3 research outputs found
DEKONSTRUKSI DALAM CERPEN MONOLOG "AKU, PEMBUNUH MUNIR" KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
Abstract: This papper is a study of identifying the explicit meaning of monologue short story entitled "Aku, Pembunuh Munir" by Seno Gumira Ajidarma. The pronlem of the study is denoted through words, phrases and sentences used by the author tend to imply contradictive meanings. The method uses literatute study and deep meaning towards the text applying deconstruction theory by Derrida in order to help elaborate the meaning in wide point of view. The result of the study says that the meaning of text contains contradictive, irony and paradox meanings, consisting: the confession of character "Aku" does not reveal the murderer of Munir. The study concludes that those contradictive, irony and pa radox meanings represent the impression of a satire of Indonesian law which tends to be loose delivered by the author.Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi makna eksplisit dari cerpen monolog yang berjudul "Aku, Pembunuh Munir" karya Seno Gumira Ajidarma. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah makna-makna kontradiktif yang tersirat pada kata-kata, frase, dan kalimat yang digunakan oleh pengarang. Dalam penelitian ini digunakan metode studi literatur serta pemaknaan yang mendalam terhadap teks dengan menerapkan teori dekonstruksi Derrida untuk membantu menguraikan makna secara luas. Hasil penelitian ini adalah makna-makna kontradiktif, ironi, dan paradoks dalam kata-kata yang digunakan oleh pengarang, yaitu pengakuan tokoh "Aku" yang sebenarnya  ti dak menjawab siapa pembunuh Munir yang sesungguhnya. Simpulan penelitian ini adalah pengarang ingin menyampaikan makna-makna kontradiktif, ironi, dan paradoks yang merupakan sindiran terhadap hukum di Indonesia yang dirasa kurang tegas terkait dengan kasus Munir.
HEGEMONIC MASCULINITY AND GENDER PERFORMATIVITY OF AN ANDROGYNOUS MALE MODEL IN SURABAYA
This article aims to analyze the emergence of hegemonic masculinity shown by the androgynous model in Surabaya. This study applies gender performativity by Judith Butler to elaborate on how hegemonic masculinity is manifested. The result of this study reveals that the emergence of hegemonic masculinity is negotiated. Since the idea of androgyny is stigmatized and marginalized, the embodiment of the male androgynous model carries a new standard of masculinity and holds legitimation in society. Nevertheless, He still needed to perform the idea of heteronormativity, for example throughout his sexual orientation, personality and daily outifits. As a result, this narrative infers that in the practice of hegemonic masculinity, the male androgynous still needs to strive to earn legitimation by adopting the concept of gender performativity
REALITAS KEKERASAN SIMBOLIK DALAM RELASI SOSIAL ANGGOTA ORGANISASI PENCAK SILAT PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE DI KABUPATEN NGANJUK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis Realitas
kekerasan dalam relasi sosial anggota Organisasi Pencak Silat Persaudaraan Setia
Hati Terate di Kabupaten Nganjuk. Peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai
berikut; (1) Bagaimana identifikasi realitas kekerasan simbolik yang melibatkan
anggota PSHT Nganjuk, (2) Bagaimana praktik kekerasan simbolik yang
dilakukan oleh anggota PSHT Nganjuk, (3) Bagaimana kondisi sosial anggota
PSHT dengan kelompok lain yang dapat menyebabkan adanya kekerasan.
Penelitian ini menggunakan teori praktik sosial oleh Pierre Bourdieu dengan
melihat habitus, modal, arena dan strategi yang dimanfaatkan dalam menghadapi
aksi kekerasan berkelompok tersebut. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara serta dokumentasi.
Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, temuan-temuan yang didapat
adalah; terdapat habitus-habitus yang dimiliki oleh anggota PSHT yang
diimplementasikan dalam bentuk kekerasan simbolik sebagai pemicu terjadinya
kekerasan, meliputi pelecehan identitas PSHT; persaingan antara perguruan silat;
solidaritas internal dalam kelompok; arogansi kelompok. Pelecehan identitas
berkaitan dengan penodaan lambang dan atribut-atribut terkait dengan PSHT.
Contohnya, tugu PSHT yang dirusak, seragam resmi PSHT yang dibakar, kain
mori yang dicuri, persaingan antar perguran silat di mana PSHT akan membuka
tempat latihan di suatu tempat, dan solidaritas internal dalam kelompok. Kondisi
akan semakin pelik apabila kesolidaritasan PSHT diuji yaitu ketika ada satu atau
lebih anggota PSHT menjadi korban kekerasan. Terakhir adalah arogansi
kelompok. Hal tersebut ditunjukkan melalui aksi-aksi seperti konvoi dan
pembangunan tugu yang dianggap menumbuhkan amarah bagi kelompok lain dan
tentunya memicu terjadinya kekerasan.
Selain itu ditemukan bahwa terdapat konversi modal sosial, seperti rasa
solidaritas yang tinggi antar anggota dimanfaatkan untuk mendukung adanya
kekerasan. Keinginan untuk mendukung atau membantu sesama anggota PSHT
tidak serta merta berasal dari ketulusan diri sendiri, namun karena berbagai hal di
antaranya, perasaan segan, kekhawatiran untuk dikucilkan dan faktor ikut-ikutan.
Arena yang tampak yaitu melalui pembangunan tugu-tugu lambang perguruan
silat yang dilakukan oleh kelompok PSHT dengan kelompok perguruan silat lain
yang mana hal ini dapat menimbulkan persaingan dominasi wilayah kekuasaan.
Temuan terakhir yaitu dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa kondisi sosial
yang menyebabkan kekerasan antar kelompok PSHT Nganjuk dengan kelompok
lain dapat terjadi adalah adanya kekerasan simbolik dalam relasi sosial PSHT
Nganjuk dengan kelompok lain. Pembangunan tugu-tugu serta budaya konvoi di
jalan raya yang dilakukan setelah pengesahan atau doa bersama dapat
menciptakan legitimasi-legitimasi baru yang mempresentasikan kekuasaan secara
simbolik dan tentu dapat memicu terjadinya kekerasan berkelompok