Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Walisongo
Doi
Abstract
Meningkatnya angka calon tunggal dalam gelaran Pilkada serentak di Indonesia menuai ragam polemik, salah satunya adalah adanya anggapan bahwa Pilkada calon tunggal telah menyebabkan proses sirkulasi kepemimpinan daerah berjalan tidak sehat, memperlemah sistem demokrasi, dan cenderung memperkokoh praktik monopoli kekuasaan di tingkat daerah. Studi ini mengkaji fenomena meningginya calon tunggal dalam gelaran pemilihan kepala daerah, dampak dan pengaruhnya terhadap sistem demokrasi dan dinasti kekuasaan di Indonesia. Dengan melakukan analisa berdasarkan perspektif sosiologi hukum dan sosiologi politik, studi ini mendapati temuan bahwa sejak diterapkannya Pilkada serentak pada tahun 2015, praktik Pilkada calon tunggal mengalami peningkatan. Meningginya jumlah calon tunggal tersebut disebabkan oleh adanya pragmatisme politik di level elit, tidak optimalnya partai politik menjalankan fungsinya, serta diterapkannya syarat ambang batas pencalonan. Pada tataran praktiknya, Pilkada calon tunggal telah mereduksi prinsip esensial pemilihan umum, khususnya prinsip partisipasi, kompetisi, danprinsip kontestasi sehingga membuat bangunan demokrasi Indonesia melemah. Selain itu, Pilkada calon tunggal juga dinilai telah membuat dinasti kekuasaan di tingkat daerah semakin menguat. Faktanya, dari jumlah 25 calon tunggal yang bertarung pada Pilkada serentak 2020, sebanyak 23 calon merupakan incumbent baik sebagai calon kepaladaerah atau wakil kepala daerah, dan 10 di antaranya merupakan kepala daerah yang kembali maju dengan pasangan calon yang sama