21 research outputs found
NEW FIND OF STEGODON SOMPOENSIS MAXILLA FROM CANGKANGE, SOPPENG, SOUTH SULAWESI
AbstractSulawesi is an island located in the Wallacean region of Indonesia. Geologically its lying midway between the Asian (Sunda) and Greater Australian (Sahul) continents. As a part of Wallacea islands, Sulawesi is an island that shows complexity either in biology or geology perspective. Though the distinctive quaternary vertebrate faunas has been described from Sulawesi, historical pattern of biogeography still poorly understood due to the lack of the fossil specimens. This paper describes a maxilla fragment with molar root teeth M1 from an archaic proboscidae called Stegodon that found in the conglomeratic sandstone layer, at Cangkange Area, 4 km to the east of Cabenge Archeological site of South Sulawesi, Indonesia. Based on the comparation measuring data between this specimen with the Stegodon sompoensis and the Stegodon trigonocephalus it can be concluded that this Stegodon maxilla fragment is belong to the Stegodon sompoensis, a dwarf Stegodon from Sulawesi Island. The specimen is a surface collected sample. Based on the attached matrix on the maxilla fragment, this specimen interpreted to be derived from subunit A of Beru Member, Walanae Formation. This Stegodon sompoensis is likely to be lived near the coastal-lagoon around 2,5 million years ago or Late Pliocene to Early Pleistocene. This estimated specimen age is based on the vertebrate fauna biostratigraphy of South Sulawesi. ABSTRAKPulau Sulawesi di Indonesia terletak di daerah Wallacea. Secara geologi pulau ini berada di antara Asia (paparan Sunda) dan Australia (paparan Sahul). Sebagai bagian dari kepulauan Wallacea, Pulau Sulawesi merupakan pulau yang memiliki kompleksitas baik dari segi biologi maupun geologinya. Meskipun fauna-fauna vertebrata kuarter Sulawesi sudah dideskripsi, tetapi sejarah dan pola biogeografi di pulau ini masih sangat kurang dikarenakan sedikitnya fosil-fosil yang ditemukan. Tulisan ini mendeskripsikan fragmen maxilla dari gajah purba jenis Stegodon dengan akar gigi molar M1 yang ditemukan di perlapisan batupasir konglomeratan, di daerah Cangkange, sekitar 4 km ke arah timur dari situs arkeologi Cabenge, Sulawesi Selatan, Indonesia. Berdasarkan perbandingan data pengukuran spesimen ini dengan Stegodon sompoensis dan Stegodon trigonocephalus maka disimpulkan bahwa fragmen maksila Stegodon ini berasal dari Stegodon sompoensis, jenis Stegodon kerdil dari Pulau Sulawesi. Spesimen ini merupakan temuan permukaan, tetapi berdasarkan matriks sedimen yang masih menempel di maxilla, spesimen ini diinterpretasikan berasal dari Anggota Beru subunit A. Stegodon sompoensis ini diperkirakan dahulu hidup di lingkungan lagoon dekat pantai pada sekitar 2,5 juta tahun yang lalu atau Pliosen Akhir sampai Pleistosen Awal. Penentuan umur ini didasarkan pada boistratigrafi fauna vertebrata Sulawesi Selatan
Teknologi Litik di Situs Talimbue, Sulawesi Tenggara: Teknologi Berlanjut dari Masa Pleistosen Akhir Hingga Holosen.
Abstract. The Lithic Technology at Talimbue Site, Southeast Sulawesi: Continuing Technology from Late Pleistocene up to Holocene Periods. The Talimbue site at Southeast Sulawesi is packed with lithic and these offer a new perspective on the lithic technology of Sulawesi. The absence of information on the prehistoric lithic technology of Southeast Sulawesi is a factor of interest that makes research on knowledge of the Talimbue site necessary. Lithic artefacts were manufactured from the terminal Pleistocene to the Late Holocene. This research will disentangle the details of the lithic technology at the Talimbue Site. The analyzed flaked stone artefacts fall into 3 categories, which are retouched flakes, debitage and cores. For its part, debitage was classified into 3 categories, which are complete flakes, broken flakes and debris. The retouch index was also measured so as to provide a quantitative estimate of the level of retouch intensity of the retouched flakes. The results of the analysis indicate changes in the stone flake technology during the period of occupation of the Talimbue Site. The change of technology occurs because the process of adaptation caused by a change of environment. Abstrak. Temuan litik yang sangat padat di Situs Talimbue di Sulawesi Tenggara menunjukkan sebuah persepektif baru dalam kajian teknologi litik di Sulawesi. Kekosongan informasi teknologi litik masa prasejarah di wilayah Sulawesi Tenggara adalah hal yang menarik dikaji dalam penelitian di Situs Talimbue. Artefak litik digunakan dari masa Pleistosen Akhir hingga masa Holosen Akhir. Penelitian ini akan menguraikan secara detail bagaimana teknologi litik di Situs Talimbue. Artefak batu diserpih yang dianalisis menjadi 3 kategori, yaitu serpih diretus, serpihan dan batu inti. Serpihan kemudian diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu serpih utuh, serpih rusak dan tatal. Pengukuran indeks retus juga dilakukan bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat intensitas retus terhadap serpih yang telah diretus. Hasil penelitian menunjukkan perubahan teknologi artefak batu diserpih terjadi selama masa hunian di Situs Talimbue. Perubahan teknologi terjadi karena adanya proses adaptasi yang disebabkan oleh perubahan lingkungan
Depositional Environmental Changes of Cimanceuri Formation Based on Mollusk Fossil Assemblages in Bayah, Banten Province
Bayah is located in Lebak Regency, Banten Province. This location is chosen due to its abundant mollusk fossils which exposed along the outcrops. The aim of this research is to determine depositional environmental changes using mollusk fossil assemblages. Data obtained from a measured stratigraphic section of Cimanceuri Formation. It is dominated by very fine-fine sandstones with claystone intercalation. A total thickness of measured stratigraphic section is 4.2 meters. There are at least seventeen mollusk associations (bottom-top) consisting of 1) Ringicula arctatoides - Olivella tomlini were obtained. 2) Ringicula arctatoides - Marginella (Cryptospira) ventricosa sangiranensis. 3) Olivella tomlini, 4) Ringicula arctatoides - Olivella tomlini, 5) Ringicula arctatoides, 6) Turritella (Turritella) bantamensis - Scapharca (Scapharca) gedinganensis, 7) Polinices aurantius - Marginella (Cryptospira) ventricosa sangiranensis, 8) Scapharca (Scapharca) gedinganensis, 9) Scapharca (Scapharca) multiformis - Timoclea bataviana, 10) Turritella (Turritella) bantamensis tjicumpaiensis - Ringicula arctatoides, 11) Turritella (Turritella) bantamensis - Ringicula arctatoides, 12) Turritella (Turritella) bantamensis tjicumpaiensis - Turritella (Turritella) bantamensis, 13) Turritella (Turritella) bantamensis tjicumpaiensis - Ringicula arctatoides, 14) Turritella (Turritella) bantamensis - Architectonica sp., 15) Turritella (Turritella) bantamensis tjicumpaiensis, 16) Turritella (Turritella) bantamensis – Turritella (Turritella) bantamensis tjicumpaiensis, and 17) Turritella (Turritella) bantamensis. The condition with the most stable ecosystem is the association of Turritella (Turritella) bantamensis tjicumpaiensis - Turritella (Turritella) bantamensis (Association 12). At least there are seven depositional environmental changes that occur in this research area with two shallowing – deepening cycles : 1) open shallow marine, 2) subtidal – open shallow marine, 3) open shallow marine, 4) open shallow marine – subtidal, 5) subtidal, 6) subtidal – open shallow marine, and 7) open shallow marine
SITUS LAMBANAPU: DIASPORA AUSTRONESIA DI SUMBA TIMUR
Abstract, Lambanapu Site: Diaspora Austronesia In East Sumba. The research at Lambanapu Site aims to determine the position of Lambanapu in the distribution and development of Austronesian ancestors and their culture in Sumba. The method used is survey, excavation, analysis, and interpretation. The results of the research are skeletal findings and urn burial also artifacts which are pottery, beads, metal jewelry, and stone tools. From the dating result it is known that Lambanapu Site was inhabited at least 2.000 years ago and from paleantropology analysis, it is estimated that the individuals found from primary and secondary burial in Lambanapu are a mixture of Mongoloid and Australomelanesoid. Genetic mixing is very possible, given the history of the archipelago's occupation which was filled by several waves of great migration in the past. The Lambanapu site has provided an overview of Sumba's ancestral life in the context of the archipelago. The Lamabanapu research results show us, how Lambanapu and Sumba in general rich with historical and cultural values of the past that are very useful for today's life. The wealth of historical and cultural values is not only for local interests, but also to fill the rich history and culture of the archipelago, and even contribute to global history. Keywords: Lambanapu, prehistoric, Austronesian Abstrak, Penelitian di Situs Lambanapu bertujuan untuk mengetahui posisi Lambanapu dalam persebaran dan perkembangan leluhur Austronesia dan budayanya di Sumba. Metode yang dilakukan adalah survei, ekskavasi, analisis, dan interpretasi. Hasil penelitian berupa temuan rangka dan kubur tempayan serta artefak berupa gerabah, manik-manik, perhiasan logam, dan alat batu. Dari hasil pertanggalan diketahui bahwa setidaknya Situs Lambanapu telah dihuni 2.000 tahun yang lalu. Hasil analisis paleoantropologi diperkirakan individu yang ditemukan di Lambanapu, baik kubur primer maupun sekunder, merupakan percampuran antara Mongoloid dan Australomelanesoid. Percampuran genetika memang sangat memungkinkan terjadi mengingat sejarah hunian Nusantara yang terisi oleh beberapa gelombang migrasi besar pada masa lampau. Situs Lambanapu telah memberikan gambaran kehidupan leluhur Sumba dalam konteks Nusantara. Hasil penelitian memperlihatkan betapa Lambanapu dan Sumba pada umumnya memiliki kekayaan nilai sejarah dan budaya masa lampau yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Kekayaan nilai sejarah dan budayanya tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga untuk mengisi kekayaan sejarah dan budaya Nusantara, bahkan kontribusi bagi sejarah global. Kata kunci : Lambanapu, prasejarah, Austronesi
Karakteristik Kuta Bataguh di Kapuas, Kalimantan Tengah
Kuta Bataguh is administratively located in Bataguh and East Kapuas Districts, Kapuas Regency, Kalimantan Tengah. The research aims to reconstruct the characteristics of Kuta Bataguh. This research is using interpretive-descriptive method with the inductive reasoning. Data collection used surveys, excavations, interviews, and literature study. The analysis included environmental, stratigraphic, artifactual, spatial, and absolute dating analysis. Survey (surface and aerial) and excavation activities were carried out inside and outside the fence, both downstream and upstream of the Karinyau River. The results illustrate that the characteristics of Kuta Bataguh are a large permanent settlement that is split by a river. The fortified settlement of Kuta Bataguh was the leader residence of Ngaju community group (as the center of power). By referring to the pattern, function and extent of this settlement, it can be assumed that the local authorities in Bataguh are on par with early state in their socio-political organization.Kuta Bataguh secara administratif berada di Kecamatan Bataguh dan Kapuas Timur, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Tujuan penelitian adalah untuk merekonstruksi karakteristik Kuta Bataguh. Penelitian ini bersifat deskriptif interpretif dengan penalaran induktif. Pengumpulan data menggunakan survei, ekskavasi, wawancara, dan studi pustaka. Analisis yang digunakan adalah analisis lingkungan, stratigrafi, artefaktual, ruang, dan analisis pertanggalan absolut. Kegiatan survei (permukaan dan udara) dan ekskavasi dilakukan di dalam dan di luar pagar benteng baik di arah muara maupun hulu Sungai Karinyau. Hasil penelitian memberi gambaran bahwa karakteristik Kuta Bataguh adalah tempat tinggal permanen yang luas dan dibelah oleh aliran sungai. Dengan berpatokan pada pola, fungsi, dan luasnya pemukiman ini, dapat diasumsikan bahwa penguasa lokal di Bataguh dalam organisasi sosial politiknya sudah setara dengan early state
AMERTA jurnal penelitian dan pengembangan arkeologi vol. 36 no. 2, Desember 2018
ITUS LAMBANAPU: DIASPORA AUSTRONESIA DI SUMBA TIMUR Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian, Bagyo Prasetyo Myrtati Dyah Artaria, Unggul Prasetyo Wibowo, I Made Geria Penelitian di Situs Lambanapu bertujuan untuk mengetahui posisi Lambanapu dalam persebaran dan perkembangan leluhur Austronesia dan budayanya di Sumba. Metode yang dilakukan adalah survei, ekskavasi, analisis, dan interpretasi. Hasil penelitian berupa temuan rangka dan kubur tempayan serta artefak berupa gerabah, manik-manik, perhiasan logam, dan alat batu. Dari hasil pertanggalan diketahui bahwa setidaknya Situs Lambanapu telah dihuni 2.000 tahun yang lalu. Hasil analisis paleoantropologi diperkirakan individu yang ditemukan di Lambanapu, baik kubur primer maupun sekunder, merupakan percampuran antara Mongoloid dan Australomelanesoid. Percampuran genetika memang sangat memungkinkan terjadi mengingat sejarah hunian Nusantara yang terisi oleh beberapa gelombang migrasi besar pada masa lampau. Situs Lambanapu telah memberikan gambaran kehidupan leluhur Sumba dalam konteks Nusantara. Hasil penelitian memperlihatkan betapa Lambanapu dan Sumba pada umumnya memiliki kekayaan nilai sejarah dan budaya masa lampau yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Kekayaan nilai sejarah dan budayanya tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga untuk mengisi kekayaan sejarah dan budaya Nusantara, bahkan kontribusi bagi sejarah global. Kata Kunci: Lambanapu, prasejarah, Austronesia
SEBARAN DAN KARAKTERISTIK SITUS ARKEOLOGI DI KALIMANTAN TENGAH Nia Marniati Etie Fajari
Provinsi Kalimantan Tengah memiliki bentangalam berupa pegunungan, wilayah pesisir, dan dataran di tepi sungai. Lingkungan tersebut menyediakan sumber daya alam yang melimpah sehingga menjadi kawasan budaya yang dihuni oleh manusia sejak masa prasejarah sampai dengan saat ini. Penelitian arkeologi di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah menemukan situs arkeologi yang tersebar pada tiap-tiap satuan lahan. Artikel ini mengangkat permasalahan mengenai bagaimana karakteristik situs arkeologi yang berada di Kalimantan Tengah berdasarkan kondisi geografisnya. Tulisan ini diawali dengan pengumpulan data berdasarkan Laporan Penelitian Arkeologi di Balai Arkeologi Kalimantan Selatan dari tahun 1993-2017 yang dilakukan di wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik situs pada setiap lokasi geografis yang berbeda. Tulisan ini menggunakan metode dengan membuat klasifikasi situs berdasarkan lokasi geografis. Langkah selanjutnya adalah identifikasi situs berdasarkan parameter letak geografis dan kondisi lingkungan, karakteristik temuan, karakteristik budaya, dan kronologi waktu baik absolut ataupun relatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebaran situs arkeologi di wilayah Kalimantan Tengah cenderung berada di daerah aliran sungai, mulai dari hulu sampai ke pesisir. Keletakan geografi juga memberi pengaruh pada karakteristik situs yang ditemukan. Kata kunci: situs arkeologi, daerah aliran sungai, permukiman, Dayak, Kalimantan Tengah
GEOLOGICAL APPROACH IN ORDER TO DISTINGUISH THE PREFERENCE SOURCE OF THE RAW MATERIAL FROM THE MEGALITHIC TOMBS IN EAST SUMBA, INDONESIA
Unggul P. Wibowo, Retno Handini, Truman Simanjuntak, Harry Octavianus Sofian, Sandy Maulana
Pulau Sumba sudah lama dikenal dengan tradisi makam megalitiknya yang dijumpai tersebar hampir di semua area di Sumba. Makam megalitik ini dibangun dari potongan-potongan batuan berukuran besar. Berdasarkan aspek geologi, penelitian ini mencoba untuk mencari tahu asal batuan bahan pembuat makam megalitik dan apa yang menjadi alasan untuk memilih suatu batuan untuk bahan makam megalitik. Metode yang digunakan meliputi beberapa tahap. Tahap pertama merupakan pendeskripsian sampel di lapangan. Tahap kedua, analisis geologi digunakan untuk memetakan titik-titik observasi dan singkapan batuan di lapangan. Tahap ketiga, variabel hasil pengamatan kemudian dianalisa menggunakan metode Principle Components Analysis (PCA). Empat variabel digunakan dalam penelitian ini, yaitu: variabel jarak dari sumber, variabel litologi, variabel tekstur, dan variabel tingkat kekerasan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa tekstur batuan merupakan pertimbangan utama dalam memilih jenis batuan untuk bahan makam megalitik. Jarak dan tingat kekerasan batuannya juga menjadi alasan penting lainnya dalam mengambil bahan material untuk makam megalitik terlepas apapun jenis batunya. Secara geologi bahan batuan berasal dari batugamping Formasi Kaliangga dan batupasir Formasi Kananggar. Kata kunci: Makam megalitik, Sumba Timur, Bahan baku, Geologi
ASOSIASI GUNDUKAN TANAH, SUNGAI, DAN MENHIR DI PUSAT WILAYAH ADAT TANAH SEKUDUNG, BARATLAUT LEMBAH KERINCI, DATARAN TINGGI JAMBI (KAJIAN FENOMENOLOGI)
Hafiful Hadi Sunliensyar
Artikel ini membahas asosiasi menhir dengan fitur lanskap (sungai dan gundukan tanah) di bagian barat laut Lembah Kerinci. Secara adat, wilayah ini disebut pula sebagai Tanah Sekudung, dengan pusatnya berada di tiga dusun, yaitu Dusun Siulak Gedang, Siulak Panjang, dan Siulak Mukai. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang dikemukakan oleh Tilley. Pendekatan fenomenologi menekankan pengalaman dan indra tubuh (bodily sensory) dari pengamat atau peneliti di lapangan. Pengalaman tersebut diperoleh dari pengumpulan data melalui metode observasi partisipan. Dalam hal ini, pengalaman dan interaksi antara peneliti dan menhir menjadi bagian yang akan dideskripsikan. Sebagai hasil penelitian, diketahui bahwa pendirian menhir di atas gundukan tanah dan distribusinya yang searah dengan arah aliran sungai utama terkait dengan legenda para leluhur, ruang kognitif, kosmologi, dan metafora yang dimiliki penduduk. Sebagai contoh, sungai yang dijadikan acuan dalam penentuan arah secara tradisional sekaligus dijadikan sebagai acuan perpindahan leluhur pada masa lalu. Oleh karena itu, menhir yang menjadi penanda lintasan migrasi leluhur membentuk arah distribusi yang sama dengan arah aliran sungai. Kata Kunci: Fenomenologi, lanskap, menhir, Kerinci
MODEL SPATIAL ANALYSIS UNTUK PENILAIAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI KOTA GRESIK
Andi Putranto
Gresik merupakan salah satu kota lama di Pulau Jawa yang telah mengalami masa muncul dan berkembang dalam kurun waktu yang cukup lama. Di Gresik banyak dijumpai tinggalan arkeologis berupa bangunan tua, khususnya dari periode kolonial yang tersebar di beberapa kawasan di Kota Gresik. Penilaian cagar budaya, khususnya jenis bangunan, selama ini telah dilakukan terutama dalam rangka penyusunan rekomendasi untuk penetapan dan kepentingan terkait dengan pelestarian, tetapi belum banyak diketahui bagaimana mekanismenya. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini diajukan model penilaian dengan menggunakan metode analisis kuantitatif berjenjang dengan faktor pembobot. Metode ini merupakan implementasi dari metode spatial analisis dalam kajian GIS (Geographic Information System). Dalam penelitian ini diajukan peringkat bangunan, yaitu kelas bangunan D = Kurang, kelas bangunan C = Cukup, kelas bangunan B = Baik, dan kelas bangunan A = Istimewa Kata kunci: Gresik, bangunan tua, spatial analysis, GIS, kuantitati
Walking With Indonesian elephants: attribution of isolated proboscidean femurs and tibias to genus based on morphological differences
Direct comparison and biometric measurement analysis of homologue skeletal elements pertaining to distinct members of closely related vertebrate taxa (genera and species) can reveal qualitative diagnostic distinctive characteristics that reflect phylogeny and that may be related to differences in functional morphology. Apart from morphological differences, size can be an important factor in distinguishing taxa, especially when considering dwarfed insular proboscideans. Dwarfed proboscideans were once present on several islands of Indonesia during the Quaternary, but their postcranial remains have hardly been studied in detail. Most studies on fossil proboscideans focus on cranial and dental elements, which are comparatively easy to distinguish. In the case of proboscidean limb bones, morphological differences may be associated with different types of locomotion and could represent specific adaptations to insular environments. In order to investigate such adaptive morphologies in detail, a first step is to assess which differences exist between closely related genera. Establishing a list of diagnostic criteria to distinguish limb bones of different proboscidean genera and species will also aid in identifying isolated specimens of these elements.
This study applied biometric analysis combined with 3D Geometric Morphometric (GM) analysis of fossil and recent skeletal parts of Indonesian proboscideans. The study aimed at characterizing the morphological differences between proboscidean taxonomic groups of two skeletal elements, the femur and the tibia. These elements were chosen because complete specimens of femur (n=10) and tibia (n=10) of known identity (based on associated dental elements) are relatively common in Indonesian fossil collections and were easily accessible. The studied sample comprises a recently excavated femur and tibia of a single adult individual of the very small-sized Stegodon sondaari from Flores. This offered the opportunity for the first time to investigate if this insular dwarf proboscidean possessed specific adaptations (apart from its small size) that are frequently encountered in insular megafauna, such as shortened distal limbs
VESTIGE OF THE HOMINID AT THE PLEISTOCENE ANCIENT ESTUARINE FOSSILS BEARING SITE OF CISAAR VALLEY, SUMEDANG, WEST JAVA
Research about Pleistocene human environments in West Java is still limited, based on this fact our study was conducted. One of the Pleistocene sites in West Java that has thepotential for studying paleo-environmental is the Cisaar Valley. Cisaar Valley is locatedon the east part of the Sumedang Regency in West Java Province. The area is close to the boundary of the Sumedang-Majalengka Regency. In this location, the sandy and clay dominated the sedimentary rocks which are well exposed along the outcrops in the Cisaar Valley. These sedimentary rocks are inferred from Pliocene-Pleistocene deposits from Kaliwangu and Citalang Formation. Data obtained from selected references and measuring stratigraphic sections along Cisaar River and its tributary rivers in Cibengkung and Cirendang hamlets, Jembarwangi village. There are at least three depositional paleoenvironments which from oldest to the youngest age are: shallow marine, estuarine and fluviatile braided channel depositional paleo-environment. Characteristics of the lower, middle and upper of the estuarine environment were found on Cisaar Valley as the evidence of the oceanic regression processes which was happened in the past in this area. Two horizons of the fauna units in the Cisaar Valley are found,namely the Cisaat fauna which is its age more than one million years ago and the Trinil fauna associated with stone artifacts that were around 1-0.9 million years ago
Sumba timur permata dari nusa tenggara timur
xii, 342 hlm; 27,21 c