1,756 research outputs found
Analisis ekuitas merek (brand equity) kecap manis di kota bogor
Kecap merupakan salah satu produk industri pangan yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan ataupun sebagai salah satu bumbu masakan. Saat ini terdapat berbagai macam merek kecap di Indonesia dengan variasi rasanya. Hal ini menyebabkan persaingan yang terjadi di industri kecap manis semakin ketat dan masing-masing produsen menawarkan berbagai kelebihan dibandingkan kompetitornya. Industri kecap di Indonesia tidak hanya diramaikan oleh industri-industri besar namun juga oleh home industri atau industri rumah tangga yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia. Merek-merek kecap manis yang dihasilkan oleh industri-industri besar antara lain kecap manis merek ABC, Bango, Indofood, Nasional, Maya, Orang Jual Sate dan Kokita.
Persaingan yang ketat di industri kecap manis menyebabkan masing-masing produsen harus mempunyai strategi pemasaran yang tepat dalam rangka meraih pangsa pasar untuk mencapai keuntungan atau laba bersih bagi perusahaan. Ekuitas merek merupakan suatu parameter pemasaran untuk menunjukan kekuatan merek yang dimiliki oleh suatu produk sehingga produk tersebut dapat unggul dibandingkan kompetitornya. Ekuitas merek dapat diindikasikan oleh sepuluh komponen yaitu top of mind brand, top of mind advertising, brand share, best perceived quality, brand used most often, overall satisfaction, brand switching, recommendation, dan unavailability.
Tujuan dari penelitian ini adalah, (1) Melihat keterkaitan antara profil responden dengan komponen-komponen penyusun ekuitas merek, (2) Memformulasi model ekuitas merek kecap manis, (3) Mengukur tingkat ekuitas merek produk kecap manis yang terdiri dari komponen top of mind brand, top of mind advertising, best perceived quality, overall satisfaction, brand used most often, brand share, brand switching, recommendation, unavailability, dan best brand ,(4) Menganalisis tingkat kontribusi komponen-komponen penyusun ekuitas merek produk kecap manis di kota Bogor. Ruang lingkup penelitian ini hanya mengukur ekuitas merek produk kecap manis di kota Bogor.
Penelitian tentang ekuitas merek produk kecap manis dilakukan pada bulan Maret hingga April 2005 yang berlokasi di Kota Bogor. Kota Bogor dibagi menjadi enam wilayah kecamatan yaitu Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Barat, Bogor Tengah, Bogor Selatan dan Tanah Sareal. Responden yang diambil sebagai sampel adalah penduduk Kota Bogor yang berusia lebih dari 16 tahun, mengkonsumsi kecap manis lebih dari tiga bulan dan sebagai pengambil keputusan dalam pembelian kecap manis. Tehnik pengambilan contoh yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan multistage random sampling dengan jumlah responden 120 orang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan wawancara secara langsung dengan responden. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan analisis structural equation model (SEM). Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui persentase profil responden dan persentase kesepuluh komponen penyusun ekuitas merek. Sedangkan analisis structural equation model (SEM) digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing komponen penyusun ekuitas merek dan nilai dari merek tersebut atau brand value.
Profil responden menunjukkan 95,8 persen responden berjenis kelamin perempuan. Tingkat pendidikan responden yaitu 39,42 persen berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), 23,32 persen berpendidikan akademi dan diploma, 15,82 persen berpendidikan sarjana (S1), 15,02 persen berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMP), 3,30 persen berpendidikan Sekolah Dasar (SD), 2,5 persen berpendidikan S1, dan 0,8 persen responden yang tidak mengenyam pendidikan. Status responden diketahui dari hasil penelitian adalah 85 persen menikah, 11 persen janda/duda dan 4 persen menikah. Pekerjaaan responden menurut data adalah 81,33 persen ibu rumah tangga, 6,22 persen pegawai pemerintahan, 5,36 persen pegawai swasta, 5,36 persen profesional, 0,86 persen mahasiswa dan 0,86 persen pedagang. Pekerjaan pasangan responden adalah 34,35 persen pegawai swasta, 28,47 persen pegawai pemerintahan, 27,41 persen lainnya, ibu rumah tangga 5,88 persen, dan 3,88 persen profesional. Pengeluaran responden per bulan menurut hasil penelitian adalah 30,83 persen responden mempunyai rata-rata pengeluaran untuk rumah tangga lebih besar dari Rp 2.000.000, 23,32 persen responden diantara Rp 1.500.001-Rp 2.000.000, 17,52 persen diantara Rp 1.000.001-Rp 1.500.000 13.31 persen diantara Rp 500.001-Rp 700.000, 3,30 persen diantara Rp 300.001-Rp 500.000.
Hasil analisis komponen top of mind memperlihatkan merek Bango merupakan merek yang paling banyak diingat pertama kali oleh responden sebanyak 54,2 persen sedangkan dari analisis brand recall diketahui merek ABC merupakan merek yang paling banyak diingat setelah merek top of mind sebesar 52,5 persen. Hasil analisis top of mind advertising juga menunjukkan kecap merek Bango merupakan iklan yang paling banyak diingat pertama kali oleh responden sebanyak 57,5 persen. Kecap Bango memiliki brand share yang paling besar yaitu 59,2 persen, kemudian kecap ABC 32,5 persen, kecap Indofood 2,5 persen, kecap Nasional 1,7 persen dan kecap Zebra, kecap CNI, kecap Bemo, kecap Kurma, kecap Ikan Dorang masing-masing memiliki brand share 0,8 persen.
Data yang didapat dari analisis komponen brand used most often menunjukkan bahwa kecap Bango juga merupakan kecap yang paling banyak digunakan yaitu 56,7 persen dari responden kemudian kecap ABC dengan persentase 35,8 persen, kecap Indofood dan kecap nasional masing-masing 1,7 persen dan kecap zebra, kecap CNI, kecap Bemo, kecap kurma, kecap Ikan Dorang dengan persentase masing-masing 0,8 persen. Dari hasil analisis perceived quality dapat diketahui bahwa kecap Bango merupakan merek yang dipersepsikan paling baik oleh 59,2 persen responden kemudian kecap ABC 30 persen, kecap Indofood 3,3 persen, kecap Zebra 2,5 persen, kecap Orang Jual Sate dan kecap Nasional masing-masing 1,7 persen, serta kecap CNI dan kecap Ikan Dorang masing-masing 0,8 persen resoponden. Diketahui dari analisis overall satisfaction yang menunjukkan tingkat kepuasan responden dalam menggunakan produknya. Analisis ini menggunakan skala sangat puas, puas dan biasa saja. untuk kecap Bango terdapat 67,65 persen responden merasa puas, 11,76 persen sangat puas dan 20,58 persen biasa saja.
Dari hasil analisis komponen brand switching diketahui reponden yang paling sering mengkonsumsi kecap ABC tidak akan berpindah jika menemukan merek baru yang memiliki kualitas paling baik, kecap Bango 30,9 persen, kecap Indofood 50 persen, kecap Zebra 100 persen, kecap Bemo 100 persen. Hasil analisis komponen rekomendasi diketahui yaitu 48,8 persen reponden yang mengkonsumsi kecap Bango pernah merekomendasikan kecap tersebut kepada orang lain, kecap Bango sebanyak 55,9 persen, kecap Nasional 50 persen, kecap CNI, Bemo dan kecap Ikan Dorang 100 persen pernah merekomendasikan merek yang sering digunakan kepada orang lain. Data yang diperoleh dari hasil analisis komponen unavailability menunjukkan bahwa responden yang paling sering menggunakan kecap ABC 11,6 persen tidak jadi membeli jika merek ABC tidak tersedia dan 25,6 persen mencari ditempat lain. Untuk kecap ABC 5,9 persen tidak jadi membeli dan 19,1 persen mencari di tempat lain.Untuk kecap Nasional 50 persen mencari ditempat lain dan untuk kecap Zebra dan Ikan Dorang 100 persen tidak jadi membeli jika merek tersebut tidak tersedia. Dari keseluruhan responden 62,5 persen responden memilih kecap Bango sebagai merek terbaik, 30 persen memilih kecap ABC, 2,5 persen responden memilih kecap zebra, 1,7 persen memilih kecapIndofood dan 0,8 persen responden masing-masing memilih kecap Nasional, Orang Jual sate, CNI dan Bemo.
Pada analisis SEM (structural equation model) kesepuluh komponen pembentuk ekuitas merek disebut dengan peubah terukur eksogen kecuali brand share yang merupakan peubah terukur endogen. Peubah terukur eksogen yang terdiri dari top of mind brand, top of mind advertising, dan brand share digunakan untuk mengukur peubah laten eksogen pertama yaitu brand awareness. Peubah laten eksogen kedua yaitu brand perceived quality diukur oleh peubah terukur eksogen brand used most often, overall satisfaction dan best perceived quality. Peubah laten eksogen ketiga yaitu brand loyalty diukur oleh peubah terukur eksogen brand switching, recommendation dan unavailability.
Top of mind brand(X1) merupakan peubah terukur eksogen yang memberikan muatan faktor paling besar yang membentuk brand awareness yaitu 1,00, Top of mind advertising(X3) memberikan muatan faktor 0,68 dan brand share(X3) 0,57. Peubah laten eksogen terukur best perceived quality mempunyai muatan faktor paling besar yang membentuk brand perceived quality yaitu 1,04, kemudian brand used most often (X5) dengan muatan faktor 1,00 dan peubah laten eksogen terukur overall satisfaction (X4) dengan muatan faktor 0,17. Brand switching merupakan peubah terukur eksogen yang mempunyai muatan faktor paling besar dalam membentuk peubah laten brand loyalty yaitu 1,00. Sedangkan kedua peubah terukur eksogen lainnya yaitu rekomendasi dan unavailability memberikan muatan faktor -1,10 dan-1.01.
Brand perceived quality merupakan peubah laten eksogen yang mempunyai muatan faktor paling besar yaitu 0,70, brand awareness 0,68 dan brand loyalty 0,35. Artinya peubah laten eksogen brand perceived quality merupakan peubah laten eksogen yang paling mempengaruhi ekuitas merek. Hasil penelitian menunjukkan kecap Bango merupakan merek kecap yang memiliki ekuitas merek paling kuat dibandingkan dengan merek lainnya dengan nilai 227,22.
Dari hasil penelitian ekuitas merek kecap manis kota Bogor diketahui masing-masing merek mempunyai nilai persentase peubah indikator eksogen terukur yang berbeda-beda. Untuk merek kecap Bango dan kecap ABC yang mempunyai nilai persentase tinggi di peubah TOM brand, TOM advertising, brand share, best perceived quality, overall satisfaction, dan brand used most often harus tetap mempertahankan dan membangun program pemasaran yang telah dilakukan agar tidak terjadi penurunan nilai. Sedangkan untuk peubah indikator eksogen terukur brand switching, recommendation dan unavailability kedua merek ini memiliki nilai persentase yang rendah. Artinya kedua merek ini harus merumuskan dan mengimplementasikan program-program pemasaran yang dapat meningkatkan loyalitas.
Selain itu untuk merek Indofood, Nasional, Zebra, CNI, Bemo,Kurma dan Ikan Dorang yang memiliki nilai persentase yang rendah untuk peubah TOM brand, TOM advertising, brand share, best perceived quality, overall satisfaction, dan brand used most often dapat memilih program-program pemasarannya akan fokus untuk meningkatkan salah satu atau lebih peubah. Tidak menutup kemungkinan juga untuk meningkatkan keseluruhan nilai tersebut namun membutuhkan biaya yang sangat besar dan hasil yang didapatkan tidak akan optimal. Hal ini dapat dilakukan hanya untuk merek-merek besar saja seperti Indofood, Nasional dan CNI. Namun untuk merek-merek lokal seperti Zebra, Ikan Dorang dan Bemo lebih baik membuat prioritas peubah mana yang lebih baik ditingkatkan nilainya terlebih dahulu
Analisis Perencanaan Laba Berdasarkan Metode CVP (Cost Volume Profil) Pada PPKS Unit Usaha Bekri -PT Pekebunan Nusantara W (Persero)
RINGKASAN EKSEKUTIF
SUKARNOTO. 2001. Analisis Perencanaan Laba Berdasarkan Metode CVP
(Cost Volume Profil) Pada PPKS Unit Usaha Bekri -PT Pekebunan Nusantara
W (Persero), dibawah bimbingan DJOM TANOPRUWITO dan HARIANTO.
Subsektor perkebunan sebagai salah satu sistem agribisnis Indonesia,
berperan dalam: (1) memacu pertumbuhan ekonomi nasional, (2) memacu
perolehan devisa; (3) penyedia pangan dan papan, (4) penyedia bahan baku
industri, dimana nilai output yang dihasilkan oleh industri berbahan baku minyak
sawit mengalami peningkatan, dan (4) pencipta dan perluasan lapangan kerja.
Konsumsi komoditas ininyak sawit dunia pada tahun 2005 diproyeksikan
sekitar 25.625 ribu ton. Unit usaha Bekri sebagai salah satu unit bisnis PT
Perkebunan Nusantara VII (Persero) dapat memanfaatkan peluang pasar yang
masih terbuka luas, untuk melakukan peningkatan volume produksi.
Secara mum manajemen PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) dalam
perencanaan bisnisnya didahului dengan penetapan laba. Kemudian dijabarkan
pada penentuan volume produksi yang &an dicapai, yang disajikan pada RKAP
(Rencana Kerja, Anggaran dan Pendapatan). Penyusunan RKAP berdasarkan
pada norma -norma baku pekerjaan tahun -tahun sebeltnnnya. Sebagai dasar
penyusunan anggaran adalah perkiraan produksi yang akan dicapai pada tahun
berjalan sesuai dengan komponen produksi seperti luas lahan (hektar),
produktivitas tanaman kelapa sawit (tonhektarftahun) dan rendemen minyak
sawit. Sejauh mana komponen -komponen produksi ini dapat dicapai sesuai
dengan target volume produksi yang akhirnya mempengaruhi laba.
Analisis biaya, volume dan laba (CVP) merupakan anaiisis yang
menunjukkan hubungan antara biaya yang dikeluarkan dengan laba yang
diperoleh, untuk itu manajemen perlu mengetahui perilakunya. Sedangkan
analisis perilaku biaya menghasilkan estimasi fungsi biaya setiap kegiatan atau
selumh kegiatan dari setiap sub perkiraan, berupa biaya tetap dan biaya variabel.
Hasil analisis CVP dapat digunakan dalam menentukan peinbuatan model
perencanaan laba yang tepat dan realistis bagi manajemen PT Perkebunan
Nusantara VII (Persero).
Dalam perencanaan laba, unit usaha Bekri perlu menyusun strategi dan
rencana tindakan yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan
ekstemal dan intemai dengan memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki
dan menghindari ancaman dan meminimalkan kelemahan yang ada, sehingga
perusahaan &pat memperoleh laba yang optimal dan dapat menghindari kerugian
yang mungkin timbul.
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka studi yang menjadi pokok masalah
dirumuskan: (1) bagaimana pihak manajemen menangani pengalokasian
sumberdana dan penggunaan biaya, berdasarkan perilakunya, (2) berapa biaya
tetap yang dikeluarkan dalam' melaksanakan kegiatan selama ini, (3) berapa
volume penjualan pada titik impas, (4) bagaimana pengaruh perubahan volume
penjualan terhadap pencapaian laba, (5) bagaimana pengaruh perubahan
komponen produksi terhadap besaran biaya yang mempengamhi laba, dan (6)
�
bagaimana strategi bisnis yang diperlukan untuk mencapai laba seperti yang telah
direncakanan.
Sedangkan tujuan penelitian adalah: (1) menentukan perilaku biaya yang
diperlukan untuk perencanaan laba, (2)menentukan biaya tetap, (3) menentukan
volume penjualan pada titik impas, (4) menganalisis tingkat laba pada volume
tertentu serta menentukan batas aman (margin of safety), (5) menentukan
pengaruh perubahan produksi terhadap perolehan laba, dan (6) menyusun
alternatif strategi yang diperlukan untuk mencapai laba yang direncanakan.
Penelitian ini dilaksanan pada Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS) Unit
Usaha Bekri -PT Perkebunan Nusantara VII (Persero), Bandar Lampung.
Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Agustus 200 1 sampai bulan Oktober 2001.
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder baik kuantitatif
inaupun kualitatif. Analisis data dilakukan analisis kuantitatif seperti analisis
perilaku biaya, analisis titik impas, analisis nzargin of safety, analisis DOL dan
analisis sensitivitas. Peramalan digunakan untuk memprediksi penjualan dan
biaya pada bulan September sampai Desember 2001. Sedangkan analisis kualitatif
dilakukan pada analisis faktor internal dan eksternal yang melibatkan responden
dari dalam dan luar perusahaan. Analisis kualitatif ini digunakan untuk
menentukan posisi perusahaan saat ini dan untuk mempe;oleh altematif strategi
perencanaan laba.
Unit usaha Bekri dalam mengklasifikasikan biaya dikelompokkan pada
biaya staf, biaya tanaman, biaya pengolahan dan biaya pembelian TBS. Dalam
perencanaan jangka pendek masing -masing kelompok biaya diklasifikasikan ke
dalam biaya variabel, biaya tetap dan biaya semivariabel. Biaya semivariabel
akan dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel menggunakan metode
'
-
least square dengan alat bantu program komputer Minitab 1 1.
Melalui pemisahan biaya sesuai dengan perilakunya, ditemukan model
estimasi fimgsi biaya yang terdiri dari estimasi biaya tanaman, biaya pembelian
TBS dan biaya pengolahan. Dalam rangka pembuatan rencana laba, prediksi
penjualan dan biaya variabel dilakukan untuk memprediksi pencapaian laba pada
tahun 2001 dengan metode time series.
Hasil pemisahan biaya berdasarkan perilakunya ditemukan estimasi fungsi
biaya total (TB,) untuk memproduksi minyak sawit dengan beberapa pemicu
biaya:
sedangkan estimasi biaya totaI dengan satu pemicu biaya adalah:
TB,= 1.089.810.434 + 1.158,l CPO
Pengujian terhadap validitas model estimasi fungsi biaya, diperoleh
estimasi fungsi biaya dengan satu pemicu memiliki simpangan hail estimasi
terkecil sebesar 0,032 persen terhadap biaya sebenarnya dibandingkan dengan
estimasi fungsi biaya beberapa pemicu. Selanjutnya estimasi fungsi biaya ini
digunakan untuk analisis perencanaan laba.
�
Untuk membantu manajemen dalam perencanaan laba jangka pendek
digunakan analisis CW (Cost Volume Profit) untuk menghitung dampak
perubahan volume dan biaya. Komponen -komponen yang dianalisis adalah titik
impas (break even), marjin kontribusi, marjin pengaman dan DOL. Diperoleh titik
impas sebesar Rp 2.179.447.897 atau sebesar 1.276.872,2 kilogram produk
bauran yang terdiri dari minyak sawit sebesar 1.036.437,2 kilogram dan inti sawit
sebesar 240.434,O kilogram.
Prediksi penjualan pada tahun 2001 sebesar Rp 44,278 milyar yang terdiri
dari penjualan minyak sawit sebesar Rp 40,450 milyar dan inti sawit sebesar Rp
3,287 milyar setahun, sedangkan target penjualan berdasarkan RKAP sebesar Rp
64,257 milyar setahun atau Rp 5,354 sebulan, dengan demikian prediksi penjualan
tahun 2001 tercapai sebesar 68 persen terhadap penjualan RKAP. Agar penjualan
mencapai RKAP, perusahaan hams berupaya meningkatkan penjualan sebesar
45,l persen.
Pada tingkat penjualan tersebut marjin pengaman tahun 2001 sebesar 40,93
persen, nilai ini mengalami penurunan bila dibanding dengan tahun 2000.
Penurunan marjin pengaman dapat diantisipasi melalui peningkatan penjualan
atau dengan mengurangi baiya. Sedangkan leverage operasi (DOL) dengan nilai
sebesar sebesar 2,98. Pada nilai DOL ini jika pada perencanaan laba terjadi
kenaikan penjualan sebesar 1 persen maka akan terjadi peningkatan laba sebesar
2,98 persen. Dengan kata lain untuk dapat mencapai penjualan sesuai RKAP
maka penjualan tahun 2001 hams ditingkatkan sebesar 45,l persen sehingga
diperoleh tambahan laba sebesar 134,4 persen.
Agar laba dapat dicapai, maka unit usaha Bekn hams meningkatkan
produksi dan penjualan minyak sawit. Hasil analisis sensitivitas laba
: menunjukkan tjawsl dengan kisaran peningkatan produktivitas kebun sendiri
sebesar 1,5 tonihdtahun akan meningkatkan laba dengan kisaran Rp 83.427.990
sebulan dan untuk kebun seinduk sebesar 1,5 tonihdth terjadi peningkatan laba
sebesar Rp 58.712.710. Peningkatan produktivitas kebun kemitraan sebesar 0,75
tonihdtahun dapat meningkatkan laba sebesar Rp 27.720.967 dan peningkatan
rendemen dengan kisaran 0,5 persen dapat meningkatkan laba sebesar Rp
41.019.014.
Target laba sesuai dengan RKAP sebesar Rp 1,290 milyar sebulan dapat
diraih melalui pencapaian kombinasi peningkatan produktivitas yaitu: (1) dalam
rangka peningkatan produktivitas yang lebih mudah dicapai adalah peningkatan
produktivitas kebun sendiri sebesar 4,5 tonthdth atau menjadi 18,34 tonihdth,
sedangkan untuk produktivitas kebun lain tetap dan rendemen sebesar 21,5
persen; (2) peningkatan rendemen menjadi 21,O persen yang dikombinasikan
dengan peningkatan produktivitas kebun sendiri dan kebun seinduk' sebesar 3,0
tonihdth, akan diperoleh laba sebesar Rp 1,293 milyar sebulan. upaya ini dapat
dilakukan melalui usaha perbaikan mutu panen dan efisiensi pengolahan.
Analisis dan evaluasi faktor internal diperoleh nilai skor sebesar 3,29 ha1 ini
menunjukkan bahwa pemsahaan secara internal kuat. Sedangkan hasil analisis
dan evaluasi faktor eksternal perusahaan cukup baik dalam menghadapi
lingkungan eksternal yang ditunjukkan oleh nilai skor sebesar 2,87. Posisi
perusahaan pada matrik IE (David, 1997) berada pada sel IV yang berarti
perusahaan dapat menerapkan strategi tumbuh dan berkembang dalam rangka
meningkatkan penjualan dan laba yang optimal.
�
Untuk mencapai sasaran laba melalui metode CVP, dibutuhkan strategi dan
rencana tindakan oleh manajemen unit usaha Bekri. Altematif strategi yang
tersusun pada matrik SWOT dapat dipertimbangkan untuk membantu manajemen
menyusun langkah -langkah dalam mencapai laba yang ditetapkan. Strategi clan
rencana tindakan yang dipilih adalah strategi penerapan teknologi produksi yang
lebih baik dalam rangka peningkatan produMivitas tanaman kelapa sawit hingga
18,34 ton/ha/th khususnya pada kebun sendiri dan strategi efisiensi pengolahan
hingga mencapai rendemen 21,5 persen. Didukung oleh strategi peningkatan
ke jasama pola kemitraan guna mencapai pemenuhan kapasitas bahan baku TBS.
Berdasarkan pemilihan strategi tersebut akan mengakibatkan peningkatan
produksi dan penjualan minyak sawit. Perubahan peningkatan penjualan sebesar
1 persen maka akan meningkatkan laba sebesar 1,98 persen, artinya jika
perubahan penjualan naik sebesar 45,l persen maka perubahan peningkatan laba
sebesar 134,4 persen. Dipadukan dengan strategi mempertahankan pasar yang
bertujuan untuk mempertahankan pelanggan agar penjualan tidak menurun, oleh
karena penurunan volume penjualan dapat menurunkan laba sebesar 2,98 kali.
Upaya peningkatan proddctivitas sebesar 375 kglhalbl atau sebesar 4,5
ton/ha/th dapat dicapai melalui perbaikan pemeliharaan tanaman dan manajemen
panen. Pemungutan berondolan secara intensif dan TBS tertinggal (tidak
terpanen) dapat dipertimbangkan untuk menekan kehilangan (losses) produksi
TBS.
Kata Kunci : kelapa sawit, minyak sawit (crude palm oil), unit usaha Bekri, PTP
Nusantara VII (Persero) -Lampung, akuntansi manajerial, perilaku
biaya, analisis cost volume profit, analisis break even, least square,
' time-series.
ANALISIS PERILAKU KONSUMEN TERHADAP PRODUK MAKANAN RINGAN DALAM RANGKA FORMULASI STRATEGI BAURAN PROMOSI PT. INDOFOOD FRITO-LAY
RINGKASAN EKSEKUTIF
AVANDY AZIS, 2000. Analisis Perilaku Konsumen Terhadap Produk
Makananan Ringan Dalarn Rangka Formulasi Strategi Bauran Promosi
PT. lndofood Frito-Lay di bawah birnbingan AGUS MAULANA dan
TRIDOYO KUSUMASTANTO.
PT. lndofood Frito-Lay adalah salah satu anak perusahaan PT.
lndofod Sukses Makrnur yang bergerak dalam bidang usaha produksi
makanan ringan dengan berbagai macam merek dan rasa yang ditujukkan
untuk target konsumen yang berbeda. Salah satu merek makanan ringan
yang dihasilkan oleh PT. lndofood Frito-Lay yaitu Chitato yang
rnerupakan makanan ringan dari jenis non ekstruksi karena
pembuatannya tidak mengalami proses penguraian. Bahan baku utama
dalam pembuatan makanan ringan ini adalah kentang (Solanurn
tuberosum sp.) yang berkualitas tinggi.
Perilaku konsumen bersifat dinamis, selalu berubah dari waktu
kewaktu. Sernentara itu persaingan yang semakin meningkat dalam
industri makanan ringan modern ditunjang oleh adanya perubahan gaya
hidup masyarakat terhadap konsumsi makanan ringan yang serba instant.
Berbagai strategi promosi digunakan sebagai alat untuk
mengkomunikasikan keunggulan produk makanan ringan. Berdasarkan
ha1 tersebut, PT. lndofood Frito-Lay memerlukan strategi bauran promosi
yang tepat dengan berlandaskan kepada analisis perilaku konsumen
makanan ringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
perilaku konsumen produk rnakanan ringan merek Chitato, faktor -faktor
yang menjadi keunggulan makanan ringan Chitato dibandingkan dengan
pesaingnya serta pengaruh adanya produk makanan ringan lain terhadap
perilaku konsumen makanan ringan Chitato. Hasil dari analisis terhadap
perilaku konsumen ini digunakan untuk memformulasikan strategi bauran
promosi. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik
pengambilan sampel purposive sampling. Responden dalam penelitian ini
adalah konsumen makanan ringan baik modern maupun tradisional dan
berumur minimal 17 tahun. Jurnlah keseluruhan responden adalah 140
orang yang berada di wilayah DKI Jakarta. Data primer diperoleh dengan
menyebarkan kuesioner yang selanjutnya diolah dengan menggunakan
metode analisis multiatribut Fishbein dan analisis Biplot untuk mengetahui
atribut -atribut tertentu yang mernpunyai keungguian dari atribut merek
lainnya.
Hasil kajian terhadap perilaku konsumen makanan ringan
menunjukkan bahwa Chitato memiliki citra yang cukup baik, karena
memiliki nilai Fisihbein di atas rata -rata untuk semua atribut khususnya
untuk atribut kemudahan memperoleh dan harga. Namun citra produk ini
masih kalah dibandingkan dengan makanan ringan merek Pringles.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengelompokan produk -produk yang
menjadi pesaing Chitato menjadi tiga kelompok yakni kelompok produk
merek Mister Potato dan Hottest serta kelompok produk merek Pringles
dan Chitato yang masing -masing terpisah satu sama lain.
Pengelompokkan ini juga diikuti dengan pengelompokkan atribut -atribut
produk sesuai dengan hasil analisis sikap konsumennya. Chitato memiliki
keunggulan dalam atribut harga dan kemudahan memperoleh sementara
Pringles memiliki keunggulan dalam atribut variasi rasa, kerenyahan,
kuaitas, bentuk dan kemasan yang lebih menarik. Sementara untuk merek
produk pesaing lainnya, yakni Hottest dan Mister Potato atribut produknya
tidak mempunyai keunggulan apapun dibandingkan dengan Chitato dan
Pringles.
Penelitian ini rnenunjukkan bahwa bauran promosi (iklan) Chitato
cukup efektif dalam meningkatkan awareness terhadap produk Chitato
yakni sebesar 98,9%. Meskipun demikian ketertarikan responden
terhadap iklan Chitato cukup rendah yang ditunjukkan oleh sikap biasa
saja terhadap iklan tersebut (73%). Formulasi strategi bauran promosi
makanan ringan Chitato yang didasarkan kepada analisis perilaku
konsumennya menunjukkan bahwa penggunaan bauran promosi
periklanan harus ditunjang oleh adanya promosi penjualan dalam bentuk
diskon atau pemberian hadiah untuk menimbulkan minat terhadap
pembelian Chitato serta mendorong konsumen melakukan volume
pembelian yang lebih banyak lagi. Disamping itu mengingat perilaku
pembelian konsumen makanan ringan dilakukan secara impulse buying,
display produk yang menarik diperlukan untuk menarik minat konsumen
agar melakukan tindakan pernbelian makanan ringan Chitato. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa diperlukan adanya peningkatan
publisitas sebagai bagian dari bauran promosi Chitato untuk lebih
memperkuat loyalitas terhadap merek Chitato
Perencanaan strategik pt anugrah jaya agung
Kota Bogor sebagai salah satu kota penyangga Ibu Kota Jakarta memiliki pertumbuhan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan Kota Bogor ini ikut mendorong pergerakan dalam industri perhotelan. Beberapa hotel berbintang telah bersiap-siap untuk meningkatkan kapasitas kamarnya dan beberapa hotel baru juga akan dibangun di Kota Bogor dan sekitarnya. Seiring perkembangan Kota Bogor yang diikuti dengan perkiraan terjadinya penambahan kapasitas kamar hotel berbintang dapat menimbulkan dampak yang cukup besar karena berpotensi menurunkan tingkat hunian (occupancy rate) dari Hotel Salak The Heritage Bogor. Penurunan tingkat hunian di Hotel Salak The Heritage Bogor secara keseluruhan akan berdampak pada penurunan total penjualan dari P.T. Anugrah Jaya Agung.
Kinerja keuangan P.T. Anugrah Jaya Agung secara keseluruhan masih mengkhawatirkan dengan tingkat keuntungan pada tahun 2003 dan 2004 yang relatif kecil. Secara kumulatif sejak beroperasi kembali tahun 1998 sampai dengan tahun buku 2004 P.T. Anugrah Jaya Agung masih rugi sebesar Rp. 1.745.328.866. Kondisi yang tidak menguntungkan ini makin mendapat tekanan akibat krisis energi listrik dan bahan bakar minyak yang telah mendorong terjadinya kenaikan harga berbagai komoditas dan kenaikan frekuensi kerusakan peralatan. Tekanan semakin besar mengingat Hotel Salak The Heritage Bogor selaku hotel milik Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang dikelola dengan sistem kerja sama operasi dengan P.T. Anugrah Jaya Agung akan berakhir pada tanggal 24 Juli 2018. Berakhirnya kerja sama bisa jadi merupakan juga akhir dari umur perusahaan yang berakibat pada timbulnya konsekuensi-konsekuensi dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan.
Dari uraian tersebut di atas maka permasalahan yang dihadapi oleh P.T. Anugrah Jaya Agung adalah bagaimana program jangka pendek dalam hal penghematan biaya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, bagaimana strategi bersaing P.T. Anugrah Jaya Agung – Hotel Salak The Heritage Bogor menghadapi intensitas persaingan industri perhotelan di Kota Bogor dalam beberapa tahun mendatang, bagaimana visi dan misi dari P.T. Anugrah Jaya Agung saat ini terkait dengan perencanaan strategik jangka panjang dan bagaimana perencanaan strategik jangka panjang P.T. Anugrah Jaya Agung untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan menghadapi berakhirnya Kerja Sama Operasi (KSO) tanggal 24 Juli 2018.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi maka tujuan dari penelitian ini adalah menyusun program jangka pendek dalam hal penghematan biaya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan, merumuskan strategi bersaing P.T. Anugrah Jaya Agung – Hotel Salak The Heritage Bogor menghadapi intensitas persaingan industri perhotelan di Kota Bogor dalam beberapa tahun mendatang, Mengkaji visi dan misi P.T. Anugrah Jaya Agung dan melakukan perbaikan yang sesuai jika diperlukan terkait dengan perencanaan strategik yang dilakukan dan merumuskan perencanaan strategik jangka panjang P.T. Anugrah Jaya Agung untuk mencapai masa depan yang lebih baik dan menghadapi berakhirnya Kerja Sama Operasi (KSO) tanggal 24 Juli 2018. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dalam bentuk studi kasus. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh menggunakan metode wawancara, metode focus group discussion, metode kuesioner dan metode observasi. Data sekunder untuk penelitian ini diperoleh dari berbagai laporan seperti laporan audit perusahaan dan laporan kinerja internal masing-masing departemen. Teknik pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan memilih sendiri pihak-pihak yang menjadi responden yang terdiri dari responden internal yaitu manajemen perusahaan dan responden eksternal yang terdiri dari expert dalam industri perhotelan dan bisnis.
Teknik pengolahan dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran mengenai perusahaan secara menyeluruh, Analisis Biaya Strategik perusahaan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biaya, Analisis Industri untuk mengetahui posisi bersaing perusahaan, Analisis Nilai-Nilai Manajerial melalui analisis terhadap Visi/Misi dan Norms & Values perusahaan serta peta stakeholder, Analisis Eksternal perusahaan untuk mengetahui peluang atau ancaman yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan, Analisis Internal terhadap kinerja perusahaan melalui Key Result Area sebagai parameter untuk menilai kekuatan/kelemahan perusahaan, Analisis Industry Foresight untuk merumuskan suatu pandangan baru tentang industri masa depan, Analisis Situasi SWOT untuk merumuskan strategi yang dapat diambil oleh perusahaan sesuai dengan situasi, kondisi dan kemampuan perusahaan. Hasil pengolahan dan analisis data kemudian digunakan untuk menyusun perencanaan strategik dari P.T. Anugrah Jaya Agung sampai dengan tahun 2018 yang memuat tujuan perusahaan, sasaran perusahaan, arsitektur strategik dan tantangan perusahaan, program kerja dan rencana tindakan (action plan).
Analisis biaya strategik menunjukkan ada beberapa pengeluaran biaya yang mengalami kenaikan melebihi persentase yang wajar yaitu jauh di atas 12.94% (kenaikan pendapatan ditambah inflasi). Berdasarkan observasi langsung di lapangan juga menunjukkan bahwa masih ada hal-hal yang tidak efisien dalam kegiatan operasional perusahaan. Berdasarkan analisis biaya strategik, observasi langsung di lapangan, hasil kuesioner dan diskusi bersama dengan para responden internal maka untuk memperbaiki struktur biaya yang cukup tinggi, perusahaan perlu melakukan program penurunan biaya berkelanjutan (sustainable cost reduction program).
Hasil analisis industri menunjukkan bahwa intensitas persaingan dalam industri perhotelan tergolong sedang dengan skor 3.226 (skala 1-5). Proporsi tertinggi dari masing-masing variabel dalam menentukan intensitas persaingan dalam industri perhotelan diperoleh dari kekuatan tawar menawar pembeli dengan skor 3.502, ancaman produk substitusi dengan skor 3.493 dan tingkat persaingan dalam industri dengan skor 3.350. Sedangkan skor terendah diperoleh dari ancaman pendatang baru dengan skor 2.904 dan kekuatan tawar menawar pemasok dengan skor 2.883.
Hasil analisis terhadap nilai-nilai manajerial menunjukkan bahwa visi perusahaan sebaiknya diperbaiki menjadi ”Kami ingin menjadi perusahaan yang unggul dan terkemuka dalam industri perhotelan dan kepariwisataan dan memiliki kemampuan mengembangkan diri menjadi investor global yang tidak hanya handal dalam industri perhotelan dan kepariwisataan tapi juga di industri lain yang prospektif. Begitu juga dengan misi perusahaan sebaiknya diperbaiki menjadi ”Memastikan para tamu dan konsumen kami berhasil mencapai tujuan bisnis mereka melalui penyediaan produk dan jasa dalam bidang industri perhotelan dan kepariwisataan yang berkualitas tinggi dan terjangkau, mendukung pengembangan sektor bisnis dan ekonomi baik lokal maupun global melalui partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan investasi yang positif dan bermanfaat banyak buat masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan, menjalankan aktivitas-aktivitas operasional perusahaan yang ramah lingkungan dan berkontribusi aktif dalam setiap kegiatan yang bertujuan membentuk lingkungan yang sehat, aman dan berkualitas.” Norma-norma dan Nilai-nilai perusahaan berdasarkan praktek-praktek bisnis yang baik (good business practices) juga diyakini dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan perusahaan.
Hasil analisis eksternal menunjukkan bahwa yang menjadi isu strategik eksternal adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, inflasi yang tinggi, penambahan pesaing, kebijakan otonomi daerah dan gangguan keamanan. Sedangkan inisiatif strategik eksternal yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, meningkatkan efisiensi perusahaan dan meningkatkan penjualan.
Hasil analisis internal menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kekuatan dalam hal produktivitas yang tinggi, market share yang cukup besar, kemampuan pengembangan sarana dan prasarana yang baik, tingkat pendidikan karyawan yang baik, kemampuan inovasi dan pembaruan yang baik dan program tanggung jawab sosial yang baik. Sedangkan kelemahan yang dimiliki adalah profitabilitas yang rendah, kemampuan pengelolaan dana tunai rendah dan tingkat turn over karyawan yang tinggi.
Industry Foresight dari industri perhotelan diperoleh dari responden eksternal yang terdiri dari Thierry Gasnier, Ilie G. Wantah dan Peter J. Soehardjo. Menurut tiga orang responden eksternal ini, diperoleh kesimpulan bahwa industri perhotelan pada masa depan akan cenderung berkembang ke arah business & conference hotel dan makin bergantung pada perkembangan bisnis dan pertumbuhan ekonomi serta akan dipengaruhi secara kuat oleh perkembangan teknologi khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan isu-isu efisiensi, lingkungan, kesehatan dan keamanan.
Analisis Situasi SWOT yang dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis eksternal, hasil analisis internal dan nilai-nilai manajerial diperoleh situasi bahwa peluang yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sedangkan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan adalah inflasi yang tinggi, penambahan jumlah pesaing, kebijakan otonomi daerah dan gangguan keamanan. Kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan adalah produktivitas dalam hal tingkat hunian yang tinggi, market share cukup besar, kemampuan pengembangan sarana dan prasarana yang baik, tingkat pendidikan karyawan yang baik, kemampuan inovasi dan pembaruan yang baik dan program tanggung jawab sosial perusahaan yang baik sedangkan kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan adalah profitabilitas perusahaan rendah, kemampuan pengelolaan dana tunai rendah dan tingkat turn over karyawan tinggi. Yang menjadi faktor pendukung adalah visi dan misi perusahaan yang telah diperbaiki dan norma-norma dan nilai-nilai perusahaan yang jadi budaya perusahaan serta peta stakeholder yang jelas sesuai power, predictability dan interest masing-masing.
Berdasarkan Analisis Situasi SWOT dan Industry Foresight maka strategi yang dapat dilakukan oleh P.T. Anugrah Jaya Agung adalah strategi efisiensi untuk meningkatkan kemampuan menghasilkan return usaha sebagai modal untuk terus tumbuh, strategi blue ocean melalui penciptaan value innovation dalam perusahaan yang didedikasikan bagi konsumen untuk membuat persaingan menjadi tidak relevan lagi, strategi akuisisi dengan mengambil alih beberapa hotel kecil dan menengah yang cukup prospektif, strategi membangun kemitraan strategis (strategic partnership) untuk memperluas jaringan yang dimiliki, strategi pengembangan dan perluasan pasar untuk meningkatkan penjualan atau pendapatan perusahaan, strategi pertumbuhan yang agresif setelah perusahaan mampu menghasilkan pendapatan dan profitabilitas sesuai sasaran yang telah ditetapkan, strategi IPO untuk mendukung strategi pertumbuhan yang agresif berupa dukungan pendanaan yang murah dari masyarakat dan strategi aliansi dengan institusi atau partner asing untuk memudahkan menembus pasar global.
Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh P.T. Anugrah Jaya Agung maka disusun Arsitektur Strategik perusahaan dari sekarang hanya sebuah perusahaan pemilik dan pengelola satu buah hotel menjadi sebuah perusahaan investasi berskala global (global investment company) pada tahun 2018. Untuk menjadi sebuah perusahaan investasi berskala global cukup besar tantangan yang akan dihadapi oleh P.T. Anugrah Jaya Agung mulai dari kebutuhan sumber daya manusia, kebutuhan dana yang besar, sistem pengendalian organisasi, perbedaan budaya, kompetensi dan aspek hukum korporasi.
Untuk keberhasilan perencanaan strategik ini maka yang perlu dilakukan adalah menyiapkan mekanisme kontrol dan pengawasan yang tepat untuk memastikan program program penurunan biaya berkelanjutan tersebut berjalan lancer, nilai tambah untuk konsumen harus terus menerus diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya serta diciptakan yang baru sesuai sesuai dengan strategi bersaing Blue Ocean, Visi dan Misi harus dikomunikasikan dengan baik kepada seluruh karyawan untuk menimbulkan efek motivasi, penerapan Norma-norma dan Nilai-nilai perusahaan harus berlaku sama dan konsisten terutama pada tingkat manajemen. Seluruh Tim Manajemen juga harus memberikan perhatian ekstra dan bekerja keras pada Periode Penguatan Internal selama tahun 2006 – 2007. Jika program pada periode ini dapat dilalui dengan mulus dan berhasil maka P.T. Anugrah Jaya Agung – Hotel Salak The Heritage akan dapat merealisasikan mimpi besarnya untuk menjadi sebuah perusahaan investasi berskala global yang kuat dan terpandang
Analisi implementasi masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi indonesia (mp3ei) (studi kasus: pengembangan pelabuhan makasar)
Pelabuhan memiliki peranan sangat penting bagi terwujudnya tujuan MP3EI. Disisi lain, bila MP3EI dapat diimplementasikan dengan baik, maka implikasinya adalah pertumbuhan lalu lintas barang melalui pelabuhan menjadi lebih tinggi sesuai dengan berkembangnya aktivitas ekonomi wilayah. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji perkembangan ekonomi regional Sulawesi Selatan dan dampaknya pada pengembangan Pelabuhan Makassar, (2) menganalisis kebutuhan fasilitas Pelabuhan serta (3) menganalisis kebijakan dan strategi pengembangan Pelabuhan Makassar. Metode analisis yang digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ), analisis time series, analisis kebutuhan dan analisis AHP. Jenis dan sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling untuk penentuan lokasi maupun responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor basis dengan nilai LQ > 1 yang ada di kawasan hinterland Pelabuhan Makassar, yaitu sektor Pertanian, subsektor Pertambangan bukan migas, listrik dan air bersih, sedangkan sektor non basis dengan nilai LQ < 1 yaitu sektor Bangunan/konstruksi, subsektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sektor Kehutanan, Industri pengolahan, peternakan, sektor Perdagangan, Hotel & Restoran, sektor Pengangkutan dan komunikasi dan sektor Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan. Dengan kondisi perekonomian regional maka pengembangan Pelabuhan Makassar perlu mengantisipasi perubahan sesuai dengan perkembangan sektor-sektor tersebut.
Kebutuhan pengembangan fasilitas dan peralatan Pelabuhan Makassar dalam menunjang sektor basis dan non basis berdasarkan skenario moderat, pada tahun 2016 diproyeksikan BOR akan mencapai 60.94%, sehingga diperlukan penambahan dermaga sebanyak 1 unit dan penambahan Container Crane (CC) sebanyak 2 buah. Dengan demikian pada tahun 2019 jumlah peralatan yang dibutuhkan adalah 7 unit CC, 14 unit TT, dan 26 Headtruck. Luas lapangan penumpukan yang ada saat ini seluas 170.000 m2 tidak mencukupi kebutuhan tahun 2016 sebesar 175.126 m2 karena diprediksikan arus peti kemas yang masuk ke Pelabuhan Makassar mencapai 913.158 TEUs sehingga pada tahun 2016 dibutuhkan penambahan lapangan penumpukan seluas 5.126 m2 dan 47.895 m2 pada tahun 2021.
Prioritas utama kebijakan pengembangan Pelabuhan Makasar adalah fasilitas pokok wilayah daratan dengan nilai 55%. Fasilitas yang menjadi prioritas utama adalah lapangan penumpukan lini satu dengan nilai 65,5% karena arus barang pada Pelabuhan Makassar sudah tinggi sehingga perlu untuk penambahan lapangan penumpukan agar dapat menampung laju arus petikemas serta barang ekspor dan impor dari sektor basis dan non basis di wilayah Makassar
Prototipe Sistem Penunjang Keputusan (decision support system) Perencanaan dan Pengendalian Produksi Sayuran Komersia
EMIL YAZID Z., 2001. Prototipe Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System) Perencanaan Dan Pengendalian Produksi Sayuran Komersial. Dibawah Bimbingan ARIF IMAM SUROSO dan KUDANG BORO SEMINAR.
Situasi usaha tani sayuran saat ini banyak mengarah ke agribisnis. Ternyata berbisnis di bidang ini juga menguntungkan. Selain perputaran modalnya cepat, pasarnya pun banyak. Dalam usaha ini dibutuhkan pengetahuan tentang seluk beluk dunia bisnis. Dengan pengetahuan bisnis peluang usaha dapat dilihat secara cermat sehingga keuntungan yang diinginkan tercapai. Usaha di bidang sayuran komersial membutuhkan suatu manajemen yang sifatnya unik. Keunikan ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain produksi sayuran komersial cenderung dipengaruhi musim, komoditi sayuran komersial relatif mudah rusak, usianya pendek dan dalam pengusahaannya membutuhkan perawatan yang relatif intensif. Dalam bisnis sayuran komersial, manajemennya dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan menghasilkan dan mendistribusikan kepada pengusaha atau langsung ke konsumen dan memprosesnya lebih lanjut bila memungkinkan.
Adanya pengambilan keputusan yang tepat yang dilakukan oleh pihak manajemen pengelola usaha agribisnis sayuran ini, yang didasarkan pada fakta-fakta, alternatif-alternatif yang dihadapi serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi adalah merupakan suatu kebutuhan. Pada sisi lain, pembuat keputusan seringkali dihadapkan pada kerumitan dan lingkup pengambilan keputusan dengan data-data yang sedemikian kompleks. Sistem penunjang keputusan membantu pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil pengolahan informasi-informasi yang diperoleh atau tersedia dengan menggunakan model-model pengambilan keputusan.
Permasalahan yang akan timbul setelah itu adalah (1) berapakah kapasitas produksi yang efisien, biaya produksi yang paling efisien serta keuntungan yang paling optimal dalam suatu agribisnis sayuran komersial.
(2) bagaimana meminimalkan kerugian dari hal-hal yang tidak dikehendaki seminimal mungkin, seperti fluktuatifnya harga pasar.(3) bagaimana perencanaan dan pengendalian produksi sayuran komersial dapat mendukung keterjaminan kontinuitas supply kepada pasar.
Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan investigasi, analisa dan desain sistem pada SPK perencanaan dan pengendalian produksi berdasarkan berbagai faktor dan parameter yang berpengaruh terhadap perencanaan dan pengendalian produksi. (2) membangun prototipe sistem penunjang keputusan perencanaan dan pengendalian produksi sayuran komersial sehingga dapat dimungkinkan untuk membantu bagian perencanaan dan pengendalian produksi di suatu usaha agribisnis bagi pengembangan usahanya.
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan pengamatan di usaha agribisnis Gapoktan di daerah Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Oktober 2000 hingga Februari 2001 dilakukan dengan metode deskriptif dengan studi kasus dan pembahasannya dilakukan dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif melalui pendekatan sistem dengan menggabungkan metode pengembangan sistem SDLC dengan metode pengembangan sistem prototyping. Pengumpulan data menggunakan data 3 komodti yaitu cabai rawit, sawi dan tomat yang merupakan komoditi sayuran yang dipilih berdasarkan umur relatif pendek, unsur rotasi tanaman, harga yang cenderung tidak fluktuatif, pemeliharaan tanaman yang relatif mudah, memiliki pasar yang cukup luas.
Tahapan pengembangan sistem gabungan ini terdiri atas 3 tahapan yaitu (1) investigasi sistem (2) analisa dan desain sistem dan (3) pembuatan dan penguji cobaan sistem.
Investigasi sistem menghasilkan suatu studi kelayakan sistem yang menunjukkan bahwa (1) dibutuhkannya suatu SPK terhadap perencanaan dan pengendalian produksi sayuran serta (2) dari aspek teknis dan dari aspek organisasinya telah memenuhi persyaratan kelayakan sehingga dimungkinkannya dilaksanakan analisa dan desain sistem.
Analisa dan desain sistem menghasilkan (1) manajemen basis data yang digambarkan dalam diagram ER (Entity-Relationship) yang didukung sebuah kamus data dan (2) manajemen basis model yang dibagi atas 3 basis model yaitu model pemasaran, model produksi dan model keuangan. Dari 3 basis model tersebut dibagi lagi dalam sub-sub model lagi.
Basis model pemasaran mempunyai 2 sub model yaitu sub model pemasaran dan sub model statistik. Basis model produksi mempunyai 2 sub model yaitu sub model produksi dan sub model optimalisasi. Sedangkan basis model keuangan mempunyai 2 sub model yaitu sub model rumus dan sub model analisa keuangan.
Dalam pembuatan prototipe sebagai contoh aplikasi yang akan diterapkan, prototipe ini dibuat dalam bentuk pengolah data (misalnya seperti Microsoft Excel dari Microsoft Office atau Lotus for Windows dari Borland-Delphi) yang didukung dengan program time series forecasting (misalnya seperti Minitab, SPSS, atau SAS, dll) dan program optimalisasi Goal Programming (misalnya seperti Lindo for Windows, ABQM 3.0, atau QM for Windows, dll).
Dalam pengujian prototipe ini, terdapat 2 skenario. Skenario pertama ialah kegiatan yang dimungkinkan dilakukan oleh pihak manajemen dalam merencanakan dan mengendalikan kegiatan produksi sayurannya yang berpatokan pada pengoptimalan keuntungan finansial dengan menggunakan asumsi harga jual komoditi terendah dari suatu periode waktu. Periode waktu untuk data harga penjualan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara bulan Januari tahun 1998 hingga bulan Desember tahun 1999. Sedangkan skenario kedua dengan menggunakan asumsi harga jual dari output nilai peramalan yang menggunakan alat analisis perangkat lunak komputer dari suatu periode waktu yang sama dengan skenario pertama.
Untuk menguji model prototipe ini dibuat sebuah contoh kasus sebagai berikut: (1) lahan yang tersedia berjumlah 1 Ha (10.000 M2) (2) investasi awal untuk usaha agribisnis tersebut sebesar 39.352.610 Rupiah (3) dana tersedia untuk produksi sejumlah 30.000.000 Rupiah (4) produk komoditi sayuran yaitu cabai rawit, sawi dan tomat (5) biaya modal sebesar 15,39 % dan pajaknya sebesar 20 %. Dari kondisi tersebut, maka dihasilkan 2 skenario hasil sebagai berikut:
(1) Skenario pertama menunjukkan bahwa (a) komoditi yang ditanam adalah komoditi sawi dengan lahan terpakai 4.769,754 M2 (b) dana tersedia terpakai habis (c) tanaman yang dibudidayakan sebanyak 15.826 tanaman sawi selama 6 bulan yang terbagi dalam 8 kavling (d) pengiriman pasokan kepada konsumen untuk komoditi sawi sejumlah 2.571,73 Kg setiap 10 hari pengiriman (e) Payback Period bisa tercapai setelah 16,9 bulan penanaman terus menerus secara kontinyu.
(2) Skenario kedua menunjukkan bahwa (a) komoditi yang ditanam adalah komoditi sawi dengan lahan terpakai 3.419,298 M2 dan komoditi tomat dengan lahan terpakai 3.361,437 M2 (b) dana tersedia terpakai habis (c) tanaman yang dibudidayakan sebanyak 11.345 tanaman sawi selama 6 bulan yang terbagi dalam 8 kavling dan 5.191 tanaman tomat selama 6 bulan yang terbagi dalam 8 kavling (d) pengiriman pasokan kepada konsumen untuk komoditi sawi sejumlah 1.843,6 Kg setiap 10 hari pengiriman dan pengiriman pasokan kepada konsumen untuk komoditi tomat sejumlah 524,91 Kg setiap 7 hari pengiriman (e) Payback Period bisa tercapai setelah 4,9 bulan penanaman terus menerus secara kontinyu.
Usaha agibisnis on-farm selama ini seringkali mengalami kerugian disebabkan beberapa kendala baik faktor-faktor eksternal maupun faktor-faktor internal. Faktor-faktor eksternal umumnya adalah karena (1) rantai distribusi yang terlalu panjang (2) harga jual komoditi yang berfluktuatif di harga yang tidak menguntungkan (3) keadaan lingkungan cuaca yang berubah-ubah dalam waktu singkat. (4) mahalnya harga-harga kebutuhan sarana produksi pertanian yang menyebakan tingginya biaya produksi, sedangkan untuk faktor-faktor internal adalah seperti (1) kurangnya dedikasi karyawan atau tenaga kerja terhadap pekerjaan yang dilakonkannya (2) perencanaan produksi baik pada saat proses tersebut berlangsung serta pada saat proses tersebut telah selesai atau biasa dikenal dengan istilah kegiatan pasca panen. Dalam model SPK perencanaan dan pengendalian produksi sayuran komersial ini, permasalahan yang disebutkan diatas baik dari kendala eksternal maupun dari kendala internal, tidak semuanya dapat dikaji dalam SPK ini, tetapi dari beberapa kendala yang disebutkan diatas, hanya satu kendala internal yang belum dikaji yaitu faktor tenaga kerja, walaupun kendala ini tidak kalah besar pengaruhnya dengan kendala-kendala lainnya.
Hasil yang ditunjukkan oleh model prototipe SPK ini untuk pengambilan keputusan seorang pengusaha atau manajer usaha agribisnis sayuran, sudah cukup memadai. Memadai disini berarti bahwa dengan analisa-analisa keuangan yang tersedia seperti BEP, ROI, B/C Ratio, IRR, NPV dan MIRR dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dari investasi di usaha agribisnis tersebut. Walaupun SPK bertujuan untuk membantu manajer untuk mengambil keputusan, keputusan yang diambil oleh manajer dapat dikatakan cukup memadai dengan hasil dari analisa-analisa keuangan seperti disebutkan tadi. Prototipe SPK harus dibuat dalam format yang lebih baku dikarenakan salah satu syarat SPK adalah mudah digunakan atau interaktif dengan pemakai atau pengguna prototipe ini
Analisis Penetapan Harga Rokok Kretek Serta Hubungannya Dengan Positioning Dan Bauran Pemasaran Di PT. HM. Sampoerna Tbk
�
RYMSTON BRAND0 SITUMORANG. 2002. Analisis Penetapan Harga
Rokok Kretek Serta Hubungannya Dengan Positioning Dan Bauran
Pemasaran Di PT. HM. Sampoerna Tbk. Di bawah Bimbingan. UJANG
SUMARWAN dan E. GUMBIRA SKID.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang diandalkan
pemerintah karena sektor ini berperan sangat penting dalam mendorong
roda pembangunan dan mendorong berkembangnya sektor-sektor lain
seperti agroindustri pengolahan hasil pertanian, pemasaran serta jasa
penunjang lainnya. Selain itu sektor ini terkait langsung dengan usaha
peningkatan devisa bagi negara seperti halnya subsistem agroindustri
pengolahan pertanian termasuk di dalamnya industri rokok. lndustri ini
tergolong cukup dilematis karena disatu sisi industri ini disorot karena
berpengaruh negatif terhadap kesehatan konsumennya serta lingkungan
sekitarnya. Namun disisi lain industri ini merupakan subsektor andalan
bagi pemerintah mengingat peranannya dalam penyerapan tenaga kerja
baik yang langsung maupun tidak langsung. Selain itu industri ini
merupakan andalan pemerintah sebagai sumber pemasukan devisa yang
cukup besar dari jumlah cukai rokok yang diberikannya. Mengingat akan
arti pentingnya sektor ini dalam usaha penyediaan pemasukan bagi
negara mengakibatkan adanya campur tangan pemerintah secara
langsung terhadap industri ini. Campur tangan secara langsung tersebut
dilakukan dalam bentuk pengaturan harga jual eceran (HJE) rokok dimana
dalam kurun waktu tahun 2001 saja telah terjadi 3 (tiga) kali perubahan
harga jual eceran.
Perubahan HJE ini secara langsung akan berpengaruh terhadap
tingkat persaingan, karena bukan mustahil dengan kebijakan harga yang
saat ini diterapkan akan menyebabkan terjadinya pergeseran ataupun
berkurangnya "gap harga" dengan harga produk rokok yang berada di
atas segmennya. Artinya PT HMS yang pada dasarnya memilih segmen
pasar yang dituju yaitu menengah kebawah dan memposisikan harganya
sebagai harga menengah bagi produk Sampoerna Hijau, dengan
pergeseran tingkat harga akan mengurangi gap harga dengan harga
produk segmen yang di atasnva. Apabila ha1 ini teriadi akan
mengakibatkan konsumen yang dituju tidak dapat lagi menjangkau harga
yang semakin meninggi dan bahkan mendekati harga segmen yang
. -
berada diatasnya, sedangkan konsumen segmen atas sdak berkeinginan
membeli, Sampoerna Hijau mengingat produk tersebut ditujukan bagi
perokok segmen menengah ke bawah. Apabila ha1 ini terjadi akan
berdampak yang sangat fatal bagi produsen dikarena produknya tidak
laku terjual sehingga perusahaan akan rugi (loss). Selanjutnya dengan
mempertimbangkan hal-ha1 tersebut diatas rumusan permasalahan yang
dianalisa yaitu bagaimana tingkat persaingan harga rokok kretek
Sampoerna Hijau dibanding merek rokok pesaing dalam industri rokok
�
meninggalkan rasa pedas di bibir (I), gurih (2), ringan bila dihisap (4),
campuran tembakau dan cengkeh yang pas (7), tembakau dan
cengkehnya berkualitas (10) dan iklannya menarik (22). Biplot persepsi
user menunjukkan Sampoerna Hijau memiliki ciri yang menonjol pada
atribut tidak menimbulkan rasa pedas di bibir (I), rasanya sesuai dengan
selera (9) serta iklannya tergolong menarik (22). Vektor SAH jauh dari
atribut beresiko rendah terhadap kesehatan (5) dan kandungan tar dan
nikotinnya rendah (12); sedangkan biplot persepsi keseluruhan
responden menunjukkan secara umum Sampoerna Hijau menonjol pada
atribut tidak menimbulkan rasa pedas di bibir (I), rasanya sesuai dengan
selera (9) dan iklannya menarik (22). Namun dari sisi kenyamanan serta
kesehatan, rokok merek ini tidak memenuhi harapan dari konsumen; ha1
ini dapat dilihat dari posisi serta arah dari atribut tidak menyesakkan
pernafasan (3), tidak menimbulkan rasa panas ditenggorokan (6),tidak
menyebabkan iritasi di tenggorokan (1 I),tidak kering di tenggorokan (16),
beresiko rendah terhadap kesehatan (5) dan kandungan tar dan
nikotinnya rendah (12).
Hasil analisis Price Sensitivity Meter (PSM) menunjukkan bahwa
kisaran harga yang dapat diterima oleh konsumen (Range Of Acceptable
Prices) yaitu Rp 2450 hingga Rp 3800. Nilai ini merupakan wilayah
perpotongan kurva TC (Too Cheap) dan NC (Not Cheap) atau yang sering
disebut PMC (point of marginal cheapness) dengan perpotongan kurva
TE (Too expensive) dan NE (Not Expensive) atau sering disebut PME
(point of marginal expensive). Sehingga berdasarkan ha1 tersebut
sebaiknya harga Sampoerna hijau tidak kurang dari Rp 2450 namun tidak
melebihi Rp 3800, sebab apabila harga sampoerna hijau kurang dari
harga Rp 2450 akan menimbulkan suatu keragu-raguan konsumen akan
kualitas SAH sendiri yang tergolong kurang baik sehingga tidak
berkeinginan untuk membeli tetapi kalau harga SAH melebihi harga
Rp 3800 ada kecenderungan konsumen tidak berkeinginan membeli SAH
karena harga tersebut tergolong terlalu mahal d'an tidak sesuai dengan
nilai pengorbanan serta nilai manfaat yang mereka peroleh akibatnya
terjadi kelebihan pembayaran (over paying) oleh konsumen. Walaupun
kisaran harga tersebut merupakan harga SAH yang dapat diterima oleh
konsumen tetapi kisaran harga yang terbaik bagi konsumen dapat pula
diketahui. Berdasarkan gambar tersebut juga dapat diketahui harga
Sampoerna Hijau yang paling tepat wilayah antara titik perpotongan TC
(Too Cheap ) dan TE (Too Expensive) atau sering disebut OPP (Optimum
Pricing Point) dengan titik perpotongan C (Cheap) dan E (Expensive) atau
sering disebut IPP (Indifference Pricing Point). Pada titik OPP yaitu
sebesar Rp 3000, konsumen SAH melihat bahwa proporsi persepsi harga
tergolong terlalu murah dan terlalu mahal sama besarnya; sementara itu
pada titik IPP yaitu sebesar Rp 3200, konsumen melihat harga SAH
tidak berbeda (tidak tergolong murah maupun mahal). Sehingga dengan
demikian a~antara kisaran harga yang dapat diterima oleh konsumen,
harga yang paling baik berupa yang dapat diterima oleh konsumen tetapi
memberikan keuntungan yang optimal bagi produsen SAH adalah sekitar
Rp 3000 -3200.
�
Analisis Brand Price Trade Off (BPTO) dilakukan dengan membuat
skenario perubahan pasar dengan berdasarkan situasi pasar apabila
terjadi perubahan harga terhadap merek-merek tertentu. Skenario yang
disusun sebanyak 28 buah skenario dengan melihat pangsa pasar
(market share) masing-masing merek dan mengamati merek mana yang
akan memperoleh market gah dan merek yang mengalami market loss.
Dari sebanvak 22 skenario nasar. SAH akan memneroleh memneroleh
market gaii pada 14 skenario dengan kondisi ~asar harga SAH tidak
berubah; namun pada 14 skenario lain dimana harga SAH mengalami
perubahan, rokok SAH akan mengalami market loss. Secara umum kurva
SAH cenderung paling sensitif terhadap perubahan harga ketimbang
empat merek lainnya.
Berdasarkan analisis PSM dan apabila diamati harga SAH saat ini
dimana ada kernungkinan current price Sampoerna Hijau justru melebihi
RAP, nantinya akan menimbulkan suatu kerugian yang berpotensi
tergolong fatal karena harga yang diterima oleh konsumen tidak sesuai
dengan nilai manfaat yang mereka peroleh setelah mengkonsumsi
sampoerna hijau. Langkah yang dapat dilakukan guna mencegah ha1 ini
terjadi berupa mengusahakan terjadinya perpindahan RAP sehingga
nantinya current price masuk dalam RAP. Langkah-langkah yang dapat
dilakukan agar RAP tersebut pindah berupa perbaikan akan nilai persepsi
konsumen terhadap SAH. Perbaikan nilai tersebut dilakukan dengan
memperhatikan nilai atribut yang tergolong penting tetapi belum terpenuhi
dalam analisa Biplot. Apabila kedua ha1 ini diperbaiki bukan ha1 yang
mustahil nilai RAP sendiri akan bergeser kearah current price SAH;
sementara hasil BPTO Sampoerna Hijau akan relatif lebih stabil (kurang
peka) terhadap perubahan harga.
Mengingat tingginya tingkat sensitivitas harga konsumen terhadap
rokok sampoerna hijau serta perubahan HJE per 1 Desember 2001
sehingga memberikan peluang harga SAH di tingkat konsumen berada
melebihi RAP, perusahaan disarankan untuk lebih memperhatikan
(9) sembilan atribut lainnya yang tergolong penting namun belum dipenuhi
oleh SAH (kecuali atribut no 9),sehingga nantinya RAP diharapkan dapat
bergeser ke depan dan harga di tingkat konsumen kembali berada dalam
RAP. Dengan demikian akan mampu mengurangi tingkat sensitivitas
harga berdasarkan BPTO sehingga SAH akan memperoleh market gain
yang lebih baik walaupun harga berubah.
Selain itu perusahaan disarankan lebih mengoptimalkan
pengontrolan harga di tingkat konsumen berupa mengusahakan margin
harga di masing-masing pengecer tidak terlalu tinggi serta tingkat harga
ditingkat pengecer tidak terlalu tinggi variasinya karena dapat
melemahkan daya jual Sampoerna Hijau
- …