5 research outputs found

    IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE MELALUI UPAYA REHABILITASI DAN REINTEGRASI SOSIAL.BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

    Get PDF
    The unavailability of temporary child placement institutions (LPAS) in districts is an obstacle to social rehabilitation and reintegration efforts mandated by Law No. 11 of 2012 on the juvenile justice system. This role was then taken over by the Bengkel Jiwa Foundation, a non-profit organization engaged in assisting and fulfilling the rights of ABH. The purpose of this study was to find out the implementation of restorative justice for ABH as stipulated in Law Number 11 of 2012 concerning the juvenile justice system and Social Minister Regulation Number 26 of 2018 concerning social rehabilitation and reintegration for ABH through social rehabilitation and reintegration efforts carried out by the Jiwa Workshop Foundation. The method used in this research is descriptive-qualitative. The results of the study show that the implementation of social rehabilitation and reintegration carried out by the Jiwa Workshop Foundation is in accordance with the provisions of laws and regulations, although it is not optimal because of management HR limitations and budget restrictions.AbstrakBelum tersedianya lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) di kabupaten menjadikan hambatan dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengenai sistem peradilan pidana anak. Peran ini kemudian diambil alih oleh yayasan Bengkel Jiwa sebagai lembaga nirlaba yang bergerak dalam pendampingan dan pemenuhan hak-hak bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum atau ABH. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui implementasi keadilan restoratif bagi ABH yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak dan Permensos Nomor 26 Tahun 2018 tentang rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi ABH melalui upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang dilaksanakan Yayasan Bengkel Jiwa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang dijalankan Yayasan Bengkel Jiwa sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun belum optimal karena terdapat faktor keterbatasan SDM pengurus dan keterbatasan anggaran

    Kualitas Kesaksian Testimonium De Auditu pada Putusan Mahkamah Syar’iyyah Aceh Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Anak

    Get PDF
    Meningkatnya jarimah pemerkosaan terhadap anak tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang berpihak pada korban. Banyak putusan mahkamah syar’iyyah aceh yang justru membebaskan pelaku karena minimya alat bukti. kesaksian saksi testimonium de auditu ditolak untuk dipertimbangkan karena saksi dianggap tidak melihat, mendengar dan mengalami langsung peristiwa pidana yang disaksikannya penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dasar perimbangan hakim dalam menilai kualitas kesaksian saksi testimonium de aiditu dalam Putusan No. 7/JN/2021/MS.Aceh dan menganalisisnya berdasarkan perspektif hukum positi dan fikih jinayah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hakim dalam memutus jarimah pemerkosaan terhadap anak di bawah umur pada Putusan Nomor 7/JN/2021/MS.Aceh menilai bahwa kualitas kesaksisan saksi testimonium de auditu tidak dapat diterima sehingga tidak terdapat minimum dua alat bukti yang sah yang dapat membuktikan bahwa Terdakwa telah melakukan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Kualitas kesaksian saksi testimonium de auditu ditinjau dari hukum positif meskipun bukan atas apa yang dilihat, di dengar dan dialami sendiri tetap dapat dijadikan alat bukti petunjuk. Sedangkan ditinjau dari fiqih jinayah kesaksian testimonium de auditu tidak boleh dikesampingkan atau ditolak sepenuhnya oleh hakim karena Hakim harus mendengarkan keterangan semua pihak demi terciptanya keadilan

    Hak ijbar wali dalam pandangan Imam Syafi'i perspektif gender

    Get PDF
    INDONESIA: Salah satu akibat dari masih sempitnya pemahaman masyarakat dalam memahami hak ijbar wali adalah masih mengakar kuatnya budaya kawin paksa. Hak ijbar yang seharusnya dimaknai sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya Karena keadaan anaknya yang dianggap belum atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri dalam pernikahan, malah dipahami sebagai alat untuk melegitimasi tindakan orang tua untuk memaksa anaknya kawin atau menikahkan anaknya dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya. Hal ini dikarenakan adanya kesalahan mendasar dalam memahami makna ijbar yang diidentikkan dengan ikrah. Berangkat dari adanya pergeseran pemaknaan ijbar yang diidentikkan dengan ikrah oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut Mazhab Syafi’i, mendorong peneliti untuk melakukan sebuah penelitian tentang bagaimana sebenarnya hak ijbar wali terhadap anak gadis dan janda dalam pandangan Imam Syafi’i? dan bagaimana hak ijbar wali terhadap anak gadis dan janda dalam pandangan Imam Syafi’i dilihat dari perspektif keadilan gender? Untuk mencari jalan keluar dari problematika di atas, peneliti menggunakan jenis penelitian kepustakaan. Karena data yang diperoleh berasal dari berbagai macam buku yang diantaranya kitab al-Umm sebagai rujukan utamanya dan beberapa buku yang membicarakan tentang problematika kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam sebagai rujukan sekundernya. Sedangkan pendekatan penelitian ini adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Karena penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan hak ijbar wali dalam pandangan Imam Syafi’I yang dilihat dari perspektif gender. Dengan menggunakan metode penelitian yang sudah dipaparkan di atas dihasilkanlah sebuah kesimpulan bahwa hak ijbar wali menurut pandangan Imam Syafi’i diberlakukan bagi anak gadis yang masih kecil, yang sudah dewasa dan juga janda. Dalam pemberlakuan hak ijbar wali bagi janda wajib dimusyawarahkan dengan cara meminta persetujuannya secara tegas dan bagi anak gadis, indikasi persetujuannya cukup dengan diamnya saja. Sedangkan menurut para aktifis gender hak ijbar wali dalam pandangan Imam Syafi’i tidak mencerminkan sebuah keadilan gender karena merampas kebebasan hak bagi anak perempuan untuk memilih pasangan hidup sesuai dengan apa yang dikehendakinya. ENGLISH: One result of the still limited understanding of the community in understanding ijbar rights guardian is still strongly entrenched culture of forced marriages. Ijbar rights that should be understood as a form of protection or responsibility of a father to their children because their children is considered not or do not have the ability to act alone in the marriage, even understood as a tool to legitimize the actions of parents to force their children to marry, or marry off their children by choice, not the choice of his son. This is because the fundamental mistake in understanding the meaning ijbar rights who identified with ikrah. Departing from the shift of meaning ijbar rights who identified with ikrah by most Indonesian people are majority adopt Mazhab Syafi’i, encourage researchers to conduct a study on how exactly ijbar rights guardian against girls and widows in the view of Imam Syafi’i? and how ijbar rights guardian against girls and widows in the view of Imam Syafi’i viewed from the perspective of gender justice? To find a way out of problems above, researchers used a type of library research. Because the data obtained from different kinds of books that include the book al-Umm as the main reference and some books that talk about the problems of equality and gender justice in Islam as a secondary reference. While the approach of this research is descriptive-qualitative approach. Because this study intended to reveal and describe ijbar rights guardian in view of Imam Syafi’i as seen from a gender perspective. By using the method of research that has been described above was obtained a conclusion that ijbar rights guardian in the view of Imam Syafi’i applied to young girls, who were grown and also a widow. In the application of ijbar rights trustee for the widow shall be discussed by way of request and expressly consent for girls, an indication of consent simply by silence alone. While according to gender rights activists ijbar rights guardian in the view of Imam Syafi’i does not reflect a gender equality since it usurps the rights of freedom for girls to choose a spouse according to what she wants

    Alternatif Model Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum melalui Family Group Conferencing (Analisis Yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana A

    Get PDF
    Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Alternatif baru yang kini banyak diperkenalkan dalam upaya dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah dengan menggunakan pendekatan restorative juctice . Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang diharapkan mampu merepresetasikan pendekatan restorative justice belum mengakomodir kepentingan terbaik anak. hal ini terlihat dalam penempatan diversi yang masih terintegrasi dalam sistem peradilan pidana formal yang pada gilirannya akan melahirkan stigma negatif bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu, diperlukan alternatif model dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Berangkat dari permasalahan tersebut peneliti ingin mengkaji lebih lanjut tentang model family group conferencing agar dapat diterapkan sebagai alternatif model penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia yang kemudian secara sisematis dirumuskan dalam pertanyaan Apa urgensi adanya alternatif model penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia? Dan Apakah model family group conferencing dapat diterapkan sebagai alternatif penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak Indonesia di masa mendatang?. Untuk menjawab problematika ini, peneliti menggunakan jenis penelitian yang bersifat normatif-yuridis dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan koseptual. Dengan meggunakan metode penelitian di atas diperoleh simpulan bahwa urgensi alternatif model penanganan anak yang berkonflik dengan hukum karena Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang sistem peradilan pidana anak di Indonesia belum mencerminkan tujuan keadilan restoratif sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. sementara Model family group conferencing dapat diterapkan di Indonesia karena berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Pancasila, tujuan bangsa Indonesia dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

    Konstruksi Sosial Transgender di Kabupaten Jember Pasca Jember Fashion Carnival: Perspektif Hak Asasi Manusia

    No full text
    The issue of discrimination and negative stigmatization of transgender people in the Jember Regency is considered an obstacle to the freedom of expression for every individual. This study aims to analyze the views of the people of the Jember Regency in regard to transgender women’s right to freedom of expression after the Jember Fashion Carnival event. This research utilizes an empirical juridical research method with sociological approach and legal approaches. The results of this study indicate that the community's social construction of the rights of transgender expression after the Jember Fashion Carnival event is demonstrated through the community's appreciation of the transgender people’s works at the event and the provision of space for their expression to develop creativity. Although the government of Jember Regency has not implemented specific policies to protect the rights of transgender people in expressing themselves and developing their potential, the government and residents of Jember have recognized the transgender community as citizens with equal rights and positions to express themselves and contribute to the progress of Jember Regency.Isu diskriminasi dan stigmatisasi negatif transgender di Kabupaten Jember dinilai menghambat kebebasan berekspresi setiap individu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pandangan masyarakat Kabupaten Jember terhadap hak kebebasan berekspresi transgender pasca acara Jember Fashion Carnival. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris dengan pendekatan sosiologis dan pendekatan hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi sosial masyarakat terhadap hak berekspresi transgender pasca gelaran Jember Fashion Carnival ditunjukkan melalui apresiasi masyarakat terhadap karya transgender di ajang tersebut dan pemberian ruang ekspresi mereka untuk mengembangkan kreativitas. Meskipun pemerintah Kabupaten Jember belum menetapkan kebijakan khusus untuk melindungi hak transgender dalam mengekspresikan diri dan mengembangkan potensinya, namun pemerintah dan warga Jember telah mengakui komunitas transgender sebagai warga negara yang memiliki hak dan kedudukan yang sama untuk mengekspresikan diri dan berkontribusi untuk kemajuan Kabupaten Jember
    corecore