10 research outputs found

    The internationalization of "West Papua" issue and its impact on Indonesia's policy to the South Pacific region

    Get PDF
    This research argues that the internationalization of "West Papua" issue through social media has contributed to a shift of Indonesia's policy to the South Pacific region from ignorance to initiative approach. Underlying this argument is a growing concern of Indonesia regarding the use of social media by Papuan pro-independence activists that resulted to the increasing awareness and support towards the independence of West Papua from Pacific countries as human rights problems become the highlight of West Papua's issue. The method used in this research was qualitative research method focusing on descriptive analysis of the internationalization of West Papua issue on social media. This research results show that initiative approach from Indonesia is merely narrowing the gap of the issue instead of reducing the internationalization of the West Papua issue

    Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) and Its Implications for Economic Security in the Republic of Indonesia-Papua New Guinea Border Market Area

    Get PDF
    The COVID-19 pandemic spread to the Indonesia-Papua New Guinea (PNG) border poses a real threat to people living in the region. As a consequence of this pandemic, the Transnational Border Post (PLBN) and the border market have been temporarily closed since January 2020. This article aims to analyze the implications of COVID-19 on the economic security of the people at the RI-PNG border and the responses of two countries, particularly Indonesia, toward the economic security threats in the border region. This article was developed from qualitative descriptive research using field research methods. Data were collected through interviews and observations and supported by secondary data. This study revealed that the short-term implications of COVID-19 on economic security existed in the form of income reduction, even income loss, due to the closure of cross-border access. Income reduction may lead to the emergence of medium-term implications in the form of unemployment and debt. If there is no solution, the long-term implications may exist in the form of widespread poverty in the RI-PNG border area

    Demokrasi, Sistem Pemilu, Dan Pengelolaan Konflik Etnik

    Get PDF
    Dalam Ilmu Politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik (procedural democracy). Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan dan diselenggarakan oleh sebuah negara. Ungkapan tentang hal ini biasanya diterjemahkan dalam konstitusi masing-masing negara. Demokrasi normatif belum tentu terlihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari suatu negara. Oleh karena itu, adalah sangat perlu untuk melihat bagaimana makna demokrasi secara empirik, yaitu perwujudan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Kalangan ilmuwan Politik, setelah mengamati praktik-praktik demokrasi di berbagai negara, merumuskan demokrasi secara empirik dengan menggunakan sejumlah indikator. Di antara para pakar yang melakukan penelitian untuk menemukan indikator-indikator ini adalah Juan Linz, G. Bingham Powell, Jr., dan Robert Dahl. Almarhum Prof. Dr. Affan Gaffar, MA, dengan berpijak pada indikator yang  ditemukan para pakar tersebut, menyimpulkan ada lima indikator untuk mengamati apakah sebuah negara merupakan sistem yang demokratis atau tidak. Indikator pertama adalah akuntabilitas. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang hendak dan telah ditempuhnya. Juga ucapan dan perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas, yaitu perilaku anak, isteri, dan sanak-saudara, terutama yang berkaitan dengan jabatannya. Indikator kedua adalah rotasi kekuasaan. Untuk disebut demokratis, dalam suatu negara harus terdapat peluang terjadinya rotasi kekuasaan yang dilakukan secara damai dan teratur. Jadi, tidak hanya satu atau sekelompok orang yang sama yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup. Indikator selanjutnya adalah rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, orang yang akan menduduki suatu jabatan publik dipilih melalu suatu kompetisi terbuka dengan peluang yang sama. Peluang untuk mengisi jabatan publik jangan hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja. Indikator keempat adalah pemilihan umum. Suatu negara dikatakan demokratis apabila rekrutmen politik dalam rangka rotasi kekuasaan dilakukan lewat suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara teratur. Dalam pemilihan umum ini, setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih, dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Mereka juga bebas mengikuti segala macam aktivitas yang dilakukan dalam rangka pemilihan. Indikator kelima adalah menikmati hak-hak dasar. Di dalam negara yang demokratis setiap warga negara harus bebas menikmati hak-hak dasar mereka sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Unviersal Hak-hak Asasi manusia (HAM) dan konvensi tentang HAM lainny

    PEMERIKSAAN TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM KASUS KERACUNAN GAS HIDROGEN SULFIDA ; STUDI PUSTAKA

    Get PDF
    Toksikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang racun, yang semakin maju seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kasus keracunan memang jarang terjadi, namun perlu mendapat perhatian khususnya oleh dokter forensik. Keracunan yang jarang terjadi dalam praktek forensik diantaranya adalah keracunan gas hidrogen sulfida (H2S).  H2S adalah gas yang tidak berwarna, bau menyengat seperti telur busuk, mudah terbakar dan bersifat eksplosif. H2S  banyak ditemukan di peternakan dan pabrik. Pernah dilaporkan peningkatan kasus bunuh diri menggunakan gas H2S terjadi di Amerika Serikat. Pada tingkat rendah gas H2S hanya mengiritasi konjuntiva, sklera dan saluran nafas bagian atas, sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi (1000-2000 ppm) dapat menyebabkan kematian yang cepat. Studi tinjauan pustaka ini menunjukkan temuan yang tidak spesifik dari otopsi kasus keracunan H2S, diantaranya perubahan warna menjadi kehijauan pada gray matter otak. Dari hasil uji toksikologi pada keracunan gas H2S, didapatkan kadar tiosulfat yang tinggi dalam darah

    PEMERIKSAAN TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM KASUS KERACUNAN GAS HIDROGEN SULFIDA ; STUDI PUSTAKA

    Get PDF
    Toksikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang racun, yang semakin maju seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kasus keracunan memang jarang terjadi, namun perlu mendapat perhatian khususnya oleh dokter forensik. Keracunan yang jarang terjadi dalam praktek forensik diantaranya adalah keracunan gas hidrogen sulfida (H2S).  H2S adalah gas yang tidak berwarna, bau menyengat seperti telur busuk, mudah terbakar dan bersifat eksplosif. H2S  banyak ditemukan di peternakan dan pabrik. Pernah dilaporkan peningkatan kasus bunuh diri menggunakan gas H2S terjadi di Amerika Serikat. Pada tingkat rendah gas H2S hanya mengiritasi konjuntiva, sklera dan saluran nafas bagian atas, sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi (1000-2000 ppm) dapat menyebabkan kematian yang cepat. Studi tinjauan pustaka ini menunjukkan temuan yang tidak spesifik dari otopsi kasus keracunan H2S, diantaranya perubahan warna menjadi kehijauan pada gray matter otak. Dari hasil uji toksikologi pada keracunan gas H2S, didapatkan kadar tiosulfat yang tinggi dalam darah

    Peran Perempuan dalam Proses Bina Damai: Studi Kasus Aktivis Perempuan di Sudan Selatan (2005-2018)

    Get PDF
    Amidst the oppressive patriarchal culture, the lingering conflict in South Sudan between 2005-2018 has caused women to experience discrimination and violence. The dissatisfaction of women activists with the social system and the protracted conflict eventually encouraged them to participate in the peacebuilding process. This article examines the role of women in the peacebuilding activities by describing the work of women activists in South Sudan. The study is conducted qualitatively by applying the case study method and utilizing the Feminist methodology to comprehensively examine individuals and women's activist organizations activities in peacebuilding through the women perspective. This research finds that women activists play a role in the peacebuilding process at every level of the actor pyramid, from grassroots, middle, to top level. Positive and transformative changes take place as the result of their roles. At the top level, the peacebuilding efforts have encouraged the South Sudanese government to involve women activists in the peace negotiation process withSudan and ensure gender equality in the formulated constitution. At the middle and lower levels, peacebuilding efforts succeeded in convincing South Sudanese to support the implementation of gender equality as part of conflict resolution. Keywords: Women; Peacebuilding; Gender Equality; Discrimination; South SudaDi tengah budaya patriarki yang menindas, konflik berkepanjangan di Sudan Selatan pada kurun waktu 2005-2018 telah menyebabkan perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Ketidakpuasan para aktivis perempuan akan sistem kemasyarakatan dan konflik berkepanjangan, akhirnya mendorong mereka terlibat dalam aktivitas bina damai. Artikel ini mengkaji peran perempuan dalam kegiatan bina damai dengan menggambarkan kiprah aktivis perempuan di Sudan Selatan. Pengkajian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode penelitian studi kasus dan memanfaatkan metodologi Feminis untuk mendapatkan gambaran komprehensif aktivitas individu dan organisasi aktivis perempuan dalam bina damai melalui lensa perempuan. Penelitian ini menemukan bahwa aktivis perempuan berperan dalam proses bina damai pada setiap tingkatan piramida aktor mulai dari tingkat akar rumput, menengah, hingga atas. Perubahan positif dan transformatif tergambar dari peran yang mereka lakukan membawa. Di tingkat atas, upaya yang dilakukan telah mendorong pemerintah Sudan Selatan melibatkan aktivis perempuan dalam proses negosiasi perdamaian dengan Sudan dan menjamin kesetaraan gender dalam konstitusi yang dirumuskan. Di tingkat menengah dan tingkat bawah, proses bina damai oleh aktivis perempuan berhasil meyakinkan masyarakat Sudan Selatan untuk mendukung implementasi kesetaraan gender sebagai bagian dari penyelesaian konflik. Kata Kunci: Perempuan, Bina Damai, Kesetaraan Gender, Diskriminasi, Sudan Selata

    Peran Perempuan dalam Proses Bina Damai: Studi Kasus Aktivis Perempuan di Sudan Selatan (2005-2018)

    Get PDF
    Amidst the oppressive patriarchal culture, the lingering conflict in South Sudan between 2005-2018 has caused women to experience discrimination and violence. The dissatisfaction of women activists with the social system and the protracted conflict eventually encouraged them to participate in the peacebuilding process. This article examines the role of women in the peacebuilding activities by describing the work of women activists in South Sudan. The study is conducted qualitatively by applying the case study method and utilizing the Feminist methodology to comprehensively examine individuals and women's activist organizations activities in peacebuilding through the women perspective. This research finds that women activists play a role in the peacebuilding process at every level of the actor pyramid, from grassroots, middle, to top level. Positive and transformative changes take place as the result of their roles. At the top level, the peacebuilding efforts have encouraged the South Sudanese government to involve women activists in the peace negotiation process withSudan and ensure gender equality in the formulated constitution. At the middle and lower levels, peacebuilding efforts succeeded in convincing South Sudanese to support the implementation of gender equality as part of conflict resolution. Keywords: Women; Peacebuilding; Gender Equality; Discrimination; South SudaDi tengah budaya patriarki yang menindas, konflik berkepanjangan di Sudan Selatan pada kurun waktu 2005-2018 telah menyebabkan perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Ketidakpuasan para aktivis perempuan akan sistem kemasyarakatan dan konflik berkepanjangan, akhirnya mendorong mereka terlibat dalam aktivitas bina damai. Artikel ini mengkaji peran perempuan dalam kegiatan bina damai dengan menggambarkan kiprah aktivis perempuan di Sudan Selatan. Pengkajian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode penelitian studi kasus dan memanfaatkan metodologi Feminis untuk mendapatkan gambaran komprehensif aktivitas individu dan organisasi aktivis perempuan dalam bina damai melalui lensa perempuan. Penelitian ini menemukan bahwa aktivis perempuan berperan dalam proses bina damai pada setiap tingkatan piramida aktor mulai dari tingkat akar rumput, menengah, hingga atas. Perubahan positif dan transformatif tergambar dari peran yang mereka lakukan membawa. Di tingkat atas, upaya yang dilakukan telah mendorong pemerintah Sudan Selatan melibatkan aktivis perempuan dalam proses negosiasi perdamaian dengan Sudan dan menjamin kesetaraan gender dalam konstitusi yang dirumuskan. Di tingkat menengah dan tingkat bawah, proses bina damai oleh aktivis perempuan berhasil meyakinkan masyarakat Sudan Selatan untuk mendukung implementasi kesetaraan gender sebagai bagian dari penyelesaian konflik. Kata Kunci: Perempuan, Bina Damai, Kesetaraan Gender, Diskriminasi, Sudan Selata

    Supplementation of corn-soybean based layer diets with different levels of acid protease

    No full text
    The aim of this research was held in Institute of Animal Science farm, University of the Philippines Los Banos, was to know the effects of acid protease supplementation in layer diets. Ninety-four-week old pullets were caged individually. Five treatments were randomly arranged to 95 pullets following a completely randomized design. Each treatment was replicated 19 times. The feeding trial lasted for 16 weeks. The same management practices were provided to all treatments throughout the feeding period. Pullets were fed once a day in the morning and clean drinking water was available to the pullets at all times. A basal layer diet that contained 18% crude protein (CP) and 2800 Kcal ME/kg supplemented with required vitamins, minerals and amino acids were formulated. The diets with reduced protein of 17% and 2800 kcal ME/kg was also formulated. The diet with the reduced crude protein was supplemented with different levels of protease (0.05, 0.075 and 0.1%). Six birds from each treatment were randomly selected and placed in individual digestion cages. They were fed with their respective diets with chromic oxide as indicator for 7 days. Chromic oxide was added to the different diets at 0.2%. On the 3rd to 6th day of feeding, feces were collected using stainless fecal trays installed under each cage. At the end of the collection period, fecal samples collected from each replicate of treatment were dried then subjected to proximate analysis and chromic oxide determination. Result showed that no significant difference on biweekly feed consumption and overall observations. Reduced CP + 0.1% protease was the highest on the hen day production (93.75%) and the lowest of feed conversion (1.85) while reduced CP + 0.075% protease was the highest of egg weight (58.82 g) and eggshell thickness (0.392 mm). There was no significant difference on digestibility coefficient
    corecore