9 research outputs found

    Budaya Austronesia di Indonesia Bagian Barat dalam Kaitannya dengan Migrasi Out Of Taiwan

    Full text link
    Out of Taiwan is one of the theories about the dispersion of the Austronesian people, which is the most popular among the researchers who study the Austronesian people and culture until now. The theory\u27s popularity is supported by linguistic, anthropological, DNA, and dating, as well as archaeological data. The quite abundant archaeological data has contributed to the existence of the theory, among others the hypothesis about the dispersion of quadrangular adzes and rounded axes. The migration based on reveals human migration route from the Philippines to Sulawesi (Celebes), and from Sulawesi it was split into two directions, one of which went westward to Kalimantan (Borneo) and moved on to Sumatra, Java, Bali, and East Nusa Tenggara. The other route was to the eastern part of Indonesia. The route to the west is associated with quadrangular adze distribution, while the one to the eastern part of Indonesia is associated with round axe distribution. Furthermore, the red-slipped pottery was initially existed only in the eastern part of Indonesia, which led to a hypothesis that its distribution was limited to that region. But later the red-slipped pottery was also found in the western part of Indonesia, which indicates that there was human migration from the Austronesian place of origin (Southern China) to West Indonesia. In accordance with the migration route to the western part of Indonesia, and based on information obtained from excavations at a number of sites in that area, as well as carbon analyses and other analyses using descriptive qualitative method with inductive reasonings, there is an increasingly strong indication that there were migrations of Prehistoric Austronesian speakers, which tend to be different from the Out of Taiwan migration route. Naska

    Paradigma Perubahan Evolusi Pada Budaya Megalitik Di Wilayah Budaya Nias

    Get PDF
    The culture area of Nias covers an island, which is Nias Island, and is divided into a number of culture sub-areas. Every culture sub-area consists of several villages, each with its distinct cultural elements. This discussion is aimed at understanding the differences of Nias culture from one village to the others, whether or not they are from one genealogy. The inter-village differences are not merely related to temporal aspect but also to cultural values, social structures and social functions. For that reason, description of cultural elements becomes the main phase, before they are interpreted. Depiction of differences of cultural elements from one village to the others, with structural and functional aspects as their background, will reflect the external and internal factors in an evolutionary cultural change. Therefore the inter-village cultural differences in Nias belong to a paradigm of evolutionary change like what was meant by Talcott Parsons.Wilayah budaya Nias itu meliputi satu pulau yaitu Pulau Nias. Di dalam wilayah budaya dimaksud terbagi atas subwilayah budaya. Pada sebuah subwilayah budaya, terdiri dari beberapa perkampungan, yang masing-masing memiliki unsur-unsur budaya yang berbeda. Berkenaan dengan itu, tujuan pembahasan ini di antaranya adalah memahami perbedaan kebudayaan Nias antarperkampungan, baik di dalam satu genealogi ataupun tidak. Perbedaan antarkampung dimaksud tidak hanya berkaitan dengan aspek waktu tetapi juga, nilai budaya, faktor struktur sosial dan fungsi sosialnya. Berkenaan dengan itu maka uraian unsur kebudayaan menjadi tahapan utama, untuk selanjutnya diinterpretasikan. Gambaran perbedaan unsur kebudayaan antarkampung dengan aspek struktur dan fungsi yang melatarbelakanginya akan menggambarkan faktor eksternal dan internal pada sebuah Perubahan evolusioner kebudayaan. Berkenaan dengan itu maka perbedaan kebudayaan antarkampung di Nias merupakan sebuah paradigma Perubahan evolusioner seperti apa yang dimaksud oleh Talcott Parsons

    AMERTA 26

    Get PDF
    GEOLOGI SITUS PALEOLITIK PACITAN BAGIAN TIMUR KABUPATEN PACITAN, PROVINS! JAWA TIMUR M. Fadhlan S. lntan ABSTRAK. Lokasi Situs Paleolitik Pacitan bagian Timur terletak di Km-10 hingga Km-18 sebelah timur Kota Pacitan ke arah Kabupaten Trenggalek. Situs Paleolitik ini meliputi wilayah Sungai Ke­dunggamping (Sungai Padi), Sungai Ngrendeng-Tulakan, dan Sungai Lorog. Bentang alam wilayah situs ini termasuk pada satuan morfologi dataran, satuan morfologi bergelombang lemah, satuan morfologi bergelombang kuat, dan satuan morfologi karst. Ketinggian situs berada pada O - 900 meter di atas permukaan air laut. Ketiga sungai itu termasuk pada sungai berstadia Tua (old river stadium) dan Dewasa-Tua (old-mature), dengan kenampakan pola pengeringan Trellis dan Rectangular. Selain itu, termasuk pada Sungai Periodis, Sungai Konsekuen, dan Sungai Subsekuen. Batuan penyusun wilayah situs adalah breksi vulkanik, konglomerat, satuan batuan beku, batupa­sir, tufa, batulempung, batulanau, satuan batu gamping, dan endapan aluvial. Kisaran umurnya ialah dari Oligosen hingga Holosen. Struktur geologi yang melewati wilayah situs adalah Lipatan (fold) dari jenis sinklin, dan Patahan (fault) dari jenis sesar geser. Undak-undak sungai yang teramati termasuk pada undak sungai pertama yang masih berhubungan langsung dengan muka air sungai. Gangguan struktur geologi ikut mempengaruhi keletakan dan ke­beradaan undak-undak sungai itu sendiri. Alat-alat litik terdiri dari batuan chert, andesit, jasper, batugamping kersikan, fosil kayu, kalsedon, .dan batugamping. Sumber bahan baku alat-alat litik tersebut umumnya berada di alur­alur sungai dalam bentuk kerikil, kerakal, dan boulder batuan. MELACAK KONSEP RELIGI LAMA DARI BERBAGAI FOLKLOR PADA MASYARAKAT NIAS Ketut Wiradnyana Melimpahnya tinggalan arkeologis di Nias memerlukan pemahaman yang baik akan ke­budayaan masa lalu. Salah satu unsur budaya yang erat berkaitan dengan tinggalan budaya dimaksud adalah unsur religi. Di dalam religi itu sendiri memiliki konsep-konsep yang sangat sulit di lacak lagi mengingat masyarakat Nias tidak memiliki budaya tulis dan sudah berubahnya religi masyarakat. Dalam upaya memahami tinggalan arkeologis yang ada tersebut maka diperlukan pengetahuan akan konsep-konsep religi yang akan dilacak melalui berbagai folklor yang ada hingga kini. Folklor dimak­sud tidak hanya terbatas pada folklor lisan akan tetapi juga folklor bukan lisan (tinggalan materi). KONDISI KEHIDUPAN KEAGAMAAN MASA MAJAPAHIT BERDASARKAN SOMBER TERTULIS DAN DATA ARKEOLOGI Richadiana Kadarisman Kartakusuma Keagamaan pada masa Majapahit yang paling menonjol adalah semaraknya pusat­pusat keagamaan dengan memuja tokoh tertentu yang dianggap menyelamatkan dunia. Keagamaan yang telah lebih berkembang pada masa Majapahit akhir seiring dengan memudarnya Hindu­Budha. Para sarjana menyebut kondisi keagamaan pada masa Majapahit akhir sebagai milenarisme. Unsur kepercayaan yang secara sadar diangkat kembali ke permukaan oleh para resi untuk mengim­bangi hadirnya inovasi Islam. Unsur kepercayaan dengan ciri kehidupan spiritual yang dilang­sungkan di lingkungan-lingkungan sunyi dan terpencil semacam padepokan di pewayangan (?). Fokus ajaran dengan menampilkan tokoh Bhima sebagai simbol utama ruwat dan kalepasan, karenanya upacara ruwatan pada masa ini menjadi sangat penting. Tokoh Bima, di sini dihubung­kan dengan "Pahlawan Keagamaan" berkenaan dengan unsur bersatunya kembali Kawula Gusti yaitu Suksma diri dan Maha Suksma. Selaras peristiwa yang dialami Bhima tatkala keluar dari dirinya dan memperoleh wejangan dari Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya. Nampak bahwa kondisi keagamaan masa Majapahit akhir telah mempertegas hubungan kon­vensional dan kepercayaan lingkungan alam yang sesungguhnya menjadi dasar representasi men­tal yang pernah berlaku sejak awal dengan pokok pemujaan pada nenek moyang. UNSUR-UNSUR RELIGI PADA KUBUR-KUBUR ISLAM DI TOBAN Tubagus Najib ebelum Islam masuk ke Indonesia, di Indonesia sudah terdapat sistem kepercayaan selain Islam. Kepercayaan-kepercayaan tersebut tampaknya hidup subur pada wilayah kubur-kubur Islam. Bagaimana dengan kubur-kubur Islam di Tuban yang merupakan pusat penyebaran Islam dan terdapat beberapa tokoh-tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa, kubumya terdapat di Tuban. Adakah unsur-unsur kepercayaan lain selain Islam pada kubur-kubur Islam di Tuban. Bagaimana sikap Islam terhadap unsur-unsur lain yang terdapat pada kubur-kubur Islam. Apakah ini salah satu bentuk kompromi ataukah penyimpangan. Kalau itu merupakan bentuk kompromi mengapa dan kalau ha! itu penyimpangan mengapa ? MENCERMATI KEMBALI KOMODITAS LADA MASA KESULTANAN BANTEN ABAD KE-16-19 Sarjiyanto alam banyak sumber sejarah telah disebutkan tentang lada sebagai komoditas penting yang diperdagangkan di pelabuhan Banten sejak periode kerajaan Sunda Pajajaran hingga pada ke­sultanan Banten yang muncul pada abad ke XVI. Dari bukti sejarah daniakta arkeologi yang terbatas dapat tergambar perkebunan lada telah diusahakan di wilayah Banten dan meluas ke Lampung tatkala permintaan pasar dunia meningkat akan produk ini. Data arkeologi berupa toponimi Pamarican di situs Banten pesisir dan juga dalung-dalung atau prasasti tembaga dari Sultan Banten banyak terkait dengan lada. Meskipun jarang sekali disebut, na­mun hingga abad XIX perkebunan Jada masih diupayakan di wilayah Banten. Dari data arsip Belanda tergambar sisa-sisa kaum bangsawan Banten masih berperan dalam pengolahan produk lada di wilayah ini. Data paling aktual pada beberapa lokasi di Banten masih terdapat kqntong-kantong perkebunan Jada yang tersisa terutama di wilayah Pandeglang dan sedikit di Serang. PERUBAHAN LINGKUNGAN VEGETASI DI KOMPLEKS SITUS CANDI PADANG ROCO DAN CANDI PULAU SAWAH SU1VIATERA.BARAT BERDASARKAN ANALISIS PALINOLOGY Vita Situs Padang Roco dan Pulau Sawah merupakan situs-situs peninggalan purbakala berupa bangunan atau bagian dari bangunan yang dibuat dari bahan yang tahan lama berupa bata dan merupakan bangunan suci yang disebut sebagai candi. Bangunan ini dimanfaatkan sebagai tempat atau pusat upacara keagamaan yang diselenggara­kan untuk kepentingan masyarakat pendukungnya. Berdasarkan analisa palinology (serbuk sari yang terendapkan di dalam tanah) maka makalah ini mengemukakan tentang perubahan lingkungan vegetasi masa lampau di kompleks Candi Padang Roco dan Kompleks Candi Pulau Sawah di Sumatera Barat hingga terbentuknya keadaan lingkungan vegetasi sekarang. Dari jenis pollen sedimen yang didapatkan, maka keadaan lingkungan vegetasi pada masa Situs Candi Padang Roco dan Pulau Sawah masih berfungsi dapat diketahui. Dari data tumbuhan Genis pollen sedimen) tersebut jika dibandingkan dengan keadaan lingkungan vegetasi saat ini, maka keadaan lingkungan vegetasi saat ini telah menga­lami perubahan

    The site of Togi Ndrawa, Island of Nias, North Sumatra : the first record of a Hoabinhian cave occupation in Indonesia

    No full text
    Although in Indonesia, Hoabinhian sites usually refer to large shell midden dated back from the Holocene period, the Togi Ndrawa cave in the Island of Nias (North Sumatra) has revealed a thick shell accumulation, sealed in a cavity, and beginning with the end of the Late Pleistocene. Excavations have produced classical Hoabinhian pebble artefacts, a forest and coastal fauna, and human bones. Beyond the new chronological landmarks provided by these findings, they question the extension of the Hoabinhian phenomenon originating from continental Asia, and provide hints about human settlement and use of the environment at this period of prehistory

    The prehistoric peopling of Southeast Asia.

    No full text
    The human occupation history of Southeast Asia (SEA) remains heavily debated. Current evidence suggests that SEA was occupied by Hòabìnhian hunter-gatherers until ~4000 years ago, when farming economies developed and expanded, restricting foraging groups to remote habitats. Some argue that agricultural development was indigenous; others favor the "two-layer" hypothesis that posits a southward expansion of farmers giving rise to present-day Southeast Asian genetic diversity. By sequencing 26 ancient human genomes (25 from SEA, 1 Japanese Jōmon), we show that neither interpretation fits the complexity of Southeast Asian history: Both Hòabìnhian hunter-gatherers and East Asian farmers contributed to current Southeast Asian diversity, with further migrations affecting island SEA and Vietnam. Our results help resolve one of the long-standing controversies in Southeast Asian prehistory

    The prehistoric peopling of Southeast Asia

    No full text
    The human occupation history of Southeast Asia (SEA) remains heavily debated. Current evidence suggests that SEA was occupied by Hoabinhian hunter-gatherers until similar to 4000 years ago, when farming economies developed and expanded, restricting foraging groups to remote habitats. Some argue that agricultural development was indigenous; others favor the "twolayer" hypothesis that posits a southward expansion of farmers giving rise to present-day Southeast Asian genetic diversity. By sequencing 26 ancient human genomes (25 from SEA, 1 Japanese Jomon), we show that neither interpretation fits the complexity of Southeast Asian history: Both Hoabinhian hunter-gatherers and East Asian farmers contributed to current Southeast Asian diversity, with further migrations affecting island SEA and Vietnam. Our results help resolve one of the long-standing controversies in Southeast Asian prehistory
    corecore