di mana dalam hal tertentu pengenaan tarif pada pelayanan paten dapat diberikan sebesar nol rupiah, termasuk bagi PT. Adapun rumusan masalah penelitian yaitu Bagaimana Advokasi Kebijakan Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten pada EU?. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa Advokasi Kebijakan Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten pada EU. Penelitian ini menggunakan konsep Advocacy Strategy Framework dari Coffman. Metode Penelitian yang digunakan adalah Kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Advocacy Strategy Framework terkait Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten dalam Permenkumham Nomor 20/2020 dilakukan melalui tiga perubahan yaitu Awareness, Will, dan Action dengan empat audiences yaitu Public and Influencers; Influencers; Influencers and Decision Makers; dan Decision Makers. Peneliti merekomendasikan kepada Kemenkumham untuk menyusun Roadmap dan Rencana Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten dan Kebijakan Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten dalam Produk Kebijakan berupa Kepmenkumham atau KepDirjen KI terkait Roadmap dan/atau Rencana Aksi terkait hal ini
Pengeksekusian Rahasia Dagang Sebagai Objek Jamina dalam Perbankan
Peraturan perundang-undangan terkait rahasia dagang tidak mengatur secara eksplisit bahwasanya rahasia dagang dapat dijadikan suatu objek jaminan dalam perbankan sehingga menimbulkan ketidakpastiaan hukum bagi masyarakat dan berpengaruh saat keadaan rahasia dagang yang dijadikan objek jaminan dan adanya pengeksekusian barang karena sebab tertentu. Penulisan artikel ini bertujuan dalam mengkaji dan menganalisis pengaturan rahasia dagang sebagai objek jaminan dan pengeksekusian rahasia dagang dalam perbankan. Kemudian, melalui artikel ini dapat memberikan manfaat berupa pemahaman yuridis terkait pengaturan hukum rahasia dagang sebagai objek jaminan dalam perbankan, memberikan sumbangan kepustakaan, dan dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait rahasia dagang sebagai objek jaminan. Isu hukum berupa kekosongan norma sehingga menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan bahwasanya rahasia dagang dapat dijadikan objek jaminan dalam perbankan karena mempunyai nilai ekonomi, dapat dialihkan, dan tidak memiliki batas waktu selama masih dijaga kerahasiannya. Kemudian terkait pengeksekusian rahasia dagang dapat dilaksanakan berdasarkan pengeksekusian jaminan fidusia mengingat rahasia dagang dapat dibebankan jaminan fidusia. Adapun cara pengeksekusiannya melalui titel eksekutorial, lelang umum, dan penjualan dibawah tangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 UU Jaminan Fidusia. Rahasia dagang sebagai objek jaminan telah diatur secara eksplisit dan pengeksekusian terhadap rahasia dagang dapat dilakukan dengan penjualan pribadi dan pelelangan yang diatur dalam Germany Lending and Taking Security Act. Berdasarkan pemaparan tersebut solusi atas isu hukum dalam artikel ini yaitu Indonesia dapat melakukan amendemen terhadap UU Rahasia Dagang dengan mempertimbangkan Peraturan Perundang- Undangan Jerman sehingga memberikan kepastian hukum bagi Masyarakat Indonesia terkait rahasia dagang sebagai objek jaminan
Optimalisasi Pengelolaan Paten Melalui Lokapasar: Formulasi Pengaturan Paten Dalam Bentuk NFT di Indonesia
Penelitian ini berupaya menggagas pengaturan paten dalam bentuk NFT (NFT-Paten) di Indonesia. Pengimplementasian NFT-Paten ditujukan untuk mengatasi permasalahan pengelolaan paten di Indonesia yaitu, birokrasi paten yang panjang dan berbiaya mahal, tidak adanya ekosistem komersialisasi paten yang terintegrasi, adanya kekosongan hukum mengenai mekanisme valuasi suatu paten. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsistensi normatif pengaturan NFT di Indonesia dan beberapa negara, menemukan kerangka normatif konsep peralihan hak NFT-Paten, dan mendesain konsep pengaturan peralihan hak NFT-Paten melalui lokapasar dalam peraturan-perundang-undangan. Dengan menggabungkan metode penelitian doktrinal dan reform oriented research, penelitian ini menemukan bahwa berdasarkan hukum positif Indonesia NFT dikategorikan sebagai komoditas kripto yang merupakan obyek pajak dan BKP, sebaliknya Amerika Serikat yang melihat NFT layaknya HKI konvensional dalam bentuk digital untuk kepentingan pajak. NFT-Paten dikategorikan sebagai benda bergerak tidak berwujud yang transaksinya dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pengimplementasiannya, dilakukan proses transisi dengan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan transisi diatur dalam Permenkumham dengan DJKI sebagai pengelola. Jika sebagian besar proses transisi telah berjalan, pemerintah perlu memperbaharui UU Paten 2016 beserta seluruh peraturan pelaksananya. Puncaknya penelitian ini merekomendasikan pemerintah untuk mengatur NFT secara khusus, bersinergi dengan perusahaan pengembang ekosistem paten berbasis blockchain, dan mendorong kolaborasi perguruan tinggi dengan perusahaan industri dalam pengembangan paten
Upaya Peningkatan Akses Keadilan Terhadap Penerima Bantuan Hukum di Indonesia Melalui Paralegal
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana perkembangan peran paralegal dalam pemberian bantuan hukum di Indonesia serta menelaah terkait tantangan-tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh paralegal dalam praktik pemberian bantuan hukum di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang digunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasilpenelitian ini mengungkapan bahwa perkembangan peran paralegal dalam pemberian bantuan hukum di Indonesia dapat dikaji dalam Permenkumham No. 1 Tahun 2018 paralegal berwenang untuk memberikan bantuan hukum secara litigasi dan non litigasi, namun hal ini dianggap bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sehingga Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Mahkamah AgungNo. 22/P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11 dan 12 dari Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tidak berlaku secara umum, sehingga kewenangan paralegal hanya sebatas pemberian bantuan hukum secara non litigasi, kemudian peran paralegal mendapatkan suatu penegasan kembali dalam Permenkumham No. 3 Tahun 2021 dimana paralegal diberikan kewenangan untuk memberikan bantuan hukum secara litigasinamun tidak secara mandiri, dalam praktik pemberian bantuan hukum oleh paralegal secara umum terdapat beberapa tantangan yang dapat menjadi penghambat di antaranya adalah paralegal diwajibkan untuk memiliki pemahaman tentang sistem hukum, peraturan, dan prosedur hukum yang berlaku di wilayah yang relevan
Perancang Peraturan Perundang-Undangan dalam Penyusunan Legislasi: Analisis Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional
Secara eksplisit, ada beberapa perbedaan yang cukup signifikan antara PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023 dan PermenPANRB Nomor 65 tahun 2021 tentang Jabatan fungsional Perancang Peraturan Perundang undangan. Peran perancang dalam pembentukan peraturan dan penyusunan instrumen hukum lainnya membutuhkan kompetensi dan pengetahuan yang baik sehingga dapat dipahami oleh para pengguna peraturan perundang-undangan, dan dapat diimplementasikan di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif serta empiris dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ditemukan bahwa peran perancang masih terkendala, antara lain: PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023 adalah salah bentuk penguatan peran perancang peraturan perundang-undangan dan penyederhanaan organisasi dalam melakukan pembinaan jabatan fungsional. Masih adanya kendala dalam pembinaan, antara lain: terhambatnya kenaikan pangkat perancang disebabkan oleh minimnya informasi keikutsertaan mengikuti diklat penjenjangan yang merupakan persyaratan kenaikan pangkat; keterbatasan kuota dan kesempatan untuk mengikuti diklat perancang; tidak jelasnya perbedaan dan pembagian tugas antara fungsional perancang dan fungsional analis hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, implementasi PermenPANRB terbaru ini adalah lebih memfokuskan tugas pejabat fungsional khususnya perancang pada capaian kinerja organisasi, bukan hanya pada capaian angka kredit sehingga berdampak pada penguatan kinerja organisasi dan pelayanan publik
Zero Overstaying: Harapan Baru Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan
Pengeluaran tahanan demi hukum dalam praktiknya masih belum optimal dan menjadi penyebab overstaying tahanan. Selama ini kemurnian kewenangan yang dimiliki kepala rutan dalam mengeluarkan tahanan yang habis masa penahanannya sebagaimana diatur dalam KUHAP seolah tereduksi. Peraturan pelaksana mensyaratkan tindakan administratif seperti memberitahu akan habisnya masa tahanan hingga meminta persetujuan kepada penegak hukum yang menahan secara yuridis. Bukan memudahkan, hal tersebut justru menjadi pintu masuk permasalahan koordinasi antar penegak hukum. Tulisan ini merekonstruksikan kembali permasalahan tersebut dan mengkaji bagaimana harapannya pasca lahirnya UU 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. KUHAP memberikan ruang yang sangat luas bagi penegak hukum dalam melakukan penahanan secara subyektif. Alhasil penahanan dipandang sebagai keharusan tanpa mencoba alternatif lain. Buruknya pola koordinasi antar penegak hukum dalam fase pengeluaran tahanan demi hukum seperti lambat ditanggapinya surat pemberitahuan habisnya masa penahanan menjadi bukti bahwa SPP tidak berjalan optimal. Di sisi lain rentetan peraturan pelaksana yang tidak sesuai dengan amanat KUHAP menjadi pemicu mekanisme pengeluaran tahanan demi hukum bermasalah dan membuat Kepala Rutan seringkali enggan mengeluarkan tahanan karena merasa sungkan kepada lembaga penegak hukum lainnya. Adanya SPPT-TI dan penguatan posisi sistem pemasyarakatan dalam SPP seperti tertuang dalam konsiderans UU 22 Tahun 2022 secara filosofis seyogyanya menjadi momentum bagi kepala rutan “menyetarakan” kedudukannya di antara penegak hukum. Sehingga rasa sungkan kepada penegak hukum lain tidak perlu terjadi lagi. Selain itu, diaturnya pelayanan tahanan secara lebih spesifik dalam UU tersebut seyogyanya ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksana yang lebih tegas melindungi hak tahanan dalam hal pengeluaran demi hukum
Ciptaan dan Invensi Hasil Kecerdasan Buatan dalam Perspektif Hak Cipta dan Paten
Kecerdasan buatan telah berkembang dengan sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan ciptaan dan Invensi tanpa campur tangan manusia melalui pelatihan sejumlah dataset. Penelitian yuridis normatif ini bertujuan untuk melihat permasalahan AI dalam perspektif AI sebagai subjek dan hasil AI sebagai objek perlindungan hak cipta dan paten, serta mengkaji implikasi penggunaan ciptaan dalam dataset untuk melatih AI. Penelitian ini menemukan bahwa AI tidak dapat menjadi seorang Pencipta dan Inventor karena hak moral dan hak asasi diperuntukkan untuk manusia, selain itu AI juga tidak dapat memanfaatkan hak ekonomi yang didapatkan dari perlindungan ciptaan atau paten. Kajian ini turut menemukan penggunaan dataset berisi ciptaan orang lain sebagai materi pengembangan AI berpotensi menimbulkan pelanggaran hak cipta. Potensi ini dimitigasi oleh beberapa negara dengan penerapan regulasi terkait TDM atau data scraping untuk machine learning AI. Akhirnya kajian ini juga menemukan bahwa ciptaan dan Invensi hasil AI pada umumnya tidak dapat menjadi objek yang dilindungi oleh rezim hak cipta kecuali mendapat kontribusi manusia secara langsung atau diformulasikan dalam peraturan perundang-undangan seperti dalam rezim hak cipta CGW di Inggris. Penelitian ini menyarankan bahwa praktik-praktik di negara lain dalam rezim perlindungan hak cipta dan paten terkait AI dapat dijadikan acuan politik hukum di Indonesia untuk membuat regulasi AI yang menyeimbangkan hak moral dan hak ekonomi para Pencipta dan Inventor dengan laju inovasi AI
Criminal System Disparity in The Indonesian Immigration Law 2011
The Criminal Provisions in Indonesian Immigration Law of 2011 are designed as acts of legislation for preventing transnational organized crimes in Indonesia. This law has existed for more than 10 years and has been no critical evaluation of the immigration criminal provisions. The construction of the criminal system has a non-uniform pattern of penal policy formation. This research employed the doctrinal research method with deductive reasoning that analyzed Articles on immigration criminal provisions from the perspective of Jeremy Bentham’s theory of punishment analyzing the quality of criminal Articles. The results indicate that there are reactive and not pre-empting immigration criminal provisions, poor criminal provisions during immigration examinations, disparities in Judge’s decisions at courts, varied patterns of punishment and sanctions, and inconsistency of criminal liability arrangements against corporations. Reconstruction of immigration criminal Articles is urged to achieve Bentham’s principles and objectives of the law in sentencing. Criminal Articles should be dominated to prevent cross-border crimes during immigration clearance