500 research outputs found
Judicial Enforcement of Default Interest Rates
(Excerpt)
Although secured creditors use default interest rates to protect their security interest throughout the bankruptcy process, courts are not required to enforce those contractual provisions. Secured creditors can legitimately use default interest rates to provide an offset for the “costs and delay of the bankruptcy process.” Equitable considerations may require judicial nullification of default interest rates. Inequitable default interest rates directly contradict the policy goals of bankruptcy. The difficulty in determining the reasonableness of default interest rates results from competing policy interests within bankruptcy. Courts favor enforcing contractual obligations and preserving rights inside of bankruptcy, as they would have existed outside of bankruptcy. However, courts also value protecting a debtor’s “fresh start” and the interest of all creditors within the bankruptcy process. For these reasons, it is important to understand the different justifications courts have used to enforce, or nullify, default interest rates.
Courts have analyzed several factors to determine whether it is equitable to enforce a default interest rate under section 506(b) of the Bankruptcy Code. In In re General Growth Properties Inc., the Bankruptcy Court for the Southern District of New York enforced a default interest rate that was 3% higher than the contractual interest rate. The bankruptcy court determined that the debtor failed to produce persuasive evidence that enforcement of the default interest rate would produce an inequitable result. The bankruptcy court noted that GGP was a solvent debtor, and the default interest rate would not impair GGP’s “fresh start. The bankruptcy court also placed a distinct value in enforcing the “expressly bargained for result” between the parties. As a policy matter, it was further recognized that default interest rates help debtors attain loans with lower interest, because“[I]f a creditor had to anticipate a possible loss in the value of the loan due to his debtor\u27s bankruptcy or reorganization, he would need to exact a higher uniform interest rate for the full life of the loan.
Sodium exchange in mouse and rat muscle
Imperial Users onl
KOMUNIKASI PEMASARAN VAPENOID_JAKTIM MELALUI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM
The purpose of the study explains vapenoid marketing communications via @vaporenoid_jaktim instagram account. The method used in this study is qualitative work with a qualitative descriptive approach. Data collection is interviewing two people in the freeway. Revolutionary hero no. 14, rw 3, bamboo pd, kec. Duren sawit, east Jakarta city, special area of capital Jakarta 13430. Research shows that marketing strategies used with promotions in social media that give away a weekend, discount a weekly for all member, reward customers with a minimum of 1.000.000, provide a member's card program and provide convenience stores. @vaporenoid_team-sales communications via instastory, and instagram
\u3ci\u3eAuer\u3c/i\u3e 2.0: The Disuniform Application of \u3ci\u3eAuer\u3c/i\u3e Deference After \u3ci\u3eKisor v. Wilkie\u3c/i\u3e
This Note examines how lower courts have applied Auer deference after the U.S. Supreme Court’s decision in Kisor v. Wilkie. The Court granted certiorari in Kisor to answer one question: whether to overturn the deference regimes created by Bowles v. Seminole Rock & Sand Co. and Auer v. Robbins. The Court upheld the doctrines and clarified their reach, limits, and proper application. This Note focuses on Kisor’s holding regarding the extent judges must scrutinize a regulation before concluding it is ambiguous. Despite the Court’s attempt to explicate a standard, lower courts have demonstrated stark differences in regulatory interpretation before concluding a regulation is ambiguous for the purposes of Auer deference. This Note highlights that disuniformity, explains its cause, and offers its own interpretation of Kisor v. Wilkie. This Note also identifies two causes of the disuniform application of Kisor. First, different judges have different ideas of what “ambiguity” means. A regulation that is 75 percent clear may be ambiguous to some judges but unambiguous to others. Without resolving this problem, the Court used conclusory terms to characterize the level of regulatory interpretation lower courts should engage in. Those terms include “rigorous” and “exhaustive.” Two courts can engage in the same “rigorous” or “exhaustive” regulatory interpretation but disagree on whether the result of that process means a regulation is “ambiguous.” Second, the Court raised two competing values but did not clarify how to resolve them. Competing with the requirement of “exhaustive” regulatory interpretation is the idea that a deference regime facilitates the judiciary’s respect for an agency’s policy discretion. But how does a court exhaustively interpret a regulation and simultaneously defer to an agency’s policy discretion? While the Court raised these two competing factors, it never clarified how they precisely interact
PENERAPAN ZONASI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DALAM RANGKA PENINGKATAN PEREKONOMIAN DAERAH DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PRESIDEN NO. 112 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN DAN PEMBINAAN PASAR TRADISIONAL, PUSAT PERBELANJAAN DAN TOKO MODERN JO UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG
Perdagangan adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus
memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan,
Perdagangan Pasar merupakan kegiatan usaha yang mampu memberikan
pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam
proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional,
Berkaitan dengan pendirian pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan pasar
modern telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yang arah acuannya berbicara tentang Penataan dari suatu
wilayah, kemudian pula di tentukan dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang
tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern, harus mengacu pada rencana tata ruang wi1ayah kabupaten atau kota,
dan rencana detail tata ruang kabupaten atau kota, termasuk peraturan zonasinya,
tata ruang wilayah juga hatus memperhatikan pula kondisi ekonomi, budaya
maupun sosial masyarakat setempat, agar inventasi tidak hanya memberikan
keuntungan semata bagi pemerintah daerah tetapi juga masyarakatnya, pemerintah
daerah mengeluarkan peraturan daerah yang dalam regulasinya adanya pengaturan
jarak antara pasar tradisional, toko modern.
Metode penelitian yang di gunakan yaitu deskriftif analitis untuk
menggambarkan mengenai fakta-fakta berupa data dengan bahan hukum primer
dalam bentuk peraturan perundang, data sekunder sebagai sumber utama yang
diperoleh melalui Penelitian kepustakaan (library research), Penelitian lapangan
(field research) data untuk penelitian ini, yuridis kualitatif.
Penerapan zonasi Pasar modern dan pasar tradisional bersaing di sektor
yang sama yaitu industri perdagangan, banyaknya pembangunan pasar modern
dirasakan oleh berbagai pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional,
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,yang terdapat di
dalam pasal 1 berbicara tentang bentuk pengendalian penyelenggaraan penataan
ruang , pasal 12 dan pasal 13, serta pengenaan sanksi pemerintah daerah
merupakan pihak yang paling berkompeten dalam implementasi Perpres No. 112
Tahun 2007 dan Permendag No. 53/MDAG/PER/12/2008 di tingkat daerah.,
Penataan zonasi pasar tradisonal dan pasar modern dalam peraturan daerah seiring
dengan tumbuh dan berkembang pasar modern menggerus gerak dan langkah
pasar tradisional, Penyelesaian persoalan yang di hadapi adalah beberapa
pemerintah daerah mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur penataan pasar
tradisional dan pasar modern.
Kata Kunci : Zonasi, Pasar tradisional, Pasar modern dan Penataan Ruang
SISTEM PENGENDALIAN PERSEDIAAN BARANG JADI PADA PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA
Gudang merupakan lokasi untuk penyimpanan produk atau barang sampai ada permintaan untuk dilakukan distribusi. Maka dari itu, perlu adanya sistem pengendalian persediaan barang yang ada di gudang. Sistem tersebut diperlukan untuk menjaga kemanan dan keakuratan jumlah barang yang tersimpan dalam gudang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran tentang sistem pengendalian persediaan barang jadi pada gudang PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta. Pengumpulan data-data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi pustaka. Data yang diperoleh dievaluasi kesesuaian prosedurnya berdasarkan teori dan prakteknya di gudang.
Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa gudang barang jadi PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta berfungsi sebagai tempat singgah sementara dan penyimpanan sementara barang jadi dari bagian produksi. Aktivitas yang ada dalam gudang berupa penerimaan, penyimpanan, dan pengiriman barang. Penerimaan barang yang dilakukan oleh gudang dilakukan secara cepat dan teliti dengan didukung tenaga dan sarana yang memadai. Dalam pengeluaran barang perlu dievaluasi karena waktu yang digunakan dalam proses pencarian barang terlalu lama yang disebabkan oleh belum adanya kartu persediaan barang. Maka dari itu, hal ini menjadi usulan peneliti untuk gudang PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta. Katu persediaan barang diperlukan agar keakuratan jumlah barang terjaga dengan baik sehingga menghindari adanya penyelewengan dari pihak gudang seperti pencurian barang. Selain itu juga berfungsi sebagai acuan untuk pengambilan barang sesuai dengan permintaan dari cabang. Dengan begitu sistem pengendalian persediaan barang jadi PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Surakarta dapat berjalan sesuai dengan prosedur serta dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam gudang.
Kata Kunci: Gudang, Sistem pengendalian persediaan barang, Fungsi gudang
ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM POS PEMBINAAN TERPADU PENYAKIT TIDAK MENULAR (POSBINDU PTM) DI KECAMATAN BANGUNTAPAN KABUPATEN BANTUL
Kecamatan Banguntapan merupakan kecamatan dengan jumlah sasaran program Posbindu PTM tertinggi di Kabupaten Bantul, yaitu sebesar 82.728 jiwa. Cakupan kegiatan Posbindu PTM sebesar 0,52% termasuk kategori merah (kurang dari 10%) dan penilaian proporsi pengukuran lingkar perut sebesar 60% termasuk kategori merah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis implementasi program Posbindu PTM di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Jenis penelitian yaitu kualitatif deskriptif dengan pengumpulan datanya wawancara mendalam dan observasi. Informan penelitian ini yaitu: ketua kader, sasaran Posbindu PTM, staf programer PTM, kepala puskesmas, dan staf P2PTM Kesehatan Jiwa DKK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program Posbindu PTM di Kecamatan Banguntapan belum optimal karena belum rutin dilaksanakan, kemitraan masih terbatas, pelaksanaan tahapan layanan belum optimal pada tahapan wawancara, pengukuran, pemeriksaan dan identifikasi faktor risiko PTM dan konseling. Hal itu dipengaruhi oleh variabel komunikasi, sumber daya, sikap/disposisi, dan struktur birokrasi. Pada variabel komunikasi yaitu komunikasi kepada sasaran dan lintas sektor masih kurang, kader belum memahami perhitungan IMT. Pada variabel sumber daya, dari aspek SDM jumlah kader belum mencukup dan sarana-prasarana penyediaan strip pemeriksaan belum mencukupi. Pada variabel sikap/disposisi, respon, komitmen, dan motivasi pelaksana baik, tetapi komitmen puskesmas dalam pendampingan kurang. Pada variabel struktur birokrasi, struktur organisasi secara tertulis belum dibuat, SK pembentukan Posbindu PTM belum dibuat, pembagian tugas masih belum optimal di layanan identifikasi faktor risiko PTM dan konseling, dan supervisi belum dilakukan secara optimal. Saran dari penelitian ini adalah sosialisasi kepada sasaran, menjalin kemitraan, refreshing kader tentang IMT, pembuatan SK, dan monitoring evaluasi berkala
Kata Kunci: Implementasi Program, Posbindu PT
- …