71 research outputs found
Traditionally utilization of Selaginella; field research and literature review
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat Selaginella dalam pengobatan tradisional dan pemanfaatan
lainnya, melalui penelitian lapangan dan telaah pustaka, khususnya di Jawa dan Kepulauan Nusantara. Sebanyak 200 dari 700-750
spesies Selaginella hadir di Kepulauan Nusantara. Secara tradisional Selaginella digunakan untuk mengobati luka, pendarahan,
gangguan menstruasi dan kandungan, memperlancar peredaran darah, meningkatkan daya tahan tubuh, memperpanjang usia, mengobati
sakit kepala dan lain-lain. Di samping itu beberapa jenis Selaginella juga digunakan sebagai sayuran (lalapan), tanaman hias, dan bahan
baku kerajinan tangan. Pemanfaatan Selaginella sangat terbatas dibanding jumlah jenis dan potensi manfaat obatnya, sehingga
diperlukan kajian etnobotani dan fitokimia lebih mendalam untuk meningkatkan pemanfaatannya.
Kata kunci: obat tradisional, tanaman obat, etnobotani, Selaginella, Jawa
Review: Biodiversity conservation strategy in a native perspective; case study of shifting cultivation at the Dayaks of Kalimantan
Abstrak. Setyawan AD. 2010. Review: Strategi konservasi biodiversitas dalam pandangan suku asli; studi kasus perladangan
berpindah Suku Dayak di Kalimantan. Nusantara Bioscience 1: 97-108. Suku asli umumnya konservasionis sejati, mereka membangun
strategi konservasi sumberdaya alam hayati dan lingkungan yang berkelanjutan. Dayak adalah suku asli Kalimantan yang telah tinggal
selama ribuan tahun dan menggunakan sistem perladangan berpindah untuk mengelola hutan ulayat, karena tanah Kalimantan miskin
hara mineral, dimana keberadaan fosfor menjadi faktor pembatas budidaya tanaman pangan. Di hutan tropis, kandungan terbesar fosfor
tersimpan dalam pepohonan, sehingga untuk melepaskannya dilakukan pembakaran hutan. Hara yang terlepas ke dalam tanah dapat
digunakan untuk bertanam padi gogo, hingga terserap habis, lalu peladang membuka hutan baru, sedangkan lahan lama ditinggalkan
(bera) agar menjadi hutan kembali (selama 20-25 tahun). Pembukaan lahan yang berurutan, menyebabkan terbentuknya mosaik-mosaik
lahan dengan umur suksesi dan keanekaragaman hayati beragam. Proses ini seringkali digabungkan dengan sistem agroforestri (kebun
hutan multikultur), dimana ladang yang hendak ditinggalkan ditanami berbagai pohon berguna yang dapat terintegrasi pada ekosistem
hutan, terutama karet dan buah-buahan. Sistem perladangan berpindah sering dikambinghitamkan sebagai faktor utama degradasi dan
kebakaran hutan, namun dalam 300 tahun terakhir sistem ini berdampak kecil pada kerusakan hutan. Namun, produktivitas sistem ini
relatif rendah dan subsisten, sehingga tidak sesuai dengan pertanian modern dimana produktivitas harus tinggi, hasil panen harus
terukur, masal dan kontinyu, serta terkait dengan pasar. Peningkatan penduduk dan perkembangan industri kehutanan, perkebunan,
pertambangan, dan lain-lain telah mempersempit luasan hutan ulayat untuk perladangan berpindah, sehingga masa bera diperpendek (5-
15 tahun) dan lahan terdegradasi menjadi padang alang-alang. Di masa depan, perladangan berpindah tetap menjadi salah satu pilihan
suku Dayak untuk memenuhi kebutuhan padi, namun agroforestri perlu dikembangkan karena bernilai ekonomi lebih tinggi.
Kata kunci: perladangan berpindah, agroforestri, Dayak, Kalimantan, konservasi, keanekaragaman hayati
Review: Effect of global warming on plant evolution and diversity; lessons from the past and its potential recurrence in the future
Abstrak. Setyawan AD. 2009. Pengaruh pemanasan global terhadap evolusi dan keanekaragaman tumbuhan; pelajaran dari masa lalu
dan kemungkinan terulangnya kembali di masa depan. Nusantara Bioscience 1: 43-52. Pelajaran dari masa lalu menunjukkan bahwa
pemanasan global dan glasiasi merupakan siklus alamiah yang terus berulang; faktor pemicunya tidak selalu sama, namun pemanasan
global selalu disertai peningkatan kadar CO2 dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfer yang menyebabkan meningkatnya suhu bumi.
Hadir dan musnahnya berbagai tumbuhan dan makhluh hidup lainnya terus terjadi dari waktu ke waktu. Setiap jaman memiliki bentuk
kehidupannya sendiri-sendiri, sebagai cermin kondisi lingkungan global pada saat itu. Keanekaragaman hayati tidak selalu sama antara
masa pemanasan global yang satu dengan masa pemanasan global berikutnya; atau dari masa glasiasi yang satu dengan glasiasi
berikutnya, meskipun keturunan-keturunan baru selalu menunjukkan jejak evolusi dari nenek moyangnya. Manusia merupakan salah
satu agen pemanasan global yang dimulai dengan dikembangkannya sistem pertanian sejak 8000 tahun yang lalu. Dampak perubahan
iklim akibat pemanasan global perlu terus diwaspadai. Berdasarkan pengalaman di masa lalu, pemanasan global selalu diikuti
kepunahan massal, namun berbagai bentuk kehidupan tetap akan bertahan meskipun bentuknya hampir pasti tidak sama dengan yang
ada sebelumnya. Makhluk hidup yang dapat bertahan akan berevolusi menjadi taksa baru yang berbeda dengan taksa tetuanya. Manusia
yang hadir pada saat itu barangkali bukanlah manusia yang hadir saat ini, mengingat boleh jadi Homo sapiens telah punah karena tidak
mampu beradaptasi atau sebaliknya telah berevolusi menjadi manusia baru yang barangkali tidak lagi menunjukkan ciri-ciri manusia
bijaksana.
Kata kunci: pemanasan global, evolusi, keanekaragaman, jenis baru
Traditionaly utilization of Selaginella; field research and literature review
Setyawan AD. 2009. Traditionaly utilization of Selaginella; field research and literature review. Nusantara Bioscience 1:
146-154. The aims of this research were to find out traditional usage of Selaginella in medication and its other usages, especially in Java
and other Indonesian Archipelago. About 200 of 700-750 world species of Selaginella was found in Indonesian Archipelago. Field
research and literature review indicated that Selaginella is used traditionally to heal wound, bloody stools, internal hemorrhoid bleeding,
menstrual and uterine discomfiture, blood expediting, enhancing body endurance and longevity of live, headache, etc. Besides that some
of Selaginellas are also used as raw dishes vegetable, ornamental pants, base materials and crafts. The utilization of Selaginella is very
little against its amount of species and medicinal potency, so it is needed an advance study on ethnobotany and phytochemistry to
improve its uses.
Key word: traditional medicines, herbal, ethnobotany, Selaginella
Epiphytic Plants on Stand of Schima wallichii (D.C.) Korth. at Mount Lawu
The objectives of the research were to know: (1) the diversity of epiphyte species at the stand of puspa trees (Schima wallichii (D.C.) Korth.) in Cemoro Sewu and Cemoro Kandang of mount Lawu, and (2) the distribution and cover abundance of the species based on its location from the land surface. The research objects were all species of epiphyte plants on the stand of puspa trees. The procedures of data collection were including species collection in the field, make up herbariums, observation of epiphyte vegetation using transect method and morphology observation in the laboratory. The results show that in the south slope of the mount Lawu were found 23 species of epiphyte consisting 4 species of lichenes, 2 species of Fungi, 3 species of Bryophyte, 10 species of Pterydophyte, 2 species of Orchidaceae and 2 species of liana. The species with the highest density was Bryophyte, and the highest diversity was Pterydophyte. The height of the trees affects the distribution, diversity and density of the epiphyte plants
Konflik kepentingan berkaitan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosio-budaya di Tanah Tinggi Dieng, Indonesia
Tanah Tinggi Dieng di Jawa Tengah telah mengalami sentuhan tamadun sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak
abad keempat, kawasan ini telah menarik kehadiran manusia kerana panorama yang indah dan persekitaran
yang unik, sesuai untuk tempat beribadat. Pada abad keenam sebuah kompleks percandian Hindu tertua di Jawa
mula dibina; dan setelah ditinggalkan selama beberapa abad, pada akhir abad ke-19, tanah tinggi ini telah
dibangunkan menjadi kawasan pertanian. Kini kawasan ini terkenal dengan penanaman ubi kentang yang paling
menguntungkan di Jawa Tengah. Objektif kajian ini adalah untuk membincangkan pelbagai konflik kepentingan
yang berlaku di tanah tinggi tersebut yang masing-masing mempunyai kepentingan ekologi, ekonomi dan sosio-
budaya di kawasan tersebut. Kajian ini menggunakan kaedah tinjauan lapangan dan temu bual yang dijalankan
antara bulan Julai 2007 dan Julai 2011 bagi mengumpul data primer, juga data sekunder dari gambar satelit,
peta topografi dan pelbagai literatur. Hasil kajian menunjukkan bahawa berlaku konflik antara pelbagai pihak
berkepentingan membabitkan petani, pegawai perhutanan, pegawai kerajaan, dan beberapa syarikat swasta di
kawasan tersebut. Tekanan ekonomi merupakan penyebab utama berlakunya konflik yang berpengaruh kepada
keberlangsungan ekologi dan sosio-budaya. Pertanian ubi kentang merupakan faktor utama yang menyebabkan
kerosakan persekitaran di Tanah Tinggi Dieng
Konflik kepentingan berkaitan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosio-budaya di Tanah Tinggi Dieng, Jawa Tengah, Indonesia (Conflicts of interest among stakeholders involving ecology, economy and socio-culture of the Dieng Plateau, Indonesia)
Tanah Tinggi Dieng di Jawa Tengah telah mengalami sentuhan tamadun sejak ratusan tahun yang lalu. Sejak abad
keempat, kawasan ini telah menarik kehadiran manusia kerana panorama yang indah dan persekitaran yang unik,
sesuai untuk tempat beribadat. Pada abad keenam sebuah kompleks percandian Hindu tertua di Jawa mula dibina;
dan setelah ditinggalkan selama beberapa abad, pada akhir abad ke-19, tanah tinggi ini telah dibangunkan menjadi
kawasan pertanian. Kini kawasan ini terkenal dengan penanaman ubi kentang yang paling menguntungkan di Jawa
Tengah. Objektif kajian ini adalah untuk membincangkan pelbagai konflik kepentingan yang berlaku di tanah tinggi
tersebut yang masing-masing mempunyai kepentingan ekologi, ekonomi dan sosio-budaya di kawasan tersebut.
Kajian ini menggunakan kaedah tinjauan lapangan dan temu bual yang dijalankan antara bulan Julai 2007 dan Julai
2011 bagi mengumpul data primer, juga data sekunder dari gambar satelit, peta topografi dan pelbagai literatur.
Hasil kajian menunjukkan bahawa berlaku konflik antara pelbagai pihak berkepentingan membabitkan petani,
pegawai perhutanan, pegawai kerajaan, dan beberapa syarikat swasta di kawasan tersebut. Tekanan ekonomi
merupakan penyebab utama berlakunya konflik yang berpengaruh kepada keberlangsungan ekologi dan sosiobudaya.
Pertanian ubi kentang merupakan faktor utama yang menyebabkan kerosakan persekitaran di Tanah Tinggi
Dieng
Plants Biodiversity of Jobolarangan Forest Mount Lawu: 1. Cryptogamae
The objectives of the research were to make: (1) a list of Cryptogamic plants at Jobolarangan forest in mount Lawu, and (2) the actual condition of biodiversity conservation of the plants. All Cryptogamic plants on the forest were studied. The procedures of data collection were including species collection in the field, make up herbaria, observation of flora vegetation using transect method, morphology observation in the laboratory, and interview to residents and government administrations. The results showed that in the forest were found 77 species Cryptogamic plants, consisting of 27 species of fungi, 5 species of lichens, 20 species of Bryophyta and 25 species of Pterydophyta. Government and residents had successfully conserved the forest; however fire and illegal logging damaged another part
Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan
Mangrove ecosystem at Segara Anakan lagoon, Cilacap having specific characteristics so that in developing this area
should consider the conservation aspect. This area is the widest conserved-mangrove ecosystem at Java, and the place
for breeding of many species of fish, crustacean and others. Thousand families of fisheries were supported both direct and
indirectly from this ecosystem. However, along with the development activities in the watershed of Citanduy,
Cimeneng/Cikonde and other rivers connected to the area has brought about the increase of sediment, and threaten the
existence of the lagoon and surrounding mangrove ecosystem. Diversion of Citanduy river, dredging sediment, and
reboisation of the watershed river was a preference of conserving the ecosystem, however, the diversion could be forming a
new ecosystem, that actually threat the fisheries and tourism activities at Pangandaran, Ciamis.
Key words: mangrove, Citanduy river, Segara Anakan lagoon, sedimentation, diversion
Polyploid induction of Allium ascalonicum L. by colchicine
The low production rate of shallot (Allium ascalonicum L.) in Indonesia could be caused by rarely excellent cultivars. Colchicine was one of the mutation agents frequently used in plant breeding in order to get polyploidy of cultivars. The aim of this research was to find out the differentiation of morphometric evidences and ploidy of shallot chromosomes induced by colchicines 1%. Preparation was made by squash method and stained by acetocarmine. The results indicated that the amount, length and shape of chromosomes altered by the application of the agent. The polyploids produced could be grouped into tetraploids, pentaploids, hexaploids, octaploids, and nonaploids
- ā¦