14 research outputs found

    The Innovation of Glassfiber Reinforced Cement (GRC) Application in Buildings

    Get PDF
    One example of the innovation in building construction that is expansively used at present is Glassfiber Reinforced Cement (GRC). GRC is a cement product based on material mixed with fiberglass. GRC is one of the developments of concrete. This product easily and efficiently provides solutions to a variety of building designs. Additionally, its various forms can be applied to numerous types and functions of buildings. This research aimed to identify the suitability of GRC for several functions. The methods in this study employed a type of qualitative research, with data collection techniques in the form of observation and documentation in several examples of buildings that applied the GRC material innovation. Data analysis was obtained from observation related to GRC types, sizes, installation techniques, and functions in the building. Results showed that the GRC had various types, shapes, and sizes. It could be applied to the building exterior or interior. Each building used different GRC specifications tailored to meet needs and design of the building. GRC installation techniques could use the frame or without frames, adapted to the needs and types of GRC use

    RESORT HOTEL DI KAWASAN WISATA PANTAI INDRAYANTI

    Get PDF
    Kawasan Pantai Indrayanti adalah salah satu bagian kawasan wisata yang berada di Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jenis wisata yang ada di kabupaten Gunung Kidul banyak sekali salah satunya adalah kawasan wisata Pantai Indrayanti yang berada di kecamatan Tepus yang termasuk pantai baru tetapi sudah banyak diminati karena keindahan dan keasrian pantai. Para wisatawan yang berlibur ke kawasan pantai ini tidak hanya satu hari ada yang beberapa hari, mereka ingin memanfaatkan akomodasi yang praktis dengan adanya fasilitas wisata. Bentuk akomodasi wisata yang cocok adalah sebuah resort hotel. Saat ini di kawasan pantai ini sudah mempunyai resort hotel, dan keinginan para wisatawan kebanyakan memilih resort hotel yang mempunyai fasilitas yang lengkap dan mempunyai keindahan bangunan. Resort Hotel pantai yang mempunyai fasilitas yang baik dibidang rekreasinya merupakan solusi untuk mengakomodasi para wisatawan di kawasan pantai indrayanti. Akomodasi yang mengedapankan view alam yaitu keindahan pantai indrayanti dan fasilitas rekreasi yang dapat menunjang kegiatan berlibur para wisatawan dan Praktis, menginap sekaligus mendapatkan kepuasan berlibur adalah keinginan para wisatawan, dengan melakukan pembayaran sekali mereka sudah dapat fasilitas berekreasi sekaligus penginapan yang nyaman, sehingga dengan adanya Resort Hotel yang baru di kawasan pantai ini diharapkan mampu mengakomodasi para wisatawan yang semakin bertambah terutama pada saat hari libur dan dapat mewujudkan keinginan mereka berekreasi yang memuaskan. Kata Kunci : Resort Hotel, Pantai Indrayant

    Islamic Values in Muslim Housing Griya Sakinah Residence and Influence on the Behaviour of Its Residents

    Get PDF
    The development of housing that carries Islamic values has grown rapidly in the last 10 years in line with the increasing economic potential and awareness of Muslims to get a conducive environment for families, making developers build housing with Islamic concepts. This study aims to determine Islamic values that are embodied in the area, housing units and determine their influence on the behavior of its inhabitants. The research method used is descriptive analytical, namely revealing facts on objects in the present time. The results showed that the Griya Sakinah Muslim housing applied Islamic values to the area, facilities and housing units, namely the Hablumminallah in the form of a mosque which functions as a worship space and socialization space for residents of housing and local residents. The value of Hablumminannas is manifested in the construction of public facilities in the area and Hablumminalalamien is manifested in the construction of gardens in housing and the form of residential units with tropical architectural concepts in accordance with the local climate and environment. What has not been noticed is the value of death reminders in the form of tombs for residential residents. The new thing found in this study is the role of mosques to overcome social segregation in housing areas with cluster concept and further research needed about hijab in Islamic settlement

    APARTEMEN MAHASISWA DI TEMBALANG

    Get PDF
    ABSTRAK Keberadaan Kampus Universitas Diponegoro di daerah Tembalang, Semarang memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian daerah Tembalang. Kegiatan perkuliahan di Kampus Tembalang Universitas Diponegoro memerlukan berbagai fasilitas penunjang, seperti toko alat tulis, rental komputer dan printer, warnet, laundry, warung makan dan restoran, factory outlet. Yang terutama adalah tempat kost, mengingat sebagian besar mahasiswa Undip berasal dari luar kota. Terdapat beragam kelas tempat kost mulai dari yang sederhana hingga tempat kost eksklusif dengan tarif Rp. 1.500.000,- s/d Rp. 2.500.000,- per bulan. Kondisi tersebut menyebabkan Kecamatan Tembalang, dengan luas wilayah yang tidak bertambah, mengalami tekanan daya dukung lingkungan yang semakin lama semakin besar, kepadatan penduduk semakin tinggi dan ruang terbuka yang semakin berkurang. Dapat disimpulkan bahwa di Wilayah Tembalang perlu ada sebuah solusi berupa hunian vertikal yang diperuntukkan bagi pasar mahasiswa. Apartemen Mahasiswa ini didesain dengan menyesuaikan aktivitas mahasiswa yang dinamis dan begitu padat namun tetap membutuhkan ruang untuk bersosialisasi. Sehingga desain bangunan akan terdapat banyak sky garden sebagai ruang bersama baik untuk berkumpul, berdiskusi, maupun belajar. Dilengkapi dengan shuttle bus untuk mengakomodasi mobilitas mahasiswa yang tinggi. Karakter mahasiswa yang dinamis juga ditonjolkan pada bagian fasad. Balkon unit hunian dengan material beton precast disusun acak sehingga tercipta sebuah aksen yang dinamis. Kisi-kisi sebagai shading bermaterial woodplank juga disusun selang-seling. Kajian diawali dengan mempelajari pengertian dan hal-hal mendasar mengenai apartemen, tipe apartemen, dan pedoman perencanaan apartemen.. Setelah itu dilakukan studi banding beberapa Apartemen dengan segmen pasar utama mahasiswa di Yogyakarta, Semarang, maupun Bandung untuk mengetahui aspek-aspek yang dibutuhkan dalam merencanakan dan merancang apartemen pada umumnya. Dilakukan juga tinjauan mengenai lokasi Kecamatan Tembalang, Semarang menurut karakter geografis dan budayanya. Menggabungkan antara unsur lokal kota Semarang dengan bangunan Apartemen Mahasiswa yang modern serta mengaplikasikan desain yang ramah terhadap lingkungan dan berkelanjutan. Seluruh hasil kajian dituangkan dalam bentuk program ruang dan konsep-konsep perancangan yang diaplikasikan ke dalam desain yang dipresentasikan ke dalam bentuk gambar-gambar arsitektur. Kata Kunci : apartemen, mahasiswa, Tembalang

    CONVENTION DAN EXHIBITION CENTER DI SEMARANG

    Get PDF
    Convention dan Exhibition Centre merupakan fasilitas gedung yang menjadi salah satu syarat pada suatu kota untuk menjadikannya sebagai kota MICE. Tidak hanya event Nasional atau Internasional saja bangunan ini akan bermanfaat. Event – event lokal seperti acara seminar, konser musik, acara pernikahan menjadi event – event yang biasanya di selenggarakan di gedung ini. Industri MICE sendiri merupakan industri yang bergerak di bidang jasa akomodasi untuk kegiatan Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition. Industri ini dalam beberapa tahun terakhir sangat menguntungkan dunia dengan tercatat tahun 2006 saja menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO) pemasukan sektor pariwisata mencapai U$ 733 Miliar dengan wisatawan dunia mencapai 800 juta wisatawan. Industri ini juga menguntungkan di Indonesia dengan pemasukan di sektor pariwisata mencapai 255 Miliar rupiah menurut Data Satelit Pariwisata Nasional. Dalam arah perkembangan kota Semarang yang akan datang adalah diarahkannya ibukota propinsi Jawa Tengah ini menjadi kota MICE , dengan resiko aspek kepariwisataan harus dipacu agar maju lebih kuat. Terbukti dengan perkembangan Semarang menuju kota tujuan MICE, ekonomi Semarang hingga tahun 2012 meningkat rata – rata 6,4% tiap tahunnya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik. Agar aspek kepariwisataan kota Semarang ini semakin kuat, maka harus memperhatikan dan mengembangkan beberapa aspek salah satunya yakni aspek penyediaan bangunan untuk Konvensi dan Eksibisi. Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah mempunyai sekitar 48 tempat gedung pertemuan dan pameran, sedang kapasitas terbanyak untuk gedung pertemuan dan pameran mampu menampung sekitar 5000 tamu, yaitu gedung Marina Convention Centre. Kurangnya gedung Convention and Exhibition Centre yang mampu menampung lebih dari 2000 orang menjadi sebuah masalah baru. Setiap tahunnya acara seperti pameran, acara rapat atau kampanye partai yang sedang marak di agendakan pada tahun ini membutuhkan akomodasi dengan kapasitas lebih dari 1000 orang. Sedangkan pada kenyataannya saat ini kota Semarang hanya mempunyai 2 tempat yang mampu menampung 2000 orang lebih dalam satu tempat. Sehingga dibutuhkan tambahan Convention dan Exhibition Centre dengan kapasitas lebih dari 2000 orang. Kata Kunci: pariwisata, konser, seminar, pamer

    TRANS STUDIO SEMARANG

    Get PDF
    ABSTRAK Industri pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi paling penting di Indonesia. Sektor periwisata diharapkan dapat menggerakan ekonomi rakyat karena dianggap sebagai sektor yang paling siap dari segi sarana dan prasarana dibanding sektor lainnya. Kota Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah juga memanfaatkan sektor pariwisata sebagai sektor penting penopang perekonomian. Letak Kota Semarang yang dinilai cukup strategis karena berada di Pantura yang memiliki akses langsung ke kota-kota lain seperti Jakarta dan Surabaya serta terdapatnya sarana pendukung seperti Bandara Ahmad Yani dan Pelabuhan Tanjung Mas menjadikan kota ini semakin berpotensi untuk dikunjungi. Pengembangan parwisata menjadi salah satu dari skala prioritas untuk mengembangkan Kota Semarang, karena melalui pariwisata akan banyak manfaatnya terutama pertumbahan sektor ekonomi bagi masyarakat. Obyek wisata di Kota Semarang dinilai masih terbatas, tetapi dari sisi pendukung seperti hotel, apartemen, dan fasilitas lainnya seperti sarana transportasi sudah cukup siap. Untuk bisa menarik wisatawan datang ke Semarang, Pemkot Semarang berusaha menambah beberapa potensi wisata yang bersifat entertain diantaranya waduk Jatibarang dan Trans Studio Semarang. Trans Studio merupakan obyek wisata dan tempat hiburan yang sukses di beberapa kota. Bangunan Trans Studio berupa sebuah theme park yang mengusung dunia broad cast terbesar di Indonesia. Trans studio yang telah sukses sebelumnya di dua kota besar yaitu Bandung dan Makassar diharapkan mampu menarik minat wisatawan baik domestik maupun mencanegara untuk datang ke Kota Semarang. Trans Studio Semarang didesain sesuai konsep Trans Studio lainnya yakni mengangkat ciri khas lokal. Kata Kunci : trans studio, Semaran

    Turnitin - Local Wisdom of The Native Settlement as A Main Gate in The Northern Axis of Javanese City Center In Semarang

    Get PDF
    Similar to the city structure of Islamic cities in Java, Semarang also has multi-ethnic kampongs located around alun-alun / traditional square. There is a uniqueness kampong ethnic village that was located in the coastal city of Semarang. Now there are no longer in coastal area. Based on historical method using some old maps and the old images and field study resulted that the old city centre of Semarang had a north axis connecting the seaport (Kampung Darat - 14th century) to the alun-alun as administrative city centre (16th century). The axis was once a commercial corridor with settlements arrays behind the commercial corridor. There is some local wisdom in the settlement arrangement. The economic and religious harmonies live together along the corridor. The ethnic Chinese and Arabs as a merchant set up shop houses in the corridor that had a strategic value. Meanwhile, Malay, Arab, Cirebon and Banjar settlements located behind commercial corridors. This corridor present that the economic activity dominated done by Arabic and Chinese trader. Local wisdom in urban design heritage along North axis functioned as main gate to traditional city centre. The local wisdom is potential to be integrated with recent situation and replicated in another regio

    Adaptation strategy for home-based batik enterprise space in Arab village Sugihwaras Pekalongan

    Get PDF
    Changes in the pattern of batik trade in Sugihwaras Arab Village encourage the community to adapt by utilising the space in their homes to become Home Based Enterprises (HBEs) of batik space. HBEs batik space is a characteristic of Sugihwaras Arab Village as a batik trading area. The people of Arab Village have adapted by implementing the "hijab concept" to maintain privacy between domestic activities and the batik business. The application of the "hijab concept" is something unique to study because the "hijab concept" is usually only applied to Muslim women's clothing. Based on this phenomenon, researchers are interested in examining how Hijab is used as an adaptation strategy in a batik Home Based Enterprises space. This study examines the "hijab concept" as an adaptation strategy in the batik business space. The research method uses qualitative-descriptive so that researchers can describe phenomena and information on objects in detail. This research aims to find the implementation of the "hijab concept" as a space adaptation strategy to separate the domestic space and the Home-Based Enterprises. The importance of the study is a cause of the increasing role of women in running a household-based business, so an adaptation strategy is needed by separating the domestic space and the business space. The novelty of this study is the formation of layers of "hijab" in the Batik Home-Based Enterprises space in Arab Village Sugihwaras Pekalonga

    PERUBAHAN FUNGSI ALUN ALUN KOTA SEMARANG

    Get PDF
    Alun –alun merupakan salah satu bentuk elemen fisik perancangan kota yang didalamnya memuat aktifitas interaksi antara masyarakat sehingga harus dapat memberikan rasa nyaman yang identik dengan suasana hijau dan dilengkapi dengan elemen –elemen penunjangnya. Permasalahan yang kadang timbul disekitar wilayah alun-alun diakibatkan oleh penyimpangan – penyimpangan fungsi dari masing –masing properti yang tersedia disebuah alun-alun kota,serta alih fungsi alun-alun dari fungsi yang sesungguhnya. Kawasan ruang publik di semarang tempo dulu tepatnya kawasan Alun – alun tradisional Kota Semarang pernah tercatat sebagai pusat kota dan landmark serta berfungsi sebagai ruang terbuka dan pusat aktifitas masyarakat maupun pemerintahan. Seiring dengan peningkatan pembangunan dan aktivitas bisnis di kawasan tersebut maka mempengaruhi karakter dan fungsi alun alun dan lahan disekitarnya. Pada alun-alun ini perubahan yang terjadi adalah penambahan bangunan-bangunan komersil seperti pasar Yaik dan pasar Johar yang mengambil lahan dari alun-alun semarang serta bangunan perkantoran disekitar alun-alun. Bangunan Kanjengan/pemerintahan di sisi Selatan alun-alun telah dirobohkan dan dibangun pertokoan. Kawasan alun-alun yang lain didekat pasar Johar berdiri pasar Yaik Permai. Sedangkan di alun-alun Utara (bekas terminal angkot) berdiri gedung BPD dan Hotel Metro. Sekarang hamparan alun-alun telah hilang dan tinggal Masjid Agung Kauman yang menjadi tonggak terakhir pelestarian kawasan budaya ini. Hilangnya alunalun dan Kanjengan di sisi selatan yang merupakan ciri alun-alun tradisional telah hilang oleh kekuatan kapitalis perdagangan. Banyaknya pasar yang berdiri di Alun-alun adalah bukti potensi ekonomi strategis kawasan ini sangat kuat, walaupun pasar Johar penuh dengan permasalahan. Mulai dari banjir, rob, banyaknya PKL, kemacetan lalu lintas dan yang terakhir dianggap oleh investor sebagai bangunan yang sudah tidak layak dan akan diganti dengan trade center. Di seluruh Jawa, alun-alun Semarang merupakan satu-satunya alun-alun tradisional (pusat kota) yang hilang dan kalah bersaing menghadapi serbuan kapitalis perdagangan Beberapa periodisasi yang dapat dicatat sebagai tahun tahun perubahan karakter alun alun adalah masa pra kolonial, masa kolonial dan masa modern. Kata kunci : alun-alun Semarang , ruang publik, fungsi Opening (times new roman 10) *Staff Pengajar, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Jl. Prof Soedarto Tembalang Semarang, Telp. 024- 7063999, Fax. 024 7063888, email : [email protected] PENDAHULUAN Kota mempunyai sejarah pembentukan yang berbeda beda, ada yang terbentuk secara tidak segaja (unplanned city) dan yang direncanakan keberadaan karena kekuasaan ataupun dengan menerapkan berbagai teori perencanaan kota (planned City). Di Indonesia kota yang direncanakan karena kekuasaan banyak ditemui dengan karakteristik yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial setempat. Salah satu yang mempunyai jejak sejarah adalah kota semarang. Kota semarang pertama kali berasal dari kata asem (pohon Asam) dan arang (jarang), yang merupakan tempat Ki Ageng Pandan Arang I pertama kali mendirikan pemukiman. Setelah baliau meninggal dan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan Semarang,maka bertepatan dengan 2 mei 1547 M ki Ageng Padan Arang II diangkat menjadi bupati Semarang I. Setelah Pandan Arang II mengundurkan diri dari pemerintahan maka digantikannlah oleh Pandan Arang III. Adanya pusat penyiaran agama Islam dan kota Semarang sebagai kota pelabuhan menarik minat banyak bangsa asing untuk datang ke Semarang dan membuat permukiman berdasarkan etnis. Pada tahun 1678 Amangkurat II menyerahkan kekuasaan pada Kolonial Belanda dan merubah Semarang sebagai daerah perniagaan dan pertahanan militer. Di bawah colonial Belanda Semarang makin berkembang pesat dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Hindia Belanda. Kekuasaan Belanda ini tentunya berpengaruh sangat besar terhadap tata ruang kota Semarang. Demikian juga setelah masa kemerdekaan, banyak perkembangan kota yang merubah keaslian dari konsep tata ruang kota Semarang. Sebagai salah satu kota tradisional,colonial dan kemerdekaan, Semarang mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar dalam tata ruangnya, terutama ruang public dan alun alun di kawasan kanjengan, Pasar Johar. Sejak awal keberadaan alun-alun merupakan kawasan yang terencana dan berhubungan dengan kegiatan public kota semarang. Disaat pemerintahan Hindia belanda pun alun alun masih berfungsi sebagai ruang public dan saranalatihan militer bagi pasukan belanda. Seiring dengan peningkatan pembangunan dan aktivitas bisnis di kawasan tersebut maka mempengaruhi karakter dan fungsi alun alun dan lahan disekitarnya. Pada alun-alun ini perubahan yang terjadi adalah penambahan bangunan-bangunan komersil seperti pasar yaik dan pasar johar yang mengambil lahan dari alun-alun semarang serta bangunan perkantoran disekitar alun-alun. Bangunan Kanjengan/pemerintahan di sisi Selatan alun-alun telah dirobohkan dan dibangun pertokoan. Kawasan alun-alun yang lain didekat pasar Johar berdiri pasar Yaik Permai. Sedangkan di alun-alun Utara (bekas terminal angkot) berdiri gedung BPD dan Hotel Metro

    CULTURAL CLUSTERS AS CATALYSTS FOR URBAN REGENERATION Learning from Berlin examples

    Get PDF
    Abstract— The creation or nourishment of cultural clusters has been increasingly taken up as an alternative source for urban development. To counter this economic, social, and environmental decline, urban experts and policymakers have propagated cultural policy driven renewal. Just like what happened in Berlin, the recent art and cultural projects have focused less on capital projects, and more focused on the capacity to support community-led regeneration in such of derelict lands. Culture of improvisation sprang up and parlaying its acres of empty, rundown spaces into colorful hubs of creativity where artists and cultural organizations have contributed to the vitality and character of it through the creation of studios, workshop and “cultural clusters”. Keywords : art, architecture, culture, creative industries, urban regeneration I. INTRODUCTION Urban Decline and the Economic : Rationale for Cultural Policy Cities throughout Western Europe have, from the late 1970s, undergone a process of urban restructuring. This is due to a variety of factors including: an outmigration of industry and jobs, middle class flight to suburbia, changing work of patterns, the development of out of town shopping centers, and a rise in car ownership/dependency1. Some of these changes have been obviously economic. But compounding and reinforcing this dereliction have been the rising attendant social problems of joblessness, delinquency and poverty for those remaining, also have an impact on the local community and economy alike. To counter this economic, social, and environmental decline, urban experts and policymakers have propagated cultural policy driven renewal, through a discourse couched in increasingly economic terms. Urban experts and policymakers looking for new models which incorporated market forces to breathe back Penulis A, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Jl. Prof Soedarto Tembalang Semarang, Telp. 024-7063999, Fax. 024 7063888, email : [email protected]. Penulis B, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Jl. Prof Soedarto Tembalang Semarang, Telp. 024-7063999, Fax. 024 7063888, email : [email protected]. Penulis C, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang, Jl. Prof Soedarto Tembalang Semarang, Telp. 024-7063999, Fax. 024 7063888, email : [email protected] into derelict city urban areas, and turned to “culture”. The creation or nourishment of cultural clusters has been increasingly taken up as an alternative source for urban development. The returns expected from investing in museums, events, theatres and “cultural industries” were in the form of profits, jobs, and physical regeneration. Cultural responses Artists and cultural organizations are urban agents, and have always contributed to the vitality and character of the cities. According to Landry2, in the United States, since 1960s, they have shown how they can contribute to urban renewal, often through the creation of studios and “cultural quarters” in run-down central districts. And in the aftermath of recession in 1981, British cities began to look around for solutions to their economic problems, and some hit upon these American and parallel European experiences. The use of cultural activity to fuel urban regeneration was principally economic in conception and purpose. Mixtures of cultural functions and activities, from production to presentation and consumption, and from theatre and the visual arts to pop music and the new media, are grouped together in a great variety of spatial forms. Projects may restrict themselves to standalone buildings or larger building complexes, or they may include entire quarters or networks of locations. Mostly, the projects are housed in former industrial complexes, but quite often they also imply the building of new sites. While some clusters are restricted to genuine artistic/cultural activities, most of them also incorporate a great variety of leisure and/or entertainment elements: from bars, restaurants and cultural retail spaces to health and fitness complexes. Sometimes, the projects have started as places left over after planning, subsequently took over by informal groups of cultural producers who turn them into alternative cultural sites. Sometimes, the cultural clusters began their existence in the minds of cultural managers, searching for ways to strengthen the market position of their amenities within a more competitive cultural and leisure market. In other cases, the projects came to life on the drawing board of urban planners, looking for ways to revitalize urban quarters or to strengthen the local 'creative economy'. Some of European examples of such projects are the Temple Bar area in Dublin, the Museums Quarter i
    corecore