Portal e-Journal Mahkamah Konstitusi
Not a member yet
392 research outputs found
Sort by
Karakteristik Judicial Order dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Amar Tidak Dapat Diterima
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dengan amar tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (NO) pada umumnya tidak memiliki pertimbangan hukum. Akan tetapi dalam perkembangannya MK memberikan pertimbangan hukum baik mengenai pokok perkara dan kedudukan hukum Pemohon. Penelitian ini hendak menjawab dua permasalahan yaitu; apa urgensi adanya pertimbangan hukum yang mengandung judicial order dalam putusan dengan amar tidak dapat diterima? Kemudian bagaimana karakteristik judicial order dalam putusan dengan amar tidak dapat diterima? Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan metode pengumpulan data melalui studi pustaka. Penelitian ini mengelompokkan putusan yang memiliki amar NO dari tahun 2003 sampai dengan 2018 yang berjumlah 375 putusan. Dari jumlah tersebut, putusan NO yang memiliki pertimbangan hukum sebanyak 71 putusan. Penelitian ini menemukan 3 putusan yang didalam pertimbangan hukumnya terdapat judicial order yakni Putusan 105/PUU-XIV/2016, Putusan 57/PUU-XV/2017, dan Putusan 98/PUU-XVI/2018. Simpulan dari penelitian ini adalah putusan dengan amar Tidak Dapat Diterima yang memuat judicial order selalu berkaitan dengan implementasi putusan yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. MK menegaskan kembali sifat final dan binding Putusan MK serta sifat putusan MK yang declatoir konstitutif melalui putusan a quo. Karakteristik judicial order dalam ketiga a quo adalah ketika MK memberikan peringatan konstitusional secara bertahap (gradual). Pada Putusan 105/PUU-XIV/2016 MK menegaskan bahwa pengabaian putusan MK merupakan perbuatan melawan hukum, selanjutnya pada putusan 57/PUU-XV/2017 MK tegaskan sifat putusan yang self executing dan yang paling mendasar adalah pada putusan 98/PUU-XVI/2018 yang menyatakan bahwa lembaga atau masyarakat yang tidak menjalankan putusan MK merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. Lahirnya pertimbangan tersebut sebagai ikhtiar menegakkan supremasi konstitusi dan marwah Mahkamah Konstitusi.Decisions of the Constitutional Court in judicial review of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (1945 Constitution) with an unacceptable verdict or niet ontvankelijke verklaard (NO) generally do not have legal considerations. However, in its development the Court gave legal considerations both on the subject matter and legal position of the Petitioner. This research wants to answer why is the Constitutional Court gives judgment (judicial order) to the case with the unacceptable verdict? What are the legal consequences of legal considerations in the unacceptable verdict on compliance with the Constitutional Court's decision? This research is a normative legal research with data collection method through literature study. This study grouped the decisions that had NO verdicts from 2003 to 2018 totaling 375 decisions. From all of those, NO verdicts that have legal considerations are 71. This study found 3 decisions that have judicial orders in their legal considerations namely Decision 105/PUU-XIV/2016, Decision 57/PUU-XV/2017, and Decision 98/PUU-XVI/2018. The conclusion of this research is that an unacceptable verdict that contains a judicial order is always related to the implementation of a decision that does not work as it should. The Court reaffirmed the final and binding character of the Constitutional Court's decision as well as the character of the Constitutional Court's decision which declared constitutive through a quo decision. The characteristic of judicial order in the three a quo is when the Constitutional Court gives a gradual constitutional warning. In Decision 105/PUU-XIV/2016 the Constitutional Court confirmed that the disregard for the Constitutional Court's decision was an act against the law, then in the decision 57/PUU-XV/2017 the Constitutional Court affirmed the character of the decision that was self-executing and the most basic was the decision 98/PUU-XVI/2018 which states that an institution or community that does not carry out the Constitutional Court's decision is a defiance of the constitution. The birth of these considerations is as an effort to uphold the supremacy of the constitution and the spirit of the Constitutional Court.
Telaah Peran Partai Politik untuk Mewujudkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berdasarkan Pancasila
Penerapan Pancasila sebagai cita hukum bangsa Indonesia dan sekaligus sumber segala sumber hukum negara masih menghadapi sejumlah permasalahan salah satunya kemauan politik pembentuk peraturan perundang-undangan yang merupakan anggota Partai politik. Akibat pembentukan yang tidak bersumber pada Pancasila maka peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di pusat maupun daerah menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini mengenai cara meningkatkan peran partai politik untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan kepada nilai-nilai Pancasila. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah dengan pendekatan konseptual, dengan mendasarkan pada kedudukan Pancasila sebagai cita hukum, serta fungsi partai politik dalam negara demokratis. Temuan yang didapat yaitu fungsi legislasi sering dikesampingkan dibanding fungsi pengawasan dan anggaran, politik mayoritas menjadi dasar pemikiran para pembuat peraturan perundang-undangan dan bukan ukuran ideologi atau konstitusional, pragmatisme perekrutan calon anggota parlemen, serta adanya perilaku korupsi legislasi. Untuk meningkatkan peran partai politik mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan pada Pancasila dapat dilakukan dengan cara mewajibkan Parpol di semua tingkatan menyusun desain politik legislasi dalam masa kampanye Pemilu, kepengurusan Parpol dibagi ke dalam 3 (tiga) komponen salah satunya calon anggota lembaga perwakilan, ketegasan Parpol untuk menarik atau mengganti anggotanya di lembaga perwakilan yang lalai dalam menjalankan politik legislasi Pancasila, memasukkan kurikulum pendidikan Pancasila dalam pengkaderan anggota Parpol secara berjenjang dan berkelanjutan, dan negara segera membuat panduan atau pedoman sebagai dokumen resmi dalam menafsirkan dan memahami sila-sila Pancasila.The application of Pancasila as the legal idealsm of the Indonesia and as the source of all legal sources still dealing with some problems, one of which were the political will of laws and regulations maker which are the members of political parties. As a result of the formation that does not originate from Pancasila, the laws and regulations that are enforced at the central and regional levels cause problems. The issues discussed in this paper are about how to increase the role of political parties to refine laws and regulations based on Pancasila values. The method of approach used in this paper is a conceptual approach, based on the standing of the Pancasila as a legal idealism, as well as the function of political parties in a democratic country. The findings obtained are that the legislative function is often ruled out compared to the controlling and budgeting functions, political majorities become the rationale for legislators and not ideological or constitutional measures, pragmatism for recruiting parliament candidates, and the existence of corrupt behaviour in the legislation. To increase the role of political parties in refining laws and regulations based on Pancasila can be done by requiring the political parties at all levels to construct political legislation design in the election campaign period, management of political parties are divided into three (3) components one of which members of the legislature candidate, the firmness of political parties to withdraw or change the members in the legislature that fail to implement the Pancasila political legislation, including the Pancasila education curriculum in the cadre of political party members gradually and continuously, and the state immediately made guidelines as official documents in interpreting and understanding the Pancasila principles
Dekonstruksi Kewenangan Investigatif dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Relasi fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik, menyisakan ruang pedebatan yang menyandera penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Bersamaan dengan itu Putusan MK No.75/PUU-XII/2015 yang menguji frasa “kurang lengkap..” Pasal 20 (3) UU Pengadilan HAM, menegaskan bahwa bolak balik berkas, merupakan implikasi dari masalah dalam penerapan norma dalam praktik. Sedangkan konsekuensi dari frasa tersebut menyasar pada lingkup pemeriksaan bukti dan peristiwa. Kajian ini berupaya mengurai praktik penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM, dengan menganalisis relasi antara kedua kewenangan tersebut. Pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, menjadi lingkup analisis yang membantu untuk menjawab isu hukum. Kajian ini menemukan bahwa penggunaan frasa dan penafsirannya melahirkan friksi dalam penerapan norma. Untuk mengurai hal tersebut dilakukan dengan memetakan praktik dari bolak balik berkas. Perbedaan penafsiran ditemukan pada melebarnya hasil penyelidikan hingga penuntutan, yang berujung pada perbedaan klasifikasi jenis pidana. Temuan berupa ketidaksesuaian penerapan norma, merupakan konsekuensi dari praktik model hierarki dihadapkan pada otoritas kewenangan yang terpisah. Alhasil bentuk prosedur yang dipertanyakan, berkutat pada prosedur yang ada tanpa melihat karakter khusus dari situasi, peristiwa, kejahatan. Berlanjut dari itu anomali dalam praktik menjadikan penggunaan model hierarki dan model koordinasi dalam investigasi mengaburkan proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Berkaca pada proses di ICC terdapat beberapa hal yang bisa diambil untuk memperkaya wacana proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.The relation between the functions investigation of the National Human Rights Commission and the Attorney General leaves a space for debate that holds hostage to completion of gross human rights violations. At the same time, the Constitutional Court Decision No. 75/PUU-XII/2015 which examines the phrase "incomplete..." Article 20 (3) of the Law on Human Rights Courts, emphasizes that back and forth files are the implications of problems in applying norms in practice. While the consequences of these phrases target the scope of proofs and event examinations. This study seeks to unravel the practice of investigating human rights violations by analyzing the relations between the two authorities. Legislative approaches, conceptual approaches, historical approaches are the scope of analysis which helps to address legal issues. This study found that the use of phrases and their interpretations gave birth to friction in the application of norms. To parse this, it is done by mapping the practice of back and forth files. Differences in interpretation were found in the widening of the results of investigations to prosecution, which led to differences in the classification of criminal types. The findings in the form of incompatibility of norms are a consequence of the practice of hierarchical models faced with separate authority. As a result, the form of procedure is questioned, dwelling on existing procedures without seeing the special character of the situations, events, and the crimes. Continuing from that, anomalies in practice make the use of hierarchical models and coordination models in investigations obscure the process of resolving gross human rights violations. Reflecting on the process at the ICC, there are several things that can be taken to enrich the discourse on the process of completion gross human rights violations
Peran Ahli Hukum dalam Persidangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi kerap membuka persidangan dengan agenda mendengar keterangan ahli hukum sebagai bagian dari pembuktian. Hal ini menjadi sebuah kelaziman yang dipraktekkan tanpa adanya kritisi. Keberadaan ahli hukum dalam sebuah forum yang dipimpin oleh majelis hakim yang dianggap memenuhi persyaratan akan penguasaan isu konstitusi dan ketatanegaraan, secara tersirat, berarti mempertanyakan kualifikasi dari hakim konstitusi itu sendiri. Tulisan ini bermaksud mencari tahu mengapa praktek mendengar keterangan ahli hukum dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dilakukan. Selain itu, tulisan ini juga bermaksud untuk memberi masukan dalam hukum acara agar peran ahli hukum yang didengar keterangannya tidak memasuki ranah wewenang majelis hakim dalam menafsirkan konstitusi. Dalam rangka mencapai tujuan penulisan, pembahasan dalam tulisan ini dibagi dalam empat bagian yaitu (i) mengidentifikasi kriteria siapa yang disebut sebagai ahli; (ii) melihat kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dan bagaimana majelis hakim menilai alat bukti tersebut; (iii) menelisik pengaruh keterangan ahli dalam pengambilan putusan oleh majelis hakim konstitusi dalam praktek selama ini, dan (iv) mengukur apakah keterangan ahli hukum masih dibutuhkan dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. The Constitutional Court has often heard the opinion of legal experts as part of the examination of evidence. This is a common practice that was taken for granted. The very notion of having legal experts opinion in a forum led by judges who considered tohave meet the qualification to be an experts in constitutional law is implicitly, means questioning the experties of the constitutional judges itselves. This paper intends to find out why the practice of hearing the legal experts opinion in the trial of the Constitutional Court still occurs. In addition, this paper also intends to provide input in the procedural law so that the role of legal experts does not enter the domain of the judges in interpreting the constitution. In order to achieve the objectives, the discussion in this paper is divided into four parts, (i) identifying the criteria of who is qualified as an expert; (ii) assess the position of expert's opinion as evidence and how the panel of judges evaluate the evidence; (iii) examine the influence of expert opinion in decision making, and (iv) measure whether legal experts opinion is still necessary in the trial of the Constitutional Court
Diskursus antara Kedudukan Delik Pencucian Uang sebagai Independent Crime dengan sebagai Follow Up Crime Pasca Putusan MK Nomor 90/PUU-XIII/2015
Sebagai tindak pidana lanjutan (follow up crime), kedudukan tindak pidana pencucian uang dilihat berdasarkan terjadinya tindak pidana tersebut secara faktual. Akan tetapi, jika cara memandang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai follow up crime seperti itu dipertahankan dalam hal pembuktian, maka riskan untuk membuat tidak efektifnya pembuktian terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam keadaan-keadaan tertentu, utamanya dalam hal materiele dader tindak pidana asal tersebut sedang berstatus DPO. Oleh sebab itu, dimunculkanlah sebuah ide yang pada pokoknya menghendaki agar dalam keadaan demikian, masih dimungkinkan untuk dibuktikan tindak pidana pencucian uangnya. Konsep itu disebut dengan istilah independent crime, yang melihat kedudukan TPPU dari perspektif unsur esensial dari delik pencucian uang, dan dari perspektif pembuktian tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Dan hal tersebut juga tidak menyalahi apa yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 90/PUU-XIII/2015, sebagaimana dalam ratio decidendi putusan tersebut Mahkamah menyatakan bahwa frasa "tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu" bukan berarti tidak perlu dibuktikan sama sekali tindak pidana asalnya, namun TPPU tidak perlu menunggu lama sampai perkara pidana asalnya diputus atau telah memperoleh kekuatan hukum tetap.As a follow up crime, money laundering offences are seen factually based on the offences done. However, if this perspective about money laundering as a follow up crime is maintained in the trial process perspective, it would be very risky of making the Money Laundering’s proofs in the court. Some may become ineffective in certain circumstances, especially in term of the materiele dader of predicate offences have declared as a fugitive. For that reason, an idea is created which in essence allow to, in such circumstances, prove his/her money laundering offences. This concept is recognized as the concept of “independent crime”, which sees the crime of money laundering from the essential element of money laundering offense, and from the proofing perspective of the money laundering itself. This is also in line with the decision of the Constitutional Court number 90/PUU-XII/2015, where in the ratio decidendi of the decision, the Constitutional Court declared that the phrase “not obligated to be proven first” does not mean that there is no obligation at all to prove the original offense, instead it means that for it to continue its legal proceeding, but that does not have to wait for the original offense to be sentenced or has received permanent legal force.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Memuat Keadilan Sosial dalam Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir berdasarkan amandemen UUD 1945 memiliki fungsi sebagai lembaga terakhir penafsir konstitusi atau yang sering disebut sebagai the final interpreter of constitution. Fungsi ini biasanya dilaksanakan Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Terhadap frasa, ayat, pasal atau undang-undang yang dianggap tidak jelas atau multitafsir telah dimohonkan untuk diberikan penafsiran sesuai dengan konstitusi. Pun demikian dengan frasa keadilan sosial yang terdapat dalam beberapa undang-undang yang telah diputus Mahkamah Konstitusi. Terdapat 16 (enam belas) putusan dengan 10 (sepuluh) isu konstitusional dalam pengujian undang-undang selama periode 2003–2010 dalam bidang ketenagalistrikan, minyak dan gas bumi, ketenagakerjaan, sistem jaminan sosial nasional, sumber daya air, penanaman modal, pajak penghasilan, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pertambangan mineral dan batu bara. Dari 10 isu konstitusional tersebut, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah lebih sering memilih menggunakan interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi teleologis atau sosilologis dan interpretasi komparatif atau perbandingan. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, mengandung makna “penguasaan negara” artinya negara harus menjadikan penguasaan terhadap cabang produksi yang dikuasainya itu memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan masyarakat: ketersediaan yang cukup, distribusi yang merata, dan terjangkaunya harga bagi orang banyak. Dengan dikuasai oleh negara, keadilan sosial diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. The Constitutional Court as an institution born based on the amendments to the 1945 Constitution has a function as the final interpreter of constitution. This function is usually carried out by the Constitutional Court in its authority to examine laws against the 1945 Constitution. Regarding phrases, verses, articles or laws that are deemed unclear or multiple interpretations have been requested to be interpreted in accordance with the constitution. Even so with the phrase social justice contained in several laws that have been decided by the Constitutional Court. There are 16 (sixteen) decisions with 10 (ten) constitutional issues in judicial review during the 2003–2010 period in the fields of electricity, oil and gas, employment, national social security systems, water resources, investment, tax income, management of coastal areas and small islands and mining of minerals and coal. Of the 10 constitutional issues, in its legal considerations the Court often chooses to use grammatical interpretations, historical interpretations, teleological or sosilological interpretations and comparative or comparative interpretations. The Constitutional Court stated that social justice in the Preamble of the 1945 Constitution, contained the meaning of "state control" means that the state must make control of the controlled branch of production fulfill three things that are in the public interest: adequate availability, equitable distribution and affordability. By being controlled by the state, social justice is interpreted to include the meaning of control by the state in a broad sense that is derived and derived from the conception of the sovereignty of the people of Indonesia over all sources of wealth "earth, water and natural wealth contained in it" the people for the intended sources of wealth
Penafsiran atas Makna Agama di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 dan Nomor 140/PUU-VII/2009
Artikel ini membahas penafsiran terhadap makna agama di dalam konstitusi, yang mana terdapat perbedaan dalam penafsiran makna agama tersebut yaitu menurut Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 agama di masyarakat adat (penghayat kepercayaan) termasuk ke dalam makna agama di dalam konstitusi, sementara menurut Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 agama di masyarakat adat tidak termasuk ke dalam pengertian agama di dalam konstitusi. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, dan penafsiran historis. Berdasarkan asas hukum lex prosterior derogat legi priori menegaskan Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang diputuskan oleh MK belakangan mengesampingkan berlakunya Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009.This article is intended to discuss interpretation on the religion meaning in the Constitution where there is a different result of interpretation to the meaning of the religion in the Constitution according to the Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016 and the Constitutional Court Decision Number 140/PUU-VII/2009. The Constitutional Court Decision Number 140/PUU-VII/2009 says the religion in the indigenous community (the Penghayat Kepercayaan) is not part of the religion meaning in the Constitution, but according to the Constitutional Court Decision Number 97/PUU-IV/2016 the religion in the indigenous community is part of the religion meaning in the Constitution. Finally, a law principle of Lex Posterior Derogat Legi Priori is applied to such legal issue where the Constitutional Court Decision Number 97/PUU-XIV/2016 overrules the Constitutional Court Decision Number 140/PUU-VII/2009.
Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Beberapa Undang-Undang Terkait Kesehatan
Timbulnya pengakuan kesehatan sebagai hak asasi menunjukan perubahan paradigma yang luar biasa, karena kesehatan tidak lagi dipandang hanya sebagai urusan pribadi namun sebagai bentuk tanggung jawab negara dan hak hukum (legal rights). Tujuan diberlakukannya berbagai undang-undang terkait kesehatan adalah untuk memberikan jaminan konstitusionalitas hak atas kesehatan, namun dengan diberlakukannya berbagai undang-undang tersebut tidak berarti terjaminnya hak konstitusional atas kesehatan, hal ini tergambar dengan banyaknya uji materi terhadap berbagai undang-undang tersebut. Banyaknya permohonan uji materi tersebut menarik untuk diteliti terhadap prinsip-prinsip atau asas-asas yang melandasi materi muatan berbagai undang-undang terkait kesehatan dan konsistensi antar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan konsistensi Putusan MK dengan prinsip atau asas yang melandasi materi muatan undang-undang terkait kesehatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan bahwa prinsip-prinsip atau asas mempunyai arti penting sebagai landasan materi undang-undang sehingga dapat dijadikan sebagai batu uji dalam melakukan pengujian undang-undang. Kesimpulan lainnya yakni terdapat inkonsistensi antar putusan MK dan inkonsistensi putusan MK dengan prinsip atas asas yang melandasi materi muatan berbagai undang-undang terkait kesehatan.The emergence of the recognition of health as a human right shows an extraordinary paradigm shift, because health is no longer seen only as a private matter but as a form of state responsibility and legal rights. The purpose of the enactment of various laws related to health is to provide a constitutional guarantee of the right to health, however, the enactment of these various laws does not mean the guarantee of constitutional rights to health, this is showed by the number of judicial review of various laws. The number of requests for material tests is interesting to be examined on the principles that underlie the contents of various health related to laws and consistency between decisions of the Constitutional Court (MK) and consistency of decisions of the Constitutional Court to the principles that underlie the content of laws related to health. By using the normative juridical research method, it can be concluded that principles have an important meaning as a basis for the material of the law so that they can be used as a touchstone in conducting the testing of laws. Another conclusion is that there are inconsistencies between the Constitutional Court's decisions and the inconsistency of the Constitutional Court's decision to the principle on the basis of the material content of various laws related to health
Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court untuk Efektivitas Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara telah mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan putusan dengan menggunakan upaya paksa administratif dan perdata berupa pengenaan uang paksa. Pada praktiknya mekanisme ini kurang efektif karena masih ada Pejabat TUN yang tidak mau patuh melaksanakan putusan Pengadilan TUN. Perlu adanya kriminalisasi contempt of court terhadap Pejabat TUN yang melakukan pembangkangan tersebut karena dampaknya adalah terabaikannya hak konstitusional warga atas keadilan yang telah diputuskan oleh Pengadilan TUN. Dengan kriminalisasi ini maka dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan terhadap rakyat atas kesewenang-wenangan Pejabat TUN. RUU Contempt of Court telah memasukkan ancaman pidana bagi para pihak yang tidak mau mematuhi putusan pengadilan. Secara fundamental yang dilindungi dari kriminalisasi ini adalah kepentingan keadilan dan eksistensi Negara hukum Indonesia.Law on State Administration has set regarding the enforcement mechanism by using administrative and civil forceful measures include the imposition of forced currency. In practice this mechanism is less effective because there are officials who do not want to obey implement the Court’s decision TUN. The need for the criminalization of contempt of court against officials who do disobedience TUN because its impact is the neglect of the constitutional rights of citizens to justice that have been decided by the Court of TUN. With this criminalization, it can provide legal certainty and the protection of the people over the arbitrariness of officials TUN. Contempt of Court Bill has included criminal sanctions for those who fail to comply with the court ruling. Fundamentally protected from criminalization of this is in the interests of justice and the existence of the laws of Indonesia
Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Artinya, sejak saat itu pula putusan MK harus dilaksanakan. Ternyata, masih banyak putusan MK yang tidak diimplementasikan sesuai dengan ketentuan konstitusi, bahkan cenderung diabaikan oleh addressat putusan. Penelitian ini hendak menganalisis mengenai, pertama, alasan putusan final dan mengikat MK tidak implementatif; Kedua, solusi untuk menciptakan putusan final dan mengikat MK yang implementatif. Penelitian ini dikualifikasikan ke dalam penelitian hukum normatif, dengan pendekatan konseptual dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, bahwa putusan MK dengan sifat final dan mengikat yang berlaku sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum sulit untuk dilaksanakan karena harus ditindaklanjuti dengan instrument hukum baru, padahal untuk melakukan hal tersebut, harus melalui proses hukum yang sangat formal-prosedural; selain itu, beberapa putusan MK cenderung melampaui batas sehingga mempengaruhi keharmonisan hubungan antar-cabang kekuasaan negara. Kedua, diperlukan adanya tenggang waktu putusan, berupa diberikannya jeda waktu agar addressat putusan mempunyai kesempatan menindaklanjuti putusan MK, serta upaya mengekang hakim MK dalam mengeluarkan putusan dengan menormakan semangat judicial restraint.Constitutional court’s decision is legally final and binding since decleared in the opened trial. Since then, constitutional court’s decision must be implemented consequently. Evidently, there are some constitutional court’s decisions doesn’t implemented based on the constitutional provisions, even tend to be ignored. This research aims to analize, first, the reason of the final and binding decision on the constitutional court doesn’t implemented; second, solutions to create a final and binding on constitutional court’s decision that is implementable. This research qualifies into normative legal research, with conceptual and comparative approach. The finding revealed that first, the Constitutional Court’s decision with the final and binding nature which has been effective since it was decleared in the plenary session which opened to the public, is difficult to implemented. This is due to new legal instruments with the formal-procedural proccess are needed to implement the constitutional court’s decision. Furthermore, some of the constitutional court’s decision tend to go beyond the limit wich influence the harmony of relations between branches of state power. Second, a grace period is needed, in the form of given a time lag so that addressat will take the opportunity to follow up on the Constitutional Court’s decision, also restraining constitutional court’s judges in issuing decisions by normalizing judicial restraint