11 research outputs found

    Strengthening Food Security Policy: Reforms on Hybrid Maize Seeds Delivery Mechanism

    Get PDF
    From 2009 to 2017, Indonesia produced an average of 18.8 million tons of maize per year. This failed to meet the domestic demand by an average of 2.4 million tons per year during the same period. Since imports have been severely restricted in recent years, domestic maize prices have become much higher than international prices and also caused domestic price increases for other food commodities. Since 2015, the government’s UPSUS program addresses the shortage by attempting to increase domestic maize production. Farmers are being provided with hybrid maize seeds free of charge. To improve the overall effectiveness of the UPSUS hybrid maize seed subsidies, local maize markets need to be categorized by their particular strength. Thin maize markets produce little maize because farmers opt for other crops such as vegetables and fruits as their primary source of income; in semi-strong maize markets most farmers plant traditional types of maize and there are two to four private seed companies plus one off-taker; in strong maize markets all farmers plant hybrid maize, with five or more private seed companies and at least two off-takers. Moreover, the maize market types also differ by the dominance of maize and dry land agriculture in the local markets, as well as the local adoption of Good Agricultural Practices (GAP). The UPSUS hybrid seed subsidy program is most effective in areas with semi-strong maize markets because here it supports the transition from traditional to hybrid maize types with positive effects on production levels. Since absorption rates of UPSUS seeds in thin and strong maize markets are lower, distributing seeds in these markets appears to contribute to the emergence of black-markets where farmers illegally sell their UPSUS seeds to finance other needs. The current quota system of the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation mandates that 65% of all UPSUS seeds must come from the Research and Development Agency of the Ministry of Agriculture (Balitbangtan) and licensed domestic producers. Since these seeds are of lower quality than the 35% of seeds that originate from the private sector, this quota system hinders the farmers from receiving the quality best suited to increase production levels. We propose three policy reforms for the UPSUS seed subsidy program to improve its effectiveness: Firstly, Ministry of Agriculture (MOA) regulation 03/2015 section III(B) must add a classification matrix to assess the strength of local maize markets and then reduce the distribution of UPSUS seeds to mainly districts with semi-strong markets. The development of local maize markets should be periodically assessed and the distribution of seeds should be terminated if markets have become strong enough to end the subsidy in favor of market mechanisms. Intensive capacity-building programs should facilitate this development of markets. Local governments need to create partnerships with the private sector and develop functioning seed markets for a sustainable agriculture once the UPSUS program has ended in their district. Secondly, the current quota of 65% maize seeds from Balitbangtan and other licensed producers as stipulated in the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation should be abolished. Farmers should receive seeds of the quality they request

    Reforming Trade Policy to Lower Maize Prices in Indonesia

    Get PDF
    In the first half of 2018, the consumption of maize for animal feed reached 8.60 million tonnes, more than 70% of total Indonesian maize consumption in that period. From 2009 to 2018, maize consumption for animal feed grew every year by 477,780 tonnes. Despite the implementation of a free hybrid maize seeds program, known as UPSUS (Upaya Khusus / Special Effort), domestic maize production only increased by 294,440 tonnes per year. These circumstances contributed to high maize prices in Indonesia, which reached more than twice the international market price in August 2018. High maize prices impact animal feed producers because they use maize as a raw material. High prices also impact land animal farmers who must pay a high price to feed their animals. In turn, high maize prices also contribute to increases in the price of chicken eggs, chicken meat, and beef, which affects the 21 million farming and 35 million non-farming households that are net maize consumers. The implementation of ministerial regulations MOA 57/2015 and MOT 21/2018 has aggravated the problem as they contradict each other when specifying who is authorized to import maize and what documents are required by legal importers. Both regulations impose long procedure for obtaining import license, which can take up to 53 working days to complete. As the result, imports are unable to lower maize prices in Indonesia

    Peningkatan Kinerja Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berusaha - Reformasi Kebijakan untuk Meningkatkan Indikator 'Memulai Usaha'

    Get PDF
    Presiden Joko Widodo menetapkan target untuk meningkatkan peringkat Indonesia dalam indeks Kemudahan Usaha (Ease of Doing Business/EoDB) Bank Dunia dari peringkat ke-72 menjadi ke-40 pada tahun 2019. Satu kendala untuk mencapai target ini adalah ranking Indonesia dalam Indikator Memulai Usaha, dimana saat ini Indonesia berada pada peringkat ke-144 dari 190 negara. Berdasarkan Laporan EoDB 2018, diperlukan 23 hari dan 11 prosedur untuk mendaftarkan sebuah bisnis di Indonesia. Untuk mencapai target ini, pemerintahan menerapkan prosedur pararel serta memperkenalkan program Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission/OSS) yang diresmikan pada Juli 2018. Namun kesuksesan kebijakan ini masih terkendala, diantaranya karena kurangnya informasi terkait registrasi usaha, infrastruktur TI yang tidak memadai, dan sulitnya menyelaraskan sistem pemerintah pusat dengan daerah di dalam sistem OSS. Akibatnya, kebijakan yang dibuat serta penerapan OSS belum berfungsi sebagaimana mestinya. Studi kasus di Jakarta, Bandung, dan Bandar Lampung menunjukan bahwa ada satu peraturan daerah dan satu peraturan pusat yang harus direvisi untuk mempercepat registrasi usaha di Indonesia. Pemerintah perlu menghapus sebuah prosedur dari proses registrasi usaha dan mengembangkan kerja sama dengan sektor swasta lokal dan asosiasi pengusaha untuk meningkatkan OSS. Perubahan ini akan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendaftarkan usaha hingga 17 hari. Reformasi ini akan sangat menguntungkan bagi usaha kecil dan menengah karena skala usaha ini paling dominan di Indonesia (sekitar 98% dari seluruh unit usaha). Pengurangan waktu yang diperlukan untuk mendaftarkan usaha akan cukup untuk meningkatkan peringkat Indonesia dari peringkat ke-144 menjadi ke-75 dalam Indikator Memulai Usaha. Berdasarkan temuan ini, terdapat 4 rekomendasi perubahan kebijakan. Pertama, pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu merevisi Peraturan Kepala Bidang Investasi dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor 23 Tahun 2017 Pasal 2d. Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLK) yang ditetapkan dalam peraturan ini harus dihapus dari persyaratan registrasi usaha karena tidak sejalan dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 14 Tahun 2006, yang tidak menyatakan bahwa WLK diperlukan untuk registrasi usaha. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Pasal 78 harus direvisi agar pemerintah pusat bekerja sama dengan asosiasi/komunitas pengusaha lokal dalam menyebarluaskan informasi tentang OSS agar informasi ini tersebar ke daerah pelosok. Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Pasal 88 perlu direvisi untuk memastikan bahwa kementerian yang terkait pada sistem OSS mendampingi pemerintah daerah untuk menyelaraskan standar prosedur pengoperasian dan peraturan dalam penerapan OSS. Pendampingan ini diberikan selama satu tahun, setelah itu perlu diberlakukan sanksi bagi pemerintah daerah yang gagal mematuhi prosedur baru untuk mendaftarkan usaha melalui OSS. Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Pasal 91 perlu diubah untuk memastikan pemerintah daerah bekerja sama dengan sektor swasta untuk meningkatkan infrastruktur TI di semua wilayah dalam rangka mendukung OSS. Partisipasi sektor swasta sangat penting karena memiliki sumber daya untuk menyediakan akses Internet dan komputer yang diperlukan dalam penerapan OSS di kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia

    Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan: Reformasi Mekanisme Penyaluran Benih Jagung Hibrida

    Get PDF
    Dari tahun 2009 hingga 2017, Indonesia memproduksi rata-rata 18,8 juta ton jagung setiap tahunnya. Angka ini gagal memenuhi kebutuhan domestik yang rata-rata mencapai 21,3 juta ton per tahun di periode yang sama. Semenjak impor jagung dibatasi pada beberapa tahun terakhir, harga jagung domestik jadi meningkat banyak bila dibandingkan dengan harga internasional dan menyebabkan kenaikan harga domestik dari komoditas lainnya. Sejak 2015, program Upaya Khusus (UPSUS) yang dibentuk oleh pemerintah ditujukan untuk mengatasi kekurangan persediaan jagung dengan cara meningkatkan produksi jagung domestik melalui pemberian benih jagung hibrida secara gratis bagi para petani. Untuk meningkatkan keseluruhan efektivitas bantuan benih jagung hibrida UPSUS, pasar jagung di daerah perlu dikategorikan berdasarkan kekuatan mereka. Pasar jagung yang lemah memproduksi sedikit jagung karena petani lebih memilih menanam tanaman lainnya seperti sayur dan buah sebagai sumber pendapatan utama mereka; di pasar jagung yang semi-kuat, kebanyakan petani menanam jenis jagung tradisional dan didaerah tersebut terdapat dua hingga empat perusahaan benih swasta dan satu pembeli jagung besar; semua petani di kawasan pasar jagung yang kuat menanam jagung hibrida dan di daerah tersebut terdapat setidaknya lima perusahaan benih swasta serta dua pembeli jagung besar. Selain itu, tipe pasar jagung juga dibedakan berdasarkan dominasi komoditas jagung, penerapan teknik budidaya, serta faktor pendukung seperti lahan pertanian , modal dan irigasi. Program bantuan benih jagung hibrida UPSUS sangat efektif dilakukan pada daerah dengan pasar jagung yang semi-kuat karena pasar ini mendukung transisi dari penggunaan jenis benih jagung tradisional ke benih jagung hibrida sehingga berdampak positif pada peningkatan level produksi jagung. Selain itu, karena angka penyerapan benih jagung UPSUS lebih rendah pada pasar jagung yang lemah dan kuat, maka pendistribusian benih di kedua pasar ini dapat berpotensi membuka pasar gelap di mana petani secara ilegal menjual benih UPSUS yang mereka dapat untuk membiayai kebutuhan lain. Sistem kuota terkini yang mengacu pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 menyatakan bahwa 65% dari seluruh benih jagung hibrida UPSUS harus diproduksi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian dan produsen domestik berlisensi. Benih tersebut secara umum memiliki kualitas yang lebih rendah daripada 35% benih yang berasal dari produsen benih swasta, karena itu sistem kuota ini menghalangi petani untuk menerima benih kualitas terbaik yang dapat meningkatkan tingkat produksi jagung. Kami mengajukan 3 perubahan kebijakan untuk program benih bantuan UPSUS supaya efektivitasnya meningkat: (1) Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) Nomor 3 tahun 2015 bagian III (B) harus menambahkan matriks klasifikasi untuk menilai kekuatan pasar jagung di daerah yang akan menerima bantuan, (2) lalu memfokuskan distribusi benih UPSUS agar ditargetkan ke daerah yang memiliki pasar jagung semi-kuat. Pengembangan pasar jagung di daerah ini sebaiknya di-evaluasi secara berkala dan selanjutnya distribusi benih sebaiknya dihentikan jika pasar sudah menjadi cukup kuat agar dapat menjadi pasar jagung yang mandiri. Pada daerah ini program pengembangan kapasitas bagi petani sebaiknya ditingkatkan untuk memfasilitasi pengembangan pasar. Pemerintah daerah perlu menjalin kemitraan dengan pihak swasta dan mengembangkan pasar benih agar tercipta sektor pertanian jagung yang berkelanjutan apabila program UPSUS dihentikan di daerah tersebut. (3) Penerapan kuota yang menyatakan 65% benih jagung dari Balitbangtan dan produsen berlisensi lainnya seperti yang tertera pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 sebaiknya dihapuskan agar petani dapat menerima benih sesuai dengan kualitas yang mereka minta

    Mereformasi Kebijakan Perdagangan untuk Menurunkan Harga Jagung di Indonesia

    Get PDF
    Pada paruh pertama tahun 2018, konsumsi jagung untuk pakan ternak mencapai 8,60 juta ton, lebih dari 70% dari total konsumsi jagung di Indonesia pada periode tersebut. Dari tahun 2009 hingga 2018, konsumsi jagung untuk pakan ternak meningkat sebesar 477.780 ton per tahun. Di sisi lain, produksi jagung dalam negeri hanya bertambah sebesar 294.440 ton per tahun meskipun pemerintah sudah membagikan benih jagung hibrida gratis lewat program UPSUS (Upaya Khusus). Keadaan ini menyebabkan tingginya harga jagung di Indonesia, yang mencapai lebih dari dua kali harga pasar internasional pada bulan Agustus 2018. Tingginya harga jagung berdampak pada produsen pakan ternak karena mereka menggunakan jagung sebagai bahan baku. Hal ini juga berdampak pada peternak yang harus mengeluarkan biaya mahal untuk memberi makan ternak mereka. Pada akhirnya, hal ini juga menyebabkan kenaikan harga telur ayam, daging ayam, dan daging sapi, yang berdampak pada 21 juta rumah tangga petani dan 35 juta rumah tangga non-petani yang merupakan net consumers (membeli jagung lebih banyak daripada yang mereka tanam sendiri). Penerapan Permentan 57/2015 dan Permendag 21/2018 tidak memecahkan masalah karena keduanya justru saling bertentangan dalam menentukan siapa yang berwenang untuk mengimpor jagung dan dokumen apa saja yang diperlukan oleh para importir resmi. Kedua peraturan tersebut memberlakukan prosedur yang panjang untuk mendapatkan lisensi impor, yang bisa memakan waktu hingga 53 hari kerja untuk diselesaikan. Akibatnya, impor tidak dapat menurunkan harga jagung di Indonesia. Untuk menurunkan harga jagung, kami mengusulkan dua langkah reformasi kebijakan yang juga memberikan waktu yang cukup bagi para pemangku kepentingan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru. Langkah pertama merupakan periode penyesuaian, di mana dalam lima tahun pertama reformasi, pemerintah sebaiknya menghentikan program UPSUS di daerah di mana petani lebih suka menggunakan benih hibrida non-subsidi yang berkualitas tinggi. Pemerintah harus mendukung petani selagi mereka beralih dari benih tradisional ke benih hibrida yang lebih produktif dan tahan penyakit, serta mereka harus bekerja sama dengan sektor swasta untuk memperbaiki proses pascapanen. Lebih lanjut, langkah reformasi ini harus memiliki target spesifik untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas jagung dalam negeri. Langkah kedua reformasi dilakukan setelah masa lima tahun pertama di atas. Dalam langkah ini, pemerintah sebaiknya merevisi Permendag 21/2018 dan Permentan 57/2015 sehingga para importir yang memenuhi syarat, baik yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun perusahaan swasta, dapat bersaing secara adil dan transparan. Pemerintah harus mengatasi kontradiksi di antara kedua peraturan tersebut agar keduanya lebih mudah diikuti oleh para importir. Di sisi lain, jangka waktu lima tahun ini dirasa cukup bagi para petani jagung dalam negeri untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas mereka dengan dukungan dari pemerintah, sehingga hal ini membuat mereka lebih siap untuk bersaing dengan jagung impor secara terbuka. Kedua langkah reformasi ini akan mendorong pasar jagung untuk lebih kompetitif, menurunkan harga jagung, dan memberikan manfaat baik bagi para produsen pakan ternak maupun para peternak. Pada akhirnya, hal ini dapat menurunkan harga makanan kaya protein bagi para konsumen

    Peningkatan Kinerja Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berusaha - Reformasi Kebijakan untuk Meningkatkan Indikator \u27Memulai Usaha\u27

    Get PDF
    Presiden Joko Widodo menetapkan target untuk meningkatkan peringkat Indonesia dalam indeks Kemudahan Usaha (Ease of Doing Business/EoDB) Bank Dunia dari peringkat ke-72 menjadi ke-40 pada tahun 2019. Satu kendala untuk mencapai target ini adalah ranking Indonesia dalam Indikator Memulai Usaha, dimana saat ini Indonesia berada pada peringkat ke-144 dari 190 negara. Berdasarkan Laporan EoDB 2018, diperlukan 23 hari dan 11 prosedur untuk mendaftarkan sebuah bisnis di Indonesia. Untuk mencapai target ini, pemerintahan menerapkan prosedur pararel serta memperkenalkan program Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission/OSS) yang diresmikan pada Juli 2018. Namun kesuksesan kebijakan ini masih terkendala, diantaranya karena kurangnya informasi terkait registrasi usaha, infrastruktur TI yang tidak memadai, dan sulitnya menyelaraskan sistem pemerintah pusat dengan daerah di dalam sistem OSS. Akibatnya, kebijakan yang dibuat serta penerapan OSS belum berfungsi sebagaimana mestinya. Studi kasus di Jakarta, Bandung, dan Bandar Lampung menunjukan bahwa ada satu peraturan daerah dan satu peraturan pusat yang harus direvisi untuk mempercepat registrasi usaha di Indonesia. Pemerintah perlu menghapus sebuah prosedur dari proses registrasi usaha dan mengembangkan kerja sama dengan sektor swasta lokal dan asosiasi pengusaha untuk meningkatkan OSS. Perubahan ini akan mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendaftarkan usaha hingga 17 hari. Reformasi ini akan sangat menguntungkan bagi usaha kecil dan menengah karena skala usaha ini paling dominan di Indonesia (sekitar 98% dari seluruh unit usaha). Pengurangan waktu yang diperlukan untuk mendaftarkan usaha akan cukup untuk meningkatkan peringkat Indonesia dari peringkat ke-144 menjadi ke-75 dalam Indikator Memulai Usaha. Berdasarkan temuan ini, terdapat 4 rekomendasi perubahan kebijakan. Pertama, pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu merevisi Peraturan Kepala Bidang Investasi dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor 23 Tahun 2017 Pasal 2d. Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLK) yang ditetapkan dalam peraturan ini harus dihapus dari persyaratan registrasi usaha karena tidak sejalan dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 14 Tahun 2006, yang tidak menyatakan bahwa WLK diperlukan untuk registrasi usaha. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Pasal 78 harus direvisi agar pemerintah pusat bekerja sama dengan asosiasi/komunitas pengusaha lokal dalam menyebarluaskan informasi tentang OSS agar informasi ini tersebar ke daerah pelosok. Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Pasal 88 perlu direvisi untuk memastikan bahwa kementerian yang terkait pada sistem OSS mendampingi pemerintah daerah untuk menyelaraskan standar prosedur pengoperasian dan peraturan dalam penerapan OSS. Pendampingan ini diberikan selama satu tahun, setelah itu perlu diberlakukan sanksi bagi pemerintah daerah yang gagal mematuhi prosedur baru untuk mendaftarkan usaha melalui OSS. Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Pasal 91 perlu diubah untuk memastikan pemerintah daerah bekerja sama dengan sektor swasta untuk meningkatkan infrastruktur TI di semua wilayah dalam rangka mendukung OSS. Partisipasi sektor swasta sangat penting karena memiliki sumber daya untuk menyediakan akses Internet dan komputer yang diperlukan dalam penerapan OSS di kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia

    Elevating Indonesia's Performance in Ease of Doing Business Index (Policy Reforms to Improve the 'Starting a Business' Indicator)

    No full text
    Indonesian President Joko Widodo has set a target of improving the country’s ranking in The World Bank’s Ease of Doing Business (EODB) index from 72nd to 40th by 2019. One barrier to meeting this challenge is Indonesia’s ranking in the Starting a Business Indicator, where it is 144th among 190 countries. According to the EODB Report, it takes 23 days and 11 procedures to register a business in Indonesia. To address this problem, the central government has implemented changes requiring parallel procedures with local governments and introduced a program called the Online Single Submission system (OSS), established in July 2018. However, there are major barriers to the success of these changes, including a lack of information for businesses, inadequate IT infrastructure, and failure to synchronize the central and local governments under the OSS. As a result, policy changes and the OSS have not been working as intended. Case studies in Jakarta, Bandung, and Bandar Lampung revealed that there are two regulations—one implemented by the local government and the other implemented by the central government—that should be revised to speed up business registration. The government should also remove a procedure from the business registration process and develop collaboration with local private sectors and business associations to improve the OSS. These changes would reduce the time required for registering a business by 17 days. These reforms would benefit small and medium businesses the most, since they are the most common types of business in Indonesia (approximately 98% of all businesses). Such a reduction in the time required to register a business would be enough to improve Indonesia’s Starting a Business Indicator ranking from 144th to 75th. Based on our findings, we recommend four policy changes. First, the Jakarta provincial government should revise the Regulation of the Head of Investment and One Stop Integrated Services 23/2017 Article 2d. The Mandatory Labor Affairs Report (MLAR) stipulated in this regulation should be removed as a business registration requirement. Its content is duplicates data provided by the BPJS Ketenagakerjaan documents as part of national social security program. In addition, requiring an MLAR contradicts the regulation of the Minister of Manpower (MOM) 14/2006, which says it is not required for business registration. Second, Government Regulation 24/2018 Article 78 should be reformed to require that the central government collaborate with local business associations to disseminate information about the OSS. This collaboration will ensure that information reaches even remote areas. Third, Government Regulation 24/2018 Article 88 should be reformed to ensure that the ministries related to the OSS assist local governments to synchronize standard operating procedures and regulations to implement the OSS. This assistance should continue for one year, after which there should be a penalty for local governments that fail to comply with the new procedures for registering businesses through the OSS. Fourth, Government Regulation 24/2018 Article 91 should be changed to ensure the government will collaborate with the private sector to improve the IT infrastructure in all regions to support the OSS. Participation by the private sector is important because they have the resources to provide internet access and computers needed to implement the OSS in districts and municipalities across Indonesia

    Elevating Indonesia\u27s Performance in Ease of Doing Business Index (Policy Reforms to Improve the \u27Starting a Business\u27 Indicator)

    Get PDF
    Indonesian President Joko Widodo has set a target of improving the country’s ranking in The World Bank’s Ease of Doing Business (EODB) index from 72nd to 40th by 2019. One barrier to meeting this challenge is Indonesia’s ranking in the Starting a Business Indicator, where it is 144th among 190 countries. According to the EODB Report, it takes 23 days and 11 procedures to register a business in Indonesia. To address this problem, the central government has implemented changes requiring parallel procedures with local governments and introduced a program called the Online Single Submission system (OSS), established in July 2018. However, there are major barriers to the success of these changes, including a lack of information for businesses, inadequate IT infrastructure, and failure to synchronize the central and local governments under the OSS. As a result, policy changes and the OSS have not been working as intended. Case studies in Jakarta, Bandung, and Bandar Lampung revealed that there are two regulations—one implemented by the local government and the other implemented by the central government—that should be revised to speed up business registration. The government should also remove a procedure from the business registration process and develop collaboration with local private sectors and business associations to improve the OSS. These changes would reduce the time required for registering a business by 17 days. These reforms would benefit small and medium businesses the most, since they are the most common types of business in Indonesia (approximately 98% of all businesses). Such a reduction in the time required to register a business would be enough to improve Indonesia’s Starting a Business Indicator ranking from 144th to 75th. Based on our findings, we recommend four policy changes. First, the Jakarta provincial government should revise the Regulation of the Head of Investment and One Stop Integrated Services 23/2017 Article 2d. The Mandatory Labor Affairs Report (MLAR) stipulated in this regulation should be removed as a business registration requirement. Its content is duplicates data provided by the BPJS Ketenagakerjaan documents as part of national social security program. In addition, requiring an MLAR contradicts the regulation of the Minister of Manpower (MOM) 14/2006, which says it is not required for business registration. Second, Government Regulation 24/2018 Article 78 should be reformed to require that the central government collaborate with local business associations to disseminate information about the OSS. This collaboration will ensure that information reaches even remote areas. Third, Government Regulation 24/2018 Article 88 should be reformed to ensure that the ministries related to the OSS assist local governments to synchronize standard operating procedures and regulations to implement the OSS. This assistance should continue for one year, after which there should be a penalty for local governments that fail to comply with the new procedures for registering businesses through the OSS. Fourth, Government Regulation 24/2018 Article 91 should be changed to ensure the government will collaborate with the private sector to improve the IT infrastructure in all regions to support the OSS. Participation by the private sector is important because they have the resources to provide internet access and computers needed to implement the OSS in districts and municipalities across Indonesia

    Penguatan Kebijakan Ketahanan Pangan: Reformasi Mekanisme Penyaluran Benih Jagung Hibrida

    Get PDF
    Dari tahun 2009 hingga 2017, Indonesia memproduksi rata-rata 18,8 juta ton jagung setiap tahunnya. Angka ini gagal memenuhi kebutuhan domestik yang rata-rata mencapai 21,3 juta ton per tahun di periode yang sama. Semenjak impor jagung dibatasi pada beberapa tahun terakhir, harga jagung domestik jadi meningkat banyak bila dibandingkan dengan harga internasional dan menyebabkan kenaikan harga domestik dari komoditas lainnya. Sejak 2015, program Upaya Khusus (UPSUS) yang dibentuk oleh pemerintah ditujukan untuk mengatasi kekurangan persediaan jagung dengan cara meningkatkan produksi jagung domestik melalui pemberian benih jagung hibrida secara gratis bagi para petani. Untuk meningkatkan keseluruhan efektivitas bantuan benih jagung hibrida UPSUS, pasar jagung di daerah perlu dikategorikan berdasarkan kekuatan mereka. Pasar jagung yang lemah memproduksi sedikit jagung karena petani lebih memilih menanam tanaman lainnya seperti sayur dan buah sebagai sumber pendapatan utama mereka; di pasar jagung yang semi-kuat, kebanyakan petani menanam jenis jagung tradisional dan didaerah tersebut terdapat dua hingga empat perusahaan benih swasta dan satu pembeli jagung besar; semua petani di kawasan pasar jagung yang kuat menanam jagung hibrida dan di daerah tersebut terdapat setidaknya lima perusahaan benih swasta serta dua pembeli jagung besar. Selain itu, tipe pasar jagung juga dibedakan berdasarkan dominasi komoditas jagung, penerapan teknik budidaya, serta faktor pendukung seperti lahan pertanian , modal dan irigasi. Program bantuan benih jagung hibrida UPSUS sangat efektif dilakukan pada daerah dengan pasar jagung yang semi-kuat karena pasar ini mendukung transisi dari penggunaan jenis benih jagung tradisional ke benih jagung hibrida sehingga berdampak positif pada peningkatan level produksi jagung. Selain itu, karena angka penyerapan benih jagung UPSUS lebih rendah pada pasar jagung yang lemah dan kuat, maka pendistribusian benih di kedua pasar ini dapat berpotensi membuka pasar gelap di mana petani secara ilegal menjual benih UPSUS yang mereka dapat untuk membiayai kebutuhan lain. Sistem kuota terkini yang mengacu pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 menyatakan bahwa 65% dari seluruh benih jagung hibrida UPSUS harus diproduksi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian dan produsen domestik berlisensi. Benih tersebut secara umum memiliki kualitas yang lebih rendah daripada 35% benih yang berasal dari produsen benih swasta, karena itu sistem kuota ini menghalangi petani untuk menerima benih kualitas terbaik yang dapat meningkatkan tingkat produksi jagung. Kami mengajukan 3 perubahan kebijakan untuk program benih bantuan UPSUS supaya efektivitasnya meningkat: (1) Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) Nomor 3 tahun 2015 bagian III (B) harus menambahkan matriks klasifikasi untuk menilai kekuatan pasar jagung di daerah yang akan menerima bantuan, (2) lalu memfokuskan distribusi benih UPSUS agar ditargetkan ke daerah yang memiliki pasar jagung semi-kuat. Pengembangan pasar jagung di daerah ini sebaiknya di-evaluasi secara berkala dan selanjutnya distribusi benih sebaiknya dihentikan jika pasar sudah menjadi cukup kuat agar dapat menjadi pasar jagung yang mandiri. Pada daerah ini program pengembangan kapasitas bagi petani sebaiknya ditingkatkan untuk memfasilitasi pengembangan pasar. Pemerintah daerah perlu menjalin kemitraan dengan pihak swasta dan mengembangkan pasar benih agar tercipta sektor pertanian jagung yang berkelanjutan apabila program UPSUS dihentikan di daerah tersebut. (3) Penerapan kuota yang menyatakan 65% benih jagung dari Balitbangtan dan produsen berlisensi lainnya seperti yang tertera pada Petunjuk Teknis Pengelolaan dan Penyaluran Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2018 sebaiknya dihapuskan agar petani dapat menerima benih sesuai dengan kualitas yang mereka minta

    Strengthening Food Security Policy: Reforms on Hybrid Maize Seeds Delivery Mechanism

    Get PDF
    From 2009 to 2017, Indonesia produced an average of 18.8 million tons of maize per year. This failed to meet the domestic demand by an average of 2.4 million tons per year during the same period. Since imports have been severely restricted in recent years, domestic maize prices have become much higher than international prices and also caused domestic price increases for other food commodities. Since 2015, the government’s UPSUS program addresses the shortage by attempting to increase domestic maize production. Farmers are being provided with hybrid maize seeds free of charge. To improve the overall effectiveness of the UPSUS hybrid maize seed subsidies, local maize markets need to be categorized by their particular strength. Thin maize markets produce little maize because farmers opt for other crops such as vegetables and fruits as their primary source of income; in semi-strong maize markets most farmers plant traditional types of maize and there are two to four private seed companies plus one off-taker; in strong maize markets all farmers plant hybrid maize, with five or more private seed companies and at least two off-takers. Moreover, the maize market types also differ by the dominance of maize and dry land agriculture in the local markets, as well as the local adoption of Good Agricultural Practices (GAP). The UPSUS hybrid seed subsidy program is most effective in areas with semi-strong maize markets because here it supports the transition from traditional to hybrid maize types with positive effects on production levels. Since absorption rates of UPSUS seeds in thin and strong maize markets are lower, distributing seeds in these markets appears to contribute to the emergence of black-markets where farmers illegally sell their UPSUS seeds to finance other needs. The current quota system of the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation mandates that 65% of all UPSUS seeds must come from the Research and Development Agency of the Ministry of Agriculture (Balitbangtan) and licensed domestic producers. Since these seeds are of lower quality than the 35% of seeds that originate from the private sector, this quota system hinders the farmers from receiving the quality best suited to increase production levels. We propose three policy reforms for the UPSUS seed subsidy program to improve its effectiveness: Firstly, Ministry of Agriculture (MOA) regulation 03/2015 section III(B) must add a classification matrix to assess the strength of local maize markets and then reduce the distribution of UPSUS seeds to mainly districts with semi-strong markets. The development of local maize markets should be periodically assessed and the distribution of seeds should be terminated if markets have become strong enough to end the subsidy in favor of market mechanisms. Intensive capacity-building programs should facilitate this development of markets. Local governments need to create partnerships with the private sector and develop functioning seed markets for a sustainable agriculture once the UPSUS program has ended in their district. Secondly, the current quota of 65% maize seeds from Balitbangtan and other licensed producers as stipulated in the 2018 Technical Implementation Guideline of Maize Cultivation should be abolished. Farmers should receive seeds of the quality they request
    corecore