Rety Bilkis Syam :
14112141295
“Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat Sah
Perkawinan Dalam Pandangan Ibn Qayyim Al-
Jawziyyah”.
Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa dalam Islam
melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika akan
melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan
terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan.
Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa kepada tercapainya tujuan
perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau kebebasan anak gadis dalam
menentukan calon suaminya. Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis
tersebut, ternyata di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat. Hal ini
diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama
menyatakan bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada
persetujuan pun, perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat
persetujuan adalah sesuatu yang menentukan (wajib). Pada golongan pertama
termasuk imam Syafi‘i yang mana pendapatnya diikuti mayoritas masyarakat
Indonesia. Sedangkan di golongan kedua diikuti oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah
yang juga merupakan salah satu tokoh besar dalam dunia Islam.
Masalah ini adalah bagaimana pendapat dan apa yang menjadi landasan
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan? Bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan
hukum positif di Indonesia?
Tujuan dari penelitian ini Untuk pendapat dan apa yang menjadi landasan
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan, dan untuk mengetahui relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dengan hukum positif di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif Bentuk
penelitian ini adalah berupa kajian pustaka (library research). Kajian ini berusaha
mengungkapkan pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak
gadis dalam perkawinan, baik buku-buku teks, jurnal, atau majalah-majalah
ilmiah dan hasil-hasil penelitian.
Berdasarkan metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar
dari perbedaan pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas
fuqaha’ adalah karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mantuq nas
(makna eksplisit) yang dikuatkan dengan ‘illat as-suqr dalam istinbat hukumnya.
Sementara mayoritas fuqaha’ menggunakan mafhum mukhalafah (makna implisit)
dalam istinbat hukumnya yang dikuatkan dengan memakai ‘illat al-bikr.
Penelitian yang dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat
Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di
Indonesia. Perbedaan pendapat di antara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan
mayoritas fuqaha’ merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal
tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk membuka tabir apa
sesungguhnya yang menjadikan para ulama tersebut berbeda pendapat.
Kata kunci: Anak Gadis, Perkawinan, dan Ibn Qayyim Al-Jawziyya